Anda di halaman 1dari 25

FOLLOW UP KASUS

SINDROM ASPIRASI MEKONIUM

Makalah ini dibuat untuk melengkapi persyaratan kepanitraan klinik senior

SMF Ilmu Kesehatan Anak RS BHAYANGKARA TK II MEDAN

Pembimbing :

dr. Windya Sari Nasution Sp.A

Oleh

Rahmi Sibagariang (1908320037)

Atika Rahmi (1908320015)

Kasih Santika (1908320038)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UMSU

RS BHAYANGKARA TK II MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan follow up kasus ini tepat waktu.

Tulisan ini untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS)
Pediatric RS Bhayangkara Tk II Medan, selain itu tulisan ini juga bertujuan supaya
pembaca dapat mengetahui dan memahami secara jelas mengenai Sindrom Aspirasi
Mekonium.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa follow up kasus ini tidak mungkin dapat
terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. dr. Windya, Sp.A selaku pembimbing selama di stase Pediatrik RS Bhayangkara

TK II Medan
2. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan paper ini.

Demikian tugas ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan tulisan ini.

Medan, 14 September 2021

PENULIS
DAFTAR ISI

COVER ………………………………..…………………………………………………….1

KATA PENGANTAR ……………………….…………..………………………………….2

DAFTAR ISI …………………………………..………………..…………………………..3

BAB I PENDAHULUAN …………………………..………………...…..…………….…..4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................……………..…………………...……6

2.1 MAS..............……………………………………..………………………….…6

2.1.1 Definisi……………………………………...…………………………...........6

2.1.2 Etiologi…………………………………...…………………………….….…..7

2.1.3 Klasifikasi..............................................................................................7

2.1.4 Faktor Risiko………………………………………...……………………......8

2.1.5 Patofisiologi……………...………………...………………..………………..8

2.1.6 Diagnosis…..……………………………………..……………………….......9

2.1.7 Penatalaksana…………........………………..……………………………….13

2.1.8 Komplikasi……..…...………………………………..………………….......19

2.1.9 Prognosis………..……………………..………..……………………….......19

BAB III KESIMPULAN……………………………….………………………………......20

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................21
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air ketuban keruh bercampur mekonium (AKK) dapat menyebabkan sindrom


aspirasi mekonium (SAM) yang mengakibatkan asfiksia neonatorum yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi infeksi neonatal. Insidens air ketuban keruh terjadi pada 6%-25%
kelahiran hidup, namun tidak semua neonatus yang mengalami AKK berkembang menjadi
SAM. Neonatus dengan AKK 2%-36% menghirup mekonium sewaktu di dalam rahim atau
saat napas pertama, sedangkan neonatus yang mempunyai AKK 11% berkembang menjadi
SAM dengan berbagai derajat. Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan
gejala yang diakibatkan oleh terhisapnya mekonium ke dalam saluran pernafasan bayi.
Etiologi terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan amnion yang mengandung
mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium dapat keluar di dalam kandungan bila terjadi
stres / kegawatan intrauterin. Mekonium yang terhirup bisa menyebabkan penyumbatan
parsial ataupun total pada saluran pernafasan, sehingga terjadi gangguan pernafasan dan
gangguan pertukaran udara di paru-paru. Selain itu, mekonium juga menyebabkan iritasi dan
peradangan pada saluran udara, menyebabkan suatu pneumonia kimiawi. Cairan amnion
yang terwarna-mekonium ditemukan pada 5-15% kelahiran, tetapi sindrom ini biasanya
terjadi pada bayi cukup bulan atau lewat bulan. Pada 5% bayi yang berkembang pneumonia
aspirasi, dimana 30% darinya memerlukan ventilasi mekanis dan 5-10 persennya dapat
meninggal. Kegawatan janin dan hipoksia terjadi bersama dengan masuknya mekonium ke
dalam cairan amnion. 1,2,3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Insidensi Sindroma Aspirasi Mekonium

Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala yang diakibatkan


oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran pernafasan bayi. Sindroma
aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan
kegagalan pernapasan pada bayi baru lahir aterm maupun post- term. Kandungan mekonium
antara lain adalah sekresi gastrointestinal, hepar, dan pancreas janin, debris seluler, cairan
amnion, serta lanugo. Resiko SAM dan kegagalan pernapasan yang terkait, meningkat ketika
mekoniumnya kental dan apabila diikuti dengan asfiksia perinatal. Beberapa bayi yang
dilahirkan dengan cairan amnion yang mekonial memperlihatkan distres pernapasan
walaupun tidak ada mekonium yang terlihat dibawah korda vokalis setelah kelahiran. Pada
beberapa bayi, aspirasi mungkin terjadi intrauterine, sebelum dilahirkan. 1,3
Mekonium adalah pembuangan usus bayi baru lahir yang keluar pertama
kalinya.Mekonium, berwarna hijau, kental dan pekat yang mengandung substansi terdiri dari
sel epitel usus, lanugo, lendir, dan sekresi usus, seperti empedu. Sekresi usus, sel mukosa,
dan elemen solid dari cairan ketuban adalah 3 kandungan padat yang utama pada mekonium.
Air adalah kandungan cairan utama, sekitar 85-95% dari mekonium.Aspirasi Mekonium
merupakan terhisapnya cairan amnion yang tercemar mekonium ke dalam paru pada bayi
yang mengalami stress intrauterin, yang dapat terjadi pada saat intrauterin dan sewaktu
persalinan.
2.2 Etiologi Sindroma Aspirasi Mekonium

Etiologi terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan amnion yang


mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium dapat keluar (intrauterin) bila
terjadi stres / kegawatan intrauterin. Mekonium yang terhirup bisa menyebabkan
penyumbatan parsial ataupun total pada saluran pernafasan, sehingga terjadi gangguan
pernafasan dan gangguan pertukaran udara di paru-paru. Selain itu, mekonium juga
berakibat pada iritasi dan peradangan pada saluran udara, menyebabkan suatu pneumonia
kimiawi. 3

Adanya cairan mekonium dalam mulut atau saluran nafas atas maupun bawah. Cairan
ini dapat menjadi hambatan bagi saluran nafas bagian atas (Obstruksi) dan jika cairan ini
telah sampai di saluran nafas bawah atau jaringan paru, cairan yang berisi mekonium ini
akan menginfeksi jaringan paru tersebut atau bronkioli yang akan membuat reaksi radang
sehingga terjadi hambatan bagi saluran nafas bagian bawah (Infeksi).

Bagan 2.1 Etiologi Sindroma Aspirasi Mekonium (Clark, 2010)

2.3 Faktor Resiko

 Hamil lebih bulan


 Ibu pre-eklamsi/eklamsi
 Ibu hipertensi
 Ibu DM
 Ibu perokok berat, penyakit saluran kronik, kelainan jantung
 Bunyi jantung anak abnormal
 Bayi KMK
 Oligohidroamnion.
 Infeksi maternal ( chorioamnionitis )
2.4 Patofisiologi Sindroma Aspirasi Mekonium
Keluarnya mekonium intrauterine terjadi akibat dari stimulasi saraf saluran pencernaan
yang sudah matur dan biasanya akibat dari stres hipoksia pada fetus. Fetus yang mencapai
masa matur, saluran gastrointestinalnya juga matur, sehingga stimulasi vagal dari kepala
atau penekanan pusat menyebabkan peristalsis dan relaksasi sfingter ani, sehingga
menyebabkan keluarnya mekonium. Mekonium secara langsung mengubah cairan amniotik,
menurunkan aktivitas anti-bakterial dan setelah itu meningkatkan resiko infeksi bakteri
perinatal. Selain itu, mekonium dapat mengiritasi kulit fetus, kemudian meningkatkan
insiden eritema toksikum. Bagaimanapun, komplikasi yang paling berat dari keluarnya
mekonium dalam uterus adalah aspirasi cairan amnion yang tercemar mekonium sebelum,
selama, maupun setelah kelahiran. Aspirasi cairan amnion mekonial ini akan menyebabkan
hipoksia melalui 4 efek utama pada paru, yaitu: obstruksi jalan nafas (total maupun parsial),
disfungsi surfaktan, pneumonitis kimia dan hipertensi pulmonal.3
Obstruksi jalan nafas

Obstruksi total jalan nafas oleh mekonium menyebabkan atelektasis. Obstruksi parsial
menyebabkan udara terperangkap dan hiperdistensi alveoli, biasanya termasuk efek fenomena
ball-valve. Hiperdistensi alveoli menyebabkan ekspansi jalan nafas selama inhalasi dan
kolaps jalan nafas di sekitar mekonium yang terinspirasi di jalan nafas, menyebabkan
peningkatan resistensi selama ekshalasi. Udara yang terperangkap (hiperinflasi paru) dapat
menyebabkan ruptur pleura (pneumotoraks), mediastinum (pneumomediastinum), dan
perikardium (pneumoperikardium). 3

Disfungsi surfaktan

Mekonium menonaktifkan surfaktan dan juga menghambat sintesis surfaktan.


Beberapa unsur mekonium, terutama asam lemak bebas (seperti asam palmitat, asam oleat),
memiliki tekanan permukaan minimal yang lebih tinggi dari pada surfaktan dan
melepaskannya dari permukaan alveolar, menyebabkan atelektasis yang luas. 3
Pneumonitis kimia
Mekonium mengandung enzim, garam empedu, dan lemak yang dapat mengiritasi jalan
nafas dan parenkim, mengakibatkan pelepasan sitokin (termasuk tumor necrosis factor
(TNF)-α, interleukin (IL)-1ß, I-L6, IL-8, IL-13) dan menyebabkan pneumonitis luas yang
dimulai dalam beberapa jam setelah aspirasi. Semua efek pulmonal ini dapat menimbulkan
gross ventilation-perfusion (V/Q) mismatch. 3
Hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir

Beberapa bayi dengan sindroma aspirasi mekonium mengalami hipertensi pulmonal


persisten pada bayi baru lahir (persistent pulmonary hypertension of the newborn [PPHN])
primer atau sekunder sebagai akibat dari stres intrauterin yang kronik dan penebalan
pembuluh pulmonal. PPHN lebih lanjut berperan dalam terjadinya hipoksemia akibat
sindrom aspirasi mekonium.3

2.5 Gambaran Klinis

Di dalam uterus, atau lebih sering, pada pernapasan pertama, mekonium yang kental
teraspirasi ke dalam paru, mengakibatkan obstruksi jalan napas kecil yang dapat
menimbulkan kegawatan pernapasan dalam beberapa jam pertama setelah kelahiran dengan
gejala takipnea, retraksi, stridor, dan sianosis pada bayi dengan kasus berat. Obstruksi
parsial pada beberapa jalan napas dapat menimbulkan pneumothoraks atau
pneumomediastinum, atau keduanya. Pengobatan tepat dapat mencegah kegawatan
pernapasan, yang dapat hanya ditandai oleh takikardia tanpa retraksi. Pada kondisi gawat
nafas, dapat terjadi distensi dada yang berat yang membaik dalam 72 jam. Akan tetapi bila
dalam perjalanan penyakitnya bayi memerlukan bantuan ventilasi, keadaan ini dapat
menjadi berat dan kemungkinan mortalitasnya tinggi.
Takipnea dapat menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu. Foto
radiografi dada bersifat khas ditandai dengan bercak-bercak infiltrat, corakan kedua lapangan
paru kasar, diameter anteroposterior bertambah, dan diafragma mendatar. Foto x-ray dada
normal pada bayi dengan hipoksia berat dan tidak adanya malformasi jantung mengesankan
diagnosis sirkulasi jantung persisten. PO2 arteri dapat rendah pada penyakit lain, dan jika
terjadi hipoksia, biasanya ada asidosis metabolik. 1
2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium

Evaluasi Laboratorium untuk Distres Pernafasan pada Bayi Baru Lahir


Tes Indikasi
Kultur darah Dapat menunjukan adanya bakteremia, tetapi hasil baru dapat

diperoleh setelah ± 48 jam


Gas darah Digunakan untuk menilai derajat hipoksemia (jika sampel
diambil dari darah arteri) atau kondisi asam basa (jika sampel
diambil dari kapiler)
Glukosa darah Hipoglikemia dapat menyebabkan atau memicu takipnea
Radiografi dada Digunakan untuk membedakan berbagai jenis distres pernapasan
Hitung darah Leukositosis atau bandemia yang menunjukkan stress atau
infeksi
lengkap dan
Neutropenia yang berhubungan dengan infeksi bakteri
hitung jenis
Kadar hemoglobin yang rendah menunjukkan anemia
Kadar hemoglobin tinggi terjadi pada polisitemia
Kadar platelet yang rendah terjadi pada sepsis
Pungsi lumbal Jika terduga meningitis
Pulse oximetry Digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan dibutuhkan untuk

oksigen tambahan
Kondisi asam-basa:2

 V-Q mismatch dan stres perinatal sering terjadi dan sangat dibutuhkan
pemeriksaan kondisi asam-basa
 Asidosis metabolik akibat stres perinatal dapat diperburuk oleh asidosis
respiratorik oleh kelainan parenkim dan PPHN.
 Penilaian gas darah arteri untuk menentukan pH, tekanan parsial karbon
dioksida (pCO2), tekanan parsial oksigen (pO2), dan dan pengukuran tingkat
oksigenasi secara terus menerus menggunakan pulse oxymetri penting
dilakukan untuk penanganan yang tepat.
Elektrolit serum: 2

Pemeriksaan kadar natrium, kalium, dan kalsium dilakukan setelah bayi yang
mengalami SAM berusia 24 jam karena sindrom gangguan sekresi hormon antidiuretik dan
gagal ginjal akut merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stres perinatal
Hitung darah lengkap : 2

 Kehilangan darah intrauterin maupun perinatal, juga infeksi, turut


menyebabkan stres perinatal
 Level hemoglobin dan hematokrit harus cukup untuk memastikan kapasitas
pengantaran oksigen yang adekuat
 Trombositopeni meningkatkan resiko perdarahan pada neonatus

 Neutropeni atau neutrofili dengan adanya left shift dapat mengindikasikan


infeksi bacterial perinatal

 Polisitemia dapat terjadi akibat hipoksia fetal yang kronis dan/atau akut.
Polisitemia berkaitan dengan penurunan aliran darah pulmonal dan dapat
memicu hipoksia yang terkait SAM dan PPHN
4
Pemeriksaan Radiologis

Radiografi dada diperlukan untuk hal-hal berikut:

 Memastikan cakupan kelainan intratorakal

 Mengidentifikasi area atelektasis dan sindroma blokade udara

 Memastikan posisi yang tepat untuk intubasi endotrakeal dan kateter


umbilikalis
Nantinya, pada kasus SAM, setelah kondisi bayi cukup stabil,
pemeriksaan radiologis otak seperti MRI, CT scan, atau USG cranial,
diindikasikan jika pemeriksaan neurologis bayi menunjukkan adanya kelainan.
Ekokardiografi perlu dilakukan pada kasus-kasus berat seperti distress
pernafasan yang berkepanjangan untuk mengevaluasi fungsi jantung pada
persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN) dan masalah
kongenital kardiovaskular.

Radiografi dada menunjukkan hiperinflasi dengan perselubungan yang


merata. Hasil temuan menunjukkan area atelectasis dengan area udara
terperangkap. Kebocoran udara sering terjadi menyebabkan terjadinya
pneumothoraks, pneumomediastinum, pneumopericardium, dan/atau pulmonary
interstitial emphysema. Efusi pleura juga bisa terjadi4

Gambar 2.6.1 Radiografi seri pada bayi baru lahir dengan aspirasi
mekonium tanpa komplikasi. Gambaran radiologis menunjukkan
perselubungan perihilar pada paru, yang lebih berat pada daerah kanan

berbanding kiri4.
Gambar 2.6.2 Gambaran radiologis menunjukkan aspirasi mekonium yang berat.
Gambaran radiologis diatas menunjukkan perselubungan yang kasar pada
parenkim paru dengan hiperekspansi yang berat. Terdapat pneumomediastinum
di kanan paru (ditunjukkan dengan panah), di batasi oleh lobus kanan dari

thymus (T)4.

Pemeriksaan Lain

Ekokardiografi dapat dilakukan untuk memastikan struktur jantung


yang normal serta memeriksa fungsi jantung, juga tingkat keparahan
hipertensi pulmonal dan shunting dari kanan ke kiri.
2.7 Diagnosis Sindroma Aspirasi Mekonium

Diagnosis ditegakkan berdasarkan keadaan berikut:6

 Sebelum bayi lahir, alat pemantau janin menunjukkan


bradikardia (denyut jantung yang lambat)
 Ketika lahir, cairan ketuban mengandung mekonium (berwarna kehijauan)

 Bayi memiliki nilai Apgar yang rendah.

 Dengan bantuan laringoskopi, pita suara tampak berwana kehijauan.

 Dengan bantuan stetoskop, terdengar suara pernafasan yang


abnormal (ronki kasar).
 Pemeriksaan lainnya yang biasanya dilakukan: (1) Analisa gas
darah (menunjukkan kadar pH yang rendah, penurunan pO2
dan peningkatan pCO2);
(2) Rontgen dada (menunjukkan adanya bercakan di paru-paru).

2.8 Diagnosa Banding Sindroma Aspirasi Mekonium

a) Transient tachypnea of the newborn (TTN) – Gambaran


radiografi sering menunjukkan patchy opacities yang disebabkan oleh cairan
pada paru yang dalam proses resorpsi. Foto radiografi kontrol akan
menunjukkan infiltrate yang menghilang, berbeda dengan sindrom aspirasi
mekonium atau pneumoni

b) Pneumonia neonatus – Terdapat patchy opacities yang berupa


konsolidasi dan efusi pleura yang ditemukan pada 2/3 kasus. Volume paru
normal namun lapangan paru mungkin dapat terjadi hyperinflated.

c) c). Respiratory distress syndrome – Pada gambaran radiologis,


ditemukan gambaran radiopaque yang seragam, ground-glass dan penurunan
volume paru karena terjadi kolaps alveolus. Gambaran air bronchogram juga
dapat dilihat namun efusi pleura jarang terjadi. Sindrom ini biasanya terjadi
pada bayi preterm yang berbeda dengan sindroma aspirasi mekonium 3.
Diagnosa banding untuk kasus sindroma aspirasi mekonium antara lain :3

 Sindrom-sindrom aspirasi lain

 Hernia kongenital diafragmatik

 Hipertensi pulmonal, idiopatik

 Hipertensi pulmonal, persisten-neonatus

 Sepsis

 Transposisi arteri-arteri besar


Untuk membedakan antara gambaran TTN, RDS, dan SAM, dapat dilihat
pada tabel dibawah:

Tabel 2.2 Perbedaan TTN, SDR, dan SAM3

Pembeda TTN RDS SAM


Etiologi Cairan paru persisten Defisiensi surfaktan Iritasi dan obstruksi
Paru belum paru
berkembang
sempurna
Waktu Kapan saja Preterm Aterm atau post-

persalinan Term
Faktor resiko Section cessarea, jenis kelamin laki- Cairan amnion
makrosomia, jenis laki, diabetes pada mekonial,
kelamin laki-laki, ibu, kelahiran kelahiran
post-term
asma pada ibu, preterm

diabetes pada ibu


Gambaran Takipneu, sering kali Takipneu, hypoxia, Takipneu, hypoxia
klinis tanpa hipoksia sianosis
maupun sianosis
Temuan infiltrat pada infiltrat homogenus, Patchy atelectasis,
radiologis air bronchogram, konsolidasi
parenkim, ”siluet
toraks penurunan volume
basah” di sekeliling
paru,
jantung,
penumpukan cairan
intralobar
Terapi Suportif, oksigen Resusitasi, oksigen, Resusitasi, oksigen,

jika terjadi hipoksia ventilasi, surfaktan ventilasi, surfaktan


Pencegahan Kortikosteroid Kortikosteroid Jangan menunda
prenatal sebelum prenatal jika ada suctioning setelah
operasi sesar jika resiko kelahiran kelahiran,
usia kehamilan 37- preterm (usia amnioinfusi tidak
39 minggu bermanfaat
kehamilan 24-34
minggu)
Keterangan :

TTN = takipneu transien pada neonatus (transient tachypnea of the newborn =


TTN); SDR = sindroma distres respirasi (RDS = respiratory distress syndrome);
SAM =
sindroma aspirasi mekonium (MAS = meconium aspiration syndrome)

Penatalaksanaan Sindroma Aspirasi Mekonium

A. Penatalaksanaan prenatal

Kunci penatalaksanaan aspirasi mekonium adalah penegahan selama masa


prenatal.
1. Identifikasi kehamilan beresiko tinggi. Pencegahan dimuai dengan
mengenali faktor predisposisi maternal yang dapat menyebabkan
insufisiensi uteropasental yang berujung pada hipoksia fetus selama
proses kelahiran. Pada kehamilan yang berlangsung sampai melewati
waktu perkiraan kelahiran, induksi yang dilakukan secepatnya pada
7,8
minggu ke-41 dapat membantu pencegahan aspirasi mekonium.
2. Pemantauan. Selama kelahiran, observasi dan pemantauan janin yang
seksama perlu dilakukan. Tanda kegawatan janin apapun (misal: adanya
cairan mekonial dan ruptur membran, takikardi fetus, atau pola
deselerasi) mengharuskan penilaian kesejahteraan janin dengan cermat,
meliputi detak jantung fetus dan pH kulit kepala fetus. Jika penilaian
menunjukkan adanya fetal kompromi, tindakan korektif diperlukan atau
7,8
fetus harus dilahirkan tepat pada waktunya.
3. Amnioifusion. Pada ibu-ibu dengan cairan amnion mekonial yang
sangat kental maupun cukup kental, amnioinfusi efektif dalam
menurunkan angka kejadian deselerasi kecepatan denyut jantung fetus
yang bervariasi dengan melepaskan kompresi pada korda umbilikalis
selama persalinan. Akan tetapi, efisiensinya dalam menurunkan resiko
8
dan tingkat keparahan aspirasi mekonium belum dapat dibuktikan.
B. Penatalaksanaan di kamar bersalin
Intervensi pediatrik yang sesuai untuk neonatus yang lahir dengan cairan
amnion mekonial tergantung pada bugar tidaknya bayi. Hal ini dapat dinilai
dengan adanya pernapasan spontan, denyut jantung > 100 x/menit, gerakan
spontan, atau ekstrimitas yang berada dalam posisi fleksi. Bagi bayi-bayi bugar
ini, hanya penanganan rutin yang diperbolehkan, tanpa melihat konsistensi
mekoniumnya. Sedangkan bagi bayi-bayi dengan distres, intubasi secepat mungkin
dan pipa endotrakealnya harus dihubungkan dengan alat penghisap mekonium
pada tekanan 100 mmHg. Ventilasi tekanan positif harus dihindari jika
8
memungkinkan, hingga pengisapan trakea dilakukan.

1. Penatalaksanaan respirasi
a. Pembersihan paru (pulmonary toilet). Jika pengisapan trakea belum
mampu membersihkan sekret secara maksimal, dapat disarankan untuk
membiarkan pipa endotrakeal tetap terpasang untuk pembersihan paru
pada neonatus dengan kasus simtomatik. Fisioterapi dada setiap 30-60
menit, semampunya, dapat membantu membersihkan jalan napas.
Fisioterapi dada dikontraindikasikan pada neonatus dengan kondisi labil
8
jika diduga ada keterlibatan PPHN.

b. Pemeriksaan kadar gas darah arteri. Pengukuran kadar gas darah arteri
8
dibutuhkan untuk menilai kebutuhan ventilasi dan oksigen tambahan.

c. Pemantauan kadar oksigen. Pulse oxymeter dapat memberi informasi


penting mengenai status respirasi dan memantu mencegah hipoksemi.
Membandingkan saturasi oksigen pada tangan kanan dengan ekstrimitas
bawah membantu mengidentifikasi bayi dengan pirau dari kanan ke kiri
akibat hipertensi pulmonal. Radiografi thoraks. Radiografi thoraks
sebaiknya diambil setelah kelahiran jika neonatus dalam kondisi distres.
Radiografi thoraks juga dapat membantu menentukan pasien mana yang
berpotensi mengalami distres napas. Akan tetapi, gambaran radiografi
8
sering tidak sebanding dengan presentasi klinis.
d. Pemakaian antibiotik. Mekonium menghambat potensi bakteriostatik
pada cairan mekonium normal. Karena susahnya membedakan aspirasi
mekonium dari pneumoni secara radiologis, neonatus dengan gambaran
infiltrate pada radiografi toraks, sebaiknya mulai diberi antibiotik
spektrum luas (ampisilin dan gentamisin), setelah sampel untuk kultur
8
telah diperoleh.
e. Oksigen tambahan. Salah satu tujuan utama pada kasus-kasus SAM
adalah mencegah episode hipoksia alveolar yang akan mengarah pada
vasokonstriksi pulmonal dan menjadi PPHN. Oleh karena itu, oksigen
tambahan diberikan sebanyak-banyaknya dengan tujuan mempertahankan
tekanan parsial O2 sebesar 80-90 mmHg, bahkan lebih tinggi karena
resiko retinopati seharusnya kecil pada bayi-bayi aterm. Pencegahan
hipoksia alveolar juga dicapai dengan penyapihan bayi-bayi ini secara
hati-hati dari terapi oksigen. Kebanyakan pasien masih labil, sehingga
penyapihan harus dilakukan secara perlahan, terkadang dengan
penurunan 1% setiap kali. Pencegahan hipoksia alveolar juga meliputi
kewaspadaan terhadap terjadinya kebocoran udara dan meminimalisir
8
intervensi pasien.
f. Ventilasi mekanik. Pasien pada kasus-kasus berat yang terancam gagal
napas yang disertai hiperkapnia dan hipoksemia persisten membutuhkan
ventilasi mekanik. Neonatus yang tidak membaik dengan ventilasi
konvensional harus diuji coba menggunakan ventilasi berfrekuensi tinggi
(HFV = high frequency ventilation).
g. Pengaturan kecepatan. Ventilasi harus disesuaikan dengan individu
masing-masing pasien. Pasien-pasien SAM umumnya membutuhkan
tekanan inspirasi dan kecepatan yang lebih tinggi dibanding pasien
pemakaian antibiotik. Mekonium menghambat potensi bakteriostatik
pada cairan mekonium normal. Karena susahnya membedakan aspirasi
mekonium dari pneumoni secara radiologis, neonatus dengan gambaran
infiltrate pada radiografi toraks, sebaiknya mulai diberi antibiotik
spektrum luas (ampisilin dan gentamisin), setelah sampel untuk kultur
8
telah diperoleh.
i. Surfaktan. Neonatus dengan sindroma aspirasi mekonium yang berat dan
membutuhkan ventilasi mekanik, serta tampak secara radiologis adanya
kelainan parenkim paru, kemungkinan besar akan mendapat efek positif
dari terapi surfaktan yang dini. Karena adanya keterkaitan hipertensi
pulmonal, pemantauan ketat saat terapi surfaktan dibutuhkan untuk
mencegah obstruksi transien jalan napas yang dapat terjadi selama
8
penyulingan surfaktan.
j. Nitrit oksida inhalasi. Hipertensi pulmonal dapat diterapi secara efektif
dengan inhalasi nitrit oksida. Terjadi vasodilatasi arteriol pulmonal yang
selektif akibat nitrit oksida yang bekerja langsung pada otot polos
vascular, yaitu dengan mengaktivasi guanilat siklase, sehingga
meningkatkan siklik guanosin monofosfat. Karena diberi per inhalasi,
efek yang timbul hanya bersifat lokal. Hal ini terjadi karena nitrir
oksida akan diinaktivasi oleh hemoglobin begitu mencapai pembuluh
darah. Oleh karena itu, pengaruhnya pada sistem-sistem lain dalam
tubuh cukup minimal, akan tetapi, kadar methemoglobin harus terus
dipantau.
k. Oksigenasi membran ekstra korporeal (ECMO = extracorporeal
membrane oxygenation). Pasien yang gagal dengan terapi-terapi
sebelumnya dapat diusulkan untuk dilakukan oksigenasi membran ekstra
korporeal. Index oksigenasi ( ) > 40, dengan (tekanan rata-rata jalan
napas) ≥ 20 cmH2O, dapat memprediksi neonatus yang membutuhkan
ECMO. Dibandingkan dengan kelompok populasi lain yang
membutuhkan ECMO, bayi dengan SAM memiliki angka kelangsungan
hidup yang tinggi, yaitu sebesar 93-100%.8

2. Penatalaksanaan umum

Neonatus dengan aspirasi mekonium yang membutuhkan resusitasi sering


kali juga mengalami kelainan metabolik, seperti hipoksia, asidosis,
hipoglikemia, dan hipokalsemia. Pasien-pasien ini kemungkinan telah
mengalami asfiksia perinatal, sehingga diperlukan pemantauan adanya
8
kerusakan organ.

Pedoman penatalaksanaan bayi yang terpapar mekonium menurut The American


Academy of Pediatrics Neonatal Resuscitation Program (NRP) Steering
Committee adalah sebagai berikut:

 Jika bayi tidak bugar (didefinisikan sebagai kondisi tonus otot yang
lemah dan usaha napas yang kurang maupun tidak ada): suction trakea
langsung kelahiran. Suction dilakukan selama tidak lebih dari 5 detik.
Jika tidak didapatkan cairan mekonial, jangan ulangi intubasi dan suction.
Sebaliknya, jika didapatkan cairan mekonial tanpa adanya bradikardi,
lakukan reintubasi dan suction. Jika bradikardi, lakukan ventilasi tekanan
positif dan rencanakan suction ulang setelah beberapa waktu.
 Jika bayi bugar (didefinisikan sebagai kondisi usaha napas yang cukup,
menangis, tonus otot cukup, dan warna kulit yang baik): bersihkan
sekresi dan mekonium dari mulut lalu hidung menggunakan bulb syringe
atau selang suction yang besar. Pada kondisi apapun, langkah-langkah
resusitasi berikutnya harus mencakup: pengeringan, reposisi, dan
pemberian oksigen sesuai kebutuhan.
 Pedoman ini terus diperbaharui sesuai evidence-base terbaru.
8
Diet bayi dengan SAM:
 Distres perinatal dan distres napas yang berat merupakan halangan untuk
pemberian makanan.
 Terapi cairan intravena dimulai dengan infuse dekstrosa yang adekuat
untuk mencegah hipoglikemi.
 Beri tambahan elektrolit, lipid, dan vitamin secara progresif untuk
memastikan asupan nutrisi yang adekuat serta untuk mencegah defisiensi
asam amino esensial dan asam lemak.
Bagan 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Sindroma Aspirasi Mekonium3
2.9 Pencegahan Sindroma Aspirasi Mekonium

Pencegahan sebelum kelahiran

Penurunan insiden SAM selama dekade terakhir telah dikaitkan dengan


penurunan kelahiran lebih bulan, manajemen intensif pemantauan denyut jantung janin
yang abnormal, dan penurunan jumlah bayi yang memiliki nilai Apgar rendah.
Pemantauan janin terus menerus dengan alat elektronik diindikasikan untuk kehamilan
yang rumit dengan adanya cairan ketuban yang terwarnai mekonium. Pulse oximetry
fetal merupakan modalitas baru untuk surveilans janin antepartum, tetapi efek pada
hasilnya tetap dipertanyakan. Kehamilan lewat bulan sering dikaitkan dengan

hipoksia intrauterin dan cairan ketuban yang terwarnai mekonium, dan, seperti
yang disebutkan sebelumnya, penurunan kehamilan lewat bulan telah menyebabkan
penurunan insidensi SAM. Amnioinfusion mungkin merupakan terapi yang efektif
untuk kehamilan dengan komplikasi oligohidramnion dan gawat janin. Amnioinfusion
mencairkan ketebalan mekonium dan dapat mencegah kompresi tali pusat dan aspirasi
mekonium. Namun, penelitian telah membuktikan bahwa meskipun strategi ini
mengurangi jumlah mekonium pada bayi lahir dari ibu yang memiliki cairan ketuban
yang terwarnai mekonium, hal ini gagal untuk mengurangi risiko SAM. Sebuah studi
multicenter terbaru oleh Fraser dan rekan menyimpulkan bahwa amnioinfusion tidak
mengurangi risiko SAM moderat sampai berat dan SAM yang terkait dengan kematian
perinatal pada bayi yang lahir melalui mekonium kental. Ada juga bukti yang cukup
menjelaskan bahwa amnioinfusion mengurangi morbiditas neonatus yang terkait
mekonium. Dengan demikian, amnioinfusion tidak dianjurkan untuk wanita yang
memiliki cairan ketuban yang terwarnai mekonium sendirian kecuali ada bukti adanya
oligohidramnion dan distress janin. Karena infeksi dan korioamnionitis dapat
berhubungan dengan SAM yang parah, pemberian awal terapi antibiotic spectrum luas
dalam kasus korioamnionitis maternal dapat mengurangi morbiditas neonatus.7

Pencegahan selama kelahiran


Suction orofaringeal dan nasofaring segera setelah kelahiran kepala tetapi
sebelum kelahiran bahu dan dada telah menjadi praktik umum selama dua dekade
terakhir ini, dimana ditujukan untuk mengurangi insiden dan keparahan SAM.
Namun, sebuah studi multicenter baru-baru ini menunjukkan bahwa strategi ini tidak
mencegah terjadinya SAM. Para peneliti juga menunjukkan bahwa hal ini tidak
mengurangi angka kematian, durasi ventilasi dan terapi oksigen, atau kebutuhan untuk
ventilasimekanikOleh karena itu, seperti suction rutin tidak lagi dianjurkan, meskipun

dianjurkan, hanya pada kasus-kasus tertentu, seperti terdapatnya cairan yang bernoda
mekonium yang tebal atau berlebihan. 7
Pencegahan setelah kelahiran
Intubasi endotrakeal dan suction dilakukan untuk menghilangkan
mekonium pada saluran napas bagian atas sebelum berpindah ke saluran napas bagian
bawah. Mekonium dapat bermigrasi ke jalan napas perifer melalui gerakan pernapasan
spontan atau ventilasi tekanan positif. Oleh karena itu, tampaknya logis bahwa
intubasi endotrakeal dan suction harus dilakukan sedini mungkin setelah melahirkan,
yaitu, sebelum bayi mengambil napas pertama atau sebelum pernapasan aktif. Sampai
saat ini, intubasi dan suction trakea rutin direkomendasikan untuk kebanyakan bayi
yang ketubannya terwarnai mekonium. Namun, studi terbaru tidak mendukung
dilakukan suction yang intensif, kecuali ketika respirasi bayi tertekan. Sejak tahun
2005, The American Heart Association dan The Neonatal Resuscitation Program telah
merekomendasikan suction trakea hanya jika bayi tidak kuat, memiliki penurunan
tonus otot, atau memiliki denyut jantung kurang dari 100 denyut / menit.7

2.10 Komplikasi

 Displasia bronkopulmoner
 Pneumothoraks
 Pneumonia

Bayi yang menderita SAM berat mempunyai kemungkin lebih besar untuk menderita
mengi (wheezing) dan infeksi paru dalam tahun pertama kehidupannya. Tapi sejalan
dengan perkembangan usia, ia bisa meregenerasi jaringan paru baru. Dengan
demikian, prognosis jangka panjang tetap baik. Bayi yang menderita SAM sangat
berat mungkin akan menderita penyakit paru kronik, bahkan mungkin juga menderita
abnormalitas perkembangan dan juga ketulian. Pada kasus yang jarang terjadi, SAM
dapat menimbulkan kematian.
Konsekuensi lebih lanjut sebagai dampak dari asfiksia antara lain:

1. Konsekuensi kardiovaskular

a. Hipertensi pulmonal yang berkaitan dengan proses hipoksemia


b. Disfungsi miokard yang berkaitan dengan hipoksemia

2. Konsekuensi Pulmonal

a. Penurunan produksi surfaktan

b. Edema paru

c. Sindrom Aspirasi mekonium

3. Konsekuensi Renal

a. Nekrosis tubular dan medular

b. Paralisis kandung kemih

4. Konsekuensi Sistem Saraf Pusat

a. Ensefalopati hipoksik-iskemik

b. Perdarahan intrakranial

2.11 Prognosis

Diperkirakan bahwa bayi yang teraspirasi mekonium memiliki mortalitas yang


lebih tinggi daripada mortalitas bayi yang tidak teraspirasi, dan aspirasi mekonium
biasanya menyebabkan proporsi kematian neonatus yang bermakna. Sisa masalah pada
paru jarang dijumpai, tetapi meliputi batuk bergejala, mengi, dan hiperinflasi persisten
selama 5-10 tahun. Prognosis akhir bergantung pada luasnya jejas sistem saraf pusat
akibat asfiksia, dan adanya masalah-masalah terkait seperti adanya sirkulasi janin.
BAB 3

KESIMPULAN

Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala yang


diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran pernafasan
bayi. Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu penyebab yang paling
sering menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi baru lahir aterm maupun post-
term. Mekonium yang terhirup bisa menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total
pada saluran pernafasan, sehingga terjadi gangguan pernafasan dan gangguan
pertukaran udara di paru-paru. Selain itu, mekonium juga berakibat pada iritasi dan
peradangan pada saluran udara, menyebabkan suatu pneumonia kimiawi. Diperkirakan
bahwa bayi yang teraspirasi mekonium memiliki mortalitas yang lebih tinggi daripada
mortalitas bayi yang tidak teraspirasi, dan aspirasi mekonium biasanya menyebabkan
proporsi kematian neonatus yang bermakna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arvin, B.K. diterjemahkan oleh Samik wahab. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak.

Vol. 1 Edisi 15. ECG : Jakarta. 2000. h. 600-601.


2. Mathur, NC. Meconium Aspiration Syndrome. 2007.
http://pediatricsforyou.in/home/pdf/MECONIUM%20ASPIRATION
%20SYNDROME.pdf. Diakses tanggal 25 Oktober 2015
3. Clark, M.B. Meconium Aspiration Syndrome. 2010. www.medscape.com/ http://
portal neonatal.com.br/outras-especialidades /arquivos/ Meconium Aspiration
Syndrome.pdf Diakses tanggal 26 Oktober 2015
4. Leu M. Meconium Aspiration Imaging, 2011 http://emedicine.medscape.com/
article/410756-overview#a22. Diakses tanggal 25 Oktober 2015
5. Hermansen, C.L., dan Kevin N. Lorah. Respiratory Distress in the Newborn. Am
Fam Physician. 2007 Oct 1;76(7):987-994.
http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.html 2007. Diakses tanggal 24 Oktober
2015
6. Yeh TF, Harris V, Srinivasan G, Lilien L, Pyati S. Roentgenographic findings
in infants with meconium aspiration syndrome. JAMA. 2000. H. 60–3
7. Yeh, TF. Core Concepts: Meconium Aspiration Syndrome: Pathogenesis and
Current Management. American Association of Pediatrics. http://neoreviews.aap
publications.org. 2010. Diakses tanggal 24 Oktober 2015
8. Gomella. Neonatology : Management Procedures Call Problems Sixth Edition.
Lange Clinical Science : New York. 2009.
9. Rudolph, CD, et al. Rudolph's Pediatrics, 21th Edition. McGraw-Hill Professional
: New York. 2002.

Anda mungkin juga menyukai