Anda di halaman 1dari 11

KEHENDAK DAN KUASA ALLAH DALAM PANDANGAN KAUM

MUTAKALIMIN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Muhammad Mahbub Maulana

Anggota Kelompok :

Ravina Intan W. 205211044


Yuliana Cahya 205211052
Tiara Regita A. 205211079

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

TAHUN 2020/2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2

BAB I....................................................................................................................................................3

PENDAHULUAN.................................................................................................................................3

BAB II...................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN...................................................................................................................................5

BAB III................................................................................................................................................11

PENUTUP...........................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehendak dan kuasa Allah dari berbagai macam aliran berbeda pandangan,
sebelumnya penjelasa dari kehendak adalah kemauan, keinginan dan harapan keras,
sedangkan mutlak adalah mengenai segenapnya, tiada terbatas atau penuh, tidak boleh
tidak dan harus ada. Jadi kehendak mutlak Tuhan adalah keinginan Tuhan mengenai
seluruh alam semesta tanpa terkecuali. Sedangkan kehendak ini dikaitkan dengan
keadilan yang artinya secara leksikal adalah sama dengan menyamakan. Dan menurut
pandangan umum keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Definisi keadilan ialah
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Allah SWT disebut didalam Al-
Quran dengan sebutan Al-Ahkam atau Al-Hakim yang artinya hakim yang paling adil.
keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya
tentang kehendak mutlak Tuhan.Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan
dalam perbuatannya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan
memberi kebebasan pada manusia. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh
keadilan Tuhan. Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, adapun
pandangan dari aliran Asy’ariah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat
sekehendak hati-Nya dalam pandangan Asy’ariah, dan Aliran Maturidiah Bukhara
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat yang
dikehendaki-Nya dan menentukan segalanya.
A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kehendak dan kekuasaan Allah SWT?
2. Siapakah Kaum Mutakalimin?
3. Bagaimana pandangan mereka atas kehendak Allah ?
B. Tujuan Makalah
1. Untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Ilmu Kalam
2. Untuk menambah ilmu pembaca dan pemakalah
3. Untuk mengetahui pandangan kaum-kaum pada masanya

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehendak Mutlak Tuhan
Menurut KBBI kehendak adalah kemauan, keinginan dan harapan keras,
sedangkan mutlak adalah mengenai segenapnya, tiada terbatas atau penuh, tidak boleh
tidak dan harus ada. Jadi kehendak mutlak Tuhan adalah keinginan Tuhan mengenai
seluruh alam semesta tanpa terkecuali. Kehendak mutlak Tuhan yaitu alam semesta
dengan segala isinya diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa (qadir). Tidak ada suatu
kekuasaanpun yang menyamainya, apalagi melebihi kekuasaan Allah. Ia dapat
melakukan apa saja yang dikehendakinnya, karena tidak ada yang bisa mengatur,
mengendalikan, apalagi menghalanginya. Allah berkehendak akan terjadinya atau tidak
terjadinya sesuatu terhadap makhluknya. Memahami kehendak Allah ini merupakan
bagian dari beriman kepada qadha dan qhodar-Nya. Umat Islam menyakini bahwa
semua yang terjadi dialam ini dalam kehendak dan dengan sepengetahuan Allah, dan
tidak satupun peristiwa yang terjadi diluar kehendak Allah dan Allah tidak
mengetahuinya. Allah melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
B. Keadilan Tuhan
Keadilan secara leksikal adalah sama dengan menyamakan. Dan menurut
pandangan umum keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Definisi keadilan ialah
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Allah SWT disebut didalam Al-
Quran dengan sebutan Al-Ahkam atau Al-Hakim yang artinya hakim yang paling adil.
Karena keadilan-Nya juga disebut Al-Adl yang artinya Tuhan Yang Maha Adil. Adil
karena memberikan kepada makhluk hak mereka serta ditempatkan-Nya masing-
masing makhluk-Nya itu pada posisi yang sesuai dengan tabiat mereka. Allah juga
tidak pernah membebankan melebihi kemampuan makhluk-Nya. Keadilan Allah sangat
luas, banyak yang tak terkira oleh manusia. Ada suatu hal yang dipandang bunur oleh
manusia, tetapi justru didalamnya tersimpan keadilan, begitu juga sebaliknya yang
justru didalamnya terdapat ketidak adilan. Atas dasar ketidak adilan itulah Allah
memperlakukan makhluknya.
C. Esensi Sifat-sifat Tuhan Perspektif Ulama Mutakallimin
Sekitar abad kesepuluh banyak aliran-aliran kalam yang mempersoalkan masalah
Persoalan Allah memiliki sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah
kekal seperti halnya zat Tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan

4
hanya satu sifat tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham
banyak yang kekal, ini selanjutnya membawa pula kepada faham shirk atau
politheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi. Lebih jauh lagi, washil
bin Atha menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim selain Allah, ia
telah menetapkan adanya dua Tuhan.
Kaum Mu‟tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Menurut mereka tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, kekuasaan, hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa bagi mereka
Tuhan tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan bagi
mereka tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya, tetapi bukan dari sifat dalam arti
sebenarnya. kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadiman
termasuk juga sifat-sifat Allah yang lain. oleh karena itu beliau menafikan pengetahuan,

kekuasaan, pendengaran, penglihatan terhadap Allah. Menurut al-Nazzam bahwa Allah


itu melihat, berkuasa, hidup, mendengar dan qadim adalah zat-Nya bukan sifat-Nya.
Zat yang tahu, zat yang berkuasa, zat yang melihat, zat yang hidup, zat yang
mendengar.
Sementara itu pandangan Abu Hudhail mengenai sifat-sifat Allah bahwa
esensi pengetahuan Allah adalah Allah itu sendiri. Demikian pula kekuasaan,
pendengaran, penglihatan, kebijaksanaan, dan sifatnya yang lain tidak lain adalah Allah
itu sendiri. Alasan beliau adalah jika Allah bersifat tahu maka kepada-Nya terdapat
pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah zat Allah itu sendiri. Secara tidak langsung
beliau juga menafikan bahwa Allah itu bodoh terhadap sesuatu yang terjadi dan yang
akan terjadi. Begitu juga jika Allah bersifat kuasa maka kepada-Nya terdapat kekuasaan
dan kekuasaan itu adalah Allah sendiri. Dengan demikian tidak mungkin Allah itu
lemah terhadap sesuatu yang terjadi ataupun yang akan terjadi. Oleh karena itu Menurut
Mu‟tazilah hanya ada tiga kelompok sifat Tuhan yakni, Sifat nafsîyah, yakni sifat
untuk menegaskan adanya Allah swt, dimana Allah swt menjadi tidak ada tanpa adanya
sifat tersebut. Yang tergolong sifat ini al-Asy‟ari hanya satu, yakni sifat wujud. Sifat
salbîyah, yaitu sifat yang digunakan untuk meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi
Allah swt. Sifat salbîyah ini ada 5 sifat, yakni : 1) Qidam, 2) Baqa’, 3) Mukhalafah li
al-hawadith, 4) Qiyamuh bi nafsih, dan 5) Wah}danîyah Sifat ma‟ani, adalah sifat yang

5
pasti ada pada Zat Allah swt. Terdiri dari tujuh sifat, yakni :1)Qudrah, 2)Iradah, 3)Ilmu,
4)Hayat, 5) Sama’, 6) Basar dan 7) Kala.
D. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan Menurut Aliran Mu’tazillah
Mu’tazilah merupakan gerakan rasionalis pada masa Dinasti Umayyah, pola
pikir ini berlangsung lama yang mempengaruhi dunia Islam, terutama pada masa Bani
Abbasyiah dan sesudahnya. Menurut Harun Berkenaan dengan kehendak Tuhan, kaum
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan
bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karena itu Tuhan
bagi mereka tidak lagi bersifat absolut kehendaknya. Kebebasan mutlak Tuhan dibatasi
oleh kebebasan yang menurut Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan perbuatannya. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi oleh
sifat keadilan Tuhan. Mu’tazilah yang berprinsip tentang keadilan Tuhan bahwasanya
Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada
hamba-Nya kemudian hambalah yang harus menanggung akibat perbuatan-
Nya.Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya
tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Sebab, dengankebebasaan itulah manusia
dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya,dan tidak adil jika Tuhan
memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa di iringi dengan pemberian
kebebasan terlebih dahulu. Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan
sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidak mutlakan kekuasaan Tuhan di sebabkan oleh
kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam
(sunatullah)yang menurut Al-Qur’an tidak pernah berubah. Oleh karena itu, dalam
pandangan Mu’tazillah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur
hukum-hukum yang tersebar ditengah alam semesta. Itulah sebabnya pandangan
Mu’tazilah mempergunakan Al-Quran surat Al - Ahzab ayat 62.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:sunnatallohi fillaziina kholau ming qobl,
wa lang tajida lisunnatillaahi tabdiilaa

"Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah."
Di samping ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebebasan manusia yang di
singgung dalam pembicaraan tentang free will dan predestination. Kebebasan manusia
yang diberikan Tuhan kepadanya, akan bermakna apabila Tuhan membatasi kekuasaan
dan kehendak mutlak-Nya. Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan terikat
6
pada norma-norma keadilan yang apabila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil
atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah, Tuhan tidak
memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh abd
Al-jabbar bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak
memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-Nya kepada manusia,dan segala
perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini mengharuskan ketidak bolehan bersifat
zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagiAllah. Dengan kata
lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kewajiban – kewajiban yang
ditentukan untuk diri-Nya. Dari uraian ini, dapat diambil pengertian bahwa semua
perbuatan yang timbul dari Tuhan dalam hubungannya dengan hamba ditentukan
dengan kebijaksanaan atas dasar kemaslahatan. Perbuatan Tuhan mempunyai tujuan
tidak untuk kepentingan dirinya, tetapi untuk kepentingan makhluk dan perbuatann
yaitu selalu baik. Kebaikan itu bermakna apabila Tuhan tidak berbuat zalim dengan
membebani manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan
paksaan tanpa memberi kebebasan terlebih dahulu.
Memperhatikan uraian di atas, keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah
merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan.Keadilan
Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatannya, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan pada manusia. Adapun
kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan.
E. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan Menurut Aliran Asy’ariah
Kaum Asy’ariah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, sehingga
berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Sebab,yang
mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata karena kekuasaan dan kehendak
mutlak-Nya, bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Mereka mengartikan
keadilan dengan menempatkan sesuatu di tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan
kehendaknya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan
sekehendak hati-Nya. Itu semua adil bagi Tuhan. Justru tidak adil jika Tuhan tidak
dapat berbuat sekehndak-Nya karena Dia adalah penguasa mutlak. Tuhan menghendaki

7
semua makhluk-Nya masuk kedalam syurga ataupun neraka, itu adalah adil karena
Tuhan berbuat dan membuat hokum menurut kehendak-Nya.
Aliran Asy’ariah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan
manusia mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas
kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan harus berlaku
semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari menjelaskan bahwa tidak tunduk kepada siapapun dan
atas Tuhan tidak satu dzat lain yang dapat membuat hokum serta menentukan apa yang
boleh dibuat dan apa yang tidak boleh di buatTuhan. Bahkan, jika Tuhan
menginginkan, Ia dapat meletakan beban yang tidak terpikul oleh manusia.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang di jadikan sandaran oleh aliran Asy’ariah untuk
memperkuat pendapat tersebut adalah :
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: walau syaaa-a robbuka la-aamana mang
fil-ardhi kulluhum jamii'aa, a fa angta tukrihun-naasa hattaa yakuunuu mu-miniin
"Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di Bumi
seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi
orang-orang yang beriman?"(QS. Yunus 10: Ayat 99)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: fa'aalul limaa yuriid "Maha Kuasa
berbuat apa yang Dia kehendaki."(QS. Al-Buruj 85: Ayat 16)
Ayat – ayat tersebut dipahami Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan harus berlaku. Apabila kehendak Tuhan
tidak berlaku, seperti Tuhan lupa, lalai, dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Sifat lupa lalai apalagi lemah adalah sifat-sifat mustahil bagi Allah. Oleh karena itu,
kehendak Tuhan tersebut yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia
berkehendak setelah Tuhan menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa
dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Ini berarti kehendak
dan kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya dan sepenuh-penuhnya. Tanpa
makna itu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak mempunyai arti.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariah
memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya
dalam pandangan Asy’ariah. Dengan demikian ,ketidakadilan dipahami dalam arti
Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Dengan kata lain,
dikatakan tidak adil apabila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap

8
milik-Nya. Dari uraian di atas dapat di ambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam
konsep Asy’ariah terletakpada kehendak mutlak-Nya.
F. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan Menurut Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, Aliran ini terpisah
menjadi dua, yaitu Maturidiyah samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini
disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi pengguanaan akal dan
pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan. Karena menganut paham free will
dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum Maturidiah
golongan Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tetapi
kekuatan akal dan batasan yang diberikan pada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil
daripada yang diberikan aliran Mu’tazilah.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiah Smarkand dibatasi keadilanTuhan.
Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu
untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh
karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan
tidak sewenang-wenang dalam memberi hukum karenaTuhan tidak dapat berbuat
zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya.
Adapun Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak. Tuhan berbuat yang dikehendaki-Nya dan menentukan segalanya. Tidak ada
yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilanTuhan terletak pada
kehendak mutlak-Nya, tidak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa dari-Nya dan tidak
ada batasan batasan bagi-Nya.

9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

. Allah berkehendak akan terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu terhadap


makhluknya. Memahami kehendak Allah ini merupakan bagian dari beriman kepada
qadha dan qhodar-Nya. Umat Islam menyakini bahwa semua yang terjadi dialam ini
dalam kehendak dan dengan sepengetahuan Allah, dan tidak satupun peristiwa yang
terjadi diluar kehendak Allah dan Allah tidak mengetahuinya. Allah melakukan apa
saja yang dikehendaki-Nya. Allah juga tidak pernah membebankan melebihi
kemampuan makhluk-Nya. Keadilan Allah sangat luas, banyak yang tak terkira oleh
manusia. Ada suatu hal yang dipandang bunur oleh manusia, tetapi justru didalamnya
tersimpan keadilan, begitu juga sebaliknya yang justru didalamnya terdapat ketidak
adilan. Atas dasar ketidak adilan itulah Allah memberikan hikmah kepada makhluknya.
Berbagai macam pandangan terhadap kehendak Allah ini erbeda di kalangan kaum
mutakalimin. Kaum Mutakalimin yaitu orang-orang yang banyak bergulat dengan
pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika
Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah.
Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu,
Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas
oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni
sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar
Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan
afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-
Syirazi. Pandangan kekuasaan Allah ini diiringi dengan keadilan, yangmana keadilan
Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatannya, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan pada manusia. Adapun
kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad, M.A. 1992. Pengantar Theology Islam. Jakarta : Pustaka Al-Husna

Nasution, Harun. 1972. Teologi Islam: Aliran Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)

Nasution, Harun. 1972. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)

Nurdin, M. Amin. Fauzi Abas, Afifi. 2012. Sejarah Pemikiran Islam :Teologi-Ilmu Kalam.
Jakarta : Amzah

Rozak, Abdul. Rosihon, Anwar. Abdul Djaliel, Maman. 2012. Ilmu Kalam (Edisi Revisi).
Jawa Barat : CV Pustaka Setia

https://www.bacaanmadani.com/2018/03/keadilan-dan-kehendak-mutlak-tuhan.html. Diakses
pada tanggal 10 November 2021

http://sitifatiyah.blogspot.com/2017/06/kehendak-mutlak-tuhan-dan-keadilan-tuhan.html.
Diakses pada tanggal 10 November 2021

https://media.neliti.com/media/publications/40271-ID-tinjauan-tentang-hubungan-tentang-
kehendak-tuhan-dengan-keadilan-tuhan.pdf. Diakses pada tanggal 10 November 2021

11

Anda mungkin juga menyukai