Anda di halaman 1dari 41

PROPOSAL TUGAS AKHIR

GEOLOGI DAN ANALISIS KONTROL LONGSORAN DAERAH


BUTUH DAN SEKITARNYA
KECAMATAN KALIANGKRIK KABUPATEN MAGELANG
JAWA TENGAH

Jurusan Teknik Geologi

Disusun Oleh:

Aldha Aulia Pangestu


H1C015045

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
PURBALINGGA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL TUGAS AKHIR


GEOLOGI DAN ANALISIS KONTROL LONGSORAN DAERAH
BUTUH DAN SEKITARNYA
KECAMATAN KALIANGKRIK KABUPATEN MAGELANG
JAWA TENGAH

Disusun oleh :

Aldha Aulia Pangestu


NIM: H1C015045

Diterima dan disetujui

Pada tanggal : ………………..

Dosen Pembimbing Lapangan

Akhmad Khahlil Gibran, S.T., M.T.


NIP.
Mengetahui:
Ketua Jurusan Teknik Geologi

Siswandi, S.T., M.T.


NIP. 197304062008011011

2
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal Tugas Akhir dengan
judul “Geologi dan Analisis Kontrol Longsoran Daerah Butuh dan
sekitarnya, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah”,
yang merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman untuk menyelesaikan studi strata
1 (S1). Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang membantu dalam
penyusunan proposal ini. Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Kepada Allah SWT yang selalu memberikan perlindungan, kesehatan dan
kemudahan selama melaksanakan tugas akhir ini.
2. Orang tua penulis, Bapak Dedi serta kakak dan adik tercinta yang selalu
memberikan doa, semangat serta bantuan matei sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal Tugas Akhir
3. Bapak Akhmad Khahlil Gibran, S.T., M.T.. selaku dosen pembimbing
lapangan yang telah membimbing dari awal pembuatan proposal hingga
proposal ini selesai.
4. Dosen Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman yang telah
mengajar dan memberi ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.
5. Keluarga MAGMA ( Teknik Geologi UNSOED Angkatan 2015) yang
selalu mengispirasi semangat juang serta kebersamaanya.

Proposal yang dibuat ini mengharap saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca. Akhirnya, semoga proposal ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan
referensi bagi kegiatan yang berkaitan dengan ilmu geologi lainnya.

Purbalingga, 20 Januari 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
PRAKATA .................................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 5
1.1............................................................................................................. Latar
Belakang ........................................................................................... 5
1.2. Maksud dan Tujuan...................................................................... 5
1.3. Lokasi Penelitian........................................................................... 6
1.4. Pencapaian Lokasi........................................................................ 7
1.5. Batasan Masalah .......................................................................... 8
1.6. Manfaat Penelitian......................................................................... 9
BAB II GEOLOGI REGIONAL.................................................................. 10
1. 2.1. Fisigrafi Regional Jawa Tengah....................................................... 10
2. 2.2. Stratigrafi Regional.......................................................................... 13
3. 2.3. Struktur Geologi Regional............................................................... 16
4. 2.4. Dasar Teori....................................................................................... 19
5. BAB III METODOLOGI PENELITIAN.................................................... 36
6. 3.1. Metode Penelitian............................................................................. 36
7. 3.2. Langkah Penelitian........................................................................... 37
8. 3.3. Metode Alir...................................................................................... 39
BAB IV RENCANA KEGIATAN.............................................................. 40
4.1. Jadwal Kegiatan Penelitian ............................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 41

4
1. BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saat ini pengetahuan dalam bidang geologi yang terjadi di kalangan
masyarakat semakin meningkat drastis, dengan adanya kemajuan teknologi
masyarakat dapat dengan mudah mengetahui segala informasi yang
dibutuhkan salah satunya mengenai potensi alam yang terdapat pada suatu
wilKaliangkrik, dalam hal ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan
sangat penting, khususnya informasi mengenai kondisi geologi yang
berkembang di daerah tersebut. Data tentang kondisi geologi suatu daerah
terkadang kurang mendetail, oleh sebab itu, masih diperlukan suatu penelitian
yang lebih detil guna melengkapi data geologi yang telah ada, terutama yang
mencakup kondisi stratigrafi, geomorfologi, struktur geologi serta aspek
geologi teraplikasi lainnya.
Daerah Butuh dan sekitarnya Kecamatan Kaliangkrik Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang cukup menarik
untuk diteliti. Daerah ini terletak di kaki gunung Sumbing dan memiliki
kemiringan terjal hingga sangat terjal, sehingga penelitian dilakukan untuk
mengetahui penyebaran litologi, morfologi, dan struktur yang ada di daerah
tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah diejlaskan pada sub bab
sebelumnya, dibawah ini merupakan permasalahan yang akan dijawab oleh
penulis melalui pemetaan geologi daerah Butuh dan sekitarnya, yaitu sebagai
berikut :
1. Bagaimana pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian?
2. Bagaimana stratigrafi yang ada didaerah penelitian?
3. Apakah ada struktur geologi yang berkembang didaerah penelitian?
4. Bagaimana sejarah geologi daerah penelitian?
5. Apakah terdapat potensi geologi yang ada didaerah penelitian?

5
6. Bagaimana kemiringan lereng didaerah penelitian?

1.3. Maksud dan Tujuan


Maksud kegiatan tugas akhir ini adalah untuk memperoleh
pengalaman kerja mandiri sebagai seorang calon geologist dengan meneliti
kondisi geologi di daerah penelitian, serta menerapkan ilmu geologi yang
berupa teori dan praktik dilapangan agar seimbang untuk mempersiapkan
pengaplikasian dalam dunia kerja yang sudah didapatkan dibangku kuliah.
Adapun Tujuan dari kegiatan pemetaan geologi daerah Butuh dan
sekitarnya, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yaitu
:
1. Meneliti karakteristik dan kondisi geomorfologi daerah penelitian
2. Meneliti karakteristik dan kondisi stratigrafi daerah penelitian
3. Meneliti karakteristik dan kondisi struktur geologi daerah penelitian
4. Merekonstruksi sejarah geologi yang terdapat di daerah penelitian
5. Mengidentifikasi potensi sumberdaya dan potensi bencana geologi di
daerah penelitian.
6. Mengetahui kemiringan lereng pada daerah penelitian
7. Mengetahui tata guna lahan pada daerah penelitian

1.4. Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian berada di daerah Butuh dan sekitarnya dengan luas
wilKaliangkrik 0,5 km2 (1 km x 0,5 km) yang secara administratif termasuk
dalam wilKaliangkrik Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang,
Provinsi Jawa Tengah (gambar 1.1). Kecamatan Kaliangkrik berada di bagian
utara wilKaliangkrik Kabupaten Magelang.
Lokasi penelitian masuk ke dalam peta geologi regional lembar
Magelang - Semarang. Lokasi penelitian berada di daerah Butuh dan
sekitarnya, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Pada peta daerah penelitian ditandai dengan kotak berwarna merah. Posisi
geografis daerah ini UTM WGS 84 49 M dengan kordinat 398059.85mE
dan 398059.85mS.

6
Keadaan geografis pada lokasi penelitian terdiri dari perhutanan,
perbukitan dan pemukiman. Masyarakat yang dijumpai di daerah penelitian
sebagian besar melakukan kegiatan sebagai bercocok tanam, biasanya
masyarakat sekitar dapat dijadikan referensi untuk dapat mencapai lokasi
penelitian jika memang lokasi sulit ditemukan atau nama lokasi tidak ada
dalam peta. Terdiri dari topografi yang beragam seperti perbukitan yang
merupakan Kawasan perbukitan dan gunung api.

Peta Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 1.1. Lokasi Kapling Daerah Penelitian berdasarkan peta administrasi Jawa Tengah dan
Kabupaten Magelang. Kotak kuning menunjukkan lokasi daerah penelitian.

1.5. Pencapaian Lokasi


Aksesibilitasi di daerah Butuh dan sekitarnya, Kecamatan
Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah terbilang sangat jauh
apabila dihitung dari Kampus Fakultas Teknik UNSOED, namun penulis
dapat tinggal untuk sementara disebuah rumah warga di desa Butuh. Akses ke
desa Butuh terbilang sangat buruk, jalan yang disediakan berupa jalan kecil
melewati perbukitan curam, dengan jalannya yang tidak selalu mulus. Sering
terjadi hujan, maka jalanan terkadang licin

7
Gambar 1.2. Pencapaian Lokasi
(sumber : http://maps.google.co.id/)

1.6. Batasan Masalah


Batasan masalah dalam tugas akhir ini adalah Geologi dan Analisis
Kontrol Longsoran daerah Butuh dan sekitarnya, Kecamatan Kaliangkrik,
Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Studi geologi yang dilakukan
mencakup beberapa aspek penelitian, yaitu:
1. Geomorfologi, yang terdiri dari: pembagian satuan geomorfologi
berdasarkan bentuk morfologi dan morfogenesa, proses-proses eksogen
dan endogen, bentuk-bentuk dan tahapan erosi dan tahapan geomorfik.
2. Stratigrafi, meliputi: urutan – urutan stratigrafi, ciri litologi setiap satuan
batuan, umur setiap satuan batuan, lingkungan pengendapan setiap satuan
batuan dan hubungan antar satuan batuan.
3. Struktur geologi, meliputi: analisis struktur geologi yang terbentuk,
interpretasi struktur geologi berdasarkan kenampakan morfologi yang
berada di lapangan, arah tegasan utama yang bekerja, serta urutan
terjadinya struktur pada daerah penelitian.
4. Sejarah geologi yang meliputi urutan-urutan kejadian pembentukan dari:
stratigrafi, struktur geologi, serta geomorfologi.
5. Analisis Lereng yang meliputi kestabilan, kemiringan, tata guna lahan
untuk mengetahui daya tahan tanah terhadap pergerakan yang disebabkan
oleh beberapa hal.

Dengan demikian penelitian ini diberi judul : “Geologi dan Analisis


Kontrol Longsoran Daerah Butuh dan Sekitarnya Kecamatan Kaliangkrik
Kabupaten Magelang Jawa Tengah”.

8
1.7. Manfaat Penelitian
Pemetaan geologi dalam rangka melaksanakan tugas akhir ini
diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut ini :
1. Memperoleh pengalaman kerja mandiri khususnya di bidang pemetaan
geologi.
2. Memberikan informasi geologi pada daerah penelitian. Informasi tersebut
berupa peta dan laporan geologi, peta geomorfologi daerah penelitian
dengan skala 1:25000, dan kolom stratigrafi daerah penelitian.
3. Menjadi sumber referensi di perpustakaan jurusan teknik khususnya
program studi Teknik Geologi.
4. Memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai pemetaan geologi
untuk mahasiswa Teknik Geologi Universitas Jendral Soedirman.
5. Memberikan sumber referensi kepada institusi kampus program studi
Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman yang ingin melakukan
riset lanjutan mengenai pemetaan geologi beserta kegunaannya sebagai
acuan eksplorasi sumber daya geologi, tataguna lahan, kondisi geologi
daerah Kaliangkrik, dan lain sebagainya.

2. BAB II
GEOLOGI REGIONAL

9
2.1. Fisiografi Regional
Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi

Lembar Magelang - Semarang, skala 1:100.000 yang diterbitkan oleh Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (Djuri dkk., 1996). Kajian

mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas fisiografi regional,

stratigrafi regional, dan struktur geologi regional.

Daerah Penelitian

Keterangan
Quaternary Volcanoes Domes and ridges in the central
depression zones
Alluvial plains of northern Java Central depression zone of Java,
and Randublatung zones
Rembang-Madura Southern Mountains
Anticlinorium
Bogor, North-Seraju, and
Kendeng-anticlinorium

Gambar 2.1. Peta fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi beberapa zona

fisiografi. Zona fisiografi daerah Jawa Tengah dibagi menjadi tujuh bagian

(Gambar 2.1), dari selatan ke utara masing – masing:

1. Gunungapi Kuarter (Quaternary Volcanoes)

2. Dataran alluvial Jawa Utara (Alluvial plains of northern Java)

10
3. Antiklinorium Rembang-Madura (Rembang-Madura Anticlinorium)

4. Antiklinorium Bogor-Serayu Utara dan Kendeng (Bogor, North-

Seraju, and Kendeng-anticlinorium)

5. Pematang dan Dome pada Pusat Depresi (Domes and ridges in the

central depression zones)

6. Pusat Depresi Jawa dan Zona Randublatung (Central depression zone

of Java, and Randublatung zones)

7. Pegunungan Selatan (Southern Mountains)

Berikut ini adalah uraian singkat mengenai Fisiografi dari masing-

masing jalur tersebut diatas :

 Gunungapi Kuarter

Jalur gunungapi ini muncul pada jalur depresi tengah jawa (Pusat Depresi

Jawa)

 Dataran alluvial Jawa Utara

Jalur ini tidak begitu luas karena sepanjang Cirebon sampai Semarang,

Laut Jawa menjorok kearah darat, daerah paling luas pada jalur ini adalah

terdapat di Brebes lalu kearah Timur dan menyempit dan menghilang

disebelah Timur Pekalongan.

 Antiklinorium Rembang-Madura

 Antiklinorium Bogor-Serayu Utara dan Kendeng

Jalur ini merupakan hasil pengangkatan dari geosinklin Jawa bagian Utara.

Jalur Bogor Serayu Utara dan Kendeng ini dipisahkan oleh sebuah kuarter

yaitu Gunung Slamet.

 Pematang dan dome pada pusat depresi

11
Jalur ini disebut juga jalur Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan

Kulon Progo, Pegunungan Kulon Progo merupakan kubah (dome) lonjong

dengan bentuk yang agak teratur memanjang dengan arah Utara-Timur

Laut dengan diameter panjang kurang lebih 32 km dan kearah selatan barat

daya dengan diameter panjang kurang lebih 20 km. Bagian utara timur

pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo sedangkan bagian selatan dan

barat daya dibatasi oleh dataran pantai jawa tengah, dibagian barat laut

pegunungan ini berhubungan dengan jajaran pegunungan serayu selatan

yang juga berbentuk kubah memanjang dengan arah sumbu utara-selatan

dan barat timur, panjangnya kurang lebih 100 km.

 Pusat depresi Jawa dan Zona Randublatung

 Pegunungan Selatan

Jalur ini juga disebut sebagai dataran pantai selatan, jalur ini merupakan

jalur plato yang sebagian besar mengalami proses penenggelaman dan

tertutup oleh endapan alluvial, tetapi sisa-sisa plato ini masih dapat

disaksikan yaitu berupa pegunungan karangbolong dan pulau

nusakambangan.

Berdasarkan pembagian fisiografi diatas, daerah penelitian termasuk


ke dalam Zona Depresi Pusat di Pulau Jawa dan Zona Randublatung, yang
mana daerah ini didominasi oleh bentukan morfologi perbukitan.

2.2. Stratigrafi Regional

Daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Depresi Pusat di Pulau

Jawa dan Zona Randublatung. Secara regional urutan stratigrafi lembar

12
Banyumas (S.Asikin dkk, 1992) dari yang paling muda ke tua adalah sebagai

berikut :

Gambar 2.2 – Peta Geologi Regional daerah Magelang – Semarang yang termasuk

kedalam daerah penelitian.

a. Endapan Permukaan

Merupakan dataran pantai, sungai dan danau. Dataran pantai

umumnya terdiri dari lempung dan pasir mencapai ketebalan 50

meter atau lebih. Endapan pasir umumnya membentuk endapan

delta sebagai lapisan pembawa air dengan tebal 80 meter lebih.

Endapan sungai dan danau terdiri dari kerikil, kerakal, pasir dan

lanau dengan tebal 1 sampai 3 meter. Bongkah tersusun dari

andesit, batugamping dan sedikit batupasir.

13
b. Batuan Gunung Api

a. Endapan Kerucut Gunung Api

Tuf halus sangat lapuk, breksi dan andesit porfiri. Tuf banyak

ditemukan di G. Tidar, G. Puser dna G. Balak; sedangkan breksi

yang berkomposisi andesit scoria dan porfiran dengan massa dasar

tuf umumnya ditemukan di G. Tidar dan G. Candikukuh

b. Lava Gunung Sumbing

Aliran lava dan kubah terdiri dari horenblenda augit yang

ditemukan di G. Sumbing. Aliran puncak di G. Ungaran

berkomposisi andesit horenblenda augit. Dua aliran termuda di G.

Merbabu dikuasai oleh andesit mengandung augit, hipersten, dan

vitrofiran. Aliran lereng di G. Ungaran, dikuasai oleh lahar andesit

dan aliran gunung api muda. Endapan lahar ini terdiri dari

bongkah-bongkah tak terpisahkan. Menyudut tanggung dan

membundar tanggung, bergaris tengah 2 meter.

c. Batuan Gunung Api Sumbing

Terdiri dari andesit augit olivin. Satuan ini sebagai aliran

ditemukan di barat laut daerah penelitian.

c. Batuan Sedimen

a. Formasi Damar

Batupasir tufan, konglomerat, breksi vulkanik. .Batupasir

mengandung mineral mafik, felspar dan kuarsa. Breksi vulkanik

mungkin diendapkan sebagai lahar. Formasi ini sebagian non

marin; moluska setempat ditemukan; dan sisa vertebrata. Formasi

14
ini tersingkap disekitar sungai Damar dan di bagian baratlaut

daerah telitian.

b. Formasi Kaligetas

Breksi vulkanik, aliran lava, tuf, batupasir tufan dan batulempung.

Breksi aliran dan lahar dengan sisipan lava dan tuf halus sampai

kasar. Setempat di bagian bawahnya ditemukan batulempung

mengandung moluska dna batupasir tufan. Batuan gunungapi yang

melapuk berwarna coklat-kemerahan dna sering membentuk

bongkah-bongkah besar. Ketebalan berkisar antara 50m smapai

dengan 200m

c. Formasi Payung

Terdiri dari lahar, batulempung, breksi dan tuf. Batulempung

mengandung sisa-sisa tumbuhan, batupasir tufan dan konglomerat.

Ketebalan formasi ini mencapai 200m.

d. Batuan Terobosan

a. Basal

Basal augit ditemukan di G. Klesem sebagai retas. Di daerah G.

Sitapel ditemukan porfir plagioklas. Basal andesitan olivin-augit di

G. Mergi. Umur batuan ini menunjukan Miosen Tengah.

Berdasarkan studi peta regional formasi didaerah penelitian adalah Formasi


Batuan Gunung Api Sumbing yang mencakup hampir keseluruhan daerah
penelitian.

2.3. Struktur Geologi Regional

15
Tatanan tektonik Pulau Jawa dipengaruhi oleh aktivitas tektonik

lempeng yang aktif, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.

Akibatnya di Pulau Jawa berkembang tiga pola struktur geologi yang

dominan (Gambar 2.2), yaitu Pola Meratus yang berarah timurlaut–baratdaya,

Pola Sunda yang berarah utara–selatan, dan Pola Jawa yang berarah barat–

timur (Pulonggono dan Martodjojo, 1994).

a. Pola Meratus

Pola Meratus berarah timurlaut-baratdaya yang merupakan pola

tertua dan terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-

Eosen Awal). Pola Meratus yang dihasilkan oleh tektonik kompresi

diduga merupakan arah awal penunjaman lempeng Samudra Indo-

Australia ke bawah Paparan Sunda. Pola ini diwakili oleh Sesar

Cimandiri.

b. Pola Sunda

Pola Sunda berarah utara-selatan yang terbentuk pada 53-32 juta

tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola Sunda dihasilkan

oleh tektonik regangan disebabkan oleh penurunan kecepatan tumbukan

Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-

Oligosen Akhir. Pola ini ditandai oleh sesar utara-selatan baik sesar

mendatar maupun sesar turun, umumnya terdapat di bagian barat Pulau

Jawa.

c. Pola Jawa

16
Pola Jawa berarah barat-timur merupakan pola termuda yang

terbentuk pada Neogen mengaktifkan pola sebelumnya dan

mengakibatkan Pulau Jawa mengalami pola kompresi dengan tegasan

berarah utara-selatan. Pola ini diwakili oleh Sesar Baribis.

Gambar 2.3 Pola struktur geologi Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)

2.3.1. Struktur Geologi Regional Jawa Tengah

Jawa Tengah, yang memiliki morfologi dan bentuk pulau yang

cukup unik dan berbeda bila dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa

Timur. Bentuk dan morfologi dari Jawa Tengah yang unik dan berbeda ini

disebabkan oleh fenomena geologi dan aktifitas tektonik yang berlangsung

di Pulau Jawa tersebut.

Menurut Sujanto (1975) terdapat tiga pola struktur yang

mempengaruhi Jawa Tengah yaitu pola struktur yang berarah Baratlaut-

17
tenggara, pola struktur berarah Timurlaut - Baratdaya, dan pola struktur

berarah Barat - Timur (Gambar 2.3).

Gambar 2.4 Pola Struktur Jawa Tengah (Sujanto, 1975) dan Daerah Penelitian

Berdasarkan interpretasi data gaya berat, pola struktur di Jawa

Tengah memperlihatkan tiga arah utama (Untung dan Wiriosudarmo,

1975), yaitu:

a. Arah Baratlaut - Tenggara terutama di daerah perbatasan dengan Jawa

Barat.

b. Arah Timurlaut - Baratdaya yang terdapat di Selatan dan Timur Jawa

Tengah serta di sekitar Gunung Muria, yang merupakan jejak tektonik

Kapur - Paleosen yang berbentuk jalur subduksi.

c. Arah Barat - Timur yang merupakan pengaruh subduksi Tersier di

selatan Jawa.

Ketiga arah struktur tersebut diduga mempengaruhi perkembangan

tektonik dan sedimentasi secara regional pada daerah penelitian.

18
2.4. DASAR TEORI
2.4.1 Geomorfologi
2.4.1.1 Morfografi
Morfografi, berasal dari dua kata yaitu morfo yang berarti bentuk dan
graphos yang berarti gambaran, sehingga memiliki arti gambaran bentuk
permukaan bumi. Aspek morfografi dilakukan dengan cara menganalisis peta
topografi, berupa pengenalan bentuk lahan, yang tampak dari tampilan
kerapatan kontur, ketinggian absolut sehingga dapat menentukan perbukitan
atau pedataran. Sedangkan perubahan pola punggungan dan pola aliran bisa
mengidentifikasikan kegiatan tektonik yang ada di daerah penelitian.
Pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran
yang dibentuk oleh anak sungai terhadap induknya. Pola pengaliran sangat
mudah dikenal dari peta topografi atau foto udara, pola pengaliran
berhubungan erat dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi erosi dan
sejarah bentuk bumi. (Howard, 1967), membagi pola pengaliran menjadi
dua yaitu, pola pengaliran dasar (Gambar dan tabel 2.1) dan pola pengaliran
modifikasi.
Pola dasar merupakan pola yang terbaca dan dapat di pisahkan
dengan pola lain. Pola pengaliran modifikasi ialah pola dengan
memperlihatkan ciri pola dasar. Sungai dapat dibagi berdasarkan tingkatan
orde sungai tersebut. Menurut Strahler (1964), pada saat dua order pertama
bertemu, maka bagian bawah dari pertemuan orde pertama tersebut menjadi
orde kedua.
Tabel 2.2. Klasifikasi morfografi menurut van Zuidam (1985)

Ketinggian relative Unsur Morfografi


<50 meter Dataran rendah
50 meter – 200 meter Perbukitan rendah
200 meter – 500 meter Perbukitan
500 meter – 1000 meter Perbukitan tinggi
1000 meter – 3000 meter Pegunungan
>3000 meter Pegunungan tinggi

19
Gambar 2. 5. Tipe pola pengaliran menurut Zenith, 1932 (A) dan Pola Pengaliran Modifikasi
Sungai menurut A. D. Howard, 1967 (B dan C)

Tabel 2.3. Karakteristik Pola Pengaliran dasar (Howard, 1967)

Pola Pengaliran Karakteristik


Dasar
Dendritik Bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan
kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar serta
tahan akan pelapukan, kemiringan landai, kurang dipengaruhi
struktur geologi. Umumnya anak-anak sungainya cenderung sejajar
dengan induk sungainya, dimana anak-anak sungainya bermuara
pada induk sungai dengan sudut lancip. Pola ini biasanya terdapat
pada daerah berstruktur plain, atau pada daerah batuan yang sejenis
(seragam, homogen) dengan penyebaran yang luas.
Paralel Bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang sampai agak
curam, dipengaruhi struktur geologi, terdapat pada perbukitan
memanjang dipengaruhi perlipatan, merupakan transisi pola
dendritik dan trelis.
Trelis Bentuk memanjang sepanjang arah strike batuan sedimen. Biasanya
dikontrol oleh struktur lipatan. Batuan sedimen dengan kemiringan
atau terlipat, batuan vulkanik serta batuan metasedimen berderajat

20
rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola
pengalirannya berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.
Induk sungai mengalir sejajar dengan strike, sedangkan anak-anak
sungainya mengalir sesuai diping dari sayap-sayap synclinal dan
anticlinal-nya. Jadi, anak-anak sungai juga bermuara tegak lurus
terhadap induk sungainya.
Pola pengaliran trellis mencirikan daerah pegunungan lipatan
(folded mountains).
Rektangular Induk sungainya memiliki kelokan-kelokan ± 900, arah anak-anak
sungai terhadap sungai induknya berpotongan tegak lurus. Induk
sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah lengkungan
menganan, pengontrol struktur atau sesar yang memiliki sudut
kemiringan, tidak memiliki perulangan perlapisan batuan dan sering
memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus. Biasanya
ditemukan di daerah pegunungan patahan (block mountains). Pola
seperti ini menunjukkan adanya pengaruh joint atau bidang-bidang
dan/atau retakan patahan escarp atau graben-graben yang saling
berpotongan.
Radial Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah
intrusi, kerucut vulkanik dan bukit yang berbentuk kerucut serta
sisa-sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah
penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah) dan sentripetal
dengan arah penyebaran menuju pusat (cekungan).
 Pola Radial Sentrifugal, Pola pengaliran beberapa sungai di mana
daerah hulu sungai-sungai itu saling berdekatan seakan terpusat
pada satu “titik” tetapi muaranya menyebar, masing-masing ke
segala arah. Pola pengaliran radial terdapat di daerah gunungapi
atau topografi bentuk kubah seperti pegunungan dome yang
berstadia muda, hulu sungai-sungai berada di bagian puncak,
tetapi muaranya masing-masing menyebar ke arah yang lain, ke
segala arah.
 Pola Radial Sentripetal, Kebalikan dari pola radial yang
menyebar dari satu pusat, pola sentripetal ini justru memusat dari

21
banyak arah. Pola ini terdapat pada satu cekungan (basin), dan
biasanya bermuara pada satu danau.
Anular Bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai,
sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak lurus.
Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau terkikis
dimana disusun perselingan batuan keras dan lunak. Juga berupa
cekungan dan kemungkinan stocks. Terdapat pada daerah
berstruktur dome (kubah) yang topografinya telah berada pada
stadium dewasa.
Multibasinal Endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan
perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan
daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta lelehan
salju atau permafrost.
Kontorted Terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein yang
menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya, anak sungai yang
lebih panjang ke arah lengkungan subsekuen, umumnya
menunjukkan kemiringan lapisan batuan metamorf dan merupakan
pembeda antara penunjaman antiklin dan sinklin.

2.4.1.2 Morfometri
Morfometri, merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan
sebagai aspek pendukung dari morfografi dan morfogenetik sehinga
klasifikasi kualitatif akan semakin tegas dengan angka-angka yang jelas.
Variasi nilai kemiringan lereng yang diperoleh kemudian dikelompokkan
berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam
(1985), sehingga diperoleh penamaan kelas lerengnya (tabel 3.2).
Teknik perhitungan kemiringan lerengnya dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik grid cell berukuran 3x4 cm pada peta topografi skala 1 :
25.000. Kemudian setiap kisi ditarik tegak lurus kontur dan dihitung
kemiringan lerengnya dengan menggunakan persamaan berikut:

22
Dimana,
n = jumlah kontur yang memotong diagonal
jaring
Ci= interval kontur (meter)
D = diagonal grid, Skala 1 : 25.000

Tabel 2.4. Pembagian kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi USSSM dan USLE

Kemiringan Kemiringan Keterangan Klasifikasi Klasifikasi


lereng lereng (%) USSSM* (%) USLE* (%)
(derajat)
<1 0-2 Datar – 0–2 1–2
hampir datar
1–3 3–7 Sangat landai 2–6 2–7
3–6 8 – 13 Landai 6 – 13 7 – 12
6–9 14 – 20 Agak curam 13 – 25 12 – 18
9 – 25 21 – 55 Curam 25 – 55 18 – 24
25 – 65 56 – 140 Sangat curam >55 >24
>65 > 140 Terjal
* USSSM = United Stated Soil System Management
USLE = Universal Soil Loss Equation
2.4.1.3 Morfogenetik
Morfogenetik, adalah proses / asal usul terbentuknya
permukaan bumi, seperti bentuklahan perbukitan /pegunungan, bentuk
lahan lembah atau bentuk lahan pedataran. Proses yang berkembang
terhadap pembentukan permukaan bumi tersebut yaitu proses eksogen
dan proses endogen. Proses eksogen merupakan proses yang dipengaruhi
oleh iklim dikenal sebagai proses fisika dan proses kimia, sedangkan
proses yang dipengaruhi oleh biologi biasanya terjadi akibat dari
lebatnya vegetasi, seperti hutan atau semak belukar.
Secara garis besar proses eksogen diawali dengan pelapukan
batuan, kemudian hasil pelapukan batuan menjadi tanah dan tanah terkikis
(degradasional), terhanyutkan dan pada akhirnya diendapkan
(agradasional).
Proses endogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh

23
kekuatan / tenaga dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk
permukaan bumi. Proses dari dalam kerak bumi tersebut antara lain
kegiatan tektonik yang menghasilkan patahan (sesar), pengangkatan
(lipatan) dan kekar. Selain kegiatan tektonik, proses kegiatan magma dan
gunungapi (vulkanik) sangat berperan merubah bentuk permukaan bumi,
sehingga membentuk perbukitan intrusi dan gunungapi. Sehingga
morfogenesa sangat mempengaruhi dalam penamaan satuan
geomorfologi yang dapat menjelaskan proses-proses yang berkembang di
suatu daerah. Apakah suatu daerah lebih berkembang struktur-struktur
yang diakibatkan kegiatan endogen yang berasal dari dalam bumi atau
proses eksogen yang dicirikan dengan adanya pelapukan, erosi yang
justru mampu merubah morfologi satu daerah yang didasarkan pada
keresistenan batuan. Hal itu berpengaruh pada bentang alam yang akan
terbentuk berdasarkan dua hal yaitu proses endogenik atau proses
eksogenik.
Dilihat dari genesis kontrol utama pembentukannya (Tabel 3.3),
bentuk lahan dapat di bedakan menjadi bentuk asal struktural, vulkanik,
fluvial, marine, karst, aeolian, dan denudasi (Van Zuidam, 1983).
Pembagian lembah dan bukit adalah batas atau titik belok dari bentuk
gelombang sinusoidal ideal. Di alam, batas lembah dicirikan oleh tekuk
lereng yang umumnya merupakan titik-titik tertinggi endapan koluvial
dan/atau aluvial.

Tabel 2.5. Warna yang direkomendasikan untuk dijadikan simbol satuan geomorfologi
berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1983)

24
2.4.2 Analisis Stratigrafi
Di lapangan, dilakukan analisis stratigrafi secara
megaskopis. Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan
litostratigrafi tidak resmi, yaitu penamaan satuan batuan didasarkan pada
ciri fisik batuan yang dapat diamati dilapangan, meliputi jenis batuan,
keseragaman gejala litologi dan posisi stratigrafinya (Komisi Sandi
Stratigrafi Indonesia 1996, pasal 15).
Sedangkan penentuan batas penyebaran satuannya harus memenuhi
persyaratan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 : pasal 17, yaitu :
1. Batas satuan litostratigrafi adalah sentuhan antara dua satuan yang
berlainan ciri litologinya yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan
tersebut.
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya
atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan
bidang yang diperkirakan kedudukannya.
3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjemari peralihannya
dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan
sandi.
4. Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh
kelanjutan ciri ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh
batasan cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
6. Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai
alasan berakhirnya penyebaran lateral suatu satuan. Berdasarkan pasal

25
tersebut, kontak antar satuan batuan atau sentuh stratigrafi dapat bersifat
tajam ataupun berangsur. Ada tiga macam sentuh stratigrafi, yaitu :
a. Selaras, yaitu sedimentasi berlangsung menerus tanpa gangguan dari
satuan stratigrafi yang berada di bawah lapisan tersebut.
b. Tidak selaras, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh
pengangkatan.
c. Diasterm, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh erosi
atau tidak adanya pengendapan. Penamaan satuan litostratigrafi
didasarkan atas jenis litologi yang paling dominan dalam satuan tersebut.
Pengamatan terhadap litologi di lapangan dilakukan secara megaskopis
yang meliputi warna batuan baik warna segar maupun warna lapuknya,
ukuran butir, bentuk butir, kemas, pemilahan, kekerasan, mineral
tambahan, struktur sedimen, kandungan fosil dan lain-lain.
2.4.4 Analisis Data Petrografi
Analisis data karakter batuan dilakukan dengan cara
mendeskripsikan batuan secara mikroskopis dari sayatan tipis.
Analisis data petrografi dilakukan untuk mendeskripsi batuan secara
mikroskopis mencakup butiran, jenis butiran, bentuk butir, besar butir,
matriks, semen, jenis mineral dan kandungan fosilnya berdasarkan
sumber bacaan buku panduan praktikum petrografi oleh ITB.
Data petrografi ini diambil dari data batuan pada tempat tertentu
yang mewakili batuan tersebut yang kemudian dijadikan sayatan tipis
sehingga lebih mudah diamati di bawah mikroskop.
Hal ini dilakukan untuk batuan yang padu kemudian diteliti di
bawah mikroskop polarisasi di Laboratorium Teknik Geologi Purbalingga
untuk mengetahui komposisi dan jenis mineral dari setiap batuan
sehingga dapat ditentukan jenis batuannya. Adapun klasifikasi
batuan yang digunakan dapat dilihat pada gambar 2.6.. serta penamaan
ilmiah batuan secara petrografi menurut Pettijohn (1975).

26
Gambar 2.6. Klasifikasi batupasir dan batulempung menurut Pettijohn (1975)

Peralatan yang digunakan dalam analisis petrografi ini antara lain :


a. Mikroskop polarisasi (transmitted light polarizing microscope)
b. Cross nicol
c. Contoh sayatan batuan
Untuk klasifikasi batuan beku vulkanik dan plutonik, dapat
menggunakan klasifikasi IUGS 1973 berdasarkan kandungan QPAF (kuarsa,
Plagioklas, Alkalin feldspar dan Feldspatoid (gambar 2.7) dan (gambar 2.8)

Gambar 2.7 Klasifikasi batuan beku vulkanik, (IUGS,1978)

27
Gambar 2.8 Klasifikasi batuan beku plutonik, (IUGS,1978)
2.4.5 Analisis Struktur Geologi
Perlu dilakukan interpretasi topografi untuk melihat indikasi
struktur geologi yang meliputi interpretasi Citra Landsat, kerapatan garis
kontur, kelurusan sungai, kelurusan punggungan, pola pengaliran
sungai dan sebagainya. Semua indikasi yang telah ditemukan
direkonstruksikan bersamaan dengan rekonstruksi pola jurus batuan
yang akan menghasilkan jenis, arah dan pola struktur geologi yang
berkembang di daerah tersebut yang kemudian dituangkan dalam Peta
Pola Jurus. Untuk umurnya ditarik berdasarkan kesebandingan regional
atau berdasarkan umur satuan litologi yang dilaluinya.
2.4.5.1 Kekar
Kekar didefinisikan sebagai suatu rekahan pada kerak bumi
yang belum atau sedikit sekali mengalami pergeseran sepanjang bidangnya,
akibat tekanan yang lebih lanjut. Kekar memecahkan batuan dengan
rekahan yang relative halus dengan panjang yang bervariasi mulai dari
beberapa sentimeter sampai ratusan meter. Secara genetik, kekar dapat
dibedakan menjadi dua jenis (Haryanto, 2003) yaitu :

28
1. Kekar gerus (shear joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya
terbentuk karena adanya kecenderungan untuk sal ing bergeser (shearing)
searah bidang rekahan.
2. Kekar tarik (Extensional joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya
terbentuk kadanya kecenderungan untuk saling menarik (meregang) atau
bergeser tegak lurus terhadap bidang rekahannya. Kekar tarikan dapat
dibedakan sebagai :
a) Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya searah
dengan tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya terisi oleh cairan
hidrothermal yang kemudian berubah menjadi vein.
b) Release Fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat
hilangnya atau pengurangan tekanan, orientasinya tegaklurus
terhadap gaya utama. Struktur ini biasa disebut dengan “stylolite”.
Kekar merupakan salah satu struktur yang sulit untuk diamati,
sebab kekar dapat terbentuk pada setiap waktu kejadian geologi,
misalnya sebelum terjadinya suatu lipatan. Kesulitan lainnya
adalah tidak adanya atau relatif kecil pergeseran dari kekar,
sehingga tidak dapat ditentukan kelompok mana yang terbentuk
sebelum atau sesudahnya. Walaupun demikian, di dalam analisis,
kekar dapat dipakai untuk membantu menentukan pola tegasan,
dengan anggapan bahwa kekar-kekar tersebut pada keseluruhan
daerah terbentuk sebelum atau pada saat pembentukan sesar.
Analisa kekar digunakan dalam penentuan jenis sesar, hal
ini dapat diterapkan dengan menggunakan pemodelan
Anderson (gambar 3.6) dengan patokan sebagai berikut :
1. a1 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate
Shear yang mempunyai sudut sempit.
2. a2 berada pada titik perpotongan antara 2 bidang
Conjugate Shear
3. a3 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate
Shear yang mempunyai sudut tumpul.
4. a1 a2 a3.
5. Orientasi tensional joint searah dengan orientasi a1.
6. Orientasi stylolites I dengan orientasi a1 atau searah dengan
orientasi a3.
7. Bidang shear dan tensional akan membentuk sudut sempit.

29
8. Bidang shear dengan release joint akan membentuk sudut
tumpul.

Gambar 2.8. Klasifikasi sesar (Anderson, 1951 dalam Haryanto, 2003)


berdasarkan analisis kekar bentuk stereografi dan sistem tegasan

2.4.5.2 Sesar
Untuk mengamati keberadaan arah dan jenis sesar di lapangan
dapat diperkirakan dengan melihat indikasi yang ada seperti adanya
dragfold (lipatan seret), offset litologi, kekar-kekar, cermin sesar,
slicken side, breksiasi, zona-zona hancuran, kelurusan mata air panas
dan air terjun. Klasifikasi sesar telah banyak dikemukakan oleh para
ahli terdahulu, mengingat struktur sesar adalah rekahan kekar di
dalam bumi yang ditimbulkan karena pergeseran sehingga untuk membuat
analisis strukturnya diusahakan untuk dapat mengetahui arah dan besarnya
pergeseran tersebut. Indikasi sesar di lapangan tidak mudah untuk
ditemukan untuk itu pengolahan data kekar untuk mengetahui
tegasan utamanya dapat dilasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan
orientasi tegasan utama (Anderson, 1951 dalam Haryanto, 2003) dan
dinyatakan dalam a1 (tegasan terbesar), a2 (tegasan menengah), dan a3.
(tegasan terkecil) yang saling tegak lurus satu sama lain secara triaksial.
Sesar tersebut secara dinamik diklasifikasikan menjadi (gambar 3.5) :
1. Sesar normal, dimana a1 vertikal dan a2 serta a3 horizontal.
Besarnya sudut kemiringan (dip) bidang sesar mendekati 60º.
2. Sesar mendatar, dimana a2 vertikal dan a1 serta a3 horizontal.
3. Sesar naik, dimana a3 vertikal dan a1 dan a2 horizontal.

30
Kemiringan bidang sesar mendekati 30º . Dalam hal ini, bidang
sesar vertikal dan bergerak secara horizontal.

Gambar 2.9. Hubungan antara pola tegasan dengan jenis sesar yang
terbentuk (Anderson, 1951 dalam Haryanto, 2003)
Untuk klasifikasi Struktur Sesar, menggukan klasifikasi Rickard,1971
dalam Haryanto, 2003 yang mengkombinasikan besar kemiringan bidang
sesar dengan besar sudut pitch . Berdasarkan kombinasi tersebut yang
kemudian di plot pada diagram, menghasilkan penamaan sesar dengan
ketentuan sebagai berikut:
 Apabila pitch kurang atau sama dengan 10°, maka sesar dinamakan sesar
mendatar, baik Dextral (menganan) atau Sinistral (mengiri). Dalam
klasifikasi ini dinamakan sebagai Right Slip Fault atau Left Sli[ Fault.
 Apabila Pitch 80° sampai 90°, dengan memperhatikan pergerakan sesar
(naik atau turun) maka akan diberi nama Normal Fault atau Reverse
Fault. Namun apabila kemiringan bidang sesar kurang dari 45° dengan
pitch yang sama dengan ketentuan tersebut makan untuk sesar normal
akan dinamakan Lag Normal Fault (Low Angel Normal Fault) atau sesar
normal bersudut kecil dan untuk sesar naik dinamakan Thrust Fault atau
sesar anjak.
 Apabila pitch pada sesar mendatar lebih besar daripada 10° dan kurang
atau sama dengan 45°, maka sesar merupakan sesar mendatar yang

31
memiliki pergerakan naik atau turun. Dalam penamaan, pergerakan naik
atau turun menjadi keterangan pergerakan sesar mendata tersebut,
misalnya sesar mendatar mengiri (sinistral) normal dengan ciri pitch
lebih besar dari 10° dan kurang dari 45° serta kemiringan bidang sesar
50° maka dinamakan Normal left Slip Fault. Apabila kemiringan sesar
kurang dari 45° dengan pergerakan yang sama, maka disebut dengan Lag
Left Slip Fault. Hal tersebut juga berlaku untuk pergerakan naik.
 Apabila Pitch lebih dari 45°dan kurang dari 80°, dengan pergerakan
turun atau naik, maka sesar tersebut juga memiliki kinematika
pergeseran mendatar (menganan atau mengiri). Apabila bidang lebih dari
45°, maka dapat dinamakan Right Slip Normal Fault, Right Slip Reverse
Fault, Left Slip Normal Fault atau Left Slip Reverse Fault. Hal tersebut
juga berlaku untuk Lag Fault dan Reverse Fault.

Gambar 2.10. Klasifikasi Sesar menurut Rickard, 1972 (dalam


Haryanto, 2003)

2.4.6 Analisis Sejarah Geologi

32
Analisis sejarah geologi bertujuan untuk menguraikan suatu

seri kejadian geologi yang disusun secara berurutan berdasarkan

kejadiannya, dimulai dari yang pertama terbentuk hingga yang terakhir

ataupun yang sekarang tengah terjadi.

2.4.7 Analisis Kontrol Longsoran

a. Analisis Stabilitas Lereng

Secara umum, analisis stabilitas lereng dilakukan dengan menghitung nilai faktor

keamanan (Safety Factor, SF) daripada lereng (Das, 1998). Faktor keamanan

lereng dapat didefinisikan dengan Persamaan

SF = Tf/Td

*dengan

SF : faktor keamanan

Tf : tegangan geser tanah (kg/cm2)

Td : tegangan geser tanah pada bidang keruntuhan (kg/cm2)

b. Tipe Gerakan Tanah

Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2006), karakteristk

gerakan massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi enam macam sebagai

berikut ini.

1) Longsoran (slides): merupakan longsoran dengan bidang gelincir datar di

sepanjang diskontinuitas atau bidang lemah yang secara pendekatan sejajar

dengan

permukaan lereng sehingga terjadi gerakan tanah secara translasi.

2) Jatuhan (falls): merupakan pergerakan material pembentuk lereng yang sangat

cepat termasuk batu jatuh bebas, lompatan, dan bergulir ke bawah pada

33
permukaan lereng, atau batu menggelinding atau pecahan batu bergerak ke bawah

di permukaan lereng.

3) Robohan (topples): terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain

bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas., yang umumnya terjadi pada lereng

yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai.

4) Sebaran (spreads): kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa

batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak di bawahnya. Sebaran juga

merupakan gerakan tanah yang umumnya terjadi kearah samping karena terjadi

pada kemiringankemiringan atau muka lahan datar/sangat datar.

5) Aliran (flows): gerakan hancuran material ke bawah lereng dan mengalir

seperti cairan kental dan sering terjadi dalam bidang geser relatif sempit.

6) Kompleks (combination of types): merupakan gabungan dua atau lebih dari

tipe gerakan massa batuan atau tanah.

34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Metodologi yang penulis gunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian berupa metode survey (kerja lapangan) dengan analsis
deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang diadakan untuk memperoleh
fakta dan gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual di
lapangan (Rakhmat,1993:2) serta metode eksperimental (analisis studio/
laboratorium). Adapun data-data tersebut berupa; data morfologi, data
litostratigrafi, data kedudukan batuan, data satuan batuan, data analisis
contoh batuan dan data sumber daya alam.
Ruang lingkup dari metode penelitian ini adalah membahas
pengertian, ketentuan-ketentuan, cara uji, dan laporan uji. Metode penelitian
ini dimaksudkan sebagai pegangan dan acuan dalam pengolahan data yang
di dapat dari hasil penelitian lapangan.
Tujuan metode ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang
geomorfologi daerah penelitian, persebaran batuan (litologi), struktur

35
geologi, dan stratigrafi yang berkembang di daerah penelitian. Untuk
mendapatkan informasi tentang komposisi mineral batuan, lingkungan
pengendapan, dan umur relatif dari satuan batuan yang menjadi objek
penelitian, metode yang penulis gunakan adalah dengan melakukan analisis
mikropalentologi untuk fosil dan analisis petrografi untuk litologi pada
contoh batuan di daerah penelitian tersebut. Maka dari itu, penulis
melakukan pengambilan contoh batuan (permukaan) dari daerah penelitian
guna mendapatkan informasi tersebut.
Cara pengambilan sampel batuan (permukaan) untuk keperluan
analisis mikropaleontologi dan analisis petrografi tersebut yaitu dengan
sistem/metode pengambilan sampel yang dilakukan secara Stratified
Random Sampling, metode tersebut memiliki pengertian berupa metode
pengambilan sampel dari populasi awalnya, dimana populasi tersebut
dibagi-bagi terlebih dahulu menjadi suatu kelompok yang relatif homogen
(stratum), untuk menjamin keterwakilan dari masing-masing stratum.
Metodologi penelitian tersebut diharapkan penulis dapat mengetahui
tentang lingkungan pengendapan yang berkembang di daerah tersebut dari
perbandingan mikrofosil yang terkandung di dalam contoh batuan yang
penulis teliti (dalam hal ini perbandingan Foraminifera Bentik dan
Planktonik) serta mengetahui waktu (umur) satuan batuan tersebut
terendapkan di daerah tersebut dengan metode penentuan umur dengan
menggunakan zona kisaran dari keberadaan mikrofosil yang terkandung di
dalam contoh batuan yang penulis teliti (dalam hal ini analisis zona kisaran
dari foraminifera planktonik), serta dapat mengetahui (secara mikroskopis)
tentang komposisi dari masing-masing contoh batuan yang terdapat di
daerah penelitian penulis.
3.2. Tahap Penelitian
Metoda yang dilakukan dalam praktek kerja lapangan ini diantaranya
adalah metoda kompas dan langkah, metoda kompas dan meteran. Metode
yang dipakai dalam melakukan penelitian ini terdiri dari 4 tahapan , yaitu :
1. Studi literatur
2. Penelitian lapangan

36
3. Analisis dan pengolahan data
4. Tahap penulisan laporan

3.2.1 Studi Literatur


Studi literatur merupakan tahapan pengumpulan data melalui
kajian pustaka dan laporan-laporan hasil penelitian terdahulu dengan
mengambil pokok pikiran yang terkandung didalamnya, dikaitkan dengan
daerah penelitian, bertujuan untuk mendapatkan gambaran geologi secara
umum di daerah penelitian.Tahapan ini juga meliputi kegiatan interpretasi
peta topografi secara terbatas dan persiapan peralatan.
3.2.2 Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data lapangan,
terutama mengenai data litologi, bentang alam, gejala stratigrafi, struktur
geologi, serta pengambilan contoh batuan, sketsa, profil dan foto lapangan
yang bertujuan untuk mengetahui jenis, susunan, hubungan dan pola
penyebaran batuan serta struktur yang mengontrol daerah telitian, sehingga
dapat diketahui mekanisme sedimentasi dan tektoniknya dalam ruang dan
waktu geologi. Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian di lapangan yaitu
1. Pembuatan Peta Lintasan
Bertujuan untuk mengetahui penyebaran litologi dari
setiap satuan batuan, kontak antar satuan batuan, dimana hasil
pengamatan kemudian direkam dalam buku lapangan, fotografi,
dan peta topografi (peta lintasan dan lokasi pengamatan).
2. Pengukuran Unsur-unsur Struktur Geologi
Pada tahap ini yang dikerjakan pada tahapan ini adalah
identifikasi dan pengukuran terhadap struktur-struktur geologi
(sesar, kekar dan lipatan). Identifikasi sesar berupa gores garis,
jalur breksiasi, gawir sesar, dan kelurusan sungai. Identifikasi
lipatan berupa pengukuran kedudukan sayap-sayap lipatan.
3. Pengambilan Contoh Batuan (Sampling)
Pengambilan dan penomeran sampel dilakukan pada
beberapa titik lokasi pengamatan, yang kemudian dilakukan
analisis lebih lanjut.Analisis tersebut meliputi analisis
petrografi, dan analisis mikropaleontologi.

37
3.2.3 Tahap Analisis dan Pengolahan Data
Pada tahap ini dilakukan analisis dan pengolahan data yang
dilakukan di laboratorium maupun di ruangan.Dalam analisis dan
pengolahan data ini meliputi laboratorium dan studio pengolahan data.
Adapun analisis yang dilakukan pada tahap ini melipuit analisis analisis
petrografi, analisis stratigrafi, analisis sedimentologi, analisis kestabilan
lereng, analisis struktur, dan analisis geomorfologi
3.2.4. Tahap Penulisan Laporan
Pada tahap ini dilakukan setelah seluruh tahapan diatas telah selesai
dengan bimbingan dari pembimbing terkait. Pekerjaan yang dilakukan
adalah pembuatan peta lintasan dan pengamatan, peta geomorfologi, peta
geologi, penampang sayatan geologi, kolom stratigrafi daerah penelitian,
dan peta potensi sumberdaya dan rawan bencana di daerah penelitian.

3.3. Diagram Alir Metode Penelitian


MULAI

SURVEI AWAL STUDY LITERATUR PENYUSUNAN


PROPOSAL

CITRA SRTM
PETA GEOLOGI REGIONAL
PETA TOPOGRAFI

DATA LAPANGAN
PENGAMATAN GEOMORFOLOGI
DATA LITOLOGI DAN PENYEBARANNYA
PENGAMATAN DAN PENGUKURAN DATA STRUKTUR GEOLOGI
PENGAMBILAN SAMPEL BATUAN
PENGAMATAN POTENSI GEOLOGI
PENGAMATAN GEOLOGI TEKNIK

PENELITIAN LABORATORIUM

Analisis Data Geomorfologi


Analisis Data Struktur
Analisis Data Kestabilan Lereng
38

PENYAJIAN DATA
PETA DAN KOLOM GEOMORFOLOGI
PETA DAN SAYATAN GEOLOGI
KOLOM STRATIGRAFI
PETA POTENSI GEOLOGI
DIGRAMA DATA PETROGRAFI
DIAGRAM ROSET DAN ANALISIS STRUKTUR
HASIL ANALISIS KESTABILAN LERENG

SINTESIS GEOLOGI

GEOLOGI DAN ANALISIS KONTROL LONGSORAN DAERAH BUTUH DAN SEKITARNYA KECAMATAN
KALIANGKRIK KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

Gambar 3.1 Skema diagram alir penelitian

39
1. BAB IV
RENCANA KEGIATAN

3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

Berikut merupakan tentatif kegiatan tugas akhir yang akan


dilaksanakan:

Tabel 4.1 Tentatif kegiatan tugas akhir

Rencana Kegiatan Tugas Akhir

Waktu Januari Feburari Maret April


 
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 2  3  4 
1
Studi Literatur & Pengumpulan Data
                               
Sekunder
Observasi & Perizinan Daerah Penelitian                                

Penentuan Basecamp                                

Orientasi Lapangan                                

Pemetaan & Pengambilan Data


                               
Lapangan
Pengolahan Data Lapangan & Pekerjaan
                               
Studio Peta
Kegiatan Analisis Laboratorium                                

Konsultasi & Bimbingan                                

Penyusunan Laporan                                

Seminar                                

Revisi Laporan & Penjilidan                                

40
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R. W. Van .1949. The Geology of Indonesia, vol.1.A, The Haque,


Martinus Nijhoff.

Djuri dkk. 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto - Tegal Skala 1 : 100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi : Bandung.

Fleuty, M.J. (1964) The Description of Folds. Proceedings of the Geologists.

Kertanegara, L., Uneputty, H., dan Asikin, S., 1987. Tatanan Stratigrafi dan
Posisi Tektonik Cekungan Jawa Tengah Utara Selama Jaman Tersier.
Proceeding Ikatan Ahli Geologi Indonesia XVI, 1987, Bandung.

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli
Geologi Indonesia : Indonesia.

Pettijohn, F.J. 1975. Sedimentary Rock.Third Edition. Harper & Row Publishers,
New York-Evanston-San Fransisco-London.

Pulunggono A., dan Martodjojo S, 1994. Perubahan Tektonik Paleogen - Neogen


Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceeding Geologi dan
Geoteknik Pulau Jawa.
Rickard, M. J. (1971) A Classification Diagram for Fold Orientations.
Geological.Magazine, 108(1), pp. 23-26.
Zuidam, R.A. van, 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. ITC, Smits Publ., Enschede, The Hague.

41

Anda mungkin juga menyukai