Aliran Hukum Alam
Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu, dan
muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedman
(1990 : 47), aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan
yang absolut. Hukum alam disini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan
abadi.
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran,
hakikat mahluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin
menjadi dasar bagi tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi
dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia (Soekanto, 1985 : 5-6).
Secara sederhana, menurut sumbernya, Aliran Hukum Alam dapat dibedakan dalam
dua macam : (1) irasional, dan (2) rasional. Aliran Hukum Alam yang irasional
berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan
secara langsung. Sebaliknya, Aliran Hukum Alam yang rasional berpendapat bahwa
sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pandangan yang
muncul setelah zaman Renesanse (era ketika rasio manusia dipandang lepas dari tertib
ketuhanan) berpendapat bahwa hukum alam tersebut muncul dari pikiran manusia
sendiri tentang apa yang baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada
kesusilaan (moral) alam.
Pendukung aliran hukum alam yang irasional antara lain adalah Thomas Aquinas,
John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe. Tokoh-tokoh
aliran hukum alam yang rasional anatara lain adalah Hugo de Groot (Grotius), Christian
Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Von Pufendorf.
Menurut Friedman (1990:47), hukum alam ini memiliki fungsi jamak, yakni : (1)
sebagai instrumen utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman
Romawi ke suatu sistem yang luas dan kosmopolitan; (2) digunakan sebagai senjata
oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara gereja pada abad pertengahan dan para
kaisar jerman; (3) sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya
hukum internasional, dan menuntut kebebasan individu terhadap absolutisme; dan (4)
prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim amerika (yang berhak
menafsirkan konstitusi) guna menentang usaha-usaha perundang-undangan negara
untuk memodifikasikan dan mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang
ekonomi.
1. Hukum Alam Irasional
Beberapa pendukung Aliran Hukum Alam Irasional yang akan diuraikan
pandangan-pandangannya adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri,
Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam, John Wycliffe, dan Johannes Huss.
Untuk jelasnya, ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu : (1) lex
aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra manusia),
(2) lex divinia (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindra manusia,
(3) lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio
manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di
dunia).
Diantara banyak karya tulisannya, tulisan paling masyhur dari Thomas Aquinas
berjudul Summa theologiae. Karya lainnya adalah De Ente et essentia dan Summa
Contra Gentiles.
POSITIVISME HUKUM
Positivisme hukum atau Aliran Hukum Positif memandang perlu memisahkan
secara tegas antara hukum dan moral, antara hukum yang berlaku dan hukum yang
seharusnya, antara das Sein dengan das Sollen.
1. Aliran Hukum Positif Analitis : John Austin
Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu : (1) perintah (command),
(2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty) dan kedaulatan (sovereignty). Buku
terpenting yang pernah ditulis Austin adalah The Porvince of Jurisprudence
Determined, dan ajarannya dikenal dengan sebutan The Imperative School.
2. Aliran Hukum Murni : Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hokum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis,
seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu
Sollenskategorie ( kategori keharusan/ideal ), bukan Seinskategorie ( kategori
faktual ).
Baginya , hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia
sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah
“bagaimana hokum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa
hukumnya” ( what the law is ). Dengan demikian, walaupun hukum itu
Sollenskategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang
dicita-citakan ( ius constituendum ).
Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin,
walaupun Kelsen mengatakan bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-
teorinya, ia sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Walaupun demikian, asal-
usul filosofis antara pemikiran Kelsen dan Austin berbeda. Kelsen mendasarkan
pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan Austin pada Utilitarianisme.
Kelsen dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan Pemikiran
Kant tentang pemisahan antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan
dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum
berada diluar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia
tetaplah hokum karena dikeluarkan oleh penguasa.
Disisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya
dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan
masyarakat yang diatur sudah tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian,
penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum pidana,
misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan istilah
dekriminalisasi dan depenalisasi, sehingga suatu ketentuan dalam hukum positif
menjadi tidak mempunyai daya berlaku lagi, terutama secara sosiologis.
Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap
berjasa dalam mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang semula
dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu
sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih
rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin
tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi,
yang menduduki puncak piramida disebut Kelsen dengan nama Grundnorm (norma
dasar) atau Ursprungnorm.
Teori jenjang dari Kelsen ini kemudian dikembangkan lagi oleh muridnyaHans
Nawiasky. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan pembahasannya pada
norma hukum saja. Sebagai penganut aliran hukum positif, hukum disini pun
diartikan identic dengan perundang-undangan (peraturan yang dikeluarkan oleh
penguasa). Teori dari Nawiasky disebut Lehre von dem Stufenaufbau der
Rechtsorfnung.
Karya penting Hans Kelsen antara lain berjudul : (1) The Pure Theory of Law, dan
(2) General Theory of Law and State. Ajaran yang dikemukakan oleh Kelsen acapkali
disebut Mahzab Wina.
Sistem Hukum di Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan
oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut. Hal ini tampak jelas dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia. Ketetapan MPRS tersebut diperkuat lagi dengan Ketetapan MPR
No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang Berupa Ketetapan-
ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Sementara Repiblik Indonesia dan
Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang
Termaktub dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indinesia No. V/MPR/1973.
Dua ketetapan yang disebutkan terakhir memperkuat keberlakuan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966, sekalipun dengan catatan “perlu disempurnakan”.
Sayangnya, penyempurnaan yang diamanatkan oleh dua ketetapan tersebut sampai
sekarang belum optimal, sekalipun sudah diberlakukan Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000. Beberapa ahli hukum, seperti A. Hamid S. Atamimi, telah mencoba
memberikan beberapa catatan untuk menyempurnakan Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966.
UTILITARIANISME
Utlitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak
mungkin tercapai (dan pasti todak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu
dinikmati oelh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the
greatest happiness for the greatest number of people).
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum,
mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum
adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum
merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio
semata.
Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Bentham, John Stuart
Mill, dan Rudolf Von Jhering.
Tulisan Bentham yang aslinya berasal dari bahasa perancis antara lain berjudul:
An Introduction to the Princeples of Moral and Legislation
Theory of Legislation, Principles of the Civil Code
A Fragment of Government
Constitutional Code
The Rationale og Judicial Evidence
Of Laws in General
MAZHAB SEJARAH
Mazhab Sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal, yaitu:
1. Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan
prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum.
2. Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
cosmopolitan (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk
mengatasi lingkungannya).
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum
karena undang-undang dapat memecahkan semua masalah hukum.
Di samping itu terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah
berakhir masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut, guru besar pada
Universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul
Uber die Notwendigkeit eines Allegemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutchland
(Tentang Keharusan Suatu Hukum Perdata bagi Jerman).
Mazhab Sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika
sebelumnya para ahli hukum memfpkuskan perhatiannya pada individu, penganut
Mazhab Sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa bangsa. Tokoh-tokoh
penting Mazhab Sejarah adalah von Savigny, Puncta, dan Henry Sumner Maine.
2. Puncta
Puncta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa
(Volkgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut, menurut Puncta dapat berbentuk:
(1) langsung berupa adat istiadat, (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu
hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Puncta membedakan pengertian “bangsa” ini dalam dua jenis: (1) bangsa dalam
pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam”, dan (2) bangsa dlalam arti
nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu Negara. Menurut Puncta,
keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak
umum masyarakat yang terorganisai dalam Negara. Negara mengesahkan hukum itu
dengan membentuk undang-undang.
Oleh karena itu, menurut Huijbers, pemikiran Puncta ini sebenarnya tidak jauh
dari Teori Absolutisme Negara dan Positivisme Yuridis.Buku Puncta yang terkenal
berjudul Gewohnheitsrecht.
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton (1951:17-21), kurang
tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode
fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut Sociological Jurisprudence ini
dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional”
seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antara Sociological
Jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).
Menurut Lily Rasjidi (1990:47-48), perbedaan antara Sociology Jurisprudence dan
sosiologi hukum adalah sebagai berikut. Pertama, Sociology Jurisprudence adalah nama
aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi. Kedua,
walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik
antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological
Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi
hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah bahwa sosiologi hukum
berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan social sebagai suatu
keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara
umum) dan ilmu politik. Titik berat penyelidikan sosiologi hukum terletak pada
masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Sociological
Jurisprudence (seperti yang dikemukan Pound) menitikberatkan pada hukum dan
memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum (Paton, 1951:21)
Menurut Aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran ini memisahkan secara
tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law).
Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan (antitesis)
Mazhab Sejarah.
Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgivers), sebaliknya Mahzab
Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedau lebih mementingkan
pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Aliran Sociological Jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam
pembangunan hukum Indonesia. Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara
lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
REALISME HUKUM
Realisme diidentikan dengan Pragmatic Legal Realism, dan pembahasan keduanya
dijadikan satu. Pragmatic Legal Realism akan dimasukkan dalam Realisme Amerika
karena memang sikap pragmatisme yang terkandung dalam Realisme itu lebih bayak
muncul di Amerika.
Huijbers (1988: 175) menulis:
Pragmatisme ini memang merupakan suatu sistem filsafat akan tetapi lebih- lebih
suatu sikap. Sikap pragmatis ini cukup umum di Amerika dan dianggap sebagai
realistis. Oleh karena itu mahzab hukum yang muncul di Amerika berdasarkan
prinsip- prinsip yang disebut tadi diberi nama mahzab realisme hukum. Juga di
Skandinavia munculah suatu mazhab realisme hukum, tetapi mahzab ini mencari
kebenaran suatu pengertian dalam situasi tertentu dengan menggunakan ilmu
psikologi.
Dalam pandangan penganut Realisme (para realis), hukum adalah hasil dari
kekuatan- kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum
realis hampir tidak terbatas. Karl N. Llewellyn, yang juga dikenal sebagai seorang ahli
sosiologi hukum, menyebutkan beberapa ciri dari Realisme ini, yang terpenting di
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada mahzab realis; realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang
hukum (Friedmann, 1990: 191).
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan- tujuan
sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung
konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan
yang harus ada, untuk tujuan- tujuan studi.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan- ketentuan dan konsepsi- konsepsi hukum,
sepanjang ketentuan- ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang
sebenarnya dilakukan oleh pengadilan- pengadilan dan orang- orang. Sesuai dengan
kepercayaan itu, Realisme menggolongkan kasus- kasus ke dalam kategori- kategori
yang lebih kecil daripada yang terdapat dalam praktik di masa lampau.
5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan
akibatnya (Friedmann, 1990: 191- 192)
Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur
suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap
sebagai hukum dalam buku- buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim
akan memutuskan.
Realisme sebagai suatu gerakan dapat di bedakan dalam dua kelompok, yaitu
Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia. Skala gerakan Realisme Skandinavia lebih
luas daripada Realisme Amerika karena pusat perhatiannya bukanlah para fungsionaris
hukum (khususnya hakim), tetapi justru orang- orang yang berada di bawah hukum.
Realisme Skandinavia ini banyak menggunakan dalil- dalil psikologi dalam menjelaskan
pandangannya.
Menurut Friedmann (1990: 201), persamaan Realisme Skandivania dan Realisme
Amerika adalah semata- mata verbal. Realisme Amerika adalah hasil dari pendekatan
pragmatis dan “paling sopan” pada lembaga- lembaga sosial. Sebaliknya, Realisme
Skandinavia semata- mata kritik falsafiah atas dasar- dasar metafisis dari hukum.
R.W.M. Dias, menyatakan bahwa apabila di Amerika Serikat para realis hukum
berasal dari kalangan praktik maupun pengajaran, maka di Skandinavia mereka
mendekati tugasnya pada peringkat yang lebih abstrak, dengan pendidikan sebagai
filsuf (Rahardjo, 1986:269)
Realisme Amerika
Pendekatan pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-
ketentuan hukum di kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa- peristiwa konkret yang
muncul. Dengan penyelidikan terhadap faktor- faktor sosial berdasarkan pendekatan
yang interdispliner, dapat disinkronkan antara apa yang dikhendaki hukum dan fakta-
fakta (realita) kehidupan sosial. Semua ini diarahkan agar hukum dapat bekerja secara
lebih efektif.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai
penemu hukum dari pada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-
undangan.
Pokok- pokok pendekatan kaum realis menurut Karl Llwellyn, sebagaimana dikutip
oleh R.W.M. Dias dalam bukunya Jurisprudence, adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya konsepsi harus menyinggung hukum yang berubah- ubah dan hkum
yang diciptakan oleh pengadilan.
2. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan- tujuan sosial.
3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan oleh karenanya selalu ada
kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problem- problem
sosial yang ada
4. Guna keperluan studi, untuk sementara harus ada pemisahan antara is dengan
ought.
5. Tidak mempercayai anggapan bahwa peraturan- peraturan dan konsep- konsep
hukum itu sudah mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh
pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan mereka
terhadap hukum.
6. Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional bahwa
peraturan hukum itu merupakan factor utama dalam mengambil keputusan.
7. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit, sehingga lebih
nyata. Peraturan- peraturan hukum itu meliputi situasi- situasi yang banyak dan
berlain- lainan, oleh karena itu ia bersifat umum, tidak konkret, dan tidak nyata.
8. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektivitasnya dan kemanfaatannya untuk
menemukan efek- efek tersebut (Rahardjo, 1986: 269)
Tokoh- tokoh utama Realisme Amerika antara lain Charles Sanders Pierce, Jhon
Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes Jr., William James, Jhon Dewey, B.N.Cardozo, dan
Jerome Frank.
1. Charles Sanders Pierce (1839- 1914)
Pragmatisme menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu
pengetahuan teoritis yang benar. Oleh karena itu ide- ide perlu diselidiki dalam
praktik hidup. Hal ini diuraikan Pierce dalam makalahnya berjudul How to Make
Our Ideas Clear? (1878). Menurut Pierce ide- ide diterangkan dengan jalan analitis.
Metode analitis ini harus digunakan secara fungsional, yakni dengan menyelidiki
seluruh konteks suatu pengertian dalam praktik hidup. Maka kebenaran merupakan
hasil penyelidikan situasi secara empiris. Oleh karena itu tepatlah bahwa kata
pragmatis dipakai oleh Pierce dalam arti empiris atau eksperimental.
Karya Pierce antara lain berjudul Pragmatism and Pragmaticism.
2. John Chipman Gray ( 1839-1915 )
Sebagaimana ciri Realisme Amerika, Gray menempatkan hakim sebagai pusat
perhatiannya. Semboyannya yang terkenal adalah All the law is judge-made-law.
Ia menyatakan bahwa di samping logika sebagai faktor penting dalam
pembentukan perundang-undangan, unsur kepribadian, prasangka, dan faktor-
faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan
hukum. Untuk membuktikan pandangannya, Gray mengemukakan contoh dari
sejarah hukum di Inggris dan Amerika yang menunjukan bagaimana faktor-faktor
politik, ekonomi, dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim-hakim tertentu telah
meyelesaikan soal-soal yang penting untuk jutaan orang selama ratusan tahun
(Friedmann, 1990: 188).
Karangan Gray yang penting disinggung di sini berjudul The Nature and Sources
of the Law.
8. Alex hagerstrom(1868-1939)
Hagerstorm yang seorang sarjana swedia melihat bahwa rakyat romawi menaati
hukum secara irasional yang berdasarkan bayangan yang bersifat magis atau
ketakutan pada takhyul, metafisis, dan segala pikiran metafisis yang hanyalah
khayalan belaka.
Hagerstrom, menyatakan bahwa hukum seharusnya diselidiki dengan bertitik
tolak pada data empiris, yang dpaat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun
yang dimaksud dengan perasaan psikologis ini adalah rasa wajib, rasa kuasa
dalamm mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan dan sebagainya.
FREIRECHTSLEHRE
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras
Positivisme Hukum yang alirannya sejalan dengan realisme hukum tapi ajaran
Freirechtslehre lebih jauh daripada realisme hukum yang menitikberatkan pada
penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat.
Menurut Sudikno Mertolusumo bahwa penemuan hukum bebas bukanlah peradilan
yang tidak terikat pada undang-undang, tapi undang-undang bukan merupakan peranan
utama tetapi hanya sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat
menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Aliran Freirechtslehre muncul di jerman dan menurut friedmann yang dimaksud
dengan ilmu hukum analitis adalah aliran yang dibawakan antara lain oleh Austin,
sedangkan ilmu hukum sosiologis adalah aliran dari Ehrlich dan pound.
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan
hukum, dan menciptakan penyelesaian yang tepat untuk pristiwa konkret sehingga
peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang diciptakan oleh
hakim.
Dalam bukunya Freie Rechtsfindung (1903) Ehrlich mendalilkan penemuan hukum
secara bebas dalam semua kasus, kecuali kasus-kasus yang hukumnya sudah jelas,
pengecualian ini relatif sedikit, sedangkan dalam bukunya yang lain yaitu
freirechtbewegung (1911) menyatakan bahwa pengadilan berhak untuk mengubah
hukum apabila hukum yang ada menghasilkan suatu malapetaka umum
(Massenkalamitat). Fuch mengembangkan ajaran yang kuat ciri politiknya yang
disebutkan antara lain ajaran tersebut tentang hak pengadilan untuk menguji
keabsahan undang-undang dan ajaran yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung
mengenai risiko bersama antara majikan dan karyawan.
Herman Isay menolak penemuan hukum berdasarkan proses rasional, menurutnya
penemuan hukum merupakan suatu proses intuitif yang dituntut oleh perasaan-
perasaan dan perasangka-perasangka tertentu, sedangkan alasan logis digantikan
sebagai pemikiran sesudahnya untuk proses naluriah itu, dan dipakai untuk
meyakinkan akan adanya dunia yang lain.