Anda di halaman 1dari 29

ALIRAN HUKUM ALAM

Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu, dan
muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedman
(1990 : 47), aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan
yang absolut. Hukum alam disini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan
abadi.
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran,
hakikat mahluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin
menjadi dasar bagi tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi
dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia (Soekanto, 1985 : 5-6).
Secara sederhana, menurut sumbernya, Aliran Hukum Alam dapat dibedakan dalam
dua macam : (1) irasional, dan (2) rasional. Aliran Hukum Alam yang irasional
berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan
secara langsung. Sebaliknya, Aliran Hukum Alam yang rasional berpendapat bahwa
sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pandangan yang
muncul setelah zaman Renesanse (era ketika rasio manusia dipandang lepas dari tertib
ketuhanan) berpendapat bahwa hukum alam tersebut muncul dari pikiran manusia
sendiri tentang apa yang baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada
kesusilaan (moral) alam.
Pendukung aliran hukum alam yang irasional antara lain adalah Thomas Aquinas,
John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe. Tokoh-tokoh
aliran hukum alam yang rasional anatara lain adalah Hugo de Groot (Grotius), Christian
Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Von Pufendorf.
Menurut Friedman (1990:47), hukum alam ini memiliki fungsi jamak, yakni : (1)
sebagai instrumen utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman
Romawi ke suatu sistem yang luas dan kosmopolitan; (2) digunakan sebagai senjata
oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara gereja pada abad pertengahan dan para
kaisar jerman; (3) sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya
hukum internasional, dan menuntut kebebasan individu terhadap absolutisme; dan (4)
prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim amerika (yang berhak
menafsirkan konstitusi) guna menentang usaha-usaha perundang-undangan negara
untuk memodifikasikan dan mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang
ekonomi.
1. Hukum Alam Irasional
Beberapa pendukung Aliran Hukum Alam Irasional yang akan diuraikan
pandangan-pandangannya adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri,
Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam, John Wycliffe, dan Johannes Huss.

Thomas Aquinas (1225-1274)


Filsafat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Ia mengakui bahwa di
samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya, ada
pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan
iman. Sekalipun akal manusia tidak dapat memecahkan misteri, ia dapat meratakan
jalan menuju pemahaman terhadapnya. Dengan demikian, menurut Aquinas, ada
dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu : (1) pengetahuan alamiah
(berpangkal pada akal), dan (2) pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi).
Pembedaan tersebut juga digunakan oleh Aquinas dalam menjelaskan perbedaan
antara filsafat dengan teologia.
Berbicara tentang hukum, Aquinas mendefinisikannya sebagai ketentuan akal
untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat.
Lengkapnya, dalam tulisannya Treatise on Law, Aquinas mengatakan, “Law is
nothing else than an ordinance of reason for the common good, promulgated by him
who has the care of the community” (Lyons, 1983:7).
Mengenai pembagian hukum, Friedman (1990:62) menggambarkan pemikiran
Aquinas dengan menyatakan :
Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan, seluruh
masyarakat di alam semesta diatur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum
Tuhan berada diatas segala-galanya. Sekalipun demikian, tidak seluruh hukum
Tuhan dapat diperoleh oleh manusia. Bagian semacam ini dapat dimengerti oleh
manusia, dan diungkapkan melalui hukum abadi sebagai penjelmaan kearifan
Tuhan, yang mengatur semua tindakan dan pergerakan. Hukum alam adalah
bagian dari hukum Tuhan, bagian yang diungkapkan dalam pikiran alam.
Manusia sebagai mahluk yang berakal, menerapkan bagian dari hukum Tuhan
ini terhadap kehidupan manusia, sehingga ia dapat membedakan yang baik dan
buruk. Hal tersebut berasal dari prinsip-prinsip hukum abadi, sebagaimana
terungkap dalam hukum a;am, yang merupakan sumber dari sumber hukum
manusia. Tetapi Thomas Aquinas menetapkan kategori keempat, yang rupa-
rupanya berada dalam hubungan yang sama dengan hukum manusia, seperti
hubungan anatara hukum abadi dan hukum alam. Ini disebutnya lex divina,
hukum positif yang ditetapkan oleh tuhan di dalam injil untuk seluruh umat
manusia. Seluruh hukum yang ditetapkan oleh kekuasaan manusia, yakni hukum
positif, harus berada dalam batas-batas ini. Dalam hierarki nilai-nilai hukum,
mungkin lex divina itu tidak dapat dikategorikan. Tetapi lex divina itu bertugas
mengokohkan kedudukan gereja sebagai penafsir otentik hukum Tuhan
sebagaimana dicantumkan dalam injil. Mungkin orang mau mengatakan, bahwa
lex divina adalah penjelasan dari akal budi Tuhan yang tertulis, dan hukum alam
yang tidak tertulis. Adapun yang paling rendah menjadi hukum positif, yang
berlaku hanya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum alam, dan tentu saja
dengan hukum abadi. Hukum manusia merupakan bagian dan bidang kecil dari
kekuasaan Tuhan; tidak ada pemisahan antara kepercayaan dan akal; akal
adalah bagian dari manifestasi kepercayaan.

Untuk jelasnya, ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu : (1) lex
aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra manusia),
(2) lex divinia (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindra manusia,
(3) lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio
manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di
dunia).
Diantara banyak karya tulisannya, tulisan paling masyhur dari Thomas Aquinas
berjudul Summa theologiae. Karya lainnya adalah De Ente et essentia dan Summa
Contra Gentiles.

John Salisbury (1115-1180)


Salisbury adalah rohaniawan pada Abad Pertengahan. Ia banyak mengritik
kesewenang-wenangan penguasa waktu itu. Menurutnya, Gereja dan negara perlu
bekerja sama ibarat hubungan organis antara jiwa dan raga.
Dalam menjalankan pemerintahannya, penguasa wajib memperhatikan hukum
tertulis dan tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum-hukum Allah.
Tugas rohaniawan adalah membimbing penguasa agar tidak merugikan
kepentingan rakyat, dan menurutnya, bahkan penguasa itu seharusnya menjadi
abdi gereja.
Menurut Salisbury, jikalau masing-masing penduduk bekerja untuk
kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan terpelihara dengan sebaik-
baiknya (Schmid, 1965:91). Salisbury juga melukiskan kehidupan bernegara itu
seperti kehidupan dalam sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari
semua unsur; suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.
Pemikiran Salisbury dituangkannya dalam satu kumpulan buku (delapan jilid)
yang berjudul policraticus sive de Nubis Curialtum et Vestigiis Philosophorum Libri
VIII. Selain itu, terdapat bukunya yang berjudul Metalogicus.

Dante Alighieri (1265-1321)


Seperti halnya dengan filsuf-filsuf Abad pertengahan, filsafat Dante sebagian
besar merupakan tanggapan terhadap situasi yang kacau-balau pada masa itu.
Baik Jerman maupun Prancis pada abad pertengahan menghadapi perselisihan
dengan kekuasaan Paus di Roma. Dante, dalam hal ini berada pada kubu penguasa.
Ia amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada Gereja. Baginya,
keadilan baru dapat ditegakan apabila pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu
tangan saja berupa pemerintahan yang absolut.
Dante berusaha memberikan legitimasiterhadap kekuasaan monarki yang
bersifat mondial. Monarki dunia inilah yang menjadi bahan tertinggi yang
memutuskan perselisihan antara penguasa yang satu dengan lainnya. Dasar hukum
yang dijadikan pegangan adalah hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum
Tuhan. Menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari Tuhan
sebagai monarki dunia ini adalah Kekaisaran Romawi. Hanya saja, Pada Abad
Pertengahan Kekaisaran Romawi itu sudah diantikan oleh kekuasaan Jerman dan
kemudian oleh Prancis di Eropa.
Karangan Dante yang penting berjudul De Monarchia.

Piere Dubois (lahir 1255)


Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka prancis. Kedudukannya sebagai
pengacara raja Prancis pada masa itu selaras dengan pandangan-pandangan nya
yang propenguasa. Ia mencita-citakan suatu kerajaan Prancis yang mahaluas, yang
menjadi perintah tunggal dunia. Di sini tamapak, bahwa Dubois sangat meyakini
adanya hukum yang dapat berlaku universal.
Sama seperti filsuf Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat
langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa perlu melewati pemimpin Gereja.
Bahkan, Dubois ingin agar kekuasaan duniawi Gereja (paus) dicabut dan diserahkan
sepenuhnya kepada raja.
Menurut Schid (1965: 108-109), dalam beberapa hal, pemikiran-pemikiran
Dubois telah mampu menjawab kebutuhan hukum pada abad-abad kemudian.
Misalnya saja, ia mengusulkan agar hubungan negara-negara (dibawah kekuasaan
Prancis) itu diatur dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita pada badan PBB
sekarang. Ia juga menyetakan, bahwa raja pun memiliki kekuasaan membentuk
undang-undang, tetapi raja tidak terikat untuk mematuhinya.
Bukunya yang terpenting adalah De Recuperatione Terre Sancte (Tentang
Penaklukan Kembali Tanah Suci).

Marsilius Padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317)


Pemikiran Marsilius Padua seringkali diuraikan bersama-sama dengan
pemikiran William Occam, mengingat keduanya banyak persamaanya. J.J Von
Schmid (1965:109) menyebutkan, kedua orang ini termasuk tokoh penting abad ke
14, sama-sama dari ordo Fransiscan, dan pernah memberikuliah di universitas di
kota Paris. Karena pertentangannya terhadap pemikiran Gereja, kedua orang ini
juga sama-sama dikeluarkan dari gereja oleh paus.
Padua berpendapat bahwa negara berada diatas kekuasaan paus.
Padua dalam berpendapat tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh
Aristoteles, tetapi dalam banyak hal pemikirannya mirip dengan Rousseau.
Pendapat Pandua sebagai berikut :
1. negara berada di atas kekuasaan paus, yang mana kedaulatan tertinggi berada
ditangan rakyat.
2. Tujuan Negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi warga Negara agar dapat mengembangkan
dirinya secara bebas.
3. Kekuasaan Negara adalah dibatasi oleh undang-undang dan tidak absolut,
karena hukum harus mengabdi kepada rakyat, rakyat bisa menghukum hingga
memberhentikan raja yang melanggar undang-undang.

Karangan Padua adalah Defensor Pacis. Sedangkan Occam menghasilkan suatu


karya berjudul De Imperatorum et Pontificum Potestate. Pendapat Occam
berbanding terbalik dengan Thomas Aquinas (yang meyakini kemampuan rasio
manusia untuk mengungkapkan kebenaran) yakni, rasio manusia tidak dapat
memastikan suatu kebenaran.

John Wycliffe (1320-1384) dan Johannes Huss 91369-1415)


Wycliffe adalah seorang filsuf dari Inggris yang menolak adanya hak-hak paus
menerima upeti dari raja Inggris, dengan memisahkan antara hubungan kekuasaan
ketuhanan dengan kekuasaan duniawi yang masing-masing mempunyai bidangnya
sendiri dan tidak boleh saling mencampuri. Sedangkan, Huss juga mengatakan
Gereja tidak perlu memiliki hak milik, antara paus dengan hierarki Gereja tidak
diadakan menurut perintah Tuhan, melainkan Gereja yang sebenarnya dibentuk
oleh semua orang yang beriman.

2. Hukum Alam Rasional


Ada beberapa tokoh dari aliran ini antara lain :
a. Hugo de Groot alias Grotius (1583-1645)
Beliau dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional yang mempopulerkan
konsep-konsep hukum dalam hubungan antarnegara, seperti hukum perang
dan damai. Menurutnya, sumber hukum adalah rasio manusia, yang seluruh
kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio). Hukum
alam menurutnya adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia yang tidak
mungkin dapat diubah. Karya beliau yang terkenal adalah De Jure Belli ac Pacis,
dan Mare Liberium.
b. Samuel von pufendorf (1632-1694) dan Christian Thomasius (1655-1728)
Pufendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari
akal pikiran yang murni berdasarkan unsur naluriah manusia yang lebih
berperan. Oleh karena timbul pertentangan kepentingan satu dengan lainnya,
maak dibuatlah 2 macam perjanjian, yaitu perjanjian secara sukarela kemudian
dibuat juga perjanjian penakhlukan oleh raja. Karangan terpentingnya adalah
Fundamental Juris Nature et Gentium.
Sedangkan oleh Thomasius, manusia hidup dengan berbagai macam naluri yang
saling bertentangan dan dierlukan baginya aturan-aturan yang mengikat, agar
mendapatkan kepastian tindakan ke dalam maupun ke luar.
c. Immanuel Kant (1724-1804)
Filsafat Kant dikenal sebagai filsafat kritis, merupakan lawan dari dogmatis.
Awalnya di jaman prakritis Kant menganut pendirian rasionalistis yang
dilancarkan oleh Wolff. Namun, akibat pengaruh David Hume (1711-1776),
Kant berangsur-angsur meninggalkan rasionalismenya. Hume sendir dikenal
sebagai tokoh empirisme yang bertentangan dengan rasionalisme. Empirisme
berpendapat sumber pengetahuan manusia bukan rasio melainkann
pengalaman atau empiri khususnya pengalaman inderawi. Kritisisme adalah
filsafat yang memulai perjalanan dengan terlebih dahulu menyelidiki
kemampuan dan batas rasio. Ada 3 buku utama karangan Kant :
1. Kritik der reinen Vernunft (1781) atau “Kritik atas Rasio Murni”, yang
melahirkan ilmu pengetahuan. Titik berat Kant terhadap kritisisme pada
kritik ini.
2. Kritik der pratischen Vernunft (1788) atau “Kritik atas Rasio Praktis”, yang
melahirkan etika.
3. Kritik der Urteilskraft (1790) atau “Kritis atas Daya Pertimbangan”, yang
melahirkan kesenian.
4. Metaphysische Anfangsgrunde der Rechtslehre.

POSITIVISME HUKUM
Positivisme hukum atau Aliran Hukum Positif memandang perlu memisahkan
secara tegas antara hukum dan moral, antara hukum yang berlaku dan hukum yang
seharusnya, antara das Sein dengan das Sollen.
1. Aliran Hukum Positif Analitis : John Austin
Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu : (1) perintah (command),
(2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty) dan kedaulatan (sovereignty). Buku
terpenting yang pernah ditulis Austin adalah The Porvince of Jurisprudence
Determined, dan ajarannya dikenal dengan sebutan The Imperative School.
2. Aliran Hukum Murni : Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hokum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis,
seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu
Sollenskategorie ( kategori keharusan/ideal ), bukan Seinskategorie ( kategori
faktual ).
Baginya , hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia
sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah
“bagaimana hokum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa
hukumnya” ( what the law is ). Dengan demikian, walaupun hukum itu
Sollenskategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang
dicita-citakan ( ius constituendum ).
Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin,
walaupun Kelsen mengatakan bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-
teorinya, ia sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Walaupun demikian, asal-
usul filosofis antara pemikiran Kelsen dan Austin berbeda. Kelsen mendasarkan
pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan Austin pada Utilitarianisme.
Kelsen dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan Pemikiran
Kant tentang pemisahan antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan
dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum
berada diluar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia
tetaplah hokum karena dikeluarkan oleh penguasa.
Disisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya
dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan
masyarakat yang diatur sudah tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian,
penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum pidana,
misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan istilah
dekriminalisasi dan depenalisasi, sehingga suatu ketentuan dalam hukum positif
menjadi tidak mempunyai daya berlaku lagi, terutama secara sosiologis.
Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap
berjasa dalam mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang semula
dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu
sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih
rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin
tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi,
yang menduduki puncak piramida disebut Kelsen dengan nama Grundnorm (norma
dasar) atau Ursprungnorm.
Teori jenjang dari Kelsen ini kemudian dikembangkan lagi oleh muridnyaHans
Nawiasky. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan pembahasannya pada
norma hukum saja. Sebagai penganut aliran hukum positif, hukum disini pun
diartikan identic dengan perundang-undangan (peraturan yang dikeluarkan oleh
penguasa). Teori dari Nawiasky disebut Lehre von dem Stufenaufbau der
Rechtsorfnung.
Karya penting Hans Kelsen antara lain berjudul : (1) The Pure Theory of Law, dan
(2) General Theory of Law and State. Ajaran yang dikemukakan oleh Kelsen acapkali
disebut Mahzab Wina.
Sistem Hukum di Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan
oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut. Hal ini tampak jelas dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia. Ketetapan MPRS tersebut diperkuat lagi dengan Ketetapan MPR
No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang Berupa Ketetapan-
ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Sementara Repiblik Indonesia dan
Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang
Termaktub dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indinesia No. V/MPR/1973.
Dua ketetapan yang disebutkan terakhir memperkuat keberlakuan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966, sekalipun dengan catatan “perlu disempurnakan”.
Sayangnya, penyempurnaan yang diamanatkan oleh dua ketetapan tersebut sampai
sekarang belum optimal, sekalipun sudah diberlakukan Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000. Beberapa ahli hukum, seperti A. Hamid S. Atamimi, telah mencoba
memberikan beberapa catatan untuk menyempurnakan Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966.
UTILITARIANISME
Utlitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak
mungkin tercapai (dan pasti todak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu
dinikmati oelh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the
greatest happiness for the greatest number of people).
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum,
mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum
adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum
merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio
semata.
Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Bentham, John Stuart
Mill, dan Rudolf Von Jhering.

1. Jeremy Bentham (1748-1832)


Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan.
Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada
keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kebahagiaan dan
kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan.
Tegasnya, memelihara kegunaan.
Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar
terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan
jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat
secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa
disamping kepentingan individu, kepentingan masyarakatpun perlu diperhatikan.
Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan
sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo
homoni lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain).
Untuk menyeimbangkan antar kepentingan (individu dan masyarakat), Bentham
menyarankan agar ada “simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik
berat perhatian harus tetap pada individu itu, karena apabila setiap individu telah
memperoleh kebahagiaan (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan
secara simultan.
Pemidanaan, menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan
berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk
mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemindanaan hanya
bisa diterima apabila ia memberikan harapanbagi tercegahnya kejahatan yang lebih
besar. Ajaran seperti ini didasarkan atas hedonistic utilitarianism.
Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh Friedmann:
1. Rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner mencegahnya melihat
individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini menyebabkannya terlalu
melebih-lebihkan kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan
perlunya individualisasi kebijakan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Ia
juga terlalu yakin dengan kemungkinan kodifikasi ilmiah yang lengkap melalui
prinsip-prinsip yang rasional, sehingga ia tidak lagi menghiraukan perbedaan-
perbedaan nasional atau historis. Padahal, pengalaman terhadap kodifikasi
diberbagai negara menunjukkan , bahwa penafsiran yang elastis dan bebas dari
hakim senantiasa dibutuhkan.
2. Kegagalan Bentham untuk menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.

Tulisan Bentham yang aslinya berasal dari bahasa perancis antara lain berjudul:
 An Introduction to the Princeples of Moral and Legislation
 Theory of Legislation, Principles of the Civil Code
 A Fragment of Government
 Constitutional Code
 The Rationale og Judicial Evidence
 Of Laws in General

2. John Stuart Mill (1806-1873)


Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis, yang pada
awalnya dikembangkan oleh ayahnya sendiri James Mill. Ia menyatakan bahwa
tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan
itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi, yang ingin dicapai oleh
manusia itu bukanlah benda atu sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang
dapat ditimbulkannya.
Dalam sejarah filsafat, Mill sering digolongkan sebagai penganut Positivisme
Hukum. Hal ini dapat dimengerti karena Mill sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Positivisme dari Auguste Comte (1798-1857). Walaupun demikian, Mill tidak setuju
dengan Comte yang menyatakan bahwa psikologi bukanlah ilmu.
Bagi Mill, psikologo justru merupakan ilmu yang paling fundamental. Psikologis
mempelajari penginderaan-penginderaan terjadi menurut asosiasi. Psikologis harus
memperlihatkan bagaimana asosiasi penginderaan satu dengan asosiasi
penginderaan lain diadakan menurut hukum-hukum tetap. Itu sebabnya psikologi
merupakan dasar bagi ilmu lain, termasuk juga logika.
Menurut Friedmann, peran Mill dalam ilmu hukum terletak dalam
penyelidikannya mengenai hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan
individu, dan kepentingan umum. Mill menolak pandangan bentham yang
berasumsi bahwa antara kepentingan individu dan kepentingan umum tidak ada
pertentangan. Mill juga menolak cara pandang Immanuel Kant yang mengajarkan
agar individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Karena menurut Mill,
tidaklah dapat dimengerti mengapa individu harus mengekang usaha-usahanya
untuk kebahagiaan demi kepentingan anggota-anggota lain dari masyarakat.
Mill menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakikatnya,
perasan individu akan keadilan akan membuat individu itu menyesal dan ingin
membalas denda, kepada tiap yang tidak menyenangkangkannya. Rasa sesal dan
keinginan demikian dapat diperbaiki dengan perasaan sosialnya (Mill menelaah
masalah ini dengan pandangan psikologi). Seperti dikutip oleh Friedmann, Mill
menyatakan bahwa orang-orang yang baik menyesalkan tindakan-tindakan yang
tidak baik terhadap masyarakat, walaupun tidak me.............................
3. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, sedangkan rekannya
Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifat social. Teori von Jhering
merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme Hukum
dari John Austin. Mula-mula von Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dipelopori
oleh von Savigny dan Puncta. Menurut von Savigny, seluruh hukum Romawi
merupakan pernyataan jiwa bangsa Romawi, dan karenanya merupakan hukum
nasional. Von Jhering mendukung pandangan von Savigny bahwa hukum Romawi
dapat digunakan sebagai dasar hukum nasional Jerman, tetapi alasannya berlainan.
Hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi
itu bersifat nasional, tetapi justru karena hukum Romawi dalam perkembangannya
sudah berhadapan dengan banyak aturan hidup lain, sehingga hukum itu lebih
bersifat universal daripada nasional. Karya-karya Jhering antara lain berjudul: (1)
Der Zweck in Recht, (2) Scherz und Ernst in der Jurisprudenz, (3) Der
Schuldmoment im romischen Privatrecht.

MAZHAB SEJARAH
Mazhab Sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal, yaitu:
1. Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan
prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum.
2. Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
cosmopolitan (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk
mengatasi lingkungannya).
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum
karena undang-undang dapat memecahkan semua masalah hukum.

Di samping itu terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah
berakhir masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut, guru besar pada
Universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul
Uber die Notwendigkeit eines Allegemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutchland
(Tentang Keharusan Suatu Hukum Perdata bagi Jerman).
Mazhab Sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika
sebelumnya para ahli hukum memfpkuskan perhatiannya pada individu, penganut
Mazhab Sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa bangsa. Tokoh-tokoh
penting Mazhab Sejarah adalah von Savigny, Puncta, dan Henry Sumner Maine.

1. Friedrich Karl von Savigny


Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu dengan timbulnya Bahasa suatu
bangsa. Menurut Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau
karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletakk di dalam jiwa
bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti
diungkapkannya, “Law is an expression of trhe common consciousness or spirit of
people.” Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat.Walaupun Savigny menyatakan bahwa hukum itu tidak muncul dari
kebiasaan , pengejawntahanyang paling konkret dari Volkgeist itu dalam
kenyataannya adalah kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat.

2. Puncta
Puncta berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa
(Volkgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut, menurut Puncta dapat berbentuk:
(1) langsung berupa adat istiadat, (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu
hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Puncta membedakan pengertian “bangsa” ini dalam dua jenis: (1) bangsa dalam
pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam”, dan (2) bangsa dlalam arti
nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu Negara. Menurut Puncta,
keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak
umum masyarakat yang terorganisai dalam Negara. Negara mengesahkan hukum itu
dengan membentuk undang-undang.
Oleh karena itu, menurut Huijbers, pemikiran Puncta ini sebenarnya tidak jauh
dari Teori Absolutisme Negara dan Positivisme Yuridis.Buku Puncta yang terkenal
berjudul Gewohnheitsrecht.
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton (1951:17-21), kurang
tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode
fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut Sociological Jurisprudence ini
dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional”
seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antara Sociological
Jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).
Menurut Lily Rasjidi (1990:47-48), perbedaan antara Sociology Jurisprudence dan
sosiologi hukum adalah sebagai berikut. Pertama, Sociology Jurisprudence adalah nama
aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi. Kedua,
walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik
antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological
Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi
hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah bahwa sosiologi hukum
berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan social sebagai suatu
keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara
umum) dan ilmu politik. Titik berat penyelidikan sosiologi hukum terletak pada
masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Sociological
Jurisprudence (seperti yang dikemukan Pound) menitikberatkan pada hukum dan
memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum (Paton, 1951:21)
Menurut Aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran ini memisahkan secara
tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law).
Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan (antitesis)
Mazhab Sejarah.
Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgivers), sebaliknya Mahzab
Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedau lebih mementingkan
pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Aliran Sociological Jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam
pembangunan hukum Indonesia. Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara
lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.

1. Eugen Ehrlich (1862-1922)


Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran Sociologica Jurisprudence,
khususnya di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dari Austria dan tokoh pertama
yang meninjau hukum dari sudut sosiologi.
Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (living law) di lain pihak. Menurutnya, hukum positif
baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat tadi (Rasjidi, 1988: 55). Disini jelas bahwa
Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut Positivisme Hukum.
Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat perkembangan
hukum tidak terletak pada Undang-Undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi
pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, semuber dan bentuk hukum yang
utama adalah kebiasaaan. Hanya sayangnya, seperti dikatakan oleh Friedmann
(1990a:104), dalam karyanya, Ehrlich pada akhirnya justru meragukan posisi
kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern.
Selanjutnya Erhlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan
social tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, oleh karena ketertiban
dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan social terhadap huku, dan bukan
karena penerapannya secara resmi oleh negara. Bagi Ehrllich, tertib social
didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma
social yang tercermin dalam sistem hukum. Secara konsekuen Ehrlich beranggapan
bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum
harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat bersangkutan. Kesadaran itu harus ada pada setiap anggota profesi
hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang
lingkup hukum positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup (Soekanto,
1985: 20-21).
Sampai disini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan von Savigny. Hanya
saja, Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan social daripada istilah
volksgeist sebagaimana yang digunakan Savigny. Kenyataan-kenyataan social yang
anormatif itu dapat menjadi normative, sebagai kenyataan hukum (facts of law) atau
hukum yang hidup (living law, yang juga dinamakan Ehrlich dengan Rechtnormen,
melalui empat cara. Huijbers (1988: 213) menyebut empat cara (jalan) itu : (1)
kebiasaan (Uebung), (2) kekuasaan efektif, (3) milik efektif, dan (4) pernyataan
kehendak pribadi.
Friedmann (1990a: 108) membentangkan tiga kelemahan utama pemikiran
Ehrlich karena keinginannya meremehkan fungsi negara dalam pembentukan
undang-undnag. Pertama, Ehrlich tidak memberikan criteria yang jelas yang
membedakan norma hukum dengan norma social yang lain. Akibatnya, teori
sosiologi dari Ehrlich dalam garis besarnya merupakan sosiologi umum saja. Kedau,
ia meragukan posisi kebiasaan sebagai sumber hukum dan sebagai suatu bentuk
hukum. Pada masyarakat primitif posisi kebiasaan ini sangat penting sebagai
sumber dan bentuk hukum, tetapi tidak demikian lagi pada masyarakat modern.
Pada masyarakat modern, posisi tersebut digantikan oleh undang-undang, yang
selalu -dengan derajat bermacam-macam- bergantung pada kenyataan-kenyataan
hukum (facts of law), namun berlakunya sebagai hukum tidak bersumber pada
ketaatan factual ini. Friedmann menyatakan, kebingungan ini merembes ke seluruh
karya Ehrlich. Ketiga, Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri
adakan antara norma hukum negara yang khas dan norma hukum di mana negara
hanya memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan social. Norma yang pertama
melindungi tujuan khusus negara, seperti kehidupan konstitusional, serta keuangan
dan administrasi. Dalam masyarakat modern, norma ini terus bertambah banyak,
sehingga menuntut pengawasan yang lebih banyak dari negara. Konsekuensinya,
peranan kebiasaan terus berkurang, bahkan sebelum pembuatan undang-undang
secara terinci. Sementara itu, undang-undang yang dikeluarkan pemerintah pusat
mempengaruhi kebiasaan masyarakat sama banyaknya dengan pengaruh pada
dirinya sendiri.
Buku Ehrlich yang terkenal antara lain berjudul Grundlegung der Soziologie des
Rechts.

2. Roscoe Pound (1870-1964)


Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbarui
(merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk dapat
memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu mebuat penggolongan atas
kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut:
a. Kepentingan umum (public interest):
1. kepentingan negara sebagai badan hukum
2. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
b. Kepetingan masyarakat (social interest):
1. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
2. perlindungan lembaga-lembaga social
3. pencegahan kemerosotan akhlak
4. pencegahan pelanggaran hak
5. kesejahteraan social.
c. Kepentingan pribadi (private interest)
1. kepentingan individu
2. kepentingan keluarga
3. kepentingan hak milik.
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis
pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan
terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan social dan sebagai alat dalam
perkembangan social (Rasjidi, 1990: 134). Memang, penggolongan kepentingan
tersebut sebenarnya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh von Jhering. Karena
itu, dilihat dari hal tersebut, Pound sebenarnya dapat pula digolongkan sebagai
penganut Utilitarianisme sebagai penerus Jhering dan Bentham.
Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum,
sehingga membuat pembentuk undang-undnag, hakim, pengacara, dan pengajar
hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap
persoalan khusus. Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu
menghubungkan antara prinsip (hukum) dan praktiknya.
Karya Roscoe Pound sangat banyak jumlahnya, dan beberapa telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti : (1) Pengantar filsafat hukum,
dan (2) Tugas Hukum. Beberapa karangannya antara lain berjudul: (1) The History
and System oh the Common Law, (2) Social Control through Law, (3) Justice
According to Law.
Aliran yang dianut Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal
balik antara hukum dan masyarakat. Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan
oleh Mochtar Kusumaatmadja.

REALISME HUKUM
Realisme diidentikan dengan Pragmatic Legal Realism, dan pembahasan keduanya
dijadikan satu. Pragmatic Legal Realism akan dimasukkan dalam Realisme Amerika
karena memang sikap pragmatisme yang terkandung dalam Realisme itu lebih bayak
muncul di Amerika.
Huijbers (1988: 175) menulis:
Pragmatisme ini memang merupakan suatu sistem filsafat akan tetapi lebih- lebih
suatu sikap. Sikap pragmatis ini cukup umum di Amerika dan dianggap sebagai
realistis. Oleh karena itu mahzab hukum yang muncul di Amerika berdasarkan
prinsip- prinsip yang disebut tadi diberi nama mahzab realisme hukum. Juga di
Skandinavia munculah suatu mazhab realisme hukum, tetapi mahzab ini mencari
kebenaran suatu pengertian dalam situasi tertentu dengan menggunakan ilmu
psikologi.

Dalam pandangan penganut Realisme (para realis), hukum adalah hasil dari
kekuatan- kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum
realis hampir tidak terbatas. Karl N. Llewellyn, yang juga dikenal sebagai seorang ahli
sosiologi hukum, menyebutkan beberapa ciri dari Realisme ini, yang terpenting di
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada mahzab realis; realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang
hukum (Friedmann, 1990: 191).
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan- tujuan
sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung
konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan
yang harus ada, untuk tujuan- tujuan studi.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan- ketentuan dan konsepsi- konsepsi hukum,
sepanjang ketentuan- ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang
sebenarnya dilakukan oleh pengadilan- pengadilan dan orang- orang. Sesuai dengan
kepercayaan itu, Realisme menggolongkan kasus- kasus ke dalam kategori- kategori
yang lebih kecil daripada yang terdapat dalam praktik di masa lampau.
5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan
akibatnya (Friedmann, 1990: 191- 192)

Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur
suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap
sebagai hukum dalam buku- buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim
akan memutuskan.
Realisme sebagai suatu gerakan dapat di bedakan dalam dua kelompok, yaitu
Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia. Skala gerakan Realisme Skandinavia lebih
luas daripada Realisme Amerika karena pusat perhatiannya bukanlah para fungsionaris
hukum (khususnya hakim), tetapi justru orang- orang yang berada di bawah hukum.
Realisme Skandinavia ini banyak menggunakan dalil- dalil psikologi dalam menjelaskan
pandangannya.
Menurut Friedmann (1990: 201), persamaan Realisme Skandivania dan Realisme
Amerika adalah semata- mata verbal. Realisme Amerika adalah hasil dari pendekatan
pragmatis dan “paling sopan” pada lembaga- lembaga sosial. Sebaliknya, Realisme
Skandinavia semata- mata kritik falsafiah atas dasar- dasar metafisis dari hukum.
R.W.M. Dias, menyatakan bahwa apabila di Amerika Serikat para realis hukum
berasal dari kalangan praktik maupun pengajaran, maka di Skandinavia mereka
mendekati tugasnya pada peringkat yang lebih abstrak, dengan pendidikan sebagai
filsuf (Rahardjo, 1986:269)

Realisme Amerika
Pendekatan pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-
ketentuan hukum di kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa- peristiwa konkret yang
muncul. Dengan penyelidikan terhadap faktor- faktor sosial berdasarkan pendekatan
yang interdispliner, dapat disinkronkan antara apa yang dikhendaki hukum dan fakta-
fakta (realita) kehidupan sosial. Semua ini diarahkan agar hukum dapat bekerja secara
lebih efektif.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai
penemu hukum dari pada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-
undangan.
Pokok- pokok pendekatan kaum realis menurut Karl Llwellyn, sebagaimana dikutip
oleh R.W.M. Dias dalam bukunya Jurisprudence, adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya konsepsi harus menyinggung hukum yang berubah- ubah dan hkum
yang diciptakan oleh pengadilan.
2. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan- tujuan sosial.
3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan oleh karenanya selalu ada
kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problem- problem
sosial yang ada
4. Guna keperluan studi, untuk sementara harus ada pemisahan antara is dengan
ought.
5. Tidak mempercayai anggapan bahwa peraturan- peraturan dan konsep- konsep
hukum itu sudah mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh
pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan mereka
terhadap hukum.
6. Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional bahwa
peraturan hukum itu merupakan factor utama dalam mengambil keputusan.
7. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit, sehingga lebih
nyata. Peraturan- peraturan hukum itu meliputi situasi- situasi yang banyak dan
berlain- lainan, oleh karena itu ia bersifat umum, tidak konkret, dan tidak nyata.
8. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektivitasnya dan kemanfaatannya untuk
menemukan efek- efek tersebut (Rahardjo, 1986: 269)

Tokoh- tokoh utama Realisme Amerika antara lain Charles Sanders Pierce, Jhon
Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes Jr., William James, Jhon Dewey, B.N.Cardozo, dan
Jerome Frank.
1. Charles Sanders Pierce (1839- 1914)
Pragmatisme menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu
pengetahuan teoritis yang benar. Oleh karena itu ide- ide perlu diselidiki dalam
praktik hidup. Hal ini diuraikan Pierce dalam makalahnya berjudul How to Make
Our Ideas Clear? (1878). Menurut Pierce ide- ide diterangkan dengan jalan analitis.
Metode analitis ini harus digunakan secara fungsional, yakni dengan menyelidiki
seluruh konteks suatu pengertian dalam praktik hidup. Maka kebenaran merupakan
hasil penyelidikan situasi secara empiris. Oleh karena itu tepatlah bahwa kata
pragmatis dipakai oleh Pierce dalam arti empiris atau eksperimental.
Karya Pierce antara lain berjudul Pragmatism and Pragmaticism.
2. John Chipman Gray ( 1839-1915 )
Sebagaimana ciri Realisme Amerika, Gray menempatkan hakim sebagai pusat
perhatiannya. Semboyannya yang terkenal adalah All the law is judge-made-law.
Ia menyatakan bahwa di samping logika sebagai faktor penting dalam
pembentukan perundang-undangan, unsur kepribadian, prasangka, dan faktor-
faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan
hukum. Untuk membuktikan pandangannya, Gray mengemukakan contoh dari
sejarah hukum di Inggris dan Amerika yang menunjukan bagaimana faktor-faktor
politik, ekonomi, dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim-hakim tertentu telah
meyelesaikan soal-soal yang penting untuk jutaan orang selama ratusan tahun
(Friedmann, 1990: 188).
Karangan Gray yang penting disinggung di sini berjudul The Nature and Sources
of the Law.

3. Oliver Wendell Holmes, Jr. ( 1841-1935 )


Menurut Holmes, seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup
secara realistis. Kalau ia berusaha mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada
keyakinan bahwa para penjahat pun sama sekali tidak menaruh minat pada prinsip-
prinsip normatif hukum, sekalipun kelakuan mereka seharusnya diatur menurut
prinsip-prinsip itu. Bagi mereka yang penting manakah kelakuan aktual (patterns of
behavior) seorang hakim, yakni pertanyaan, apakah seorang hakim akan
menerapkan sanksi pada suatu kelakuan tertentu atau tidak.
Kelakuan para hakim pertama-tama ditentukan oleh norma-norma hukum.
Berdasarkan tafsiran lazim norma-norma hukum itu dapar diramalkan, bagaimana
kelakuan para hakim di kemudian hari. Di samping norma-norma hukum bersama
tafsirannya, moral hidup dan kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para
hakim tersebut (Huijbers, 1988: 179).
Ucapan Holmes yang terkenal, yang dianggap secara tepat menggambarkan
Realisme Hukum Amerika yang berbunyi, “The prophecies of what the courts will do
in fact and nothing more pretentious, are what I mean by the law” (Shuchman, 1979:
73). Secara bebas kalimat itu dapat diartikan : perkiraan-perkiraan tentang apa
yang akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum.
Karya penting dari Holmes antara lain berjudul The Path of law.

4. William James ( 1842-1910 )


Menurut James, pragmatisme adalah “nama baru untuk beberapa cara pemikiran
yang sama”, yang sebenernya juga positivis. Ia menyatakan bahwa seorang
pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara
verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang ditentukan, sistem yang tertutup,
dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia berbalik menentang kelengkapan dan
kecukupan, fakta, perbuatan, kekuasaan, dan sifat rasional memerintah berdasarkan
pengalaman, dan sifat rasional melepaskan diri dengan sungguh-sungguh. Itu
berarti suatu keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dari
dogma, kepalsuan, dan anggapan final dari kebenaran. (Friedmann, 1990: 189).
Karya-karya penting dari James antara lain berjudul : (1) The morning of Truth,
dan (2) Varieties of Religious Experience.

5. John Dewey ( 1859-1952 )


Dewey termasuk salah satu peletak realisme dalam hukum yang penting.
Sebagaimana dikutip oleh Friedmann (1990: 190) dari artikel Dewey berjudul
Logical Method of Law, (10 Cornell L.Q. 17). Inti ajaran Dewey adalah bahwa logika
bukan berasal dari kepastian-kepastian dari kepastian-kepastian dari prinsip-
prinsip teoretis, seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan-
kemungkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat
yang mungkin terjadi, suatu proses dalam mana prinsip umum hanya bisa dipakai
sebagai alat yang dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau diterapkan
pada proses hukum, ini berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah diterapkan
sebelumnya harus dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes.
Ahli hukum tidak mengambil konklusi-konklusinya dari prinsip-prinsip umum. Ia
mulai dengan keadaan yang penuh problema dan sering membingungka; proses
untuk membuatnya jelas meliputi pemilihan persoalan-persoalan tertentu. Dengan
penetuan masalahnya, kemungkinan pemecahannya menjadi jelas bagi penyelidik
(seperti hakim). Karena ahli hukum belajar lebih banyak dari fakta-fakta dalam
kasus, ia dapat mengubah pemilihan dalam ketentuan-ketentuan hukum yang
diterapkan dalam kasus. Premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan adalah dua
cara untuk menyatakan hal yang sama. Dengan demikian hukum adalah proses
eksprimental dimana faktor logika hanya salah satu dari faktor-faktor yang utama
untuk menarik kesimpulan tertentu. Dewey juga menekankan bahwa penggantian
pendekatan ini dengan pendekatan positifisme logis, penting bagi masyarakat.
Pemikiran yang eksperimental dan fleksibel dalam hukum dapat mengubahnya
menjadi alat yang tetap, aman, dan masuk akal untuk perbaikan sosial.
Karya-karya penting dari Dewey antara lain : (1) Logic, the Theory of Inquiry, dan
(2) My Philosophy of Law.

6. Benjamin Nathan Cardozo ( 1870-1938)


Cardozo sangat terpengaruh oleh teori-teori ilmu hukum sosiologis, yang
menekankan pada kepekaan yudisial terhadap realitas sosial. Tokoh ini
beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkap aturan umum dan yakin bahwa
pengamatan terhadap presiden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan
merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan. Namun ia mengemukakan
adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan ketat itu apabila
pengamatan terhadap presiden tidak konsisten dengan rasa keadilan dan
kesejahteraan sosial. Ia berpendapat bahwa kebutuhan akan kepastian harus
diserasikan dengan kebutuhan akan kemajuan, sehingga doktrin presiden tidak
dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi (Soekanto, 1985 : 32).
Tampak dari pendapatnya, bahwa dalam kegiatannya, hakim wajib mengikuti
norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyesuaikan putusan hakim itu
dengan kepentingan umum.
Cardozo beranggapan, pelbagai kekuatan sosial mempunyai pengaruh
instrumental terhadap pembentukan hukum, misalnya logika, sejarah, adat-istiadat,
kegunaan, dan standar moralitas yang telah diakui. Ia tidak menerima pendapat
bahwa hukum merupakan suatu lembaga yang tidak mempunyai segi umum dan
kesatuan, sehingga hanya terdiri dari unsur-unsur yang terisolasikan atas dasar
urutan yang kacau. Cardozo berpendapat, adanya standar-standar yang diakui
masyarakat serta pola nilai-nilai objektif merupakan suatiu tanda adanya kesatuan
serta konsistensi dalam hukum, walaupun adanya keputusan-keputusan subjektif
dari para hakim tidak dapat dicegah dalam semua kasus yang dihadapi (Soekanto,
1985 : 33).
Menurut Cardozo, perkembangan hukum sebagai gejala sejarah yang ditentukan
oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat, serta pandangan masyarakat
mengenai adat-istiadat dan moralitas. Ia beranggapan, para hakim dan legislator
harus senantiasa mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial serta masalah-masalah
sosial dalam pembentukan hukum.
Prinsip-prinsip sosiologis, menurut Cordozo dalam bukunya The Nature of the
Judicial Process (1921), harus senantiasa dipergunakan, agar hukum selalu serasi
dengan kebutuhan-kebutuhan sosial dan cita-cita tertib sosial yang kontemporer.
Bagi Cardozo, hukum harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
dalam masyarakat, sedangkan para legislator harus mendapatkan pengetahuan
mengenai perubahan dari pengalaman serta studi terhadap kehidupan maupun
pencerminannya (Soekanto, 1985 : 33 ).
Buku lain dari Cardozo berjudul : (1) The Growth of The Law, dan (2) Paradoxes
of Legal Science.

7. Jerome Frank (1889-1957)


Frank adalah salah seorang penganut pemikiran Holmes. Menurut Frank, hukum
tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Dalam aturan tetap, norma-
norma hukum berperan seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika. Dengan
berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, hakim kemudian menjatuhkan
putusannya.
Menurut Frank, manusia zaman sekarang tahu bahwa hukum sebenarnya hanya
terdiri dari putusan-putusan pengadilan, dan bahwa putusan-putusan itu
tergantung dari banyak faktor. Ia tidak menyangkal norma-norma hukum yang
berlaku memang mempengaruhi putusan hakim, tetapi tidak lebih sebagai salah
satu unsur petimbangan saja.
Frank berpendapat, unsur-unsur lain, seperti prasangka politik, ekonomi, moral
bahkan simpati dan antipati pribadi, semuanya ikut berperan dalam putusan
tersebut. Norma-norma hukum sebaiknya dilukiskan sebagai suatu generalisasi
fiktif dari kelakuan para hakim. Oleh karena itu, dengan melihat norma-norma
hukum dapat juga diramalkan tentang kelakuan seorang hakim di masa depan,
walaupun ramalan itu hanya berlaku dalam batas tertentu (Huijbers, 1988 : 179).
Tulisan dari Frank antara lain berjudul : (1) Law and the Modern Mind, (2) Courts
on Trial.

8. Alex hagerstrom(1868-1939)
Hagerstorm yang seorang sarjana swedia melihat bahwa rakyat romawi menaati
hukum secara irasional yang berdasarkan bayangan yang bersifat magis atau
ketakutan pada takhyul, metafisis, dan segala pikiran metafisis yang hanyalah
khayalan belaka.
Hagerstrom, menyatakan bahwa hukum seharusnya diselidiki dengan bertitik
tolak pada data empiris, yang dpaat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun
yang dimaksud dengan perasaan psikologis ini adalah rasa wajib, rasa kuasa
dalamm mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan dan sebagainya.

9. Karl Olivercona (1897-1980)


Olivercona ahli hukum swedia menyatakan bahwa keliru menganggap hukum
sebagai perintah dari seorang manusia, sebab tidak mungkin ada manusia yang
dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum itu.
Olivercona juga menyangkal hukum normatif dan mengatakan suatu ketentuan
hukum selalu mempunyai dua unsur, yaitu gagsan untuk berbuat, dan beberapa
simbol imperatif (ought, duty, offence), Kenyataan yang berkenaan dengan
pembicaraan ilmiah tentang hukum haruslah berkenaan dengan reaksi-reaksi
psikologis dari para individu, yakni ide tentang tindakan apa dan perasaan apa yang
timbul apabila mereka mendenganr atau melihat suatu ketentuan.
10. Alf Ross (1899-1979)
Ros merupakan ahli hukum denmark menyatakan bahwa hukum adalah realitas
sosial yang membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka tetapi dapat
mempertanggung jawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak dari gejala
hukum. Keharusan normatif berupa rasionalisasi dan simbol bukan realitas
melainkan bayangan manusia tentang realitas.
Menurut Ross perkembangan hukum melewati 4 tahap yaitu;
1. Hukum adalah suatu sistem paksaan yang aktual
2. Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan
anggota komunitas (tahapan ini setelah orang-orang mulai takut dengan
paksaan)
3. Hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang
benar artinya anggota komunitas telah terbiasa dengan pola ketaatan
4. Hukum berlaku jika ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya

Huijbers berpendapat ajaran Ross kurang memuaskan karena Ross menerima


norma hukum, tapi norma itu ditafsirkannya sebagai gejala psikologis belaka. Itu
berarti bahwa norma itu sebenarnya bukan norma yang sesungguhnya.

11. H.L.A. Hart (1907-1992)


Hart menyatakan bahwa hukum harus dilihat dari aspek eksternal yang berarti
hukum dilihat sebagai perintah penguasa maupun aspek internalnya yang berarti
adanya keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.
Norma hukum terbagi dua yaitu:
1. Norma Primer yang menentukan kelakuan subjek-subjek hukum dengan
menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang
2. Norma Sekunder yang memastikan syarat-syarat bagi norma hukum primer
sehingga menampakkan sifat yuridis norma tersebut.
Oleh karena itu, mereka disebut petunjuk Pengenal (rules of recognition) yang
menjelaskan apa yang dimaksud oleh norma primer. Di samping itu mereka
memastikan syarat bagi perubahan norma-norma itu (rules of change) yang
mengesahkan adanya norma primer yang baru dan bagi dipecahkannya konflik
dalam rangka norma-norma itu (rules of adjudication) yang berisi aturan untuk
menentukan apakah suatu norma primer telah dilanggar. (Huijbers, 187-188).
Ketiga norma dasar sekunder in berhubungan dengan pandangan eksternal
terhadap hukum dan dianggap sekadar suatu kenyataan jadi tidak mengikat secara
batiniah seperti Grundnorm. Hart juga menyatakan secara tegas antara hukum (das
sein) dan moral (das sollen) yang artinya suatu hukum hanyalah menyangkut aspek
formal bahwa hukum disebut hukum walaupun secara materiel tidak layak ditaati
karena bertentangan dengan prinsip moral.

12. Julius Stone


Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial yang artinya dapat
ditangkap melalui penyelidikan logis-analitis, selain itu stone bermaksud
mengerjakan sesuatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum
yang berlaku.
Stone juga mengembangkan hukum yang bersifat indisipliner dengan
memanfaatkan hasil penelitian dalam logika, sejarah, psikologi, dan sosiologis yang
bertujuan untuk penggunaan praktis belaka guna memudahkan orang mempelajari
atau menyelidiki hukum.

13. John Rawls (Lahir 1921)


Rawls mengembangkan pemikiran tentang masyarakat yang adil dengan teori
keadilannya yang dikenal pula dengan teori posisi asli yang berorientasi oleh teori
Utilitariasnisme.

FREIRECHTSLEHRE
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras
Positivisme Hukum yang alirannya sejalan dengan realisme hukum tapi ajaran
Freirechtslehre lebih jauh daripada realisme hukum yang menitikberatkan pada
penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat.
Menurut Sudikno Mertolusumo bahwa penemuan hukum bebas bukanlah peradilan
yang tidak terikat pada undang-undang, tapi undang-undang bukan merupakan peranan
utama tetapi hanya sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat
menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Aliran Freirechtslehre muncul di jerman dan menurut friedmann yang dimaksud
dengan ilmu hukum analitis adalah aliran yang dibawakan antara lain oleh Austin,
sedangkan ilmu hukum sosiologis adalah aliran dari Ehrlich dan pound.
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan
hukum, dan menciptakan penyelesaian yang tepat untuk pristiwa konkret sehingga
peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang diciptakan oleh
hakim.
Dalam bukunya Freie Rechtsfindung (1903) Ehrlich mendalilkan penemuan hukum
secara bebas dalam semua kasus, kecuali kasus-kasus yang hukumnya sudah jelas,
pengecualian ini relatif sedikit, sedangkan dalam bukunya yang lain yaitu
freirechtbewegung (1911) menyatakan bahwa pengadilan berhak untuk mengubah
hukum apabila hukum yang ada menghasilkan suatu malapetaka umum
(Massenkalamitat). Fuch mengembangkan ajaran yang kuat ciri politiknya yang
disebutkan antara lain ajaran tersebut tentang hak pengadilan untuk menguji
keabsahan undang-undang dan ajaran yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung
mengenai risiko bersama antara majikan dan karyawan.
Herman Isay menolak penemuan hukum berdasarkan proses rasional, menurutnya
penemuan hukum merupakan suatu proses intuitif yang dituntut oleh perasaan-
perasaan dan perasangka-perasangka tertentu, sedangkan alasan logis digantikan
sebagai pemikiran sesudahnya untuk proses naluriah itu, dan dipakai untuk
meyakinkan akan adanya dunia yang lain.

Anda mungkin juga menyukai