Anda di halaman 1dari 7

BAGIAN II

ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK


A. Pendahuluan
Dalam Bagian I telah dianalisis puisi berdasarkan lapis-lapis normanya. Meskipun
demikian, itu juga merupakan analisis struktur intrinsik puisi. Namun, dalam analisis
tersebut sengaja sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya secara terpisah. Tiap usnur
dibicarakan sendiri secara teoretis, yang maksudnya untuk meneliti setiap unsurnya
secara mendalam mengenai guna dan efek puitisnya. Akan tetapi, unsur-unsur
kepuitisan tersebut dibicarakan berdasarkan konteksnya juga, tidak sebagai hal yang
sama sekali terpisah dan berdiri sendiri. Analisis dalam bagian II ini merupakan lanjutan
analisis bagian I. Lapis-lapis norma puisi dalam bagian II ini dilihat hubungan
keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh, hal ini disebabkan norma-norma puisi
itu saling berhubungan erat, saling menentukan maknanya. Untuk memahami makna
secara keseluruhan, sajak perlu dianalisis secara struktural. Analisis struktural adalah
analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur sajak itu saling berhubungan secara
erat, saling menentukan artinya. Sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan
sendirinya terlepas dari usnur-unsur lainnya. Untuk mendapatkan makna sajak
sepenuhnya, di samping analisis secara struktural dan semiotic, maka analisis sajak tidak
dapat dipisahkan dari kerangka sejarah sastranya.
B. Analisis Struktural
Analisis Struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur sajak itu
saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya sebuah unsur tidak
mempunyai makna dengan sendirinya. Struktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu
merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi
hubungan yang timbal balik, saling menentukan.
C. Analisis Semiotik
Menganalisis sajak adalah berusaha menangkap dan meberi makna pada teks sajak.
Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu
sistem ketandaan yang mempunyai arti. Karena sastra adalah sistem tanda yang lebih
tinggi atas kedudukan dari Bahasa, maka disebut sistem semiotik. Menganalisis sajak
adalah usaha menangkap makna sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh Bahasa
yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvesinya. Dalam pengertian tanda
ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk
tanda, dan penanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda ada tiga jenis tanda yang pokok,
yaitu ikon, indeks, dan simbol.
D. Latar Belakang Sejarah dan Sosial Budaya Sastra
Menurut teori structural murni, karya sastra haruslah dianalisis struktur unsur
intrinsiknya saja. Unsur-unsurnya dilihat dari kaitannya dengan unsur lainnya yang
terjalin dalam struktur itu sendiri. Oleh karena itu, analisis structural murni memiliki
keberatan-keberatan yaitu diantaranya mengasingkan karya sastra dari kerangka
kesejarahannya dan latar belakang social budayanya. Di samping itu, untuk
mendapatkan makna sajak secara sepenuhnya, maka analisis sajak tidak dapat
dilepaskan dari kerangka sejarah sastranya. Seperti telah dikemukakan, sebuah karya
sastra tidak lahir dalam kekosongan sastra.

BAGIAN III

ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK SAJAK-SAJAK AMIR HAMZAH

Strukturalisme dapat paling tuntas dilaksanakan bila yang dianalisis adalah sajak yang
merupakan keseluruhan, yang unsur atau bagian-bagiannya saling erat berjalin (Hawkes,
1978: 18). Sajak merupakan kesatuan yang utuh dan bulat, maka perlu dipahami secara
utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah di sini
diberikan paraphrase setiap sajak sebelum dianalisis secara nyata lebih lanjut. Sajak-
sajak yang dianalisis secara khusus di sini. Padamu Jua, Barangkali, Hanya Satu, Tetapi
Aku, Sebab Dikau, Turun Kembali, Insyaf, dan Astana Rela.

A. Padamu Jua
Sajak ini merupakan monolog si aku kepada kekasihnya. Tuhan dalam sajak ini di
antropomorfkan, di wujudkan sebagai manusia, di ikhlaskan sebagai dara, sebagai
kekasih adalah salah satu cara untuk membuat pathos, yaitu menimbulkan simpati
dan empati kepada pembaca sehingga ia Bersatu mesra dengan objeknya (Budi
Darma, 1982: 112). Penggunaan citraan yang berhubungan erat dengan Bahasa
kiasan dalam sajak ini pergunakan untuk membuat gambaran segar dan hidup,
dipergunakan secara sepenuhnya untuk memperjelas dan memperkaya, seperti
dikemukakan oleh Coombes (1980, 43) yaitu citraan yang berhasil menolong kita
untuk merasakan apa yang dirasakan penyair terhadap objek atau situasi yang
dialami dengan tepat, hidup, dan ekonomis.
Cita gerak (kinaesthetik Image): Segala cintaku hilang terbang/ pulang Kembali aku
padamu/ seperti dahulu: gerak itu ditandai dengan bunyi konsonan 1 diperkuat
bunyi r, seolah tampak gerak burung terbang yang mengiaskan cinta yang hilang,
begitu pula tampak gerak si aku yang lunglai. Cita rabaan (tactile/thermal image) dan
penglihatan yang merangsang indera dipergunakan dalam: Aku manusia/Rindu
rasa/Rindu rupa (bait 4) untuk merangsang pendengaran digunakan citra
pendengaran (sound image) Suara sayup/ Hanya kata merangkai hati. Unsur-unsur
ketatabahasaan dipergunakan dalam sajak ini untuk ekspreivitas, membuat hidup,
dan liris karena kepadatan dan kesejajaran/keselarasan bunyi dan arti meski
menyimpang dari kaidah kata Bahasa formatif.
B. Barangkali
Secara semiotik yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvesi-
konvesi yang memungkinkan Bahasa sebagai tanda mempunyai arti (Preminger.
1974: 980), pilihan kata-katanya dalam sajak ini menandai suasana percintaan yang
romantic, sesuai dengan khayalan si aku tentang kekasihnya. Metafora dalam sajak
ini selain untuk membuat konkret tenggapan, juga dipergunakan untuk kesejajaran
bunyi yang membuat ritmis akasa swarga, nipis-tipis, di lengan lagu, selendang
dendang, mata-mutiara-mu, dara asmara, swara Swarna, pantai hati, gelombang
kenang. Dalam sajak ini sarana-sarana kepuitisan yang telah terurai di atas
dikombinasikan dengan fungsi bunyi, irama, dan ulangan-ulangan bunyi membuat
liris dan menambah intensitas kegembiraan.
C. Hanya Satu
Dalam sajak ini digambarkan betapa hebat kekuasaan Tuhan. Ia menurunkan hujan
lebat dan membangkitkan badai untuk menenggelamkan bumi serta merusak,
menghancurkan taman dunia yang indah. Sajak “Hanya Satu” terdiri daru dua bagian
yaitu bagian 1 adalah bait 1-4, bagian 2 bait 5-7. Bagian 1 dipergunakan untuk
menunjukkan badai, hujan, dan banjir besar yang menenggelamkan bumi, serta
menghancurkan umat manusia yang tidak percaya kepadanya-nya. Secara
ringkasnya olej penyair ditunjukkan pada bagian 1 bahwa manusia hanya dapat
mengetahui (mengenal) tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Karena itu, pada bagian 2
penyair mengemukakan kerinduannya dan hasratnya untuk dapat dekat dengan
Tuhan seperti Ketika Nabi Musa di puncak Bukit Tursina.
Dalam sajak ini, koherensi antara arti kata, suasana kegemuruhan, ketakutan,
kedasyatan itu tampak dalam bagian 1, ditunjukkan dengan kata-kata yang
mengandung arti kedasyatan yang berekuevalensi dengan bunyi berat vocal a dan u,
serta o, timbul, kaibumu, terbang hujan, ungkai badai, membelah gelap. Pada bagian
1 digambarkan kedasyatan yang menunjukkan tabda-tanda kebesaran Tuhan, maka
citraanpun sesuai dengan itu yaitu citra gerak, visual, dan auditif (pendengaran) [ada
bagian 2 karena yang dikemukakan bersifat pemikiran, maka citra-citra yang
dominan adalah citra-citra intelektual, yaitu hal-hal itu dapat dimengerti dengan
berfikir.
D. Tetapi Aku
Dalam sajak ini dikemukakan oleh si aku bahwa ia tiba-tiba sekejap ditemui Tuhan,
tetapi si aku tiada merasa, tiada sadar akan hal itu meskipun Mutiara-jiwa si aku
telah lama dicari-carinya. Sajak ini untuk membangkitkan perasaan dan tanggapan
dipergunakan kiasan-kiasan berupa metaforayang juga berupa citraan. Dalam bait
kedua, untuk kepadatan sinekdoki totum pro parte. Dalam sajak ini untuk pothos,
yaitu rasa untuk meleburkan diri dengan objeknya, dipergunakan citra-citra gadis
dara yang cantik bagai bidadari. Dalam sajak ini ekspresivitas dan inrensitas arti
dicapai selain dengan pilihan kata yang artinya sangat (menyangkatkan) juga dengan
unsur bunyinya yang selaras dengan pilihan kata tersebut.
E. Sebab Dikau
Dalam sajak ini dikemukakan bahwa meskipun hidup senang dengan kekasih
dunianya, namun sesungguhnya manusia itu tak ubahnya hanyalah boneka yang
dipermainkan oleh Tuhan sebagai dalangnya. Pada bait 1 dipergunakan metafora-
metafora implisit. Bait 2, 3, 4, dan 5 merupakan perbandingan epos (epit smile)
yaitu, perbandingan yang diteruskan secara Panjang lebar. Bait 5 menjadi pengeras
artinya, menjadi memperjelas sifat ironi, hal ini disebabkan juga oleh bunyi kakofoni,
bunyi yang jelek, yang parau pada baris ke 2, 3, 4 yaitu bunyi k berturut-turut.
F. Turun Kembali
Dalam sajak ini dikemukakan ide bahwa manusia itu tidak Bersatu dengan Tuhan.
Manusi aitu hamba, sedangkan tuhan itu penghulu, maharaja. Manusi aitu hidup di
bawah lindungan Tuhan. Manusi aitu dapat hidup senang berkat karunia Tuhan.
Dalam sajak ini penyair mempergunakan Bahasa-bahasa kiasan untuk
mengkonkretkan ide yang abstrak, di samping untuk membuat ucapannya hidup dan
menarik. Kiasan yang ada di dalam sajak ini pada umumnya berupa metafora, yang
perbandingannya sekaligus merupakan citraan.
G. Insyaf
Dalam sajak ini dikemukakan bahwa si aku mendapati jalan buntu karena
permintaan dan pertanyaan tidak dijawab oleh Tuhan. Dalam sajak ini penyair
mempergunakan kata-kata yang tidak biasa lagi dipergunakan pada waktu sekarang:
astana; istana, ripuk; pecah-pecah (remuk), hancur, dewala; dinding, tembok,
sempama; restu. Dalam sajak ini juga terdapat penyimpangan tata Bahasa normatif
untuk mendapatkan ekspresivitas dengan kepadatan, yaitu hanya intinya saja yang
diucapkan.
H. Astana Rela
Pokok pikiran sajak ini bahwa tiadalah mengapa si aku dengan kekasihnya tidak
berjumpa (hidup Bersama) di dunia sebab si aku yakin bahwa nanti mereka akan
berdua di surga. Dalam sajak ini tergambar adanya pertentangan anatar dua hal,
yaitu dunia dan akhirat. Sarana-sarana kepuitisan dalam sajak ini terutama berupa
metafora dan citraan.

Anda mungkin juga menyukai