Bab Ii, Iii, Iv
Bab Ii, Iii, Iv
TINJAUAN PUSTAKA
baru sekitar 9 jenis melati yang umum dibudidayakan yaitu melati hutan (J.
multiflorum), melati raja (J. rex), melati cablanca (J. officinale), J. revotulum, J.
mensy, J. parkery, melati australia (J. simplicifolium), melati hibrida dan melati
Melati dikenal dengan beberapa nama di berbagai daerah antara lain yaitu
Jasminum sambac Ait. sebagai nama ilmiah, malati (Sunda); melati, menur
(Jawa); malur, merul (Batak); puti, bunga manor (Ambon); bunga maluru
(Hieronymus, 2013).
Tanaman melati (J. sambac Ait.) merupakan tanaman hias yang sudah
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledonae
Ordo : Oleales
Famili : Oleaceae
Genus : Jasminum
Spesies : Jasminum sambac (L) W. Ait (Tjitrosoepomo, 2000)
7
8
Gambar1. Tanaman melati
m (J. sam
mbac Ait.) (D
Dok. pribadi))
2. Morrfologi tanam
man melati (J. sambac Ait.)
warn
na bervariassi tergantung
g pada jeniis dan spesiesnya. Um
mumnya bunnga
melaati tumbuh di
d ujung tanaaman. Susun an mahkota bunga tungggal atau gannda
mem
miliki aroma (Hieronymu
us, 2013).
mem
mbulat, tepi daun
d rata, tu
ulang daun menyirip, m
menonjol paada permukaaan
meru
umpun (Eren
n, 2013).
9
yang menyebar ke semua arah dengan kedalaman 40-80 cm dari akar yang
terletak dekat permukaan tanah. Akar melati dapat menumbuhkan tunas atau
taman, rangkaian bunga untuk pengantin, bunga tabur, campuran teh atau
diambil minyak atsirinya sebagai bahan baku parfum. Selain itu, tanaman ini
Kandungan senyawa kimia pada bunga dan daun melati menimbulkan rasa
manis, pedas dan bersifat sejuk. Sementara akarnya mempunyai rasa pedas,
manis dan agak beracun (Arif dan Anggoro, 2008). Skrinning fitokimia yang
eugenol, linalool dan senyawa aktif lainnya pada bunga melati. Kandungan
jerawat, biduran, bengkak digigit binatang, cacingan, radang mata merah dan
sesak napas (Eren, 2013). Bunga melati menghasilkan pigmen kuning yang
termasuk kulit (Anonim, 2006). Berbagai khasiat yang diperoleh dari bunga
11
B. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen senyawa yang
diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari
akan semakin baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan
pelarut semakin luas. Dengan demikian, semakin halus serbuk simplisia maka
akan semakin baik ekstraksinya. Selain luas bidang, ekstraksi juga dipengaruhi
oleh sifat fisik dan kimia simplisia yang bersangkutan (Ahmad, 2006).
Pemisahan senyawa berdasarkan kaidah like dissolved like yang artinya suatu
senyawa akan larut dalam pelarut yang sama tingkat kepolarannya. Bahan dan
senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya.
semakin besar nilai konstanta dielektrik suatu pelarut maka polaritasnya semakin
besar. Menurut Ahmad (2006) beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam
tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan senyawa yang diinginkan.
Secara umum metode ekstraksi dibagi dua macam yaitu ekstraksi tunggal
dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah melarutkan bahan yang akan
diekstrak dengan satu jenis pelarut. Kelebihan dari metode ini yaitu lebih
sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama, akan tetapi rendemen yang
bahan atau sampel dengan menggunakan dua atau lebih pelarut. Kelebihan dari
metode ekstraksi bertingkat ini ialah dapat menghasilkan rendemen dalam jumlah
pelarut non polar berupa kloroform, selanjutnya pelarut semipolar berupa etil
asetat dan dilanjutkan dengan pelarut polar seperti metanol atau etanol
13
(Sudarmadji dkk., 2007). Beberapa jenis pelarut organik dan sifat fisiknya
dalam bentuk metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan
1. Alkaloid
senyawa basa bernitrogen yang sebagian besar berupa heterosiklik dan banyak
terdapat pada tanaman. Senyawa aktif jenis alkaloid ini umumnya larut pada
14
pseudoalkaloid dan
d protoalk
kaloid yangg larut padaa pelarut poolar seperti air
(Len
nny, 2006). Senyawa aktif
a golonggan alkaloidd dapat berrperan sebaggai
antib
bakteri. Mek
kanisme pen
nghambatan pertumbuhhan bakteri oleh senyaw
wa
padaa sel bakteri, sehingga laapisan dindinng sel tidak terbentuk seecara utuh ddan
meny
yebabkan kematian
k sel tersebut (Robinson 1995). Struuktur alkalooid
Gambar
G 2. Struktur
S alkalloid (Fattoruusso dan Tagglillatella, 20008)
2. Flav
vonoid
yang
g ditemukan
n di alam (Lenny, 20006). Flavonooid merupakkan kelomppok
menjjelaskan bah
hwa gugus hidroksil yyang terdapaat pada struuktur senyaw
wa
flavo
onoid menyeebabkan perrubahan kom
mponen organik dan traansport nutrrisi
yang
g akhirnya akan
a mengak
kibatkan tim
mbulnya efekk toksik terrhadap bakteeri.
Struk
ktur dasar flaavonoid disaajikan pada ggambar 3.
15
Gam
mbar 3. Strruktur flavonnoid (Pieta, 22000)
3. Tanin
tanin
n terdiri darri campuran
n senyawa ppolifenol yaang sangat kkompleks ddan
biasaanya tergabu
ung dari karb
bohidrat renndah seperti gglukosa (Linnggawati dkkk.,
2002
2). Senyawaa tanin dap
pat berperann sebagai antibakteri karena dappat
meng
gganggu sin
ntesa peptido
oglikan sehinngga pembenntukan dindding sel baktteri
Naim
m (2004) berhubungan
b n dengan target penyyerangan taanin terhaddap
kerussakan polip
peptida yang
g terdapat pada dindiing sel bakkteri sehinggga
meng
gganggu sinttesa peptido
oglikan yangg menjadikann pembentukkan dinding ssel
tidak
k sempurna dan mengaakibatkan innaktivasi sell bakteri paada sel inanng.
Struk
ktur tanin dissajikan padaa gambar 4.
Gam
mbar 4. Stru
uktur tanin ( Hagerman, 22002)
16
4. Sapo
onin
berup
pa steroid dan titerpeen. Saponinn adalah senyawa yang dappat
meniimbulkan busa
b bila dikocok
d dal am air. Sapponin dapat menyebabkkan
hemo
olisis padaa sel daraah merah. Hal ini diisebabkan kkarena saponnin
berik
katan dengaan kolestero
ol dari mem
mbran sel sehingga ddapat merussak
mem
mbran (Farad
disa, 2008).. Mekanism
me kerja sapponin sebaggai antibaktteri
kebo
ocoran sel dan meng
gakibatkan senyawa iintraseluler akan keluuar
(Rob
binson, 1995). Struktur saponin disajjikan pada gambar 5.
Gambar 5.
5 Struktur saaponin (Harbborne dan B
Baxter, 1995))
D.
D Antibak
kteri
Antibakteri
A adalah
a zat yaang dapat m
mengganggu pertumbuhaan atau bahkkan
mematik
kan bakteri dengan caara menggaanggu metabbolisme bakkteri patogeen.
Menuru
ut Jawetz dan
n Adelbergss, (2005) anttibakteri dappat dibedakaan berdasarkkan
dinding sel bakteri yang terdiri dari peptidoglikan yang merupakan suatu
menyebabkan tekanan osmotik di dalam sel lebih tinggi daripada di luar sel
penggunaan penicillin.
Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama yaitu
nalidiksat.
bakteri dapat dilihat dengan melakukan uji aktivitas antibakteri dengan cara
Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM), sedangkan uji difusi
oleh suatu senyawa antibakteri yang ditandai dengan ukuran diameter zona
bening (clear zone). Kelebihan dari metode kertas cakram yaitu dapat
pengerjaannya dan tidak memerlukan waktu yang lama (Hermawan dkk, 2007).
E. Bakteri
Bakteri adalah sel prokariot yang khas bersifat uniseluler yang inti selnya
tidak memiliki membran inti. Gram positif dan Gram negatif adalah klasifikasi
bakteri yang dibedakan dari ciri-ciri fisik bakteri. Perbedaan yang mendasar
terdapat pada komponen peptidoglikan dan lipid yang terkandung dalam dinding
tunggal yang bobotnya lebih dari 50% berat kering, sedangkan pada bakteri
Gram negatif peptidoglikan berperan sebagai lapisan kaku dengan bobot sekitar
10% berat kering. Selain itu, lipid pada kelompok bakteri Gram positif lebih
antibakteri. Sebaliknya, lipid pada bakteri Gram negatif lebih tinggi sehingga
dan dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif disajikan pada tabel 3.
20
Tabel 3. Perbedaan struktur dan dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif
Ciri-Ciri Gram Positif Gram Negatif
Struktur dinding sel Tebal (15-80mm) Tipis (10-15mm)
Selain bakteri yang menguntungkan ada juga bakteri yang merugikan. Salah satu
kelompok bakteri merugikan yaitu bakteri patogen. Bakteri patogen yaitu bakteri
1. Staphylococcus aureus
Klasifikasi S. aurreus menuru
ut Garrity et al., (2004) aadalah sebaggai berikut:
Dommain : Bacteria
King
gdom : Monnera
Divissio : Firm
micutes
Classsis : Schizzomycetes
Ordo
o : Eubaacteriales
Famiilia : Micrrococcacea
Genuus : Staphhylococcus
Spesies : Staphhylococcus aaureus
n sel bakteri S. aureus paada perbesarran 1000x
Gambar 6. Koloni dan
(Dok. pribaddi)
gur dan cocccus yang beerarti benih bulat. S. aaureus meruupakan baktteri
angg
Gram
m positif den
ngan sel berrbentuk kokkus, mempunnyai diametter 0,7-0,9 µ
µm
dan tidak
t membeentuk spora. Selnya tersuusun dalam kkelompok-kkelompok tiddak
teratu
ur. S. aureuss bersifat paatogen, tidakk bergerak, m
memprodukssi katalase ddan
Bakteri S.
S aureus tum
mbuh secara fakultatif annaerob dengaan membenttuk
kump
pulan-kumpu
ulan sel dan
d sering ditemukann pada m
makanan yaang
22
meng
gandung pro
otein tinggi, misalnya soosis, telur daan sebagainyya. Keracunnan
produ
uk pangan yang
y telah diimasak. Gejaala dari keraacunan bahann pangan yaang
meng
gakibatkan serangan mendadak
m bberupa kekeejangan padda perut ddan
munttah-muntah yang
y hebat serta
s diare (T
Tenhagen dkkk, 2009).
2. Shig
gella flexnerrri
Klasifikasi S. flexxneri menurrut Robert (11957) adalahh sebagai berrikut:
Divissi : Protophyta
P
Kelaas : Schizomyce
S tes
Ordoo : Eubacteriale
E es
Famiili : Enterobacter
E riaceae
Genuus : Shigella
S
Spesies : Shigella
S flexxneri
Gambar
G 7. Koloni
K dan seel bakteri S. fflexneri padda perbesarann 1000x
(Dok. pribaddi)
diam
meter sel sekiitar 0,5-1,5 µm
µ dan panjjang sel sekiitar 1-6 µm. Sel S. flexneeri
23
bersifat fakultatif anaerob. Suhu optimum pertumbuhan yaitu 37oC dan tidak
dapat tumbuh pada suhu 45,5oC (Robert, 1957). Bakteri S. flexneri dapat
yang pertama kali mengisolasi Shigella dysentriae tipe 1 pada kasus epidemik
disentri di Jepang pada tahun 1896. Sejak saat itu beberapa jenis Shigella lain
2004).
ditandai dengan diare cair akut atau disentri yang berupa tinja bercampur
darah, lendir, serta nanah dan pada umumnya disertai demam dan nyeri
melalui rute fekal-oral dengan masa inkubasi 1–7 hari, untuk terjadinya
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan yang
(Haraeus), autoklaf (Astell), oven, laminar air flow cabinet (LAF) (ESCO),
Bar, kompor listrik (Branstead Thermolyne), hair dryer, mikroskop dan vacuum
segar yang diperoleh dari Pasar Beringharjo Yogyakarta, isolat murni bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Shigella flexneri ATCC 12022 yang
Kloroform p.a (pro analisis), Etil asetat 96 %, Etanol 70%, media Nutrient Agar
(NA), media Nutrient Broth (NB), kertas saring, cat Gram, amoxillin, aquadest
24
25
C. Prosedur Penelitian
Penelitian uji aktivitas antibakteri ekstrak bunga melati (J. sambac Ait.)
dilakukan dengan beberapa tahapan yang meliputi: ekstraksi bunga melati dengan
tiga jenis pelarut, peremajaan bakteri uji, penapisan awal ekstrak pada konsentrasi
10% (bv), uji aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat bunga melati dengan variasi
konsentrasi 20%, 30%, 40% dan 50% (b/v) yang dilanjutkan dengan analisis
bunga segar yang dilanjutkan dengan pencucian bunga. Bunga yang telah
rapat dengan kapas dan alumunium foil. Sampel yang akan dimaserasi
didiamkan di atas magnetic stirrrer selama 24 jam pada suhu ruang dengan
menggunakan stirrer bar sebagai alat pengaduk. Setelah 24 jam, ampas dan
pelarut kedua berupa etil asetat, dimaserasi kembali selama 24 jam dan
disaring hingga diperoleh filtrat dan ampas kedua. Selanjutnya ampas kedua
ini direndam lagi dengan pelarut ketiga berupa etanol kemudian dimaserasi
26
ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol (Quinn 1988 dalam Darusman dkk,
1995). Diagram alir proses ekstraksi senyawa bioaktif bunga melati disajikan
pada gambar 8.
Bunga melati segar
Dimaserasi selama 24 jam dengan kloroform
disaring
filtrat ampas
Gram yang bertujuan untuk memastikan bahwa bakteri yang digunakan adalah
bakteri uji S. aureus dan S. flexneri. Tahapan berikutnya bakteri uji dibiakkan
pada media NA miring kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.
mL dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC untuk memperoleh kultur
media Nutrient Broth (NB) yang mempunyai warna kuning sehingga panjang
(Reema 2004).
28
steril kemudian ditambahkan sebanyak 15-20 mL media agar yang masih cair,
homogen. Setelah media memadat, kertas cakram yang telah direndam dalam
konsentrasi 10% (b/v) selama 10-15 menit diambil untuk diuapkan pelarutnya.
Selanjutnya kertas cakram diletakkan di dalam cawan petri yang berisi agar
sebelumnya telah dilarutkan dalam pelarut kloroform, etil asetat dan etanol
sebagai kontrol positif dan kertas cakram yang direndam ke dalam pelarut
kloroform, etil asetat dan etanol sebagai kontrol negatif. Kertas cakram
24 jam pada suhu 37oC. Aktifitas antibakteri dapat dilihat dengan mengamati
hambat terbesar yang akan diuji aktivitas antibakterinya. Diagram alir proses
dan dituang ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya ditambahkan media agar
merata pada media. Selanjutnya potongan kertas yang telah dicelupkan pada
rendamen ekstrak etil asetat 20% (b/v) ditempatkan pada tiap-tiap cawan yang
telah berisi media dan bakteri, baik untuk biakan S. aureus maupun S.
flexneri, dengan cara yang sama dilakukan untuk ekstrak konsentrasi 30%,
40% dan 50% (b/v). Selanjutnya semua biakan diinkubasikan pada suhu 37oC
selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk kemudin diamati dan diukur
Kertas cakram direndam selama 15 Kertas cakram direndam selama 15 menit dalam
menit dalam berbagai ekstrak yang amoxilin yang dilarutkan ke dalam pelarut dan
telah dilarutkan ke dalam pelarutnya direndam ke dalam pelarut (kontrol negatif)
Cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam dengan posisi dibalik
Sebanyak 0,1 mL ml bakteri dipipet dan dituang ke dalam cawan petri
steril dan ditambahkan 15-20 mL NA cair, dibiarkan memadat
Kertas cakram direndam dalam ekstrak dengan konsentrasi 20%, 30%, 40%, 50%
Kertas cakram diletakkan dalam cawan yang berisi media dan bakteri uji
Cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC selama 24jam dengan posisi dibalik
konsentrasi ekstrak 0,1%, 0,5%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5% dan 6% (b/v) (Kubo
dkk., 1995).
untuk menyeimbangkan konsentrasi yang ada di dalam sel dan di luar sel
31
agar sel tidak mudah lisis. Selanjutnya ditambahkan ekstrak etil asetat
diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 120 rpm 37oC selama 24 jam.
asam nukleat dan 280 nm untuk kebocoran protein (Bunduki dkk., 1995).
Ditambah Tanpa
Pelet Cairan
Gambar 11. Diagram alir analisis kebocoran sel (Bunduki dkk., 1995)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari bahan yang
tiga pelarut organik yaitu kloroform, etil asetat dan etanol. Hasil ekstraksi
senyawa aktif pada bunga melati (J. sambac Ait.) disajikan pada tabel 4 dan
gambar 12.
Tabel 1. Hasil ekstraksi senyawa aktif bunga melati (J. sambac Ait.) dengan
tiga pelarut.
32
33
deng
gan menggun
nakan pelaru
ut kloroform
m, etil asetatt dan etanoll berturut-turrut
menu
unjukkan kaarakter yang
g berbeda. Ekstrak klooroform tam
mpak berwarrna
dan lengket.
l
Gam
mbar 12. a) Ekstrak klorroform; b) E
Ekstrak etil asetat; c) Eksstrak etanol
kteri uji
2. Pereemajaan bak
Sebelum dilakukan
d peeremajaan bbakteri uji tterlebih dahhulu dilakukkan
a. b.
Gambar 13
3. Hasil puriifikasi a). Kooloni S. aureeus dan b). K
Koloni S.
flexneri
34
Hasil purrifikasi menu
unjukkan kolloni S. aureeus berbentukk circular ddan
a b
mbar 14. Hasil pengecatan Gram a). Sel S. aureuus dan b). Seel S. flexnerii
Gam
padaa perbesaran 1000x
ngecatan Grram menunj
Hasil pen njukkan bahw
wa sel baktteri S. aureeus
meru
upakan bakteeri Gram po
ositif dan berrbentuk bulaat atau coccuus. Sedangkkan
sel S.
S flexneri merupakan
m baakteri Gram
m negatif berrbentuk bataang atau baccil.
Tahaap berikutny
ya yang dilaakukan yaituu penanamaan isolat muurni ke dalaam
mediia NA mirin
ng. Hasil pem
mbuatan iso lat murni kee dalam meddia NA miriing
S.. aureus
S. fflexneri
dilak
kukan dengaan menggunaakan konsenntrasi ekstrakk sebesar 100% (b/v). Haasil
Tab
bel 2. Hasil penapisan aw
wal antibaktteri dari senyyawa aktif ekkstrak bungaa
melati
m terhad
dap bakteri S.
S aureus dann S. flexneri pada konsenntrasi 10%
Jenis Rata-rata Diaameter Zona Kekuataan Antibakterri
Bak
kteri Uji
Ekstrak
E Hambatt (mm) (Davis daan Stouth, 19771)
E.K 3, 1 L
Lemah
S. au
ureus E.EA 7,22 S
Sedang
E.E 2,77 L
Lemah
E.K 5,22 S
Sedang
S. fleexneri E.EA 7,22 S
Sedang
E.E 0 -
*Keterrangan: E.K = Ekstrak Klorofoorm, E.EA = Ekkstrak Etil Asetaat
E.E = Ekstrak Etanol
a. b. c.
Gam
mbar 16. Haasil penapisaan awal anttibakteri darri terhadap S. aureus a).
Ek kstrak kloro
oform, b). Ekstrak etiil asetat daan c). Ekstrrak
ettanol.
36
Hasil penapisan aw
wal pada baakteri S. auureus yang menggunakkan
kateg
gori kekuataan antibakterri yang lemaah, pada pengggunaan eksstrak etil aseetat
diam
meter zona hambat
h yan
ng terbentukk sebesar 77,2 mm denngan kekuattan
antib
bakteri sedaang, sedangk
kan ekstrakk etanol meembentuk ddiameter zoona
hamb
bat yang palling kecil yaaitu 2,7 mm dengan kategori kekuaatan antibaktteri
hamb
bat terbesar terhadap peertumbuhan bakteri S. aaureus adalaah ekstrak eetil
asetaat.
a. b.
b c..
Gambar
G 17. Hasil penaapisan awall antibakterii terhadap SS. flexneri a).
Ekstrak
E kloro
oform, b). Ek
kstrak etil assetat dan c). Ekstrak etannol.
kloro
oform pada kultur
k S. flexxneri lebih bbesar dari ppada kultur SS. aureus yaaitu
5,2 mm dengan
n ketegori kekuatan
k anntibakteri seedang. Padaa penggunaaan
ekstrrak etil asetaat, diameter zona hambaat yang terbeentuk lebih bbesar yaitu 77,2
etano
ol tidak membentuk zo
ona hambat. Hasil terseebut menunjjukkan bahw
wa
ekstrrak etil asetat merupakaan ekstrak yyang dapat membentukk zona hambbat
37
terbeesar terhadap
p pertumbu
uhan bakterii S. flexnerii. Untuk meembandingkkan
antib
biotik yang digunakan
d yaitu
y amoxillin. Hasil ujii antibiotik ddisajikan paada
Tabel 3. Hasil
H pengam
matan uji anntibiotik
Rata-rata D iameter Zonaa Kekuattan Antibakteeri
Bak
kteri Uji Pengujian
P
Hambaat (mm) dan Stouth, 1971)
(Davis d
A.K 33,1 Lemah
S. auureus A.EA 33,5 Lemah
A.E 144,9 Kuat
A.K 33,2 Lemah
S. fleexneri A.EA 166,6 Kuat
A.E 55,7 Sedang
* Keterangan : A.K = Antibiotik dalam
d Kloroforrm, A.EA = A
Antibiotik dalam
m Etil Asetat
A.E = Antibiotik dalam
d Etanol
a. b. c.
Gambar
G 18. Hasil uji an
ntibiotik terhhadap S. auureus a). Anntibiotik dalaam
kloroform, b). Antibiootik dalam etil asetat, c). Antibiotik
dalam Etan nol.
Hasil uji antibiotik teerhadap S. aaureus menuunjukkan bahhwa antibiotik
yang
g dilarutkan ke dalam pelarut
p etanool memberikkan zona haambat terbessar
deng
gan diameterr sebesar 14
4,9 mm. Diiameter zonna hambat tterbesar keddua
diben
ntuk oleh an
ntibiotik yaang dilarutkaan ke dalam
m pelarut ettil asetat yaaitu
sebessar 3,5 mm
m, sedangkaan antibiotikk yang dilaarutkan ke dalam pelarrut
38
kloro
oform meng
ghasilkan diameter zonna hambat yang palinng kecil yaaitu
etano
ol memiliki zona
z hambatt terbesar.
a. b. c.
flexn
neri dibentuk
k oleh antib
biotik yang dilarutkan dengan pelaarut etil aseetat
deng
gan diameterr zona hamb
bat 16,6 mm
m dengan kkekuatan anntibakteri kuuat.
etil asetat
a mengh
hasilkan diam
meter zona hhambat terbeesar pada kulltur S. flexneeri.
Hasil uji pelarut disajikan paada tabel 7 seerta gambar 20 dan 21.
Tabel 7. Hasil
H pengam
matan uji peelarut
Bakteri
B Uji Pengujian Rata-rata Diameter Zon
na Hambat (m
mm)
Kloroform -
S. aureus Etil asetat -
Etanol -
Kloroform -
S. flexneri
f Etil asetat -
Etanol -
39
a. b. c.
Gam
mbar 20. Hassil uji pelarrut terhadap S. aureus a). Pelarut kloroform, bb).
Pelaarut etil asettat dan c). Peelarut etanol.
a. b.
b c.
ini menunjukkan
m n bahwa kettiga pelarut yang digunaakan tidak m
mempengaruuhi
peng
gujian aktivittas antibakteeri maupun ppenapisan aw
wal.
etil asetat.
a Hal ini
i disebabkan ekstrak eetil asetat daapat membeentuk diameter
aktiv
vitas antibak
kteri dilakuk
kan dengan vvariasi koseentrasi ekstraak 20%, 30%,
40
2. Hasil
H pengam
matan uji ak
ktivitas antiibakteri disaajikan pada tabel 8 serta
gamb
bar 22 dan 23.
2
20%
% 30%
Zonaa
hambaat
40%
% 50%
Zon a
hambbat
Keem
mpat diameeter zona hambat
h yangg dihasilkann masih daalam ketegoori
keku
uatan antibaakteri yang lemah. Haasil pengujiaan tersebut menunjukkkan
bahw
wa peningkaatan konsenttrasi ekstrakk tidak dapat memperbbesar diameter
20%
% 30%
Zonaa
hambaat
40%
% 50%
Zon a
hambbat
antib
bakteri pada kultur S. fllexneri denggan konsenttrasi 20%, 330%, 40% ddan
Keem
mpat diametter zona ham
mbat yang ddihasilkan juuga masih ddalam ketegoori
keku
uatan antibak
kteri yang leemah. Hasill diatas mennunjukkan eekstrak denggan
bakteri. Pada tahap ini konsentrasi ekstrak etil asetat yang digunakan adalah
0,1%; 0,5%; 1%; 2%; 3%; 4%; 5% dan 6% (b/v). Hasil uji MIC disajikan
pada tabel 9.
panjang gelombang 260 nm untuk kebocoran asam nukleat dan 280 nm untuk
43
Tabel 10. Nilai absorbansi kebocoran asam nukleat dan protein sel S. aureus
Panjang Nilai absorbansi
gelombang (nm)
Kontrol 1x MIC 2x MIC
260 0,345 3,896 4
280 0,255 2,783 3,819
1x MIC dan 2x MIC terhadap S. aureus pada panjang gelombang 260 nm untuk
0,255; 2,783 dan 3, 819. Tabel di atas menunjukkan nilai absorbansi pada
panjang gelombang 260 nm lebih tinggi daripada nilai absorbansi pada panjang
gelombang 280 nm. Hal ini diduga terjadi karena senyawa-senyawa yang dapat
diserap pada panjang gelombang 260 nm lebih banyak dari pada senyawa-
5
4
asam nukleat
Absorbansi
3
protein
2
1
0
kontrol 1 MIC 2 MIC
Perlakuan
Gambar 24. Grafik nilai absorbansi kebocoran asam nukleat dan protein pada
sel S. aureus.
44
pada ekstrak atau perlakuan kontrol juga mengalami kerusakan sel. Hal ini
diduga terjadi karena sel yang diuji tidak mendapatkan nutrisi yang cukup
Tabel 11. Nilai absorbansi kebocoran asam nuleat dan protein sel S.
flexneri
Panjang Nilai absorbansi
gelombang (nm)
Kontrol 1x MIC 2x MIC
260 0,321 4 4
280 0,203 3,589 3,714
0,203; 3,589 dan 3,714. Nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm
lebih tinggi daripada nilai absorbansi pada panjang gelombang 280 nm. Hal ini
gelombang 260 nm lebih banyak dari pada senyawa-senyawa yang diserap pada
4.5
4
3.5
3
Absorbansi
2.5
2
1.5 asam nukleat
1
0.5 protein
0
kontrol 1 MIC 2 MIC
Perlakuan
Gambar 25. Grafik nilai absorbansi kebocoran asam nukleat dan protein sel
bakteri S. flexneri.
Sama dengan halnya yang terjadi pada kultur S. aureus. Grafik analisis
kebocoran sel pada S. flexneri juga menunjukkan bahwa sel yang tidak
dipaparkan pada ekstrak atau perlakuan kontrol juga mengalami kerusakan sel.
Hal ini diduga terjadi karena sel yang diuji tidak mendapatkan nutrisi yang
sel. Selain itu, diduga terjadi karena adanya senyawa-senyawa lain yang
terdapat pada cairan supernatant yang dapat diserap pada panjang gelombang
B. PEMBAHASAN
penyaringan hasil maserasi dan tahap yang terakhir yaitu pemisahan ekstrak
dari pelarut.
yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci dengan air bersih untuk
lebih kecil dan halus, hal ini dilakukan agar mempermudah proses
pengadukan dan kontak bahan dengan pelarut pada saat proses perendaman.
dihasilkan dengan berat awal bahan yang digunakan yang dinyatakan dalam
dimaserasi. Prinsip kelarutan dalam metode maserasi adalah like dissolved like
yang berarti senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non
polar akan larut dalam pelarut non polar (Pratiwi, 2009). Maserasi dilakukan
pada suhu kamar dengan menggunakan magnetig stirrer dan stirrer bar yang
sel supaya komponen yang diinginkan dapat keluar dari jaringan bahan dan
suatu senyawa aktif. Pada penelitian ini, proses ekstraksi dilakukan dengan
nonpolar, serta etil asetat dan etanol yang masing-masing merupakan pelarut
semipolar dan polar. Tujuan ekstraksi bertingkat dengan tiga pelarut yang
dalam suatu bahan sesuai dengan tingkat kepolarannya. Selain itu, senyawa
aktif yang belum diketahui sifatnya diharapkan dapat terekstrak dengan salah
memisahkan ampas dan filtrat yang akan dievaporasi atau proses penguapan
senyawa hasil ekstraksi pekat yang diinginkan. Suhu yang digunakan dalam
Hasil ekstraksi dari bunga melati (J. sambac Ait.) dapat dilihat pada
warna yang berbeda. Nilai rendemen terendah yaitu sebesar 0,179% yang
dihasilkan oleh ekstrak etil asetat, rendemen terbesar kedua dihasilkan dari
bersifat polar dari pada senyawa semi polar maupun non polar. Selain itu,
mengekstrak senyawa organik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heat dan
dan etanol mampu mengekstrak sebagian besar senyawa tanin dan senyawa
baru yang akan digunakan sebagai kultur kerja. Peremajaan bakteri diawali
dengan purifikasi dan pengecatan Gram. Hal ini bertujuan untuk memastikan
purifikasi dan pengecatan Gram bakteri uji dapat dilihat pada gambar 13 dan
14.
di bagian atas maupun bawah permukaan media NB. Hal ini sesuai dengan
bakteri dengan sel berbentuk kokus mempunyai diameter 0,7-0,9 µm, Gram
positif dan bersifat fakultatif anaerob. Adapun sel bakteri S. flexneri berbentuk
batang, mempunyai diameter 0,3-1 µm, gram negatif dan bersifat fakultatif
penapisan awal ini untuk mengetahui atau menyeleksi ekstrak potensial yang
Aktivitas antibakteri ekstrak potensial tersebut diuji lebih lanjut pada tahap
berikutnya.
dapat membentuk zona hambat terbesar pada kedua kultur bakteri uji adalah
ekstrak etil asetat dengan diameter zona hambat yang sama sebesar 7,2 mm.
Menurut Davis dan Stouth (1971) diameter zona hambat ini mengindikasikan
lebih tinggi daripada ekstrak kloroform dan etanol. Hal ini disebabkan ekstrak
senyawa larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup bakteri, akan
tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan sifat
Salah satu contoh senyawa aktif yang bersifat semipolar atau ekstrak etil
bersifat liphopilic yang dapat menembus rantai asam lemak pada lapisan
antibakteri senyawa aktif bunga melati dengan antibiotik murni, dilakukan uji
digunakan sebagai pembanding pada dosis 1000 ppm atau 1 mg/1 mL.
p.a, etil asetat 96% dan etanol 70%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pembentukan zona hambat pada uji penapisan awal maupun uji aktivitas
antibakteri.
52
etil asetat dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Uji aktivitas antibakteri
ekstrak etil asetat dilakukan dengan variasi konsentrasi yaitu 20%, 30%, 40%
Pada pengujian ini tampak bahwa ekstrak etil asetat dengan konsentrasi
yang lebih tinggi yaitu 20%, 30%, 40% dan 50% (b/v) tidak memberikan zona
hambat yang lebih besar dari konsentrasi 10% (b/v). Kekuatan antibakteri
yang dihasilkan masih dalam kategori lemah. Hal ini menunjukkan bahwa
hambat yang dibentuk. Menurut Dewi (2010) diameter zona hambat tidak
selalu berbanding lurus dengan konsentrasi ekstrak. Hal ini diduga terjadi
agar. Selain itu, jenis dan konsentrasi senyawa antibakteri yang berbeda juga
ekstrak yang lebih tinggi menjadikan ekstrak lebih pekat sehingga ekstrak
inokulum. Hal ini karena konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi dapat
53
hambatan terbesar dicapai pada konsentrasi 30% yaitu sebesar 1,75 mm,
sedangkan konsentrasi 40-80% memiliki zona hambat yang lebih rendah yaitu
berkisar antara 0,75-1 mm. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya faktor
yang berpengaruh terhadap besar zona hambat yang dihasilkan pada metode
difusi antara lain kecepatan difusi, jumlah organisme yang diinokulasi dan
membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah adanya
dapat dilihat pada tabel 9. Konsentrasi 4% (b/v) adalah MIC pada bakteri S.
Hal ini disebabkan komponen penyusun dinding sel pada S. flexneri lebih
tersusun atas dua lapisan membran sedangkan pada S. aureus dinding sel
hanya tersusun satu lapis membran. Selain itu lipid pada S. flexneri lebih
Hasil uji MIC tersebut sesuai dengan pernyataan Tian dkk., (2009)
yang menyatakan bahwa bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap senyawa
luar yang kompleks dan adanya kapsul pada Gram negatif membatasi akses
senyawa aktif ke dalam membran sel dan menjadikan bakteri Gram negatif
kebocoran sel bakteri. Uji kebocoran sel yang dilakukan berupa kebocoran
molekul asam nukleat dan protein. Kebocoran kedua molekul ini dapat dilihat
dipaparkan pada ekstrak 1x MIC, 2x MIC dan tanpa ekstrak sebagai kontrol
55
bahan-bahan yang diserap pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm.
nukleotida dan senyawa protein. Hal ini sesuai dengan pernyataan Naufalin
pada panjang gelombang 260 nm adalah RNA, DNA dan turunannya seperti
peningkatan komponen senyawa yang dilepaskan oleh sel bakteri. Hal ini
MIC.
dengan protein. Hal ini diduga terjadi karena adanya senyawa-senyawa lain