Anda di halaman 1dari 22

TEORI JAQUES DERRIDA, MICHEL FOUCALT, DAN JEAN PIAGET

MAKALAH TEORI ILMU SOIAL

Disusun Oleh :

Athia Rohza
Ulfa Yuherman
Pindo Dinata

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Dr. Erianjoni, M.Si

PROGRAM PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan YME, karena dengan karunia-Nya kami
dapat menyelesaiakan makalah yang berjudul “Teori Jaques Derrida, Michel Foucalt, Dan Jean
Piaget”. Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, namun kami
berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada Bapak Dr. Erianjoni, M.Si selaku dosen
pembimbing mata kuliah Teori Ilmu Sosial. kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-
teman yang juga sudah memberikan dukungan baik langsung maupun tidak langsung dalam
pembuatan makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu
yang berguna bagi kita bersama.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya.

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................2
1.3 Tujuan ......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Jaques Derrida...........................................................................................................3
2.2 Michel Foucaut ........................................................................................................6
2.3 Jean Piaget................................................................................................................10

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan...............................................................................................................18
3.2 Saran.........................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada beberapa teoritikus ilmu sosial yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu Jaques
Derrida, Michel Foucalt, dan Jean Piaget. Setiap teoritikus memiliki pandangan yang berbeda-
beda dalam menelaah tiap fenomena kemasyarakatan yang ada. Pertama yaitu Jaques Derrida,
Derrida identik dengan dekonstruksi. Sekalipun istilah dekonstruksi pertama kali diperkenalkan
oleh Heidegger, Derrida-lah yang membuatnya radikal. Istilah tersebut menjadi populer di
berbagai bidang kajian seperti kritik sastra, arsitektur, teologi, seni rupa, politik, pendidikan,
musik, film, hukum, sosiologi, dan sejarah. Dekonstruksi (pembongkaran) merupakan suatu
metode yang dikembangkan Derrida, terutama sebagai kritik terhadap filsafat Barat,
logosentrisme, yang memiliki anggapan bahwa bahasa lisan lebih superior dibandingkan dengan
bahasa tulisan (Haryanto, 2016: 305).
Kedua adalah Michel Foucalt. Foucault sangat tertarik menyelidiki hubungan antara
kuasa dan pengetahuan. Tidak ada praktek pelaksanaan kekuasaan yang tidak memunculkan
pengetahuan dan tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak memandang relasi kuasa.
Foucault menunjukan bagaimana individu modern lahir sebagai objek dan subjek dari
penyebaran dan pengadaan jaring-jaring kuasa (Syaifuddin, 2018: 141)
Kemudian selanjutnya ketiga adalah Jean Piaget, Piaget lebih menitik beratkan
pembahasannya pada struktur kognitif. Ia meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini
dari tahun 1927 sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya. Ia
menyatakan bahwa cara berfikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang
dewasa karena kalah pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya
juga bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual individu serta perubahan umur sangat
mempengaruhi kemampuan individu mengamati ilmu pengetahuan (Ibda, 2015: 28-29). Untuk
lebih jelas mengenai ketiga teoritis tersebut, maka akan lebih dijabarkan dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


Dari penjelasan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:

1
1. Bagaimana pandangan Jaques Derrida dalam teori ilmu sosial ?
2. Bagaimana pandangan Michel Foucalt dalam teori ilmu sosial ?
3. Bagaimana Pandanagn Jean Piaget dalam teori ilmu sosial ?

1.3 Tujuan
Berdasarkan penjelasan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dalam
makalah ini adalah :
1. Untuk Mendeskripsikan pandangan Jaques Derrida dalam teori ilmu sosial ?
2. Untuk Mendeskripsikan pandangan Michel Foucalt dalam teori ilmu sosial ?
3. Untuk Mendeskripsikan Jean Piaget dalam teori ilmu sosial ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Jaques Derrida


2.1.1 Biografis Jaques Derrida
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tahun 1930, tetapi sudah menjadi warga Perancis
dan akhirnya terkenal dengan filsuf Perancis. Sejak tahun 60-an Derrida sudah mulai menulis,
dan sekitar tahun 70-an Derrida menjadi terkenal karena tulisan-tulisannya yang sangat sulit
dipahami. Berbagai tulisaany yang diterbitkan dalam bahasa Perancis pun sangat kesulitan
dipahami oleh orang Perancis (Wirawan, 2012: 283).
belajar di Ecole Normale Superieure (“Ulm”), dan sejumlah tokoh seperti Maurice de
Condillac dan Jean Hyppolite tercatat sebagai pengajarnya. Di “Ulm” Derrida mendalami tradisi
filsafat Eropa (terutama Hegel, Husserl, dan Heidegger), dan sementara itu juga mempelajari
sastra modern, Marxisme, dan psikoanalisis secara luas. Tahun 1956-1957 ia mendapatkan
beasiswa ke Universitas Harvard. Sekembalinya ke Prancis, ia mendaftarkan diri menulis tesis
mengenai "Idealitas objek literer'”. Semula penyusunan tesis tersebut hendak dibimbing
Hyppolite, tetapi lantas ia batalkan sesudah gagasannya mengenai tulisan (inscription) mulai
terbentuk. Tahun 1960-an ia mengajar sebentar di Sorbonne dan bergabung dengan jurnal garda-
depan, Tel Ouel.
Sepanjang periode 1967-1984 ia menjabat sebagai dosen tetap (maftre-assistant) untuk
bidang filsafat di Ecole Normale Superieure, sementara ia pun sering memberikan kuliah tamu
ke universitas-universitas Amerika, terutama Johns Hopkins dan Yale. Pada 1967, Derrida
mengawali serangkaian kuliah yang disampaikannya pada konferensi Baltimore, Amerika
Serikat. Tiga bukunya terbit pada tahun itu juga. Antara lain: (1) Of Gramatology, (2) Writing
and Defference, dan (3) Speech and Phenomena. Tahun 1974 ia terlibat dalam pembentukan
Groupe de re, cherche sur l’enseignement de la philosophie (GREPH) yang berhasil
menggagalkan upaya pemerintah untuk membatasi pengajaran filsafat. Tahun 1981 ia ditunjuk
menjabat direktur College International de Philosophie. Ia mempertahankan these de'etat-nya
tahun 1980, yang didasarkan pada karya-karyanya yang lebih konvensional dan telah diterbitkan.
Kini Derrida menjabat sebagai profesor filsafat di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales,

3
Paris, di samping sebagai profesor tamu di Universitas California, Irvine, dan di Universitas
Cornell (Beilharz, 2005: 73-74).

2.1.2 Sumbangan Pemikiran Jaques Derrida


Derrida identik dengan dekonstruksi. Sekalipun istilah dekonstruksi pertama kali
diperkenalkan oleh Heidegger, Derrida-lah yang membuatnya radikal. Istilah tersebut menjadi
populer di berbagai bidang kajian seperti kritik sastra, arsitektur, teologi, seni rupa, politik,
pendidikan, musik, film, hukum, sosiologi, dan sejarah. Dekonstruksi (pembongkaran)
merupakan suatu metode yang dikembangkan Derrida, terutama sebagai kritik terhadap filsafat
Barat, logosentrisme, yang memiliki anggapan bahwa bahasa lisan lebih superior dibandingkan
dengan bahasa tulisan (Haryanto, 2016: 305).
Dekonstruksi yang dikemukakan oleh Derrida diawali dari pemikiran Jean Francois
Lyotard, yang mengungkapkan tetang konsekuensi dari semantika pascastrukturalis dan
dekonstruksionisme terhadap resionalisme Barat. Disamping itu, Derrida juga dipengaruhi dan
bahkan dapat dikatakan mengambil pemikiran Ferdianand Dessaure tentang signifie dan
signifian dalam upaya mendekonstruksikan teks. Derrida sebenarnya juga banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Jurgen Habermas tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai.
Kemudian juga Derrida mengambil pemikiran Max Weber tentang sifat proses modernisasi
Hegel mengenai rasionalitas, Arnold Toynbee dengan study of history sebagai acuan dari
pemikiran postmodernisme (Wirawan, 2012: 282)
Pemikiran dekonstruksi Derrida pada dasarnya digunakan untuk mempermainkan teks-
teks dalam filsafat. Pemikiran dasarnya sangat dipengaruhi oleh beberapa kaum fenomenologi,
hermeneutika dan strukturalisme yang menjadi pemikiran utamanya yaitu Ferdinand De
Saussure. Dalam kaitannya mengenai kehidupan sosial, bahasa yang digunakan manusia pada
dasarnya mutlak, atau seperti yang disebut logos. Bahasa bisa muncul sesuai ruang dan waktu,
namun bagi Saussure kemunculan bahasa itu sendiri dimaknai oleh sang penciptanya
(pengarang). Jadi segala bentuk bahasa dimiliki oleh sang pencipta. Pemikiran tersebut yang
mendorong penolakan Derrida terhadap struktualisme bahasa yang mendominasi kekuatan
bahasa bahasa itu sendiri (Putra, 2013: 2).
Kata benda "deconstruction" dan kata kerja "deconstruire”" telah dipakai sebagai istilah
teknis oleh para ahli tatabahasa Prancis ketika Derrida mulai menggunakan istilah itu. Para ahli

4
tatabahasa bermaksud mengungkap kaidah-kaidah konstruksi kalimat, sehingga mengetahui
bagaimana kalimat-kalimat berlaku dalam keadaan yang berbeda-beda. Kamus besar bahasa
Prancis, Littre, mengemukakan makna mekanis kata kerja tersebut. Tertulis di situ,
"Mendekonstruksi" berarti "membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan.
Mendekonstruksi sebuah mesin dengan tujuan memindahkannya ke tempat lain”. Tidak jauh dari
maksud Derrida, konotasi linguistik dan mekanis tersebut juga mengandung arti yang besar
baginya. Karena diskursus yang dominan di Prancis saat itu adalah strukturalisme, yang
memperoleh sumber gagasannya dari linguistik, maka dengan memberi tekanan pada
destrukturisasi memungkinkan Derrida terlibat dalam dialog dengan strukturalisme sekaligus
tetap memisahkan diri darinya (Beilharz, 2005: 75)
Dekonstruksi sebagaimana yang diterapkan Derrida menjadi elemen kunci dalam
poststrukturalisme dan membantu membidani lahirnya postmodernisme, Pemikiran sebelumnya
menganggap bahasa sebagai pusat dan penentu subjek, sementara dekonstruksi menyatakan
desentering setiap subjek tersebut kemudian menghubungkannya dengan setiap penghalangnya
atau dominasinya. Seperti halnya filsafat, ilmu pengetahuan selama ini mengasumsikan adanya
hubungan antara bahasa dan makna. Mereka juga menggunakan metode observasi, interaksi, dan
eksperimen untuk menggali kebenaran dan kepastian yang lebih dalam. Dekonstruksi di lain
pihak melakukan intervensi dengan cara membongkar apa pun, baik tulisan maupun tuturan,
menunjukkan kontradiksi-kontradiksinya dan memposisikan kemungkinan makna dan hasil-hasil
alternatifnya (Haryanto, 2016: 306).
Usaha Derrida mendekonstruksi filsafat modern pertama-tama adalah mengkritik
pandangan metafisika dan epistemologi modern. Derrida menolak pandangan bahwa dengan
menjelaskan hakikat, eksistensi, substansi, subjek, alethia, dan seterusnya berarti telah
menguasai realitas. Tanda, kata atau konsep baginya tidak menghadirkan “ada” tetapi hanya
merupakan “bekas” (trace). Menurutnya, “yang ada” bersifat majemuk, tak terstruktur, dan tak
bersistem sehingga tidak dapat direkayasa secara sewenang-wenang dalam kata, tanda, atau
konsep tunggal. Pandangan metafisika modern tersebut harus didekonstruksi apabila
menginginkan solusi atas dilema modernitas.
Kritik terhadap logosentrisme ditunjukkan oleh Derrida dengan cara mendekonstruksi
karya Plato yang berjudul Philebus dan karya Mallarme yang berjudul Mimique. Tujuannya
adalah membongkar ambiguitas mimesis, yakni hasrat meniru sesuatu yang lebih awal dan

5
memiliki prioritas ontologis dibandingkan yang sesudahnya. Hasrat mimetik yang paling awal
adalah kreasi manusia dalam bentuk relief, arca dsb, sebagai refleksi ketertakjuban manusia
terhadap alam. Hasrat ini tidak pernah padam karena manusia selalu merindukan sesuatu yang
ditiru, arkhe yang transenden dan ideal. Dalam perspektif Platonian, mimesis berada dalam
kerangka hierarkis yang menempatkan yang ideal (ide atau kebaikan) di atas yang temporal.
Sesuatu yang ditiru (the imitated) memiliki “kualitas lebih” daripada yang meniru (the imitator).
Hubungan keduanya bersifat vertikal yang menandakan bagaimana yang ideal dipersepsikan
sebagai kehadiran logos (pusat yang stabil dari teks) dan telos (yang menggarisi arah yang telak
dalam proses menuju kebenaran akhir yang mutlak dan absolut).
Untuk lebih memahami teori dekonstruksi Derrida, ada baiknya kita menyimak ilustrasi
yang dilakukan Edward Said mengenai kajian teori postkolonial. Upaya pembongkaran hierarki
oposisi biner serta upaya untuk menemukan tatanan alternatif yang mengatasi oposisi itu
seringkali diperoleh dalam term lain yang meleset dari tatanan oposisi biner ini. Selain berupaya
mendekonstruksi oposisi Barat><Timur, oposisi biner lain yang menjadi sasaran dekonstruksi
teori poskolonial adalah oposisi penjajah><terjajah. Oposisi penjajah><terjajah telah menjadi
“payung” dan ditopang oleh oposisi biner lain seperti baik><buruk, beradab><biadab,
rajin><malas, rasional><irasional. Dari berbagai oposisi biner yang terkumpul di bawah
“payung” oposisi penjajah><terjajah ini, muncullah pembenaran bagi kolonialisme: mereka
boleh kita jajah karena mereka masih biadab. Tidak hanya itu, oposisi biner juga memungkinkan
sebuah fantasi luhur. Kolonialisme-yang dalam kenyataan merupakan pendudukan, perampasan,
dan kontrol kita yang beradab atas mereka yang biadab, disertai cita-cita luhur memberadabkan
(a civilizing mission) mereka yang masih terbelakang. Panggilan luhur untuk memberadabkan ini
merupakan fantasi luhur yang mengukuhkan superioritas penjajah atas terjajah, sekaligus
“menyucikan” tindakan penjajahan itu sendiri (Haryanto, 2016: 307).
Inti dekonstruksi Derrida terletak pada usaha untuk membongkar struktur opositif yang
telah menyebabkan munculnya makna ideal. Derrida tidak menolak makna sebagai makna, tetapi
menolak prioritas, dominasi, klaim yang menyebabkan adanya makna ideal, struktur yang
meyebabkan makna ideal, struktur yang menyebabkan makna ideal inilah yang ingin dibongkar
(Wirawan, 2012: 285).

6
2.2 Michel Foucault
2.2.1 Biografis Michel Foucault
Michel Foucault lahir di Poiters, Prancis, tahun 1926. Ia hidup dalam sebuah keluarga
Katholik yang taat dimana ayahnya adalah seorang praktisi kedokteran, yakni seorang ahli
bedah. Karenanya, ia diharapkan mengikuti karir sang ayah. Tetapi ia justru lebih tertarik pada
sejarah, filsafat, dan psikologi ketimbang kedokteran. Namun kita bisa melihat bahwa arus
pemikiran Foucault tidak jauh dari dunia medis, terutama psikopatologi (Af, 2012: 133).
Pendidikan dasar sampai kolese ditamatkan di kotanya. Selepas kolese, pada 1943, ia
memasuki Lycee Henry IV (salah satu sekolah persiapan untuk Ecole Normale Superieure) dan
Ecole Normale. Di antara guru-gurunya adalah filsuf Hegelian Jean Hippolyte, filsuf sains
Georges Canguilhem dan Georges Dumezel, dan Marxis-strukturalis Louis Althusser. Marxisme,
eksistensialisme, dan kemudian, strukturalisme adalah garis yang dominan selama masa-masa
pembentukan dalam pemikiran Foucault di Ecole Normale, dan karyanya dapat dilihat sebagai
sangat menentang pada Marxisme Sartrean. Sebagaimana temannya, Deleuze, oeuvre Foucault
sangat ditandai oleh pengaruh Nietzshe dan sangat menentang ajaran humanistik dari Marxisme
eksistensialis. Kesetiaaan Foucault pada konsep Cartesian tentang diri, kecondongannya untuk
membangun sebuah narasi besar dan peran sangat penting pada praksis.
Setelah belajar di Ecole Normale, ia kemudian intens mempelajari sejarah psikiatri. Pada
tahun 1950-1951 ia menjadi asisten Louis Althusser sebagai instruktur psikologi di bekas
almamaternya. Pada saat bersamaan ia mengadakan serangkaian riset mengenai abnormalitas.
Foucault kembali ke rumah sakit Sainte-Anne yang pernah menganggap dan merawatnya sebagai
pasien gila. Di sana ia membantu mengadakan eksperimen-eksperimen yang menggunakan
peralatan sinar electro-encephalographic. Melalui peralatan ini, ia berusaha menganalisis
berbagai abnormalitas yang disebabkan oleh rangkaian kekacauan otak dan berbagai faktor
neurologis. Selama di rumah sakit jiwa tersebut, ia juga sangat serius mempelajari artikel-artikel,
bukubuku dan kasus-kasus psikiatrik yang ditangani oleh psikiater Ludwig Binswanger (Af,
2012: 134).
Michel Foucault memulai kariernya menjadi pengajar di Universitas di Lille pada 1952.
Akan tetapi, pada 1955 ia menjadi atase kebudayaan Prancis yang bertugas di Uppsala, Warsawa
dan Hamburg. Di Uppsala, ia memulai riset kepustakaan yang kemudian menjadi karya besarnya
di bidang sejarah sosial, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul

7
Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason 1965. Pada 1960, ia
kembali ke Prancis untuk mengajar filsafat dan psikologi di Clermont-Ferrand. Dalam waktu
singkat ia menulis karya-karya besarnya dan pada dekade 1970 karya-karyanya diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan judul Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical Perceprion
(1973), The Order of Things (1970), dan The Archaeology of Knowledge (1972) (Lemert dalam
Haryanto, 2016: 308)

2.2.2 Sumbangan Pemikiran Michel Foucault


Foucault sangat tertarik menyelidiki hubungan antara kuasa dan pengetahuan. Bagi
Foucault kekuasaan (power) selalu berimplikasi pada pengetahuan (knowledge) dan sebaliknya.
Ia berpendapat bahwa kekuasaan itu erada ada strategi yang dioperasikan pada tiap tingkatan.
Jadi, kekuasaan itu bukan monopoli kalagan atau kelas tertentu. Keuasaan bersifat produktif,
bahkan akan memproduksi pengetahuan. Foucault menyajikan pemikiran-pemikiran segar yang
belum pernah dijumpai pada masa sebelumnya. Konsep metafisika kekuasaan dari Foucault
merupakan suatu bentuk mikrofisik. Konsep tersebut merupakan fokus studi dari suatu kalangan
yang sering disebut sebagai “kaum filsuf nouveaux” yang sama sekali berbeda dari konsep
metafisik Marxis atau teori totalitarianisme, karena teori ini menganjurkan adanya suatu
kekuasaan terpusat yang tidak disukai oleh Foucault (Wirawan, 2012: 257).
Foucault percaya bahwa pada pengetahuan yang berada pada satu wewenang akan
menimbulkan kekuasaan yang terlembaga. Wacana yang terbentuk hanyalah suatu bentuk
dominasi dari sistem kekuasaan. Kebenaran menurut Foucault adalah produk atau dongeng,
regulasi, distribusi, dan pernyataan sehingga sistem kebenaran berada dalam hubungan timbal
balik dengan sistem kekuasaan. Sistem kekuasaan ini menciptakan dan mempertahankan
kebenaran, sedangkan kebenaran adalah produk dari praktik-praktik tertentu. Kekuasaan
pengetahuan mewujudkan diri dalam wacana yang menciptakan kebenaran secara sewenang-
wenang demi kepentingannya. Dengan demikian, pengetahuan menciptakan realitas.
Berkat Jasa Foucault, postmodernisme tidak hanya sekadar mengkritik epistemologi
tetapi juga menawarkan suatu genealogi sebagai metode kontrol sosial yang lebih efektif.
Foucault dalam hal ini berpendapat bahwa pandangan modern tentang kegilaan (madness),
kriminalitas, kesakitan (illness), dan seksualitas meningkatkan dominasi selama ini ke tingkat
yang tak dibayangkan. Bentuk-bentuk kekuasaan dimanifestasikan dalam praktik-praktik profesi

8
“pembantu” baru dan institusi-institusi total semakin tergantung pada konsepsi rasional yang
diarahkan oleh kontrol-kontrol internal. Pengaturan sosial dengan demikian menjadi lebih
meluas dan menindas ketika pengaturan diri (self-regulation) yang berbasis pada rasionalitas dan
kenormalan yang diinternalisasikan menggantikan hambatan-hambatan fisik dari pengurungan
dan “perlakuan”. Alasan kebenaran ideal Barat dan institusi-institusi yang “sangat diarahkan”,
seperti negara kesejahteraan dan sosialisme, melindungi hubungan-hubungan antara pengetahuan
dengan kekuasaan dan konsekuensinya menguatkan jalinan kekuasaan mereka (Haryanto, 2016:
309)
Dominasi kekuasaan juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault
melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana seksualitas
diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang terbuka tentang seks menurut
Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah kelahiran. Masalah penduduk adalah
masalah sosial, dan masalah ini berhubungan dengan seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha
mempelajari dan mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan
penduduk. Seksualitas menjadi masalah publik.
Dengan menunjukkan hubungan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault
menggarisbawahi tesis dasarnya bahwa kekuasaan ada di mana-mana. Intervensi kekuasaan ke
dalam seksualitas terjadi melalui disiplin tubuh dan ilmu tubuh, dan melalui politik populasi
yang meregulasi kelahiran. Kekuasaan mulai mengadministrasi tubuh dan mengatur kehidupan
privat orang. Sejalan dengan itu, resistensi terhadap kekuasaan itu pun ada di mana-mana (Af,
2012: 144-145).
Kekuasaan, bagi Foucault, beragam dan produktif. Kekuasaan tidak terpusat pada satu
orang atau pihak, terapi menyebar kemana-mana, serta tidak pernah disesuaikan sebagai
komoditas atau bagian dari kekayaan. Kekuasaan terkait dengan jaringan dan pembentukan
struktur kegiatan. Oleh karena itu, harus dipahami melalui suatu jaring seperti organisasi. Lebih
lanjut Foucault (2002), menjelaskan bahwa kekuasaan tidak dapat dipahami sebagai hubungan
subjektif searah: kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada yang
lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan,
manwver, teknik, dan mekanisme tertentu. Secara umum, kekuasaan lebih beroperasi daripada
dimiliki. Kekuasaan bukan merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas
dominan, melainkan suatu akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan

9
posisi mereka yang dominan. Dalam hal ini, individu yang tidak mempunyai kekuasaan, tidak
hanya tak berdaya atau menyetujui sasaran, tetapi juga selalu menjadi elemen-elemen dari
artikulasi. Hal ini mengandung pengertian bahwa “Individu-individu adalah kendaraan
kekuasaan, bukan sebatas titik aplikasi” (Haryanto, 2016: 309).
Sebenarnya yang hendak dibuat Foucault adalah menunjukkan bahwa kita adalah bagian
dari mekanisme kekuasaan itu. Dari kesadaran ini akan lahir kesanggupan untuk menggunakan
kekuasaan secara baik, artinya demi kepentingan orang lain. Keterarahan pada orang lain hanya
lahir dari kesadaran akan tempat diri sendiri dalam konstelasi kekuasaan. Yang menjadi masalah
dalam kehidupan adalah bahwa banyak orang tak menyadari perannya dalam peta kekuasaan.
Apabila orang sadar akan hal ini, maka orang pun akan menerima dan menghargai pluralitas
peran yang ada dalam relasi kekuasaan. Dari ketidaksadaran ini akan lahir berbagai tindakan dan
sistem yang menindas dan menyeragamkan.
Michel Foucault adalah tokoh besar tetapi bukan tanpa pengkritik. Beberapa ide-ide
briliannya tidak jarang dianggap memuat prinsip-prinsip yang paradoks dalam dirinya sendiri.
Sebagai contoh, ketika ia menggambarkan lembaga-lembaga mapan, baik lembaga sosial
maupun lembaga pengetahuan yang dianggap bersalah terhadap terjadinya diskursus yang
represif, ia lupa bahwa lembaga juga punya dinamika dan memungkinkan dalam dirinya sendiri
bergerak progresif sehingga menjadi tidak mapan. Kritik Foucault dianggap sepihak ketika ia
dengan yakin mengkritik sesuatu yang pada dasarnya terus berubah. Namun demikian,
mempelajari teori kekuasaan Foucault bukan hal yang remeh dan sia-sia. Terutama misalnya di
dalam bidang politik dan pemerintahan, teori kekuasaan Foucault adalah satu dari sekian teori
yang sangat cerdas meneliti sejarah bagaimana warga negara secara individual patuh dan taat
kepada konstitusi dan hukum. Sungguh elok ketika para pelajar sampai pada ide tentang
bagimana Foucault menjelaskan relasi kekuasaan antara hasrat kekuasaan pemerintah dengan
kekuasaan pengetahuan. Foucault adalah tokoh penting yang pernah hidup bagi Dunia dan bagi
filsafat (Af, 2012: 147-148).

2.3 Jean Piaget


2.3.1 Biografis Jean Piaget
Jean Piaget lahir pada tanggal 1989 di Neuhatel, Swiss, Ayahnya adalah seorang profesor
dengan spesialis ahli sejarah abad pertengahan, ibunya adalah seorang yang dinamis, inteligen

10
dan takwa. Waktu mudanya Piaget sangat tertarik pada alam, ia suka mengamati burung-burung,
ikan dan binatang-binatang di alam bebas. Itulah sebabnya ia sangat tertarik pada pelajaran
biologi di sekolah. Pada waktu umur 10 tahun ia sudah menerbitkan karangannya yang pertama
tentang burung pipit albino dalam majalah ilmu pengetahuan alam. Piaget juga mulai belajar
tentang moluska dan menerbitkan seri karangannya tentang moluska, karena karangan yang
bagus, pada umur 15 tahun ia ditawari suatu kedudukan sebagai kurator moluska di museum
ilmu pengetahuan alam di Geneva. Ia menolak tawaran tersebut ia harus menyelesaikan sekolah
menengah lebih dahulu.
Perkembangan pemikiran Piaget banyak dipengaruhi oleh Samuel Cornut sebagai bapak
pelindungnya, seorang ahli dari Swiss. Cornut mengamati bahwa Piaget selama masa remaja
sudah terlalu memusatkan pikirannya pada biologi, menurutnya ini dapat membuat pikiran Piaget
menjadi sempit. Oleh karena itu Cornut ingin mempengaruhi Piaget dengan memperkenalkan
filsafat. Ini semua membuat Piaget mulai tertarik pada bidang epistimologi, suatu cabang filsafat
mempelajari soal pengetahuan, apa itu pengetahuan dan bagaimana itu pengetahuan diperoleh.
Piaget berkonsentrasi pada dua bidang itu: biologi dan filsafat pengetahuan. Biologi lebih
berkaitan dengan kehidupan sedangkan filsafat lebih pada pengetahuan. Biologi menggunakan
metode ilmiah, sedangkan filsafat menggunakan metode spekulatif. Pada tahun 1916 Piaget
menyelesaikan pendidikan sarjana dalam bidang biologi di universitas Neuchatel. Dua tahun
kemudian, pada umur 21 tahun Piaget menyelesaikan disertasi tentang moluska dan memperoleh
doktor filsafat.
Setelah mempelajari dan tertarik dengan ilmu biologi, lalu kemudian ia mengalihkan
fokusnya ke perkembangan intelektual (termasuk tahap perkembangan anaknya sendiri ) dan
mulai pengaruh besar pada konsep kognitif dalam perkembangan kepribadian. Piaget, ahli
biologi yang memperoleh nama sebagai psikolog anak karena mempelajari perkembangan
inteligensi, menghabiskan ribuan jam mengamati anak yang sedang bermain dan menanyakan
mereka tentang perilaku dan perasaannya. Ia tidak mengembangkan teori sosialisasi yang
komprehensif, tetapi memusatkan perhatian pada bagaimana anak belajar, berbicara, berfikir,
bernalar dan akhirnya membentuk pertimbangan moral. Bersama dengan istrinya yang bernama
Valentine Catenay yang menikah pada tahun 1923, ia awal mulanya meneliti anaknya sendiri
yang lahir pada tahun 1925, 1927 dan 1931 dan hasil pengamatan tersebut di publikasikan dalam

11
The Origins Of Inteligence In Children dan The Construction Of Reality In The Child pada bab
yang membahas tahap sensorimotor.
Dalam dekade hidup Piaget hingga akhirnya, ia telah menulis lebih dari 60 buku dan
ratusan artikel. Jean Piaget meninggal di Genewa pada tangggal 16 September 1980. Ia adalah
salah satu tokoh psikologi penting di abad ke-20 (Ibda, 2015: 27-28)

2.3.2 Sumbangan Pemikiran Jean Piaget


Piaget lebih menitik beratkan pembahasannya pada struktur kognitif. Ia meneliti dan
menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai 1980. Ia menyatakan bahwa
cara berfikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah
pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-
tahap perkembangan intelektual individu serta perubahan umur sangat mempengaruhi
kemampuan individu mengamati ilmu pengetahuan. Piaget mengemukakan penjelasan struktur
kognitif tentang bagaimana anak mengembangkan konsep dunia di sekitar mereka. Teori Piaget
sering disebut genetic epistimologi (epistimologi genetik) karena teori ini berusaha melacak
perkembangan kemampuan intelektual, bahwa genetic mengacu pada pertumbuhan
developmental bukan warisan biologis (keturunan) (Ibda, 2015: 29)
Piaget mengemukakan bahwa sejak usia balita, seseorang telah memiliki kemampuan
tertentu untuk mengahadapi objek-objek yang ada di sekitarnya. Kemampuan ini masih sangat
sederhana, yakni dalam bentuk kemampuan sensor motorik. Dalam memahami dunia mereka
secara aktif, anak-anak menggunakan skema, asimilasi, akomodasi, organisasi dan equilibrasi.
Dengan kemampuan inilah balita akan mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar
bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian, serta akan berubah menjadi
kemampuankemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan-kemampuan ini disebut Piaget
dengan skema.
Sebagai contoh, seorang anak tahu bagaimana cara memegang mainannya dan membawa
mainan itu ke mulutnya. Dia dengan mudah membawakan skema ini. Lalu ketika dia bertemu
dengan benda lain, katakanlah jam tangan ayahny, dia dengan mudah dapat menerapkan skema
“ambil dan bawa ke mulut” terhadap benda lain tersebut. Peristiwa ini oleh Piaget disebut
dengan asimilasi, yakni pengasimilasian objek baru kepada skema lain. Ketika anak tadi bertemu
lagi dengan benda lain, misalnya sebuah bola, dia tetap akan menerapkan skema “ambil dan

12
bawa ke mulut”. Tentu skema ini tidak akan berlangsung dengan baik, karena bendanya sudah
jauh berbeda. Oleh karena itu, skema pun harus menyesuaikan diri dengan objek yang baru.
Peristiwa ini disebut dengan akomodasi, yakni pengakomodasian skema lama terhadap objek
baru. Asimilasi dan akomodasi adalah dua bentuk adaptasi, istilah Piaget yang kita sebut dengan
pembelajaran. Cara kerja asimilasi dan akomodasi bertugas menyeimbangkan struktur pikiran
dengan lingkungan, menciptakan porsi yang sama di antara keduanya. Jika keseimbangan ini
terjadi, maka tercapailah pada suatu keadaan ideal atau equiblirium. Dalam penelitiannya pada
anak-anak, Piaget mencatat adanya periode di mana asimilasi lebih dominan, atau akomodasi
yang lebih dominan, dan di mana keduanya mengalami keseimbangan (Mu’min, 2013: 91)
Secara ringkas, teori Piaget menjelaskan bahwa selama perkembangannya, manusia
mengalami perubahan-perubahan dalam struktur berfikir, yaitu semakin terorganisasi, dan suatu
struktur berpikir yang dicapai selalu dibangun pada struktur dari tahap sebelumnya.
Perkembangan yang terjadi melalui tahap-tahap tersebut disebabkan oleh empat faktor:
kematangan fisik, pengalaman dengan objek-objek fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi.
Untuk memahami teori perkembangan kognitif Piaget, terdapat beberapa kata kunci atau konsep
pokok dari teori perkembangan kognitif Piaget. Berikut rangkuman kata kunci dari berbagai
literatur yang membahas tentang teori Piaget : (1) Pola (Schema) adalah paket-paket informasi
yang masing-masing dari informasi tersebut memiliki hubungan dengan satu aspek dunia,
termasuk objek, aksi, dan konsep abstrak. (2) Asimilasi (assimilation) proses penggabungan
informasi baru ke dalam pola-pola yang sudah ada. (3) Akomodasi (accomodation) pembentukan
pola baru untuk membentuk informasi dan pemahaman baru. (4) Operasi (operation)
penggambaran mental tentang aturan-aturan yang terkait dengan dunia. (5) Struktur kognitif
(cogitive structure) kerangka berpikir individu yang merupakan kumpulan informasi yang telah
didapatkan, hal ini berhubungan pola kognitif (cognitive schema) yang merupakan perilaku
tertutup berupa tatanan langkah-langkah kognitif (operasi) yang berfungsi memahami apa yang
tersirat atau menyimpulkan apa yang direspon. (6) Ekuilibrum atau keseimbangan (equilibrum)
keseimbangan antara pola yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil
kecepatan akomodasi, atau keadaan mental ketika semua informasi yang diperoleh dapat
dijelaskan dengan polapola yang ada (Khiyarusoleh, 2016: 7-8).
Didalam Mu’min (2013: 91-95) Melalui observasinya, Piaget meyakini bahwa
perkembangan kognitif terjadi dalam empat tahapan. Masing-masing tahapan berhubungan

13
dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbedabeda. Menurut Piaget, semakin banyak
informasi tidak membuat pikiran anak lebih maju, kualitas kemajuannya berbeda-beda. Tahap-
tahap perkembangan kognitif tersebut adalah tahap sensori motorik (usia 0–2 tahun), tahap pra-
opersional (usia 2–7 tahun), tahap opersional konkrit (usia 7–11 tahun) dan tahap opersional
formal (usia 11–15 tahun).
A. Tahap sensorimotor. Tahap ini berlangsung sejak kelahiran sampai sekitar usia dua
tahun. Dalam tahapan ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan
mengoordinasikan pengalaman indra (sensory) mereka dengan gerakan motor (otot).
Menjelang akhir tahap ini, bayi menunjukkan pola sensorimotor yang lebih kompleks.
Piaget percaya bahwa pencapaian kognitif yang penting di usia bayi adalah object
permanence, yang berarti bahwa pemahaman objek dan kejadian terus eksis bahkan
ketika objek dan kejadian itu tidak dapat dilihat, didengar atau disentuh. Pencapaian
kedua adalah realisasi bertahap, bahwa ada perbedaan atau batas antara diri dan
lingkungan sekitar. Menjelang akhir periode sensorimotor, anak bisa membedakan
antara dirinya dan dunia sekitarnya dan menyadari bahwa objek tetap ada dari waktu
ke waktu.
B. Tahap pra-operasional. Tahap ini berlangsung mulai usia 2 tahun sampai tujuh tahun.
Tahap ini adalah tahap pemikiran yang lebih simbolis, tetapi tidak melibatkan
pemikiran operasional. Tahap ini lebih bersifat egosentris dan intuitis. Pemikiran pra-
operasional terdiri dari dua subtahap, yaitu tahap fungsi simbolis dan tahap pemikiran
intuitif. Sub-tahap fungsi simbolis terjadi di usia dua sampai empat tahun. Dalam sub
tahap ini, anak kecil secara mental mulai mempresentasikan objek yang tidak hadir.
Ini memperluas dunia mental anak hingga mencakup dimensi-dimensi baru.
Perkembangan bahasa yang mulai berkembang dan kemunculan sikap bermain adalah
contoh dari peningkatan pemikiran fungsi simbolis. Anak kecil mulai mencoret-coret
gambar orang, rumah, mobil, awan dan benda-benda lain di dunia ini. Dalam
imajinasi mereka, matahari warnanya biru, langit berwarna hijau dan mobil melayang
di awan. Simbolisme yang sederhana tetapi kuat, tidak berbeda dengan lukisan
abstrak. Di usia Sekolah Dasar, lukisan anak menjadi makin realitas, rapi dan persis.
Matahari berwarna kuning, langit berwarna biru dan mobil berada di jalanan.

14
Pemikiran pra-opersional masih mengandung dua keterbatasan, yaitu egosentrisme
dan animisme.
Egosentrisme adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif milik
sendiri dengan perspektif orang lain. Piaget dan Barber Inhelder mempelajari
egosentrisme anak dengan memberikan tugas gunung. Kemudian Animisme juga
merupakan ciri pemikiran pra-operasional. Animisme adalah kepercayaan bahwa
objek tidak bernyawa punya kualitas “kehidupan” dan bisa bergerak. Seorang anak
kecil menunjukkan animisme ini dengan mengatakan “pohon itu mendorong daun dan
membuatnya gugur” atau “trotoar itu membuatku terjatuh”.
Subtahap pemikiran intuitif adalah subtahap kedua, dimulai usia empat tahun sampai
tujuh tahun. Pada tahap ini anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin
tahu jawaban dari semua pertanyaan. Piaget menyebut tahap ini sebagai intuitif
karena anak-anak tampaknya merasa yakin terhadap pengetahuan dan pemikiran
mereka, tetapi tidak menyadari bagaimana mereka bisa mengetahui apa-apa yang
mereka ingin ketahui. Artinya mereka menyatakan bahwa mereka tahu sesuatu tetapi
mereka mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional. Contoh mereka sulit
untuk menempatkan benda atau sesuatu ke dalam kategori yang pas.
Dalam tahap pra-opersional juga menunjukkan karakteristik pemikiran yang disebut
centration yakni pemfokusan (pemusatan) perhatian pada satu karakteristik dengan
mengabaikan karakteristik lainnya. Centration tampak jelas dalam kurangnya
konservasi dalam tahap ini. Konservasi yang dimaksud di sini adalah ide bahwa
beberapa karakteristik dari objek itu tetap sama meski objek itu berubah
penampilannya. Misalnya, orang dewasa tahu bahwa volume air akan tetap sama
meskipun dia dimasukkan ke dalam wadah yang bentuknya berlainan. Tetapi bagi
anak kecil tidak demikan halnya. Mereka biasanya heran pada perubahan bentuk
cairan di dalam wadah yang berbeda-beda.
Menurut Piaget, kegagalan tugas conservation untuk kasus air ini menunjukkan
bahwa anak berada dalam tahap pemikiran pra-operasional. Anak juga tidak bisa
melakukan apa yang disebutnya sebagai “operasi” atau operation. Dalam teori Piaget,
operasi adalah representasi mental yang dapat dibalik (reversible). Contoh, Seorang
anak kecil mungkin tahu bahwa 4 + 2 = 6, tetapi tidak tahu bahwa kebalikannya yakni

15
6 – 2 = 4. Atau misalnya, seorang anak prasekolah pergi ke rumah temannya dengan
berjalan kaki, tetapi dia pulang dengan menggunakan kendaraan. Apabila diminta
untuk berjalan dari rumah temannya untuk pulang, dia mungkin menjawab tidak tahu
jalannya karena dia tidak pernah berjalan pulang ke rumahnya.
C. Operasi konkret adalah tindakan mental yang bisa dibalikkan yang berkaitan dengan
objek konkret nyata. Operasi konkret membuat anak bisa mengoordinasikan beberapa
karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu kualitas objek. Pada level opersional
konkret, anak-anak secara mental bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya hanya
mereka bisa lakukan secara fisik, dan mereka dapat membalikkan operasi konkret ini.
Yang penting dalam kemampuan tahap operasional konkret adalah pengklasifikasian
atau membagi sesuatu menjadi sub yang berbeda-beda dan memahami hubungnnya.
Tahap ini dimulai dengan tahap progressive decentring di usia tujuh tahun. Sebagian
besar anak telah memiliki kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang
ukuran, panjang atau jumlah benda cair. Maksud ingatan yang dipertahankan di sini
adalah gagasan bahwa satu kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan luarnya
terlihat berubah. Jika Anda memperlihatkan 4 kelereng dalam sebuah kotak lalu
menyerakkannya di lantai, maka perhatian anak yang masih berada pada tahap pra-
opersional akan terpusat pada terseraknya kelereng tersebut dan akan percaya
jumlahnya bertambah banyak. Sebaliknya, anak-anak yang telah berada pada tahap
opersional konkret akan segera tahu bahwa jumlah kelereng itu tetap 4. Anak pun
akan tahu jika anda menuangkan susu yang ada di gelas gendut ke gelas ramping,
maka volumenya tetap sama, kecuali jika jumlah susu yang dituangkan memang
sengaja dibedakan.
Dalam tahap ini, seorang anak juga belajar melakukan pemilahan (classification) dan
pengurutan (seriation). Contoh percobaan Piagetian dalam hal ini adalah: meminta
anak untuk memahami hubungan antar kelas. Salah satu tugas itu disebut seriation,
yakni operasi konkret yang melibatkan stimuli pengurutan di sepanjang dimensi
kuantitatif. Untuk mengetahui apakah murid dapat mengurutkan, seorang guru bisa
meletakkan 8 batang lidi dengan panjang yang berbeda-beda secara acak di atas meja.
Guru kemudian meminta murid untuk mengurutkan batang lidi tersebut berdasarkan
panjangnya. Pemikiran operasional konkret dapat secara bersamaan memahami

16
bahwa setiap batang harus lebih panjang ketimbang batang sebelumnya atau batang
sesudahnya harus lebih pendek dari sebelumnya. Aspek lain dari penalaran tentang
hubungan antar kelas adalah transtivity yaitu kemampuan untuk mengombinasikan
hubungan secara logis untuk memahami kesimpulan tertentu.
D. Tahap operasional formal, usia sebelas sampai lima belas tahun. Pada tahap ini
individu sudah mulai memikirkan pengalaman konkret, dan memikirkannya secara
lebih abstrak, idealis dan logis. Kualitas abstrak dari pemikiran operasional formal
tampak jelas dalam pemecahan problem verbal. Pemikir operasional konkret perlu
melihat elemen konkret A, B, dan C untuk menarik kesimpulan logis bahwa jika A =
B dan B = C, maka A = C. Sebaliknya pemikir operasional formal dapat memecahkan
persoalan itu walau problem ini hanya disajikan secara verbal. Selain memiliki
kemampuan abstraksi, pemikir operasional formal juga memiliki kemampuan untuk
melakukan idealisasi dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan. Pada tahap
ini, anak mulai melakukan pemikiran spekulasi tentang kualitas ideal yang mereka
inginkan dalam diri mereka dan diri orang lain. Konsep operasional formal juga
menyatakan bahwa anak dapat mengembangkan hipotesis deduktif tentang cara untuk
memecahkan problem dan mencapai kesimpulan secara sistematis.

Tujuan utama dari teori perkembangan kognitif dari Piaget adalah untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik mengenai cara pikiran berkembang dan berbagai faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif. Satu hal yang harus digaris bawahi dalam proses
penerapan teori dan prinsip perkembangan kognitif Piaget dalam proses pembelajaran bagi para
pendidik adalah tidak semua prinsip dalam teori Piaget dapat berlaku utuh pada setiap siswa
(Khiyarusoleh, 2016: 9).

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari kesimpulan makalah diatas, dapat dilihat bahwasannya setiap teoritikus dapat
menyumbangkan pemikirannya demi melihat dan menjelaskan setiap peristiwa yang ada di
masyarakat. Beberapa teoritikus yang dibahas dalam makalah ini adalah yaitu Jaques Derrida,
Michel Foucalt, dan Jean Piaget.
Inti dari teori Jaques Derrida terletak pada usaha untuk membongkar struktur opositif
yang telah menyebabkan munculnya makna ideal. Derrida tidak menolak makna sebagai makna,
tetapi menolak prioritas, dominasi, klaim yang menyebabkan adanya makna ideal, struktur yang
meyebabkan makna ideal, struktur yang menyebabkan makna ideal inilah yang ingin dibongkar.
Sedangkan Michel Foucalt dalam teorinya menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari
mekanisme kekuasaan itu. Dari kesadaran ini akan lahir kesanggupan untuk menggunakan
kekuasaan secara baik, artinya demi kepentingan orang lain. Keterarahan pada orang lain hanya
lahir dari kesadaran akan tempat diri sendiri dalam konstelasi kekuasaan. Yang menjadi masalah
dalam kehidupan adalah bahwa banyak orang tak menyadari perannya dalam peta kekuasaan.
Apabila orang sadar akan hal ini, maka orang pun akan menerima dan menghargai pluralitas
peran yang ada dalam relasi kekuasaan. Dari ketidaksadaran ini akan lahir berbagai tindakan dan
sistem yang menindas dan menyeragamkan.
Terkahir adalah Jean Piaget, menitik beratkan pembahasannya pada struktur kognitif. Ia
meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif. Ia menyatakan bahwa cara berfikir anak
bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan,
tetapi juga berbeda secara kualitatif.

3.2 Saran
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang saya miliki, maka untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar lagi, disarankan kepada pembaca untuk
membaca literatur-literatur yang telah dilampirkan pada daftar pustaka.

18
DAFTAR PUSTAKA

Af, Abdullah Khozono. 2012. Konsep Kekuasaan Michel Foucault. Jurnal Teosofi. Vol 2, No 1:
132-149
Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Filosofi Terkemuka.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haryanto Sindung. 2016. Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern. Yogyakarta:
Ar-Russ Media
Ibda, Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Jurnal Intelektualita. Vol 3, No
1: 28-38
Khiyarusoleh, Ujang. 2016. Konsep Dasar Perkembangan Kognitif Pada Anak Menurut Jean
Piaget. Jurnal Dialektika PGSD. Vol 5, No 1: 1-10
Mu’min, Sitti Aisyah. 2013. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Jurnal Al-Ta’adib. Vol
6, No 1: 89-99
Putra, Riski Nugraha Mahatva Putra. 2013, Dekonstruksi Teks “Kepemimpinan” Sebagai Bentuk
Gerakan Sosial Ekspresif Oleh Komunitas Anti Bupati Di Kabupaten Nganjuk (Studi
Semiotika Roland Barthes Tentang Mitologi Teks “Kepemimpinan”). Jurnal Mahasiswa
Sosiologi. Vol 1, No 2: 1-11
Wirawan. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarata: Kencana Preanada Media
Group
Syaifuddin, Arif. 2018. Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan (Memahami Teori Relasi Kuasa
Michel Foucault). Jurnal Refleksi. Vol 18, No 2: 141-155

19

Anda mungkin juga menyukai