Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

HIV AIDS

Disusun oleh : Kelompok 4

Yheni Fatkhurohmah : 1804015278


Athirah Arrahiim Arsyad S : 1804019036
Anugrah Ilham S : 1804015309
Winda Rahmadini : 2004019006

Dosen Pengampu Praktikum: Apt. Maifitrianti, M.Farm


Tanggal diskusi kelompok : 1 November 2021
Tanggal presentasi diskusi : 1 November 2021

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
JAKARTA
2021
BAB 1
KASUS
Skenario:
Anda sebagai apoteker di Rumah Sakit sedang melakukan skrining resep pada pas
ien HIV untuk 30 hari dengan resep berikut:
Rumah Sakit UHAMKA
Jalan Delima No 1 Jakarta Timur
Dokter : dr. Gartan, SpJP
SIP: 1234567892017
Tanggal: 29 Oktober 2021
R/ Zidovudine 300 mg (AZT) No. XXX
S 1 dd1 tab
R/ Lamivudine 150 mg (3TC) No. LX
S 2 dd1 tab
R/ LPV/r 100mg/25 mg No. LX
S 2 dd2 tab
R/ Efavirenz 600 mg (EFV) No. XXX
S 1 dd1 tab

Pro: An. Aljoko


Usia: 14 tahun

Identitas Pasien
Nama : An. Aljoko
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 14 tahun
BB/TB : 45 kg/160 cm
Alamat : Jalan Kemayoran, Jakarta Pusat

Riwayat Penyakit
Keluhan saat ini: sakit kepala dan demam.
Diagnosa: HIV
Riwayat penyakit dahulu /lainnya / kondisi khusus: kandidiasis dan TB
Riwayat penyakit keluarga: HIV
Riwayat lingkungan, sosial dan gaya hidup: -
Riwayat pengobatan: pasien patuh minum obat ABC + 3TC + LPV/r (selama 12
bulan)
Riwayat alergi obat: tidak ada
Informasilain terkait pengobatan: pemeriksaan viral load tanggal 6 Maret 2021
dengan hasil 1300 kopi/ mL

Laporan Hasil Pemeriksaan


Nama: An. Aljoko
Usia: 14 tahun
Berat badan: 45 kg
Tinggi Badan: 160 cm
Alamat: Jalan Kemayoran, Jakarta Pusat
Tanggal Pemeriksaan: 29 Oktober 2021
Hasil Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Tanda Vital
Tekanan darah 120/80 mmg/dL <140/80 mg/dL
Suhu 38oC 36 - 37 oC
Darah
Leukosit 9 x 103/mm3 4-10 x 103/ mm3
Hb 11,0 g/dL 11,0 - 16,0 g/dL
CD4 80 sel/ µL >350 sel/ µL
Viral load 1500 kopi/ mL < 1000 kopi/ mL
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan teori
1. Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang sist


em imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaa
nnya seperti makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndro
me) merupakan suatu kondisi immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbaga
i infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologic tertentu a
kibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014). HIV (Human Immunodeficiency Virus)
adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri atas untai tunggal RNA virus yang mas
uk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika men
ginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu pen
yakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi im
munodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 1
0 tahun setelah diagnosis (Corwin, 2009). AIDS (Acquired Immunodeficiency Sy
ndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh
individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).

2. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring p
ertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ aka
n terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis
pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala
infeksi akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tengg
orokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan peri
ode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel li
mfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS aki
bat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain
dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasa
n (Kapita Selekta, 2014). Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel i
mun) adalah sel – sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan t
erkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya ju
mlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara progresif diikuti
berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong
(Susanto & Made Ari, 2013). Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200
– 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar
ini, gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto &
Made Ari, 2013).

3. Faktor resiko
Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut:
a. Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian.
b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang untuk
kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks.
c. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki.
d. Narapidana.
e. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi.
f. Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti ke
kerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi
HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli
seks (Ernawati, 2016).

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria


maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah
a. Lelaki homoseksual atau biseks
b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
c. Orang yang ketagihan obat intravena
d. Partner seks dari penderita AIDS e. Penerima darah atau produk
(transfusi)

4. Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya tinggi yaitu se
besar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infe
ksi.
b. Western blot Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya c
ukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini digunakan untuk:
1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat
menghambat pemeriksaan secara serologis.
2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko
tinggi.
3) Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.
4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah
untuk HIV-2 (Widoyono, 2014).

5. Klasifikasi

a. Fase 1 Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar
dan terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan te
s darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/m
engalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendir
i).

b. Fase 2 Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini
individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat
menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan,
seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

c. Fase 3 Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS.
Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu
malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak
sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat
badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai
berkurang.

d. Fase 4 Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit
tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru
yang menyebabkan radang paru – paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya
sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare
parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan
mental dan sakit kepala (Hasdianah & Dewi, 2014).

6. Obat
Pada orang yang terinfeksi HIV, sistem kekebalan tubuh akan melemah sehingga
sulit melindungi dari berbagai penyakit infeksi. Bagi kebanyakan orang, minum o
bat ARV sangat efektif untuk mengendalikan gejala HIV.
Obat ini diharapkan dapat mengendalikan infeksi virus sehingga pasien ODHA bi
sa hidup sehat sekaligus mengurangi risiko penularan kepada orang lain.
Obat antiretroviral (ARV) bekerja dengan cara mengurangi jumlah viral load HIV
sampai ke kadar yang sangat rendah, bahkan mungkin virus tidak lagi terdeteksi d
alam tes viral load untuk HIV.
Dengan begitu, infeksi virus HIV tidak dapat menyebabkan gangguan pada sistem
imun. Viral load HIV adalah perbandingan jumlah partikel virus HIV per 1 mililit
er dalam darah.
Selain itu, menurut laman informasi HIV.gov, pengidap HIV/AIDS yang rutin mi
num obat ARV memiliki risiko sangat rendah untuk menularkan penyakit HIV sec
ara seksual pada pasangannya yang HIV-negatif.
Berikut adalah berbagai golongan obat antiretroviral yang biasanya digunakan dal
am pengobatan HIV:
1. Integrase strand transfer inhibitors (INSTIs)
Obat INSTIs adalah obat yang menghentikan aksi integrase. Integrase adalah enzi
m virus HIV yang digunakan untuk menginfeksi sel T dengan memasukkan DNA
HIV ke dalam DNA manusia.
Obat integrase inhibitor biasanya diberikan pertama kali sejak seseorang didiagno
sis tertular HIV.
Obat ini diberikan karena diyakini cukup ampuh untuk mencegah jumlah virus ber
tambah banyak dengan risiko efek samping yang sedikit.
Berikut ini adalah jenis-jenis integrase inhibitor:
- Bictegravir (tidak ada obat tunggalnya, tapi tersedia dalam kombinasi obat)
- Dolutegravir
- Elvitegravir (tidak tersedia sebagai obat yang berdiri sendiri, tetapi tersedia dala
m kombinasi obat Genvoya dan Stribild)
- Raltegravir

2. Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)


NRTI adalah salah satu golongan obat antiretroviral yang digunakan dalam pengo
batan HIV dan AIDS.
Obat antiretroviral ini bertugas mengganggu kemampuan virus untuk memperban
yak diri di dalam tubuh.
Lebih spesifiknya, NRTI bekerja dengan cara menghalangi enzim HIV untuk bere
plikasi. Biasanya, virus HIV akan memasuki sel-sel sistem kekebalan tubuh. Sel-s
el ini disebut sel CD4 atau sel T.
Setelah virus HIV memasuki sel CD4, virus mulai menggandakan atau memperba
nyak diri. Normalnya, sel sehat akan mengubah materi genetik dari DNA ke RNA.
Namun, virus HIV yang masuk ke dalam tubuh akan mengubah materi genetik me
njadi kebalikannya, yakni dari RNA menjadi DNA. Proses ini disebut transkripsi t
erbalik dan membutuhkan enzim yang disebut reverse transcriptase.
Cara kerja obat NRTI yaitu dengan mencegah enzim reverse transcriptase virus m
enyalin RNA menjadi DNA. Tanpa adanya DNA, HIV dan AIDS tidak dapat me
mperbanyak diri.
Obat NRTI untuk HIV dan AIDS biasanya terdiri dari 2-3 kombinasi obat berikut:
- Abacavir, lamivudine, dan zidovudine
- Abacavir dan lamivudine
- Emtricitabine dan tenofovir alafenamide fumarate
- Emtricitabin dan tenofovir disoproxil fumarate
- Lamivudine dan tenofovir disoproxil fumarate
- Lamivudine dan zidovudine

3. Cytochrome P4503A (CYP3A) inhibitors


Cytochrome P4503A adalah enzim dalam organ hati yang membantu beberapa fu
ngsi tubuh. Enzim ini dapat memecah atau obat-obatan yang masuk ke dalam tubu
h.
Cara pengobatan dengan CYP3A yakni meningkatkan fungsi kadar obat HIV serta
obat non-HIV lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Alhasil, efek pengobatan pun l
ebih manjur untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien.
Berikut adalah beberapa contoh obat ARV dari jenis CYP3A:
- Cobicistat (Tybost)
- Ritonavir (Norvir)
Obat cobicistat yang diminum tunggal atau tanpa campuran obat lain tidak mamp
u bekerja sebagai anti-HIV yang maksimal. Maka dari itu, ia selalu dipasangkan d
engan obat ARV lain, misalnya dengan obat ritonavir.
Obat ritonavir pada dasarnya dapat bekerja sebagai antiretroviral bila digunakan s
endiri.
Namun, ketika diminum sendiri, kedua obat tersebut harus digunakan dalam dosis
yang cukup tinggi. Itu sebabnya, keduanya sering digabung agar pengobatan HIV
dan AIDS lebih optimal.
4. Protease inhibitor (PI)
Protease inhibitor adalah salah satu obat HIV dan AIDS yang bekerja dengan cara
mengikat enzim protease.
Untuk bisa menyalin virus di dalam tubuh, HIV membutuhkan enzim protease. Ja
di, ketika protease diikat oleh obat protease inhibitor, virus HIV tidak akan bisa m
embuat salinan virus baru.
Hal ini berguna untuk mengurangi jumlah virus HIV yang bisa menginfeksi lebih
banyak sel sehat.
Obat-obatan PI yang digunakan untuk mengobati HIV dan AIDS antara lain sebag
ai berikut:
- Atazanavir
- Darunavir
- Fosamprenavir
- Lopinavir (tidak tersedia sebagai obat yang berdiri sendiri, tetapi tersedia dengan
ritonavir dalam kombinasi obat Kaletra)
- Ritonavir
- Tipranavir
Protease inhibitor hampir selalu digunakan bersamaan dengan cobicistat atau riton
avir yang termasuk golongan obat CYP3A.
Sebetulnya obat PI dapat diberikan sebagai obat tunggal, tetapi dokter selalu mere
sepkan dengan memberikan obat antiretroviral lainnya agar lebih ampuh.

7. Algoritma Terapi
G
a
m
ba
r
1.
Al
go
rit
m
a
T
er
ap
i

B
A
B
3
H
A
SIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL

No RM :-

Nama Pasien : An. Aljoko

Tgl Lahir/Umur : 14 tahun


Rumah Sakit UHAMKA
Jl. Delima 1 No 1, Jakarta Timur Jenis kelamin :L
Telphone: (021) 0890909090

CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI


KLINIK : SEHAT WARAS
Tanggal Profesional Hasil Asesman Pasien dan Instruksi PPA Review d
/ Jam Pemberi As Pemberian Pelayanan an verifi
uhan (PPA) kasi DPJ
P
S= TERAPI FARMAKOLOGI
1/ 11/ 21 Yheni sakit kepala, demam, kandid
11.21 iasis , TB, HIV, pasien patu 1. Zidovudin harusnya 500-6
h minum obat ABC + 3TC 00 mg/hari dibagi dalam
+ LPV/r (selama 12 bulan) 2-3 dosis
( Pionas.com)
O= 2. Lopinavir sebaiknya tidak
Tekanan darah = normal diberi (Tatalaksana HIV,
Suhu = sedikit demam 2019)
Leukosit = Normal 3. Tambahkan paracetamol j
Hb = Normal ika diperlukan
CD4 = tidak normal 4. Diberikan terapi anti retro
( dibawah) , karena sel HIV viral
menyerang CD4 sehingga m 5. Pakai nistatin susp untuk
elemahkan pertahanan host. kandidiasis
Viral load = tidak normal (d 6. Kembali ke dokter untuk
iatas ), karena jumlah virus t meminta terapi TBC
idak terkendali
(Pedoman Interpretasi Data
Klinik, 2011)

A=
Improper drug selection
1. LPV/r sebaiknya tidak d TERAPI NON FARMAKO
iberikan karena sesuai p LOGI
anduan lini kedua HIV
( Pedoman tatalaksana A. Pemberian nutrisi
HIV, 2019) Disaat adanya infeksi penyert
Subtherapeutic dosage a lainnya maka kebutuhan giz
1. Zidovudin frekuensi seb i tentunya akan meningkat. Ji
aiknya di tingkatkan aga ka peningkatan kebutuhan giz
r mencapai efek therape i tdak di imbangi dengan kons
utic (PIONAS) umsi makanan yang di tamba
Drug interaction = hkan atau gizi yang ditambah
1. Efavirenz dan Lopinav maka kekurangan gizi akan te
ir ( Mayor) rus memburuk
Mengurangi kadar lopin
afir dalam darah sehingg Yang harus dilakukan adalah
a mengurangi keefektivi mengatasi kekurangan gizi ini
tasan pengobatan HIV : 1) Mengkonsumsi makanan
2. Zidovudin dan Efavire dengan kepadatan gizi yang le
nz (Moderate ) bih tinggi dari makan biasany
Menyebabkan gangguan a. 2) Minuman yang di konsu
fungsi hati msi upayakan adalah mi num
3. Lamivudin dan efavire an yang berenergi
nz ( Moderate)
Menyebabkan hepatotok B. Aktivitas dan Olahraga 24
sik Olahraga yang dilakukan seca
4. Zidovudine dan Lopin ra teratur sangat membantu ef
avir (minor) eknya juga menyehatkan.Ola
Mengurangi konsentrasi hraga secara teratur menghasi
AUC zidovudine lkan perubahan pada jaringan,
(Drugs.com) sel, dan protein pada system i
mun.
Tepat Dosis = belum tepat d
osis dimana
P=
1. Viral load rutin pada bul
an 6 dan 12 .
2. CD4 direkomendasikan
6 bulan setelah pengobat
an

B. Pembahasan
Pada praktikum kali ini pasien bernama Aljoko berusia 14 tahun, berat
badan 45 kg dengan tinggi badan 160 cm dan berjenis kelamin laki-laki. Pasien
dating ke dokter dengan keluhan sakit kepala dan demam, diketahui pasien di
diagnose HIV dan riwayat keluarga juga menderita HIV, Riwayat penyakit pasien
adalah kandidiasis dan TB. Dimana pasien memiliki riwayat patuh minum obat
ABC + 3TC + LPV/r (selama 12 bulan) dan melakukan pemeriksaan viral load
tanggal 6 Maret 2021 dengan hasil 1300 kopi/ mL.
Maka dari itu dokter menyarankan untuk dilakukan tes tanda vital dengan
hasil tekanan darah normal karena hasilnya 120/80 mmg/dL sementara dalam
literatur tekanan yang normal adalah <140/80 mg/dL. Pemeriksaan suhu badan
menunjukkan pasien mengalami sedikit demam karena hasil pemeriksaan
menunjukkan suhu badan 38°C sementara suhu normal badan manusia adalah 36 -
37°C hal ini dapat disebabkan karena adanya infeksi dalam tubuh akibat HIV
dimana kekebalan tubuh menjadi menurun. Pemeriksaan selanjutnya adalah
leukosit dimana hasilnya normal, yaitu 9 x 103/mm3 dimana range normal dalam
literatur adalah 4-10 x 103/ mm3 . Fungsi utama dari leukosit adalah melawan
infeksi, melindungi tubuh dengan memfagositosit organisme asing dan
memproduksi atau mendistribusikan antibodi. Untuk pemeriksaan Hb hasilnya
normal, yaitu 11,0 g/dL dimana sesuai literatur normalnya adalah 11,0 - 16,0
g/dL. Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi
oksigen dan karbon dioksida. Selanjutnya untuk pemeriksaan CD4 hasilnya
menunjukkan dibawah nilai normal, yaitu 80 sel/ µL sementara menurut literatur
normalnya adalah >350 sel/ µL hal ini dikarenakan sel HIV menyerang CD4
sehingga melemahkan pertahanan host. Pasien dengan jumlah CD4 kurang dari
200 beresiko tinggi terkena infeksi. Tes CD4 berfungsi untuk memantau
efektivitas terapi dan pengaturan rejimen ARV. Apabila hasil CD4 dibawah 30
sel/mm3 maka harus dilakukan penggantian terapi ARV. Dan yang terakhir adalah
tes viral load dimana hasilnya diatas normal, yaitu 1500 kopi/ mL padahal dalam
literatur normalnya adalah < 1000 kopi/ mL. Hal ini dapat disebabkan karena
jumlah virus tidak terkendali yang artinya terapi ARV belum maksimal. Selain
untuk pemantauan terapi tes viral load juga dapat digunakan untuk prognosis
dimana dapat membantu mengetahui berapa lama kita akan tetap sehat yang
ditandai dengan hasil semakin tinggi viral load maka semakin cepat HIV
berkembang dan dugunakan sebagai bentuk pencegahan dimana semakin tinggi
viral load maka semakin mudah menularkan HIV (Pedoman Interpretasi Data
Klinik, 2011).
Dari hasil tes tanda vital tersebut dapat diketahui bahwa terapi lini pertama
pasien, yaitu ABC + 3TC + LPV/r (selama 12 bulan) belum berhasil dikarenakan
pemeriksaan viral load sebelumnya masih tinggi, yaitu 1300 kopi/ mL dan
dibuktikan kembali dengan tes viral load terbaru dengan hasil yang lebih tinggi,
yaitu 1500 kopi/ mL. Maka dari itu dokter memberi resep berdasarkan panduan
HIV lini kedua dimana obatnya berupa, Zidovudine 300 sebanyak 1 kali sehari 1
tab, Lamivudine 150 mg 2 kali sehari 1 tab, LPV 100mg/25 mg 2 kali sehari 2
tab, dan Efavirenz 600 mg 1 kali sehari 1 tab. Dalam resep tersebut terdapat
beberapa hal yang belum tepat dimana ditemukan DRPs yaitu peristiwa atau
keadaan yang melibatkan terapi obat yang benar-benar atau berpotensi
mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan. Yang pertama yaitu adanya
improper drug selection, yaitu pasien menerima obat namun jenis obatnya belum
tepat dimana LPV sebaiknya tidak diberikan karena sesuai panduan lini kedua
HIV hanya 3 obat yaitu Zidovudin, Lamivudin, dan Efavirenz (Tata Laksana
HIV,2019). Kedua adalah subtherapeutic dosage, yaitu pemilihan obatnya sudah
tepat tetapi dosis pemberiannya terlalu kecil. Dimana harusnya Zidovudin
frekuensi sebaiknya di tingkatkan agar mencapai efek therapeutic harusnya 500-
600 mg/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Yang terakhir adalah drug interaction, yaitu
adanya interaksi dalam obat yang diresepkan dimana Efavirenz dan Lopinavir
( Mayor) dapat mengurangi kadar Lopinafir dalam darah sehingga mengurangi
keefektivitasan pengobatan HIV, Zidovudin dan Efavirenz (Moderate ) dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati, Lamivudin dan Efavirenz (Moderate) dapat
menyebabkan hepatotoksik, dan Zidovudine dan Lopinavir (minor) dapat
mengurangi konsentrasi AUC zidovudine.
Mekanisme masing- masing obat Zidovudin, Lamivudin, LPV, dan
Efavirenz.
Efavirenz termasuk dalam ARV kelas NNRTI. Baik RTI nukleosida dan non-
nukleosida menghambat enzim yang sama, enzim transkriptase balik, enzim virus
yang mentranskripsi RNA virus menjadi DNA.[1] Efavirenz tidak efektif terhadap
HIV-2, karena kantung transkriptase balik HIV-2 memiliki struktur yang berbeda
dibandingkan HIV-1, sehingga resisten terhadap ARV kelas NNRTI.[20] Karena
NNRTI bekerja pada lokasi yang sama, virus yang resisten terhadap efavirenz
biasanya juga resisten terhadap NNRTI lain
seperti nevirapin dan delavirdin . Mutasi yang paling umum diterjadi setelah
pengobatan efavirenz adalah pada K103N yang juga diamati setelah pengobatan
dengan NNRTI lainnya.[14] inhibitor transkriptase balik nukleosida (NRTI), PI,
dan efavirenz memiliki target yang berbeda, sehingga tidak akan terjadi resistensi
silang.

- Zidovudin AZT merupakan analog timidin. AZT bekerja dengan menghambat


enzim transkriptase balik dari HIV secara selektif, Enzim ini digunakan virus
untuk membuat salinan DNA dari RNAnya. Transkripsi balik diperlukan untuk
produksi DNA untai ganda dari HIV, yang kemudian terintegrasi ke dalam materi
genetik dari sel yang terinfeksi (hal ini disebut provirus).

- Lamivudin Lamivudin merupakan analog dari sitidin. Obat ini dapat


menghambat kedua jenis (1 dan 2) dari transkriptase balik HIV dan juga
transkriptase balik dari virus hepatitis B. Lamivudin harus difosforilasi terlebih
dahulu menjadi metabolit aktif agar dapat berkompetisi dengan nukleosida lainnya
untuk masuk ke dalam DNA virus. Obat ini menghambat enzim transkriptase
balik HIV secara kompetitif dan bekerja sebagai sebuah rantai penghenti dari
sintesis DNA. Kurangnya gugus 3'-OH dalam analog nukleosida tersebut
mencegah pembentukan ikatan fosfodiester dari 5' ke 3' yang penting untuk
elongasi rantai DNA, sehingga pertumbuhan DNA virus dapat berhenti.
Lamivudin diberikan secara peroral, dan dengan cepat diabsorbsi dengan
bioavailabilitas lebih dari 80%.
- Lopinavir Lopinavir memiliki ikatan hidroksietilen dalam molekulnya, yang
menjadikan obat ini suatu substrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh protease
HIV-1. Protease sendiri merupakan enzim yang digunakan pada proses
pembentukan protein inti pada virus, yang merupakan proses penting dalam
produksi partikel virus yang infeksius.

Terapi yang dapat dijadikan masukan dari apoteker berupa dosis


Zidovudin seharusnya 500-600 mg/hari yang dapat dibagi dalam 2-3 dosis,
Lopinavir sebaiknya tidak diberi karena mengacu pada tata laksana HIV cukup 3
obat saja yaitu, Zidovudin, Lamivudin dan Efavirenz, tambahkan paracetamol
karena suhu pasien lebih tinggi dari normal sehingga jika pasien membutuhkan
obat dapat diminum (prn), berikan nistatin suspensi untuk obat kandidiasis.
Infeksi jamur biasanya pada kulit atau selaput lendir yang disebabkan oleh
candida. Hal ini mungkin terjadi karena pengidap HIV sangat mudah terpapar
bakteri atau virus karena kekebalan tubuhnya yang rendah, yang terakhir adalah
menyarankan pasien untuk kembali ke dokter untuk menanyakan atau konsultasi
mengenai terapi TBC.

Terapi Farmakologi
a. Inhibitor Transkriptase Balik Nukleosida

1) Zidovudin
Dosis :
- Dewasa : oral, 300 mg, dua kali sehari atau 200 mg, 3 kali sehari
i.v, 1-2 mg/kg/dose (infuse selama 1 jam),diberikan tiap 4 jam (6 kali sehari)
- Anak-anak (3 bulan-12 th) : oral, 160 mg/m2 tiap 8 jam
i.v, infuse continue,20 mg/m2/jam
Efek samping : anoreksia, lemah, rasa lelah, lesu, sakit kepala, nyeri otot, mual,
dan insomnia.
Perhatian dan IO : Zidovudin dapat menyebabkan penekanan sumsum tulang,
seperti pd obat gansiklovir, interferon alfa,dapson, flusitosin, vinkristin atau
vinblastin. Obat ini harus hati-hati digunakan pada pasien dengan
granulositopenia.

2) Didanosin
Indikasi : Pengobatan pada orang dewasa dan anak-anak yang terinfeksi HIV,
dalam kombinasi dengan obat-obat antiretrovirus lain.
Dosis :
Anak-anak > 8 bulan : 120 mg/m2 dua kali sehari.
Dewasa : berdasarkan berat badan pasien
<>60 kg : oral, 250 mg, 1 kali sehari
Efek samping : diare, neuropati perifer dan pancreatitis.
IO dan perhatian : penggunaan harus hati-hati pada pasien dengan riwayat
pancreatitis dan neuropati perifer. Penggunaan bersama obat-obat yang
menyebabakan pancreatitis ( misal: etambutol, pentamidin) atau neuropati (misal:
etambutol, vinkristin,isoniazid) harus dihindari.

3) Stavudin
Indikasi : merupakan obat yang diijinkan oleh FDA untuk pengobatan pasien yang
terinfeksi HIV, dalam kombinasi dengan obat-obat antiretrovirus lain.
Dosis:
- Bayi baru lahir: 0,5 mg/kg tiap 12 jam.
- Anak-anak:
>14 hari dan <30 kg: 1mg/kg tiap 12 jam ≥30 kg: sama dengan dosis untuk
dewasa - Dewasa: ≤60 kg: 30 mg tiap 12 jam ≥60 kg: 40 mg tiap 12 jam
Efek samping: neuropati perifer terkait dosis. Neuropati ini menyebabkan mati
rasa, kesemutan, dan nyeri pada kaki yang biasanya akan hilang setelah dosis
dihentikan.
Perhatian dan IO: obat-obat yang menyebabkan neuropati (misalnya
etambutol,isoniazid,fenitoin) harus digunakan secara hati-hati pada pasien yang
menerima terapi Stavudin. Regimen yg mengandung stavudin,didanosin, dan/atau
hidroksiurea dapat meningkatkan resiko neuropati perifer. Zidovudin dan stavudin
tidak boleh digunakan secara bersamaan.

4) Lamivudin
Indikasi: Lamivudin diizinkan oleh FDA untuk pengobatan infeksi HIV pada
anak-anak dan dewasa dalam kombinasi dengan antiretrovirus lain. Dosis: - Anak-
anak 3 bln-16 tahun: 4 mg/kg, 1 kali sehari. Max dose: 150 mg, 2 kali sehari -
Anak-anak 2-17 tahun: 3 mg/kg, 1 kali sehari. Max dose: 100mg/hari - Dewasa:
150 mg, 2 kali sehari atau 300 mg,1 kali sehari.
Efak samping: sakit kepala, mual, dan pancreatitis dilaporkan pada geriatri.
Perhatian dan IO: Lamivudin dan Zalsitabin saling bersifat antagonis dan tidak
boleh digunakan secara bersamaan.

5) Abakavir
Dosis: - Anak-anak: 8mg/kg, 2 kali sehari. Max dose: 300 mg, 2 kali sehari, dalam
kombinasi dengan antiretrovirus lain. - Dewasa: 300mg,2 kali sehari atau 600
mg,1 kali sehari dalam kombinasi dengan antiretrovirus lain.
Efek samping: sindrom gastrointestinal, keluhan neurologis, dan suatu sindrom
hipersensitivitas yang khas, mual, muntah, dan nyeri abdomen.
Perhatian dan IO: Etanol dapat meningkatkan kadar Abakavir dalam plasma
sebesar 41%, selain itu pasien sebelum memulai terapi dengan obat ini harus
diberikan informasi terkait reaksi hipersensitivitas.

b. Inhibitor Transkriptase Balik Non Nukleosida

1) Nevirapin
Indikasi: sebagai antiretrovirus yang diizinkan oleh FDA dalam kombinasi dengan
antiretroviral lain. Pemberian Nevirapin intrapartum oral tunggal yang diikuti
dengan dosis tunggal pada bayi baru lahir jauh lebih baik dalam mencegah
penularan vertical HIV disbanding terapi Zidovudin. Dosis: - Anak 2bulan - <8 th:
4mg/kg/dose,1 kali sehari selama 14 hari. Dosis dapat ditingkatkan 7 mg/kg/dose
setiap 12 jam. Dosis max: 200mg, setiap 12 jam. - Anak ≥8 th: 4 mg/kg/dose
intitial, 1 kali sehari selama 14 hari. dapat ditingkatkan 4mg/kg/dose setiap 12
jam. Dosis max: 200mg/kg/dose,setiap 12 jam. - Dewasa: 200mg, 1 kali sehari
selama 14 hari; dosis pemeliharaan:200mg 2 kali sehari dalam kombinasi
denganantiretrovius lain.
Efak samping: ruam, demam, rasa lelah, sakit kepala, mengantuk, mual, dan
menigkatnya enzi-enzim hati. Perhatian dan IO: nevirapin menginduksi CYP3A4
sehingga pemberian bersamaan senyawa yang dimetabolisme oleh system ini
dapat menurunkan kadar obat dalam plasma. Kombinasi Rifampin dan
Ketokonazol pada pasien yang menerima nevirapin dikontraindikasikan.

. 2) Evavirenz
Indikasi: sebagai antiretroviral yang diizinkan oleh FDA dalam kombinasi dengan
antiretroviral lain, merupakan antiretroviral pertama yang diizinkan untuk
pemberian 1 kali sehari.
Dosis:
- Anak ≥3 th: disesuaikan dengan berat badan 10 – 15 kg: 200 mg, 1 kali sehari;
15 – 20 kg: 250 mg, 1 kali sehari; 20 – 25 kg: 300 mg, 1 kali sehari; 25 – 32,5kg:
350 mg, 1 kali sehari; 32,5-40kg: 400mg, 1 kali sehari; >40 kg: 600 mg,1 kali
sehari.
- Dewasa: 600 mg, 1 kali sehari.
Efek samping: sakit kepala, pening, mimpi yang tidak biasa, gangguan
konsentrasi, dan ruam.
Perhatian dan IO: Efavirenz dapat menurunkan kadar fenobarbital, fenitoin,
karbamazepin, dan metadon dengan menginduksi CYP 450.

3) Delavirdin
Indikasi: sebagai antiretroviral untuk dewasa yang diizinkan oleh FDA, kombinasi
3 obat dengan regiment ini terbukti dapat meningkatkan efikasi obat.
Dosis:
- Umur ≥16 th dan dewasa: oral, 400 mg, 3 kali sehari.
Efek samping: ruam yang terjadi pada minggu pertama penggunaan obat dan akan
menghilang meski terapi dilanjutkan, ruam dapat berupa macula, papula, eritema,
dan pruritis.

c. Inhibitor Protease

1) Sakunavir
Indikasi: sebagai antiretroviral pertama yang diizinkan oleh FDA untuk terapi
infeksi HIV, sakunavir lazim dikombinasi dengan ritonavir karena interaksi
farmakokinetiknya yang menguntungkan.
Dosis:
- Dewasa: oral, 1200 mg, tiap 8 jam.
Efek samping: gangguan GI termasuk mual, muntah, diare, dan gangguan
abdomen.
Perhatian dan IO: tidak boleh digunakan bersamaan turunan ergot, sisaprid,
triazolam atau midzolam. Sakunavir merupakan inhibitor CYP3A4 lemah tapi
dapat menyebabkab aritmia jantung atau sedasi yang lama.

2) Indinavir
Indikasi: sebagai antiretroviral yang diizinkan oleh FDA untuk anak-anak dan
dewasa, dalam dikombinasi dengan zidovudin dan lamivudin dapat
menuingkatkan ketahanan hidup pasien HIV.
Dosis:
- Anak 4-15 th: 500mg/m2,setiap 8 jam
- Dewasa:
Oral: Ritonavir 100-200mg, 2 kali sehari + Indinavir,800mg, 2 kali sehari.
Ritonavir 400 mg, 2 kali sehari + Indinavir, 400 mg, 2 kali sehari
Efek samping: kristaluria, endapan indinavir dan metabolitnya dapat
menyebabkan kolik ginjal.
Perhatian dan IO: pasien yang menerima indinavir harus minum paling sedikit 72
ons cairan setiap hari.

3) Ritonavir
Indikasi: merupakan antiretroviral yang diizinkan FDA untuk pasien anak dan
dewasa. Pada pasien yang terinfeksi HIV-1 yang rentan dan pasien dengan
penyakit tahap lanjut.
Dosis:
- Anak >1 bulan: 350-400mg/m2, 2 kali sehari (dosis maksimum 600 mg). Dosis
intitial: 250mg/m2,2 kali sehari selama 2 hari atau 500 mg/m2,1 kali sehari.
- Dewasa: 600mg, 2 kali sehari.
Efek samping: gangguan GI seperti mual,muntah,nyeri abdomen,dan perubahan
rasa. Parestesia perifer dan perioral juga umum terjadi.
Perhatiaan dan IO: untuk meminimalkan intoleransi pada dewasa dan remaja
maka dosis awal diberikan 300 mg tiap 12 jam dan secara bertahap dapat
ditingkatkan sampai 600mg tiap 12 jam.

4) Nelfinavir
Indikasi: sebagai antiretroviral pada dewasa dan anak yang diizinkan oleh FDA
terutama pada infeksi HIV-1, pada pasien yang belum pernah mendapat inhibitor
protease HIV dan lamivudin.
Dosis:
- Anak 2-13 th: 45-55 mg/kg, 2 kali sehari atau 25-35mg/kg,3 kali sehari,
diberikan bersama dengan makanan.
- Dewasa: 750 mg, 3 kali sehari dan diberikan bersama dengan makanan.
Efek samping: diare (paling sering terjadi), diabetes, intoleransi glukosa,
peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol.
Perhatian dan IO: karena obat ini dimetabolisme oleh CYP3A4 maka pemberian
bersama obat yang dapat menginduksi CYP3A4 ,misal:rifampin
dikontraindikasikan.

5) Amprenavir
Indikasi: sebagai antiretroviral dalam kombinasi dengan antiretroviral lain untuk
anak dan dewasa yang diizinkan oleh FDA.
Dosis:
- Anak 4-12 th atau 13-16 th (< 50 kg): 20mg/kg,2 kali sehari atau 15mmg/kg, 3
kali sehari. Dosis maksimum: 2400mg/kg. - Dewasa: 1200 mg/kg, 2 kali sehari.
Efek samping: mual, muntah, feses encer, hiperglikemia, rasa lelah, parestesia,
dan sakit kepala. Perhatian dan IO: dengan obat yang menginduksi CYP3A4 dan
obat yang dimetabolisme oleh CYP3A4.

6) Lopinavir
Indikasi: sebagai antiretroviral untuk anak dan dewasa yang diizinkan oleh FDA.
Dosis: - Anak 6 bulan-12 tahun : berdasarkan berat badan 7-15 kg: 12 mg/kg, 2
kali sehari; 15-40 kg: 10 mg/kg, 2 kali sehari; > 40 kg: 800 mg/ritonavir 200 mg,
1 kali sehari.
- Dewasa: lopinavir 800 mg/ritonavir 200 mg, 1 kali sehari atau lopinavir 400 mg/
ritonavir 100 mg, 1 kali sehari.
Efak samping: gangguan GI, diare, dan mual.
Perhatian dan IO: tidak boleh diberikan bersama obat yang menginduksi
CYP3A4, seperti Rifampin.
Terapi Non Farmakologi
a. Pemberian nutrisi
Defisiensi gizi pada pasien positif HIV biasanya dihubungkan dengan adanya
peningkatan kebutuhan karena adanya infeksi penyerta/infeksi oportunistik.
Disaat adanya infeksi penyerta lainnya maka kebutuhan gizi tentunya akan
meningkat. Jika peningkatan kebutuhan gizi tdak di imbangi dengan konsumsi
makanan yang di tambahkan atau gizi yang ditambah maka kekurangan gizi akan
terus memburuk, akhirnya akan menghasilkan sebuah kondisi yang tidak
menguntungkan bagi dengan positif HIV. Yang harus dilakukan adalah mengatasi
kekurangan gizi ini :
1) Mengkonsumsi makanan dengan kepadatan gizi yang lebih tinggi dari makan
biasanya.
2) Minuman yang di konsumsi upayakan adalah mi numan yang berenergi
(Desmawati, 2013).
Selain mengkonsumsi jumlah nutrisi yang tinggi, penderita HIV/AIDS juga
harus mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan.Tujuan nutrisi agar tidak
terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
b. Aktivitas dan Olahraga
Olahraga yang dilakukan secara teratur sangat membantu efeknya juga
menyehatkan.Olahraga secara teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel,
dan protein pada system imun.

Tabel Drps dan Interaksi pada resep


Zidovudine – Zidovudin (PIO nas)

Komposisi Zidovudin
Indikasi pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal
dan HIV asimtomatik dengan tanda-tanda risiko
progresif, infeksi HIV asimtomatik dan simtomatik
pada anak dengan tanda-tanda imuno defisiensi
yang nyata; dapat dipertimbangkan untuk tansmisi
HIV maternofetal (mengobati wanita hamil dan
bayi baru lahir); terapi kombinasi antiretroviral
untuk penanganan infeksi HIV pada pasien dewasa
dan anak-anak di atas 12 tahun.
Dosis Pakai DEWASA dan REMAJA: dalam kombinasi dengan
antiretroviral lain 500-600 mg/hari terbagi dalam 2
atau 3 dosis. ANAK 3 BULAN-12 TAHUN: 360-
480 mg/m2 perhari terbagi dalam 3-4 dosis dalam
kombinasi dengan antiretroviral lain. Dosis
maksimum tidak boleh melebihi 200 mg tiap 6 jam.
ANAK <3 BULAN: data sangat terbatas untuk
menentukan rekomendasi dosis. Tidak tersedia data
pada usia lanjut, sehingga pemantauan sebelum dan
sesudah pengobatan dianjurkan.

Penyesuai dosis tidak diperlukan pada gangguan


ginjal. Pada gangguan fungsi hepar mungkin
diperlukan penyesuaian dosis. Pengurangan dosis
atau penghentian pengobatan diperlukan pada
pasien yang menunjukkan efek samping hematologi
dengan penurunan kadar hemoglobin menjadi 7.5–9
g/dL, atau hitung jenis neutrofil menurun menjadi
0,75-1,0x109/L.

Pencegahan transmisi HIV maternofetal: Kehamilan


lebih dari 14 minggu, oral, 100 mg 5 kali sehari
sampai saat persalinan, kemudian pada fase
persalinan dan setelah bayi lahir. Intravena, dimulai
dengan 2 mg/ kg bb selama 1 jam, kemudian 1
mg/kg bb sampai saat penjepitan tali pusat. Untuk
operasi sesar selektif, berikan 4 jam sebelum
operasi. NEONATUS, Mulai dalam 12 jam setelah
lahir: per oral 2 mg/kg bb tiap 6 jam sampai
berumur 6 minggu. Atau intravena selama 30 menit
dengan dosis1,5 mg/kg bb tiap 6 jam. Pasien yang
sewaktu-waktu tidak dapat minum obat per oral,
berikan injeksi intravena selama 1 jam dengan dosis
1-2 mg/kg bb tiap 4 jam, biasanya tidak lebih dari 2
minggu. Sediaan kombinasi zidovudin 300 mg dan
lamivudin 150 mg dapat diberikan dua kali sehari 1
tablet, dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.
DRPs
Tepat Dosis Zidovudin harusnya 500-600 mg/hari dibagi dalam
2-3 dosis
( Pionas.com)

Tepat Indikasi Tepat, dikarenakan dari gejala yang dirasakan pas


ien, menunjukan adanya indikasi HIV
Interaksi Obat Zidovudin dan Efavirenz
Menyebabkan gangguan fungsi hati

Lamivudine – Lamivudin (PIO nas)

Komposisi Lamivudin
Indikasi infeksi HIV progresif, dalam bentuk sediaan
kombinasi dengan obat-obat antiretroviral lainnya.
infeksi hepatitis B kronik dengan bukti adanya
replikasi virus hepatitis B.
Dosis Pakai 150 mg dua kali sehari (sebaiknya tidak bersama
makanan); dosis yang direkomendasikan untuk
hepatitis B kronik 100 mg sehari satu kali; ANAK
di bawah 12 tahun, keamanan dan khasiatnya belum
diketahui.
DRPs
Tepat Dosis Tepat, sesuai dengan dosis yang tertera pada
PIO nas
Tepat Indikasi Tepat, dikarenakan dari gejala yang dirasakan
pasien, menunjukan adanya indikasi HIV
Interaksi Obat Lamivudin dan efavirenz
Menyebabkan hepatotoksik
Efavirenz – Efavirenz (PIO nas)

Komposisi Efavirenz
Indikasi pengobatan infeksi HIV pada dewasa, remaja dan
anak, dalam bentuk kombinasi dengan obat
antiretroviral lainnya.
Dosis Pakai Dosis untuk dewasa yang direkomendasikan pada
kombinasi dengan inhibitor protease dan/atau
inhibitor nucleoside analogue reverse transcriptase
(NRTIs) adalah 600 mg, sekali sehari. Dosis untuk
remaja di bawah 17 tahun dengan berat >40 kg
adalah 600 mg. Dapat diminum dengan atau tanpa
makan. Tidak dianjurkan untuk anak-anak yang
beratnya kurang dari 40 kg.
DRPs
Tepat Dosis Tepat, sesuai dengan dosis yang tertera pada
PIO nas
Tepat Indikasi Tepat, dikarenakan dari gejala yang dirasakan
pasien, menunjukan adanya indikasi HIV
Interaksi Obat Efavirenz dan Zidovudin
Menyebabkan gangguan fungsi hati

Efavirenz dan Lamivudin


Menyebabkan hepatotoksik

Paracetamol- Pamol (ISO volume 52 Hal 31)


Komposisi Paracetamol
Indikasi Demam dan nyeri

Dosis Pakai Tab: diberikan sehari 3-4x; Dws 1-2 tab; anak 6-12
thn ½ - 1 tab; anak <6 thn ¼ - ½ tab. sirup:
diberikan sehari 1-3x; dws 1-2 sdm sirup; anak >12
thn 1 sdm sirup; 6-12 thn 2 sdt sirup; 3-6 thn 1-2
sdt; 1-3 thn ½ - 1 sdt; anak < 1 thn ½ sdt sirup.
DRPs
Tepat Dosis Tepat, sesuai dengan dosis yang tertera pada ISO
volume 52 Hal 31
Tepat Indikasi Tepat, dikarenakan dari gejala yang dirasakan
pasien, menunjukan adanya indikasi demam.
Interaksi Obat Tidak ada interaksi ( Medscape).

DAFTAR PUSTAKA

Anita. 2000. Penyebaran dan usaha pencegahan AIDS. Dalam R.H Nasution, C. A
nwar, D.P. Nasution: AIDS: Kita bisa kena kita bisa cegah. Medan: Penerbit
Monora. p.35-41
Indrawaty, Sri. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta : Kemenkes RI.
ISO volume 52 Hal 31
Kemenkes. 2019. Tata Laksana HIV. Jakerta : Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
52 Tahun 2017 tentang eliminasi penularan human immunodeficiency
virus, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2017
Pionas BAB HIV
Pionas Zidovudin
Pionas Lamivudin
Pionas Efavirenz
World Health Organization. HIV and adolescents: guidance for HIV testing and
counselling and care for adolescents living with HIV: recommendations
for a public health approach and considerations for policy-makers and
managers. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2013

LAMPIRAN

Gambar 2. Foto kegiatan diskusi

Anda mungkin juga menyukai