Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi manusia sebagai pemimpin, setiap manusia harus
mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan,
persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan merupakan pembererian
seseorang, organisasi, atau Negara, tapi adalah anugrah Allah yang sudan dibawanya sejak
lahir kea lam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian disebut dengan Hak Azazi Mannusia.
Tanpa memahami hak-hak tersebut adalah mustahil ia dapat menjalankan tugas serta
kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya kemudian, apakah setiap manusia
dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak tersebut? Jawabannya, mungkin belum setiap
orang, termasuk umat islam menyadarinya. Hal ini mungkin akibat rendahnya pendidikan atau
sistem social politik dan budaya di suatu tempat yang tidak kondusif untuk anak dapat
bekembang dengan sempurna (Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam 2003:5).

Dalam sudut pandang Islam Hak Asasi Manusia suadah diatur berdasarkan atau berpedoman
pada Al-Qur’an dan Hadist. Karena Al-Qur’an dan Hadist merupakan pedoman hidup bagi
seluruh manusia yang ada di bumi ini pada umumnya dan bagi umat islam pada khususnya.oleh
karena itu umat munusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya apabila tidak ingin
hak-haknnya diramapas oleh orang lain, maka hendaknya ia harus mengetahui hak-haknya dan
selalu memperjuangkannya selama tidak mengambil atau melampui batas dari hak-hak orang
lain.

pg. 1
BAB 2

HAK ASASI MANUSIA VERSI BARAT DAN ISLAM

PENGERTIAN HAM

Berikut ini beberapa pengertian tentang hak asasi manusia, antara lain:

a. Secara etimolgi hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman
prilaku melindumgi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi
manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang bersifat
paling mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun
makhluk mengintervensinya apalagi mencabutnya.

b. Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human
Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa
HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia

c. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.

d. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.

pg. 2
SEJARAH HAM

Istilah hak asasi manusia baru muncul setelah Revolusi Perancis, dimana para tokoh borjuis
berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka
miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua
kaum ini, muncullah perlawanan rakyat danyang akhirnya berhasil memaksa para raja
mengakui aturan tentang hak asasi manusia.

Negara yang sering disebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi
manusia adalah Inggris. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris.
Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil
disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah MAGNA CHARTA. Tindakan
sewenang-wenang Raja Inggris mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang
akhirnya berhasil mengajak Raja Inggris untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna
Charta atau Piagam Agung. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya
memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan
raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta
kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali
berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah
diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam
tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia
mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan
raja.

Perjuangan di negara Inggris memicu perjuangan-perjuangan di banyak negara untuk Hak


Asasi Manusia. Seperit misalnya Amerika Serikat dengan Presiden Flanklin D.Roosevelt
tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6
Januari 1941 antara lain kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech
and expression), kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya
(freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom from fear), kebebasan dari
kekurangan dan kelaparan (freedom from want).

pg. 3
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi
manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human
right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt.
Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan
di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak
– Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang
umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya
absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi
Manusia.

HAK ASASI MANUSIA DALAM KONSEP BARAT

Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir
secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan ajaran agama apa pun. HAM dalam
pandangan Barat murni merupakan hasil pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama
sekali dari dogma agama. Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama,
sehingga norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam terminologi
HAM.

Dengan makna HAM seperti ini, maka HAM sering dihadap-hadapkan dengan agama,
sehingga HAM sering dipahami sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama.
Bahkan karena HAM sering digunakan untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap
sebagai musuh agama. Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang diinginkannya,
sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya.
Karenanya, menurut Barat bahwa perzinahan dan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan
Transgender) serta aneka penyimpangan sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula
mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya adalah HAM. Selain itu, HAM dalam
pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung penilaian akal yang dikuasai hawa
nafsu terhadap situasi dan kondisi serta kepentingan, karena lepas dari doktrin agama sama
sekali. Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari tidak lagi

pg. 4
dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang tidak dianggap HAM pada saat
ini, namun di kemudian hari bisa dianggap sebagai HAM. Misalnya, saat ini mengkonsumsi
khamar (miras) di Amerika Serikat dianggap sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup
modern. Padahal pada tahun 1919, pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM,
bahkan AS menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali.

Saat itu pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang sosialisasinya


menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75 Milyar, sesuai dengan
nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250 juta lembar kertas berbentuk selebaran.
Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak 300 orang
peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi ternyata, masyarakat AS
justru makin hobby meminum miras, yang pada akhirnya memaksa pemerintah mencabut UU
Anti Miras pada tahun 1933 M, dan membebaskan miras sama sekali. Nah, bisa jadi saat ini
mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM di berbagai belahan dunia, namun di
kemudian hari justru Narkoba dianggap sebagai HAM, bahkan gaya hidup masa depan,
sebagaimana Kasus Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak beberapa tahun lalu di
Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan Narkotik Nasional dan
pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja. Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan
Barat tidak memiliki kaidah dan batasan yang jelas, sehingga manakala definisi HAM mereka
berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri atau kemauan hawa nafsu mereka, maka
mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian atau ketentuan-ketentuan hukum khusus
atau perubahan ketetapan Konvensi HAM.

Dalam istilah modern, yang dimaksud dengan hak adalah wewenang yang diberikan oleh
undang – undang kepada seseorang atas sesuatu tertentu dan nilai tertentu. Dan dalam wacana
modern ini, hak asasi dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti hak
hidup, hak kebebasan pribadi dan hak berkerja.

b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagau anggota
keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti hak memiliki, hak berumah-tangga,
hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.

pg. 5
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusiamenurut
pemikiran barat, diantaranya:

1) Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya;


hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril,
yang termasuk di dalamnya; hak beragama, hak sosial dan berserikat.

2) Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan
kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan
perserikatan.

3) Pembagian hak menjadi dua; kebebasan negatif yang membentuk ikatan-


ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan positif yang
meliputi pelayanan negara kepada warganya.

Dapat dimengerti bahwa pembagian-pembagian ini hanya melihat dari sisi larangan negara
menyentuh hak-hak ini. Sebab hak asasi dalam pandangan barat tidak dengan sendirinya
mengharuskan negara memberi jaminan keamanan atau pendidikan, dan lain sebagainya. Akan
tetapi untuk membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme, partai-partai politik di Barat
mendesak agar negaraikut campur-tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk
bekerja dan jaminan sosial. Hak asasi menurut barat dapat dilihat semakin berkembang sampai
saat ini, bahkan telah banyak pemikiran mereka tentang hak asasi manusia yang sudah di adopsi
kaum Muslim. Sungguh sangat disayangkan jika hal ini terus berlanjut karena hal ini semakin
hari semakin menjauhkan umat islam dengan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah.
Sebagai contoh, sekarang banyak yang menuntut masalah kesetaraan gender, kecaman
terhadap poligami, pernikahan berbeda agama (muslim-nonmuslim), kebebasan yang sebebas-
bebasnya.

pg. 6
HAK ASASI MANUSIA DALAM KONSEP ISLAM

a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Konsep Islam


Hak asasi manusia dalam islam telah dibicarakan sejak empat belas abad yang lalu. Hal ini
dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah (mitsaq Al- Madinah) yang terjadi pada saat nabi
Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu
berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat
yahudi, umat nasrani, maupun umat islam sendiri, adalah merupakan suatu bangsa. Dari
pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai suatu bangsa, di dalam piagam
itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam
piagam itu. Secara langsung dapat dilihat bahwa dalam piagam Madinah itu HAM sudah
mendapatkan pengakuan oleh islam. Pandangan islam yang khas tentang hak asasi manusia
sebenarnya telah hadir sebelum deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah
atau bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi.

Secara internasional umat islam yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
pada 5 Agustus1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif islam. Deklarasi
yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuantentang hak
asasi manusia berdasarkan syari‟ah (Azra). Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang
universal; sama dengan adanya perspektif islam universal tentang HAM (huqud al-insan), yang
dalambanyak hal komatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus
diakui, terdapat upaya-upaya dikalangan sarjana Muslim dan negara Islamdi Timur Tengah
untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam islam dan
bahkan dengan lingkungan sosial budaya masyarakat-masyarakat muslim tertentu pula.

pg. 7
b. Pandangan Islam Tentang HAM

Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir
sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan
Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Inti dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firman-
Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang terjemahnya : "Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam
wajib tunduk, patuh dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta
wajib pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, semata-mata hanya
untuk mencari ridho-Nya. Dengan demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat
dengan KAM. Jadi, definisi HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam, sehingga
norma-norma agama Islam menjadi tolok ukur paling utama dalam terminologi HAM.

Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal.
Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh
diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda:

"Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu."

(HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak
asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan
penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua
manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati
seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : “Hai
manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.”

pg. 8
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa
ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya
menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi
melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-
orang yang tidak maumembayar zakat. Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap
hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila
tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:

"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka
menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan
munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. 22: 4)

Dalam islam, juga dikenal hak pribadi masing-masing. Jaminan pertama hak-hak pribadi
dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur‟an:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukanrumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya...dst." (QS. 24: 27-28)

Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam
Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah pintu atau melalui lubang
tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul
hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu
membayar denda. Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula
kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu
masyarakat. Rasulullah saw bersabda:

“Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka.”

pg. 9
Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan Umar:

“orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah aw. Akan tetapi wahyu telah
terhenti. Oleh karenanya kami hanya menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari
amal perbuatan kalian”. Muhammad Ad-Daghmi dalam At- Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah
Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa tindakanpenguasa
mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan
upayanya dalam mengungkap kemungkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa
pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari mencari-mencari kesalahan yang dilarang
agama. Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah
berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah berupaya
mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama
menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang belum tampak bukti-buktinya secara nyata, maka
kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk
mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini termasuk termasuk tajassus
yang dilarang agama.

Dasar Islam adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang
bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara
kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Pada
dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat
al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia
dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu,
yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan
atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan
individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan
untuk menjaga keturunan).

Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan
kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu,
individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara dan
komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.

pg. 10
PERBEDAAN PANDANGAN ANTARA ISLAM DAN BARAT TENTANG HAM

Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan HAM
dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh perangkat-perangkat internasional. HAM
dalam Islam didasarkan pada premis bahwa aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Sedangkan dunia Barat, bagaimanapun, percaya bahwa pola tingkah laku hanya
ditentukan oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang mencukupi untuk
tercapainya aturan-aturan publik yang aman dan perdamaian semesta.

Selain itu, perbedaan yang mendasar juga terlihat dari cara memandang terhadap HAM itu
sendiri. Di Barat, perhatian kepada individu-individu timbul dari pandangan-pandangan yang
besifat anthroposentris, dimana manusia merupakan ukuran terhadap gejala tertentu.
Sedangkan Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha
Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan atas pandangan yang
bersifat anthroposentris tersebut, maka nilai-nilai utama dari kebudayaan Barat seperti
demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang mendukung
tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap manusia. Dengan kata lain
manusia menjadi akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.

Berbeda keadaanya pada dunia Timur(Islam) yang bersifat theosentris, larangan dan perintah
lebih didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an
menjadi transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Manusia disuruh untuk hidup dan
bekerja diatas dunia ini dengan kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya
kepada kehendak Allah swt. Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah kewajiban dalam
rangka kepatuhan kepada-Nya.

pg. 11
BAB 3

ISLAM DAN DEMOKRASI

Pengambilan kasus Indonesia dalam hal ini sangat menarik karena dua alasan; pertama,
Indonesia dilihat dari kuantitas jumlah adalah penganut agama Islam mayoritas di dunia
dibandingkan negara-negara berpenduduk Islam lainnya. Kedua, dalam kasus penerapan
demokrasi, Indonesia adalah negara paling berhasil dalam menerapkan isu demokrasi.

Dalam memotret kasus Indonesia ini, penulis berdasar pada penemuan Saiful Mujani melalui
riset disertasinya yang kemudian dibukukannya dengan judul “Muslim Demokrat; Islam,
Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”. Buku yang ditulis
oleh Saiful Mujani ini adalah sebuah bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam atau
masyarakat Islam tak sesuai dengan demokrasi atau tak akan bisa mene-rima konsep penerapan
demokrasi.

Ada banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa Islam cenderung akan menolak istilah dan
penerapan demokrasi. Di antaranya adalah Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa bila
orang Islam berusaha memperkenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu
cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak
mendukung demokrasi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di negara-
negara Muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak
ramah terhadap konsep-konsep liberalisme Barat.

Pandangan serupa pun dikumandangkan oleh Elie Kedourie. Ia menyatakan bahwa ajaran,
norma, kecenderungan, pengalaman keseharian orang Islam telah membentuk pandangan
politik kaum Muslimin yang khas dan jauh dari modern. Menurutnya peradaban Islam bersifat
unik; kaum Muslim bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup terhadap
dunia luar. Peradaban seperti ini menurutnya akan menghambat kaum Muslim untuk
mempelajari dan menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban lain.
Pendapat senada pun diungkapkan oleh Bernard Lewis.

pg. 12
Beberapa pandangan di atas yang sedikit menyentil Islam terbantahkan jika kita berkaca pada
kasus Indonesia. Berdasarkan riset Saiful Mujani ditemukan bahwa meskipun mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam, ternyata masyarakat Islam Indonesia cukup menarik
dengan penerapan demokrasinya. Meskipun buku ini tidak bisa secara total menggugurkan
teori Elie Kedourie, Bernard Lewis, dan Samuel P Huntington karena masih banyak negara-
negara mayoritas muslim lainnya yang cenderung membenarkan pandangan tokoh di atas, akan
tetapi minimal kehadiran buku ini bisa sedikit dijadikan cacatan bahwa ternyata ada juga negara
yang mayoritas muslim mendukung secara baik penerapan demokrasi, dan negara itu adalah
Indonesia.

Jika kita membaca buku ini, istilah demokrasi dipahami melalui dua cara; sebagai sebuah
kompleks budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah konsep budaya politik,
demokrasi mencakup unsurunsur saling percaya antar sesama warga (interpersonal trust),
jaringan keterlibatan kewargaan (networks of civic engagement), toleransi, keterlibatan politik,
kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap kinerja demokrasi, dukungan terhadap
prinsipprinsip demokrasi, dan dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni
negarabangsa (nation-state). Sebagai partisipasi politik, demokrasi merupakan seperangkat
aksi politik yang bersifat sukarela—mulai dari voting hingga protes—oleh warga negara biasa
dengan tujuan mempengaruhi kebijakan publik.

Buku yang ditulis oleh saudara Saeful Mujani ini mencoba membuktikan apakah Islam
mempunyai hubungan negatif dengan demokrasi. Ada sekitar sepuluh hipotesis yang akan
dibuktikan dalam buku ini;

Pertama, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya kepada orang
lain pada umumnya”.42 Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, hipotesis tersebut tidak
menemukan pembuktiannya. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif
dan signifikan dengan sikap saling percaya pada orang lain pada umumnya.

pg. 13
Kedua, “semakin Islami seorang Muslim, ia akan semakin cenderung tidak percaya kepada
non-Muslim”. Dalam kasus kaum Muslim Indonesia hipotesis ini tertolak. Tidak ada satu pun
unsur Islam, kecuali “Islamisme” yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan faktor
kepercayaan terhadap non- Muslim. Baik didefinisikan sebagai kepercayaan terhadap orang
lain secara umum maupun terhadap non-Muslim. Islam secara keseluruhan tidak berpengaruh
terhadap tinggi rendahnya kepercayaan antar sesama warga. Rendahnya kepercayaan antar
sesama warga di kalangan Muslim Indonesia tidak memiliki korelasi signifikan dengan Islam.

Ketiga, “semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin rendah pula keterikatannya
dalam aktivitas kewargaan yang bersifat sekular”. Hipotesis ini untuk Indonesia tidak
meyakinkan. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan
dengan jaringan keterlibatan dalam perkumpulan sekular. Sebaliknya, hampir semua unsur
Islam memiliki korelasi positif, signifikan, dan konsisten dengan jaringan keterlibatan tersebut.
Karena itu untuk kasus Indonesia, Islam ternyata memperkuat, bukan memperlemah,
keterlibatan kaum Muslim dalam perkumpulan kewargaan yang bersifat sekular.

Keempat, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap orang
Kristen”. 46 Hipotesis ini jika dilihat secara empirik di lapangan terlihat mempunyai
pembuktiannya. Respon bagi kelompok Islamis memiliki korelasi negatif, signifikan dan
konsisten dengan sikap toleran terhadap orang Kristen. Akan tetapi untuk kasus ini, Saeful
Mujani menyatakan bahwa untuk kasus kaum Muslim Indonesia, Islamisme tidak identik
dengan Islam. Karena itu, toleransi dalam hal ini lebih baik diukur dengan sikap toleran
terhadap kelompok yang paling tidak disukai, dan bukan diukur dengan sikap toleran terhadap
kelompok tertentu seperti Kristen. Karena dengan pengertian toleransi politik seperti ini, lebih
sensitif terhadap persoalan konsolidasi demokrasi. Karena itu klaim bahwa Islam memiliki
korelasi negatif dengan konsolidasi demokrasi, karenanya, harus diukur dengan melihat sejauh
mana Islam memiliki korelasi negatif dengan toleransi politik secara umum tersebut. Karena
itu hipotesisnya adalah; “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran
terhadap kelompok yang paling tidak disukainya”. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini tidak
terbukti. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan
dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai. Sebaliknya, jaringan

pg. 14
keterlibatan dalam perkumpulan Islam memperlihatkan korelasi yang relatif signifikan dan
positif dengan toleransi politik secara umum.

Kelima, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak terlibat dalam politik”.
48 Untuk kasus ini, Saeful Mujani melihat dari keterilabatn umat Islam dalam mengikuti berita
politik; baik melalui media massa, diskusi politik dan perasaan pentingnya menentukan sikap
dalam proses politik. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini ternyata juga tidak terbukti secara
empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan
unsur keterlibatan politik. Sebaliknya, beberapa unsur Islam, seperti: ibadah, memiliki korelasi
yang signifikan, langsung, konsisten, dan positif dengan keterlibatan politik. Kesimpulan akhir,
justru Islam membantu mengintegrasikan para penganutnya dengan sistem demokrasi melalui
keterlibatan politik.

Keenam, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya pada institusi
politik”. Dari hasil survai ditemukan bahwa ternyata bahwa tak satu pun unsur Islam yang
memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan lemahnya tingkat kepercayaan pada institusi
politik. Sebaliknya, ada sejumlah indikasi yang menegaskan bahwa Islam memiliki korelasi
yang positif dan signifikan dengan kepercayaan pada institusi ini. Lebih lanjut ia menyatakan
bahwa dari sudut pandang stabilitas demokrasi, ternyata tidak ada indikasi bahwa Islam dapat
mengakibatkan destabilitasi pemerintahan demokrasi. Justru sebaliknya Islam memiliki
kontribusi positif.

“semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak puas terhadap kinerja
demokrasi”. Dari hasil survai ditemukan ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki
korelasi negatif dan signifikan dengan kepuasan terhadap kinerja demokrasi. Ternyata dari sini
dapat disimpulkan bahwa tingkat kesalehan kaum Muslim Indonesia ternyata tidak terkait
dengan evaluasi mereka terhadap kinerja demokrasi sebuah pemerintahan.

pg. 15
Ketujuh, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendukung prinsip-
prinsip demokrasi”. 52 Untuk kasus Indonesia, ternyata hipotesis ini tidak terbukti secara
empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan
dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan Saeful Mujani menemukan bahwa sikap
kalangan Islamis pun yang diduga kuat memiliki korelasi negatif, ternyata tidak terbukti. Lebih
lanjut ia menyatakan bahwa Islam ternyata mempunyai dan memiliki potensi untuk
memperkuat demokrasi.

Kedelapan,“semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendukung negara-


bangsa”. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ternyata hipotesis ini tidak terbukti secara
empiris karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan
dengan dukungan terhadap negara-bangsa Indonesia.

Kesembilan,“semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil partisipasinya dalam


politik, kecuali jika objek dari partisipasinya itu bersifat keislaman”. 55 Dari hasil pengamatan
ternyata hipotesis itu tidak terbukti untuk kasus kaum Muslim Indonesia. Karena tidak ada satu
pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan partisipasi politik,
terlepas dari apa pun objek partisipasinya, entah bersifat keagamaan atau pun non-keagamaan.

Kesepuluh,“semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil kemungkinannya untuk


menjadi warga yang setia, dan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi warga yang
teralienasi, naif, dan apatis”. Dari hasil survai, hipotesis ini ternyata tidak terbukti. Untuk kasus
umat Islam Indonesia, warga negara yang setia dan teralienasi relatif lebih aktif dalam semua
bentuk partisipasi politik—yang terlembagakan dan yang tidak terlembagakan, yang
konvensional dan yang non-konvensional—dibanding warga negara yang naif dan apatis.
Lebih lanjut ia menemukan bahwa dikalangan warga yang setia, tidak ada satu pun unsur Islam
yang memiliki korelasi negatif dengan statusnya sebagai warga yang setia.

pg. 16
Dari penelitian di atas, Saeful Mujani menyimpulkan bahwa ternyata tidak ada satu pun unsur
Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan satu unsur demokrasi. Keseluruhan
proposisi bahwa Islam memiliki korelasi negatif dengan demokrasi jika mengacu pada hasil
survai kaum Muslim Indonesia terbantahkan. Berdasarkan data ini, maka pendapat mereka
yang menyatakan bahwa Islam mempunyai korelasi negatif dengan demokrasi dengan
mengacu pada pandangan kaum Muslim Indonesia terbantah atau secara otomatis gugur.

pg. 17
BAB 4

PERBEDAAN HUKUM BARAT DAN HUKUM ISLAM

PENGERTIAN HUKUM BARAT

Menurut Van Apeldoorn, definisi hukum sangat sulit untuk dirumuskan, karena tidak mungkin
untuk mengadakannya yang sesuaidengan kenyataan. Begitu juga dengan Sudieman
Kartohadiprojo mengatakan, bahwa jika kita menanyakan apakah yang dinamakan hukum, kita
akan menjumpai tidak adanya persesuaian pendapat, berbagai rumusanlah yang
dikemukakan.3 Sebagai gambaran, berikut ini beberapa definisi hukum menurut beberapa
tokoh, yaitu:

1. Aristoteles :“Particular law is that which community lays down and applies to its
own members. Universal law is the law of nature”.
2. Grotius :“Law is a rule of moral action of obliging to that which is right”.
3. Hobbes: “Where as law, properly is the word of him, that by right had command
over other”
4. PhilipS. James: “Law is body of rule for the guidance of human conduct which are
imposed upon and enforced among the members of a given state”
5. LeonDuguit “Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan
yang penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran tersebut”.

Agar kita dapat mengenal hukum, maka kita selayaknya mengetahui dan dapat mengenal ciri-
ciri hukum, yaitu:

a. Adanya perintah dan atau larangan


b. Perintah dan atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang

pg. 18
TUJUAN HUKUM BARAT

Stabilitas hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya peraturan hukum yang
bersifat mengatur (anvullenrecht) dan aturan-aturan hukum yang bersifat memaksa
(dwingenrecht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum.4 Secara garis besar,
hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum
ituharus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.

Hampir sama dengan definisi dari hukum, rumusan tujuan hukum, antara ahli hukum yang satu
dengan yang lain berbeda, sebagaimana yang dikemukakan oleh C.S.T. Kansil, yaitu:

1. Menurut Subekti, hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Hukum melayani tujuan
negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban, syarat-syarat pokok dalam
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Keadilan digambarkan sebagai suatu
keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di hati dan jika diusik atau
dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.

2. Menurut Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia
secara damai. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan
melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta dan benda terhadap pihak yang merugikannya.

3. Teori Etis mengajarkan, bahwa hukum itu semata-mata menghendaki keadilan. Isi
hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil
dan apa yang tidak adil.

pg. 19
SUMBER HUKUM BARAT

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan
sanksi yang tegas dan nyata. Sedangkan menurut Sudikno sumber hukum sering digunakan
dalam beberapa arti seperti:

1. Sebagai asas hukum


2. Menunjukkan sumber hukum terdahulu yang memberi bahanbahan kepada hukum-
hukum yang sekarang berlaku
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada
peraturan hukum.
4. Sebagai sumber dari mana hukum itu dapat diketahui.
5. Sebagai sumber terbentuknya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.

Sumber hukum pada hakekatnya dibedakan menjadi dua, yaitu sumber materiil dan sumber
formal.Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum.
Sumbersumber hukum materiil dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, seperti dari sudut
ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan lainlain.Sumber hukum formal adalah sumber hukum
dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal, sehingga
merupakan dasar kekuatan mengikat peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun
oleh pengak hukum. Dengan kata lain, sumber hukum formal merupakan causa efficient dari
hukum. Yang termasuk dalam sumber hukum formal adalah Undang-undang, kebiasaan,
Yurisprudensi, Traktat, perjanjian dan doktrin.

pg. 20
HUKUM ISLAM

Sebagai bidang ilmu, hukum Islam telah lama dipelajari secara ilmiah, bukan saja oleh orang
Islam sendiri, tetapi juga nonmuslim. Mereka mempelajari hukum Islam dengan berbagai motif
yang senantiasa berubah-ubah. Ada yang mempelajari agama Islam dan hukum Islam untuk
mempertahankan kesatuan wilayah negara mereka dari kekuasaan Islam (seperti pada masa
pemerintahan Turki Utsmani), orang Eropamempelajari agama Islam dan hukum Islam untuk
menyerang Islam dari dalam dengan mencari-cari kelemahannya. “Penemuan” mereka ini
kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang diberi prediket karya ilmiah. Hasilnya sampai
sekarang masih membekas, karena karya-karya mereka masih menjadi bahan referensi. Dalam
perkembangan lebih lanjut, orang Barat mempelajari Islam secara ilmiah untuk tujuan-tujuan
politik guna mengukuhkan penjajahan barat di benua Afrika, Timur Tengah dan Asia yang
penduduknya mayoritas beragama Islam.

Contoh klasik generasi ini adalah Cristian Snouck Hurgronje.Ia sangat terkenal dengan teori
resepsi dan politik Islamnya yang memuat garis-garis besar kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda dalam menghadapi dan mengendalikan Islam di Indonesia. Periode berikutnya adalah
munculnya kelompok orientalis yang mengadakan pengkajian Islam dan hukum Islam dengan
tujuan pengembangan kerjasama. Aliran ini tumbuh dan berkembang terutama setelah Perang
Dunia II, ketika hubungan ekonomi dan perdangangan antar negara-negara Islam di Timur
Tengah dan Afrika Utara semakin meningkat. Pengkajian Islam dan hukum Islam, sejak saat
itu, adalah untuk kepentingan politik negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, setelah Perang
Dunia II dan khususnya setelah terjadi krisis energi tahun 1973, di berbagai perguruan tinggi
terkemuka di Eropa, Amerika dan juga di Asia diadakan mimbar atau jurusan khusus studi
Islam.

Berkenaan dengan kedudukan dan peranan hukum Islam dalam masyarakat muslim, beberapa
sarjana non-muslim telah ikut andil dalam mengemukakan pendapatnya, diantaranya adalah
Rene David (salah seorang guru besar ilmu hukum dan ekonomi Universitas paris) yang
mengatakan bahwa “Tidak mungkin orang memperoleh gambaran yang jelas mengenai Islam
sebagai salah satu kebulatan, kalau orang tidak mempelajari hukumnya” 9 pendapat yang sama

pg. 21
juga dikatakan oleh Charles J. Adams (Professor dan Direktur Islamic Studies Montreal
Canada). Menurutnya, hukum Islam merupakan subyek yang terpenting dalam pengkajian
Islam. Karena sifatnya yang menyeluruh, yang meliputi semua segi dalam kehidupan seorang
muslim.Berbeda dengan mempelajari hukumhukum lain, studi tentang hukum Islam
memerlukan pendekatan dan pemahaman khusus. Hal ini dikarenakan yang termasuk dalam
bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam sistem hukum
Eropa, tetapi juga tentang masalahmasalah lain di luar wilayah apa yang biasanya dikatakan
law itu.

Orang Islam sendiri bukan saja telah memberikan kedudukan istimewa kepada hukum Islam,
tetapi juga telah mempelajarinya dengan seksama dan berhasil dalam merumuskan garis-garis
besar atau kaidah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan
kehidpan.10 Sedangkan H.A.R. Gibb berpandangan bahwa, hukum Islam telah memegang
peranan yang sangat penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam
dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, ini karenaia memiliki landasan keagamaan. Di
samping itu, hukum Islam berfungsi sebagai pengatur kehidupan rohani dan sekaligus menjadi
suara hati nurani umat Islam.

PENGERTIAN HUKUM ISLAM

Adapun yang dimaksud dengan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi
bagian agama Islam. Sebagai sistem hukum, ia mempunyai beberapa istilah kunci yang lebih
dahulu perlu diketahui, yaitu berkenaan dengan istilah hukum, ahkam, Syariah, dan Fikih.

pg. 22
RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM

Ruang lingkup hukum Islam adalah: Munakahat (Hukum Perkawinan Islam), Wirasah (Hukum
Waris), Mu‟amalah (dalamartikhusus), Jinayah (Hukum Pidana Islam), Al-
AhkamalSulthaniyah (Hukum Tata Negara Islam), Al-Ahkam As-Siyasiyah (Hukum Politik),
Ahkam al-Bi‟ah (Hukum Lingkungan).

Andaikata hukum Islam disusun menurut sistematik hukum Barat yang membedakan hukum
perdata dengan hukum publik, maka susunan hukum mu‟amalah dalam arti luas adalah sebagai
berikut:

1. Hukum Perdata Islam, yang mengatur masalah Munakahat, wirasah, mu‟amalah.


2. Hukum Publik Islam yang di dalamnya mengatur Jinayah, AlAhkam as-Sulthaniyah,
siyar, dan mukhasamat.

CIRI-CIRI HUKUM ISLAM

Secara garis besar bahwa ciri-ciri hukum Islam adalah:

1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam


2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan
kesusilaan atau akhlak Islam.
3. Mempunyai dua istilah kunci, yaitu syariat dan fikih.
4. Terdiri dari dua bidang utama, yaitu ibadah dan mu‟amalah (dalam arti luas).
5. Strukturnya berlapis, terdiri dari nas atau teks al-Qur’an, sunnah nabi Muhammad saw.,
hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang wahyu dan sunnah,
pelaksanaannya baik berupa keputusan hakim, maupun berupa amalan-amalan umat
Islam dalam masyarakat.
6. Mendahulukan kewajiban dari pada menuntut hak, amal dari pahala.
7. Dapat dibagi menjadi hukum taklifi dan hukum wadh‟i.
8. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani
serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.

pg. 23
TUJUAN HUKUM ISLAM

Jikalau kita mendalami dan menyelami isi yang ada dalam alQur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad saw., maka kita akan mendapatkan gambaran, bahwa tujuan hukum Islam secara
global adalah untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan
mengambil yang bermanfaat dan menolak yang madharat. Dengan kata lain, tujuan hukum
Islam adalah sebagaimana yang tertera dalam rumusan maqasidus syari‟ah, yaitu memelihara
agama, memelihara jiwa, akal, keturunan dan harta.Tujuan hukum Islam di atas dapat dilihat
dari dua sudut yaitu dari sudut pembuat hukum Islam (Allah SWT. dan Rasullah) dan sudut
manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam tersebut.

SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, SunnahNabi, ijma‟danqiyas. Akan tetapi, dua yang
terakhir biasanya diterjemahkan dengan consensus dan penalaran melalui analogi. Ijtihad
(penalaran hukum secara independen), yaitu terkadang dianggap sebagai sumber syari’ah
dalam catatan tradisi-tradisi awal.Logika syari’ah sebagai suatu sistem perundang-undangan
agama menunjukkan dengan jelas bahwa ia adalah perundangundangan yang, pertama,
dijabarkan langsung dari al-Qur’an, kedua, dari tradisi atau sunnah nabi, dan ketiga, dari
tindakan individu yang terpercaya dan terbimbing dalam masyarakat yang hidup sesuai dengan
wahyu dan tradisi tersebut. Walaupun ijma‟ dan qiyas tidak secara jelas disebutkan dalam al-
Qur’an dan Sunnah sebagai sumber syariah, akan tetapi perkembangan kedua konsep tersebut
telah disepakati; ijtihad para ahli hukum pendiri abad kedua dan ketiga Islam.

1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Seluruh teks al-
Qur’an diyakini umat Islam secara literal dan final sebagai firman Allah SWT. Teks al-
Qur’an dianggap sangat akurat dan tidak perlu diperdebatkan lagi oleh seluruh umat
Islam.

pg. 24
Kunci dasar dalam rangka memahami fungsi al-Qur’an dalam perumusan hukum Islam
adalah dengan jalan mengapresiasi bahwa al-Qur’an lebih berupaya membangun
standar dasar perilaku umat Islam daripada mengekspresikan standar-standar itu
sebagai hak dan kewajiban. Seperti peranan Nabi MuhammadSaw. dalam membangun
standar perilaku ditunjukkan dalam peranannya sebagai pengambil keputusan politik,
dengan menyebutkan konsekuensi hukum atas pelanggaranstandar-standar tersebut,
dalam arti bahwa,seorang nabitidakmempunyaiperanan sebagai legislator politik, tetapi
peranan tersebut ada dalam al-Qur’an dan direalisasikan oleh Nabi sendiri, sebagai
contoh surat 7:157 yang memberikan keabsahan Nabi sebagai legislator dan surat 3: 32,
132, dan 4:59, 65, 80 dan 59:7, yang isinya menekankan kewajiban umat Islam untuk
menaati nabi.

Al-Qur’an berisi tentang gagasan yang mendasari tingkah laku masyarakat beradab,
seperti tenggang rasa, kejujuran dan kepercayaan, integritas dan kejujuran dalam
administrasi peradilan, dan mengekspresikannya sebagai etika keagamaan Islam.

Secara garis besar, al-Qur’an berisi akidah, syari’ah, akhlak, kisah umat manusia di
masa lalu, berita tentang masa yang akan datang (akhirat) dan benih atau prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, konsep “hukum” yang ada dalam al-Qur’an jauh
lebih jelas dari konsep hukum Barat. Hal ini dikarenakan di dalam al-Qur’an, selain
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT. dan manusia
dengan manusia dalam masyarakat, ditentukan juga hukum yang berkenaan
dengankeyakinan dan sikap manusia terhadap lingkungannya yang biasa disebut
dengan akidah, akhlak dan moral. Dengan demikian, konsep hukum menurut al-Qur’an
adalah all comprehensive.

2. Sunnah Nabi Muhammad saw.


Menurut Syara’, as-Sunnah adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah, baik berupa
ucapan, perbuatan dan atau ketetapan. As-Sunnah merupakan sumber hukum yang
kedua setelah alQur’an, hal ini dikarenakan kadangkala suatu persoalan tidak
ditemukan solusinya, Fungsi dari sunnah adalah sebagai penjelas al-Qur’an, penguat
hukum yang ada dalam al-Qur’an dan menetapkan hukum yang belum ada dalam al-
Qur’an.

pg. 25
3. Ijma
Ijma‟ merupakan sumber hukum Islam yang ketiga, di mana jika suatu permasalahan
tidak ada solusinya dalam al-Qur’an dan Sunnah, maka jalan yang digunakan adalah
dengan jalan ijma‟. Ijma‟ menurut bahasa bermakna22 : a. Ittifaq (kesepakatan). b.
„Azam (cita-cita, hasrat, dan tasmin). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

‫وشركائكم أمركم فأجمعوا‬

Ijma’ menurut ahli ushul adalah “Kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam
pada suatu masa setelah Rasulullah wafat terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah
atau kejadian”.23 Di samping itu, ada yang mendefinisikan bahwa ijma‟ adalah
kesepakatan para mujtahid dari umat ini dalam suatu masa atas suatu huku syar’i.24
Untuk itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh imam mujtahid
umat Islam pada waktu itu, kemudian mereka sepakat terhadap suatu hukum mengenai
kejadian tersebut, maka kesepakatan mereka itu disebut sebagai ijma‟. Setelah itu,
ijma‟ mereka dianggap sebagai suatu hukum tentang persoalan tersebut.

4. Qiyas
Dalam menerapkan Qiyas, seorang ahli hukum menyimpulkan dari prinsip yang telah
dijadikan preseden, bahwa suatu kasus baru berada di bawah prinsip tersebut atau mirip
dengan preseden ini berdasarkan kuatnya alasan (illat).25 Qiyas harus dibatasi pada
kasus-kasus yang tidak ada satu sumber lain yang dapat diterapkan dan hasilnya
diketahui sepenuhnya sesuai dengan keseluruhan syari’ah juga sejalan dengan prinsip
dan aturan yang telah dibangun. Jika tidak dibatasi, maka orang akan mendasarkan
syari’ah lebih kepada akal manusia daripada wahyu tuhan.

Karena memiliki kaitan yang jelas dengan ijtihad (penalaran hukum yang independen)
dan menjadi salah satu dari tekniknya, maka tentulah bermanfaat mengakui qiyas
sebagai sumber syari’ah yang independen. Khususnya semenjak pintu ijtihad dianggap
tertutup dan terus diperkuat setelah abad IX M. Dengan demikian, menjadi mungkin
untuk terus memberi keputusan-keputusan terhadap kasus-kasus baru, melampaui
prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariah yang dibangun generasi sebelumnya tanpa
mengklaim menggunakan ijtihad sekalipun.

pg. 26
PERBEDAAN HUKUM BARAT DAN HUKUM ISLAM

Mengislamkan ilmu pengetahuan, dilakukan dengan meletakkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai
landasan awal dalam menentukan kebenaran yang berkaitan dengan pencarian ilmu
pengetahuan dan menempatkan ajaran tauhid sebagai paradigma yang paling asasi.27 Dari
pemaparan tentang hukum barat dan hukum Islam di atas, kita akan dapat mengetahui bahwa
antara keduanya mempunyai segi-segi yang berbeda, maka dari sini perlu adanya suatu
kompromi.

Untuk mengetahui dan membuat hukumBarat sesuai dengan syari’at Islam dilakukan dengan
jalan menyesuaikan sumbersumber hukum Barat dengan hukum Islam, akan tetapi untuk lebih
jelasnya berikut ini langkah-langkah yang perlu dilakukan yaitu:

1. Segi Pengertian Hukum


Berdasarkan pemaparan di atas, hukum Barat belum dapat didefinisikan secara utuh
yang dapat memuat isi hukum tersebut, hal ini dapat kita ketahui dari banyaknya
perbedaan para ahli hukum Barat dalam mendefinisikan hukum. Di samping itu, yang
terkandung dalam definisi hukum Barat tidak mencantumkan suatu dasar yang
menjadikan hukum itu ditaati atau tidak, di mana didalam definisi tersebut hanya
merupakan hasil consensus dari masyarakat untuk masyarakat demi menjaga ketertiban
dan menjaga hak-hak masyarakat. Sedangkan dalam hukum Islam, sebuah aturan yang
bersumber dari ajaran Islam, dimana didalamnya menyangkut hubungan
kemasyarakatan dan hubungan manusia dengan Tuhannya, sehingga suatu perbuatan
yang melanggar hukum, disamping mempunyai pertanggungjawaban di depan manusia
lain, dia juga harus mempertahankan di depan Tuhannya.

2. Segi Ciri-Ciri Hukum


Kalau kita lihat ciri-ciri hukum, antara hukum Barat dengan hukum Islam, maka kedua
hukum tersebut bercirikan adanya perintah atau larangan. Larangan atau perintah
tersebut harus dipatuhi oleh semua masyarakat. Sedangkan ciri dari hukum Islam
adalah: bagian dan bersumber dari agama Islam, mempunyai hubungan yang erat dan
tidak terpisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam, mempunyai
dua istilahkunci, yaitu syariat dan fikih, terdiri dari dua bidang utama, yaitu ibadah dan

pg. 27
mu‟amalah (dalam arti luas), strukturnya berlapis, terdiri dari nash atau teks al-Qur’an,
sunnah nabi Muhammad Saw., hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang
wahyu dan sunnah, pelaksanaannya baik berupa keputusan hakim, maupun berupa
amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat, mendahulukan kewajiban dari pada
menuntut hak, amal dari pahala, dapat dibagi menjadi hukum taklifi dan hukum wadh‟i,
menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani
serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.

3. Segi Tujuan Hukum


Dalam hukum Barat,tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat dan hukum ituharus pula bersendikanpadakeadilan, yaitu asas-asas
keadilan dari masyarakat itu. Di samping itu, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan
negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada
rakyatnya. Hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan keadilan
dan ketertiban, syarat pokok dalam mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.
Keadilan digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa
ketentraman di hatidanjikadiusikataudilanggarakan menimbulkan kegelisahan dan
kegoncangan. Sehingga dari sini, dapat diketahui bahwa tujuan hukum Barat hanya
dalam wilayah kehidupan dunia. Sedangkan dalam hukum Islam bertujuan untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil yang
bermanfaat danmenolak yang madharat. Dengan kata lain bahwa tujuan dari hukum
Islam adalah sebagaimana yang tertera dalam rumusan MaqasidusSyari‟ah, yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan dan harta.

pg. 28
BAB 5

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia di atas, kita dapat tarik kesimpulan bahwa
HAM dalam perspektif barat jauh berbeda dengan HAM dalam perspektif Islam. Hampir
disegala aspek HAM versi barat bertentangan dengan HAM versi Islam utamanya syariat
Islam. HAM versi barat membebaskan sebebas-bebasnya manusia tanpa ada batasan. Selain
itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung penilaian akal
yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan kondisi serta kepentingan, karena lepas dari
doktrin agama sama sekali. Sedangkan Islam itu adalah agama yang asy-syumul (lengkap).
Ajaran Islam meliputi seluruh aspek dan sisi kehidupan manusia. Islam memberikan
pengaturan dan tuntunan pada manusia, mulai dari urusan yang paling kecil hingga urusan
manusia yang berskala besar. Dan tentu saja telah tercakup di dalamnya aturan dan
penghargaan yang tinggi terhadap HAM. Memang tidak dalam suatu dokumen yang
terstruktur, tetapi tersebar dalam ayat suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

Hak Asasi Manusia telah di atur dalam Al-Qur’an dan Hadist dan umat islam harus benar-benar
mengetahui hak-hak yang diberikan kepadanya dan menggunakan haknya tersebut sebaik-
baiknya selama tidak bertentangan dan melanggar hak orang lain.

pg. 29
DAFTAR REFERENSI

 http://dhanielalu.blog.com/makalah-ham-dan-pandangan-islam-tentang-ham/

 http://majlistalimalamin.blogspot.com/2012/10/ham-versi-barat-ham-versi-islam.html

 http://donaemons.wordpress.com/2009/01/29/pelanggaran-pelanggaran-ham-di-
indonesia

 http://www.scribd.com/doc/87749066/HAM-Menurut-Islam-Dan-Barat

 http://harisscivic.blogspot.com/2012/04/makalah-ham-dalam-perspektif-
islam_25.html

 http://maixelsh.wordpress.com/2011/02/21/hak-asasi-manusia-universal-declaration-
of-human-rights-1948/

 Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah.


Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997.

 Al-Syawi, Taufiq. Syura Bukan Demokrasi. Diterjemahkan oleh Djamaluddin ZS.


Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

 https://www.datawika.com/perbedaan-hukum-islam-hukum-adat-hukum-barat/

 Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

 Adams, Charles J. Islam, dalam The Great Religions, New York: The Free Press, 1965.

pg. 30

Anda mungkin juga menyukai