Anda di halaman 1dari 37

Pengetahuan, Praktik, dan Persepsi mengenai Trachoma dan Kontrolnya di

antara Komunitas Daerah Narok, Kenya

Abstrak
Latar Belakang: Trachoma merupakan penyebab utama infeksi yang
menyebabkan kebutaan di dunia. Hal ini umumnya ditemukan pada kelompok
budaya dengan higienitas yang buruk. Pengendalian trachoma meliputi Surgery
(pembedahan), Antibiotik, Facial cleanliness (kebersihan wajah), Enviromental
Improvement (Perbaikan lingkungan)/ SAFE. Trachoma yang berpotensi
menyebabkan kebutaan dan aktif dipantau menggunakan trachomatous trichiasis
(TT) pada dewasa dan trachoma inflammation-follicular (TF) pada anak-anak
berusia 1-9 tahun. Sebuah studi cross-sectional mengkaji pengetahuan, praktik
dan persepsi tentang trachoma dan pengendaliannya dilakukan pada komunitas
endemik di Daerah Narok.
Metode: Metode kualitatif digunakan untuk pengumpulan data. Dengan
menggunakan purposive sampling, 12 focus group discussion (FGD) dengan
kelompok laki-laki dan perempuan dewasa berjenis kelamin tunggal dan laki-laki
dan perempuan dengan karakteristik homogen, 12 wawancara informan kunci
dengan pemimpin opini dan 5 wawancara mendalam dengan pasien trikiasis dan 6
dengan orang yang belum menjalani operasi trichiasis. Data direkam secara audio,
ditranskripsi, dikodekan dan dianalisis secara manual berdasarkan tema penelitian;
pengetahuan, praktik dan persepsi penularan trakoma, tanda-tanda infeksi,
pencegahan dan pengendaliannya.
Hasil: Sebagian besar masyarakat memiliki pengetahuan tentang trakoma dan
penularannya. Praktik-praktik yang berkontribusi terhadap penularan infeksi
termasuk: tidak mencuci muka dan mandi secara teratur, berbagi baskom air dan
handuk untuk cuci muka, pengobatan tradisional trachoma dan lingkungan rumah
tangga yang kotor. Karena persepsi sosial budaya, toilet yang tidak layak dan
penggunaan semak-semak untuk pembuangan kotoran manusia menjadi hal biasa.
Persepsi yang buruk tentang kerentanan penyakit, lalat di wajah anak-anak,
kepemilikan dan penggunaan jamban serta pemisahan tempat tinggal manusia dan
hewan juga berperan dalam penularan trachoma. Ketakutan akan kehilangan
penglihatan selama operasi adalah penghalang untuk penyerapannya dan
keinginan untuk dapat melihat dan merawat hewan peliharaan mendorong operasi.
Mayoritas anggota masyarakat mengapresiasi pemberian obat Massal (MDA)
meskipun sisi efek seperti muntah dan diare telah dilaporkan.
Kesimpulan: Praktik yang buruk dan persepsi sosial budaya yang terkait
merupakan faktor risiko penting dalam mempertahankan infeksi dan penularan
trachoma. Anggota masyarakat memerlukan pendidikan kesehatan untuk
mengubah perilaku dan menciptakan kesadaran tentang operasi, MDA dan potensi
efek sampingnya untuk menghilangkan trachoma di Daerah Narok, Kenya.
Pendaftaran uji coba: KEMRI SSC 2785. Terdaftar 2 September 2014
Kata kunci: Trachoma, Pengetahuan, Praktik, Persepsi, Pengobatan antibiotik,
Kebersihan wajah, Sanitasi lingkungan
Latar belakang
Trachoma adalah Neglected Tropical Disease (NTD) yang sampai saat ini
merupakan penyebab infeksi utama kebutaan di dunia dan disebabkan oleh bakteri
Klamidia trachomatis. Biasanya ditemukan di komunitas dengan kebersihan yang
buruk dan menghilang secara spontan dengan peningkatan status sosial ekonomi
masyarakat. Gaya hidup dan budaya diketahui mempengaruhi terjadinya trakoma
dan penyakit mata lainnya. Distribusi TF di Kenya pada tahun 2010 ditunjukkan
pada Gambar 1.

Gambar 1. Distribusi trakoma aktif di Kenya dan Narok pada 2010


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan Pembedahan
(Surgery), Antibiotik, Kebersihan wajah (Facial Cleanliness) dan Perbaikan
Lingkungan (Environmental Improvement)/ SAFE untuk pengendalian trakoma.
Secara klinis diklasifikasikan ke dalam skema penilaian trachoma WHO yang
disederhanakan sebagai berikut: TF = trachoma inflammation-folicular, TI =
trachoma inflammation-intense, TS = trachomatous scarring, TT = trachomatous
trichiasis dan CO = corneal opacity. Prevalensi TT pada orang dewasa digunakan
sebagai indikator untuk komponen SAFE dan prevalensi TF pada anak usia 1-9
tahun menjadi indikator komponen AFE. Pemeriksaan laboratorium untuk
memverifikasi prevalensi infeksi jarang dilakukan karena dianggap mahal.
Operasi kelopak mata berbasis komunitas dilakukan untuk mencegah
kebutaan pada orang dengan TT, yang berpotensi stadium trakoma yang
membutakan. Administrasi obat massal (MDA) dilakukan di komunitas di mana
prevalensi TF lebih atau sama dengan 10%. Seluruh populasi ditatalaksana
dengan antibiotik setiap tahun dan cakupan pengobatan minimal 80% dianggap
berhasil. Promosi mengenai kebersihan wajah dan sanitasi lingkungan dilakukan
di semua wilayah dengan TF.
Narok adalah salah satu daerah endemik trachoma di Kenya dan penyakit ini
terutama ditemukan pada komunitas nomaden Maasai di Narok Selatan. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menilai pengetahuan, praktek dan persepsi
trachoma dan kontrolnya dan dilakukan di komunitas endemik di Narok (Gbr. 1).

Metode
Tempat Penelitian
Daerah Narok terletak di bagian barat daya dari Lembah Rift. Kabupaten ini
dibentuk pada tahun 2010 ketika sebelumnya distrik Narok dan Trans Mara (Gbr.
1) digabungkan. Studi ini dilakukan di Kecamatan Narok. Sebuah survei
prevalensi trachoma dasar dilakukan di kabupaten tersebut pada tahun 2004.
Seluruh kabupaten endemik trachoma dan pelaksanaan strategi SAFE penuh
dimulai pada tahun 2008. Dampak survei dilakukan pada tahun 2010 dan 2014.
Pada tahun 2010, Kabupaten Narok dibagi menjadi 5 segmen dan strategi SAFE
dilanjutkan di 2 sisa endemik Selatan Segmen Narok Timur dan Barat Daya (Gbr.
1). 3 segmen lainnya (Timur Laut, Barat Laut dan Central) dikeluarkan dari MDA
lebih lanjut karena prevalensi TF kurang dari 5% (Gbr. 1). Segmen didefinisikan
sebagai wilayah geografis dengan 100.000 – 200.000 orang sesuai dengan
rekomendasi WHO "distrik trachoma" dengan sekitar 100.000 orang. Pada tahun
2014 tidak ada perubahan yang signifikan prevalensi TF di 2 segmen selatan.
Status quo ini dikaitkan dengan ketidakcukupan intervensi FE. Hasil studi 2014
telah diajukan di tempat lain untuk publikasi.

Desain dan area penelitian


Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan metode
kualitatif (FGD dan wawancara mendalam) untuk mengumpulkan data. Hal ini
dilakukan di dua segmen endemik yang diidentifikasi selama survei penilaian
dampak pada 2010. Segmen adalah wilayah geografis dengan 100.000 - 200.000
orang yang sesuai dengan rekomendasi WHO mengenai "distrik trakoma"
segmennya adalah Narok Tenggara dan Barat Daya (Gbr. 1). Tiga segmen lainnya
(Tengah, Timur Laut dan North Western) dikeluarkan dari MDA karena mereka
telah mencapai prevalensi TF <5%, ambang eliminasi untuk TF sebagai masalah
kesehatan masyarakat.

Populasi studi
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan dengan anggota masyarakat
untuk mengukur pengetahuan, praktik dan persepsi masyarakat terhadap
pengendalian trakoma. Wawancara Informan Kunci (KII) dilakukan dengan
pemimpin opini tentang penyebab trachoma, pencegahan, praktik dan persepsi
anggota masyarakat. Selain itu, wawancara mendalam terpisah (IDI) dilakukan
dengan orang yang menderita trikiasis dan mereka yang telah menjalani operasi
trikiasis untuk menilai kesadaran dan persepsi mereka tentang pengambilan
tindakan operasi. KII dilakukan sebelum FGD dan IDI untuk mendapatkan
pandangan pemimpin opini tentang trachoma untuk memfasilitasi pertanyaan
terfokus untuk memahami perasaan masyarakat, sehingga semua sumber data
digunakan saling melengkapi. Minimal 4 FGD dianggap memadai untuk
pertanyaan penelitian yang diberikan dengan kelompok target peserta studi
tertentu, dan total 12 FGD dilakukan dengan orang dewasa dan kelompok remaja
pria dan wanita dengan jenis kelamin tunggal karakteristik homogen oleh
moderator terlatih dan pencatat menggunakan bahasa lokal Kimasaai. Grup
diambil dari divisi administratif Osupuko (4), Ololung'a (5), Mau (2) dan Mara (1)
di Narok. Dua belas (12) KII dilakukan di antara para pemimpin opini (8 laki-laki
dan 4 perempuan). Empat peserta berasal dari Osupuko, 3 dari Mara, 3 dari
Ololung’a dan 2 dari Divisi Mau. Sebanyak 5 wawancara mendalam (4
perempuan dan satu laki-laki) dilakukan di antara orang-orang dengan trikiasis
(TIDI: Trichiasis In-depth Interview) semua dari Divisi Mara. Lain enam (6)
wawancara mendalam (4 perempuan dan dua laki-laki) dilakukan di antara orang-
orang yang telah menjalani operasi untuk trikiasis (SIDI: Surgery In-depth
Interview). Tiga (3) peserta berasal dari Osupuko, 2 dari Mara dan satu dari Divisi
Naroosura. Semua responden dipilih secara purposive. Standar prosedur yang
diamati selama pengumpulan data. Catatan diambil selama pengumpulan data dan
kaset audio digunakan untuk merekam semua informasi dalam bahasa daerah. Izin
untuk merekam telah diminta dari peserta penelitian. Kaset itu kemudian
ditranskripsikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Manajemen dan analisis data


Data diketik ke dalam MS Word dan dianalisis secara manual sesuai
dengan tema penelitian yang meliputi: pengetahuan tentang transmisi dan tanda-
tanda infeksi trakoma: praktek dalam pengobatan trachoma, kebersihan wajah,
kebersihan lingkungan rumah tangga dan penggunaan dan kepemilikan toilet:
persepsi risiko, pemberian antibiotik massal dan salep mata tetrasiklin,
pengambilan keputusan operasi, lalat, penggunaan jamban dan kepemilikan dan
pemisahan tempat tinggal hewan dan manusia. Data kuantitatif dari profil sosio-
demografi dianalisis menggunakan excel spreadsheet.
Karakteristik latar belakang peserta penelitian
Peserta Focus Group Discussion (FGD)
Peserta FGD dewasa berjenis kelamin tunggal dan laki-laki dan
perempuan terdiri dari orang dewasa (35 tahun ke atas), (7 FGD) dan remaja laki-
laki dan perempuan (18 sampai 34 tahun), (5 FGD) responden dengan
karakteristik homogen. FGD terdiri dari minimal 7 peserta dan maksimal 12
peserta.

Peserta Key Informant Interview (KII)


Informan kunci tertua yang diwawancarai berusia 45 tahun dan yang
termuda 25 tahun. Sebelas orang (7 laki-laki dan 4 perempuan) berada telah
menikah sementara satu masih lajang. Semua informan kunci yang diwawancarai
bergama Kisten (Tabel 1).

Orang dengan trikiasis dan Orang yang telah menjalani operasi untuk trikiasis
Peserta tertua dengan trikiasis yang diwawancarai, adalah laki-laki 75
tahun dan yang termuda perempuan 44 tahun. Empat dari peserta adalah bergama
Kristen dan satu non-practicing (Tabel 2).
Di antara peserta yang telah menjalani operasi untuk trikiasis, yang tertua
untuk diwawancarai adalah 95 tahun dan termuda 36 tahun. Semua peserta
bergama Kristen (Tabel 2).
Tabel 1. Karakteristik latar belakang partisipan KII
Variabel Jumlah partisipn Pria 8 Wanita 4
Umur Median (range) 37 (31-45) 29 (25-31)
Status pernikahan Menikah 7 4
Lajang 1 0
Pendidikan Tidak ada/ tidak 1 3
selesai pendidikan
dasar
Pendidikan dasar 1 2
Sekunder 1 2
Post sekunder 1 1
Pekerjaan Guru 2 1
Petani 2 2
Pemimpin 3 1
komunitas
Pemimpin agama 1 0

Tabel 2. Karakteristik latar belakang orang dengan trikiasis dan orang yang
menjalan operasi trikiasis
Variabel Pria Wanita
Orang dengan trikiasis 1 4
Usia Median 75 61 (44-65)
Status pernikahan Menikah 1 3
Cerai 0 1
Pendidikan Tidak ada 1 4
Ekspertise IRT 0 4
Penggembala 1 0
Orang yang menjalani operasi trikiasis 2 4
Usia Median 75 (66-80) 48 (36-95)
Status pernikahan Menikah 2 3
Cerai 0 1
Pendidikan Tidak ada 0 1
Sekolah dasar 2 3
Pekerjaan IRT 0 3
Bisnis 0 1
Petani 2 0

Hasil
Pengetahuan tentang transmisi
Sebagian besar peserta di semua FGD telah mendengar tentang trachoma
dan menyadari bahwa itu adalah penyakit mata yang disebabkan oleh sanitasi dan
kebersihan yang buruk dan seperempat peserta FGD dapat menunjukkan bahwa
trakoma dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui berbagi air mandi,
baskom dan handuk. Anggota komunitas menyebut trachoma sebagai enkoe dan
trichiasis sebagai isarik dalam lokal bahasa. Dalam FGD01, Laki-laki dewasa:
sebagian besar peserta menyatakan bahwa: “Ya, kami pernah mendengarnya; ini
disebabkan oleh debu dan sanitasi yang buruk, kebersihan yang buruk juga
dengan berbagi pakaian dan baskom dan dengan lalat.”
Namun, dalam seperempat dari FGD, sebagian kecil dari peserta
menunjukkan bahwa trachoma adalah penyakit untuk klan Imolelian yang
mewarisinya dari nenek moyang mereka. Semua 12 pemimpin opini menyadari
bahwa trachoma adalah penyakit mata yang menyebabkan kebutaan dengan
sebelas menunjukkan bahwa itu adalah penyakit menular yang ditularkan oleh
lalat dan disebabkan oleh kebersihan yang buruk, tidak mencuci muka dan tangan,
berbagi air, baskom dan handuk, kotoran dan debu. Hanya satu responden,
seorang petani berusia 38 tahun yang menyatakan bahwa trakoma hanyalah
penyakit dari Tuhan dan tidak menular. Hanya dua orang dengan trikiasis yang
sadar bahwa itu adalah penyakit yang disebabkan oleh kotoran dan ditularkan oleh
lalat sedangkan 3 sisanya menunjukkan bahwa mereka memiliki tidak tahu apa
penyebab masalah mereka. TIDI02, perempuan 65 tahun mengatakan bahwa:
“Saya benar-benar tidak tahu tetapi saya pikir itu disebabkan oleh asap dan juga
jerawat di mata saya.”
Selanjutnya, dua orang yang telah menjalani operasi trikiasis menyatakan
bahwa trakoma disebabkan oleh asap dan usia tua dengan satu orang mengatakan
bahwa penyakit ini diturunkan sementara 4 orang menyebutkan bahwa mereka
tidak mengetahui penyebabnya. Satu responden lebih lanjut menyatakan bahwa
seorang petugas kesehatan masyarakat telah memberitahunya bahwa penyakit
tersebut disebabkan oleh lalat. SIDI02, perempuan 45 tahun menyatakan bahwa:
“Saya percaya itu karena dapur berasap yang kami gunakan untuk memasak
makanan kami. Saya juga percaya itu disebabkan oleh mewarisinya dari orang
tua kita karena ibuku juga memilikinya.”
Sehubungan dengan memelihara hewan peliharaan di luar kompleks
rumah tangga untuk mencegah penularan, sebagian besar peserta di semua FGD
sadar bahwa kandang hewan peliharaan mereka harus berada diluar rumah akan
membantu mencegah trachoma. Di dalam FGD05, mayoritas pemuda, peserta
setuju bahwa: “Ya kami tahu itu adalah penyakit yang mempengaruhi mata,
sanitasi yang buruk berkontribusi terhadap penularannya, lalat yang adalah hasil
dari hewan di dekat rumah juga berkontribusi pada penularan penyakit.”
Namun, para peserta FGD menunjukkan bahwa meskipun disarankan
untuk menjauhkan hewan-hewan itu untuk mengurangi lalat, tidak mungkin
seperti yang mereka miliki untuk melindungi hewan peliharaan mereka dari
perampok, binatang liar, udara dingin dan hujan. Mayoritas mengatakan bahwa
menaruh sapi dekat dengan rumah lebih nyaman bagi mereka karena mereka bisa
memerah susu mereka pagi-pagi sekali sebelum anak sapi menyusu. Dalam FGD
09 di kalangan remaja putra, para peserta menyatakan bahwa: “Kami tidak bisa
menjauhkan hewan dari kami karena kami melindungi mereka dari dingin dan
hujan. Kami menempatkan dekat dengan rumah kami dengan tujuan keamanan
karena ada begitu banyak hewan liar di sekitar. Kami menempatkan mereka di
rumah sehingga kita bisa memerah susu sapi di pagi hari."
Berkenaan dengan memiliki pengetahuan yang bisa menjalani operasi
untuk membuat mata mereka lebih nyaman, ke-5 responden dalam kategori orang
dengan trichiasis, menunjukkan bahwa mereka sadar bahwa operasi dapat
dilakukan dengan semua yang menunjukkan bahwa beberapa orang yang telah
menjalani operasi telah kehilangan penglihatan sepenuhnya. 5 responden
menunjukkan bahwa mereka mengenal orang-orang seperti tetangga mereka yang
pernah menjalani operasi mata. TIDI01, perempuan 65 tahun menyatakan: “Saya
mendengar bahwa orang-orang yang dioperasi dan yang lain dapat sembuh
sementara yang lain tidak dapat kembali melihat.”
Tentang alasan mengapa responden dalam kategori orang yang telah
menjalani operasi memutuskan untuk menjalani operasi, semua responden
menyatakan bahwa adalah karena mereka menyadari bahwa mereka menjadi buta
dan ingin dapat melakukan tugas mereka yang biasa seperti merawat hewan
peliharaan mereka. SIDI04, Wanita 36 tahun ini menyatakan bahwa: “Merawat
hewan saya adalah masalah dan itu menjadi sulit untuk mengetahui dan
mengidentifikasi hewan yang hilang. Juga selama perjalanan aku membutuhkan
seseorang yang bisa memimpin saya dan melindungi saya dari alam liar,
binatang liar, dan juga menunjukkan jalan.”

Pengetahuan tentang tanda-tanda infeksi


Mayoritas peserta di semua FGD sadar tanda-tanda trachoma seperti mata
berair, mata merah dengan gumpalan putih di sudut mata, mata gatal dengan bulu
mata melengkung ke dalam dan menggosok mata. Tentang pencegahan trachoma,
mayoritas peserta di semua FGD menyatakan bahwa kebersihan personal
termasuk mencuci mata, tidak berbagi handuk dan air mandi serta lingkungan
sanitasi merupakan kunci utama. Selanjutnya, setengah (n = 6) dari informan
kunci menyadari tanda-tanda infeksi trakoma seperti: mata berair, gatal, dan
merah dengan bulu mata bergesekan bola mata. KII01, seorang guru laki-laki
berusia 31 tahun menyatakan bahwa: “Tanda-tanda trachoma adalah mata
berair, menggosok mata, bulu mata dan mata cekung; itu disebabkan oleh
kekotoran dan lalat. Itu ditularkan melalui berbagi pakaian dan handuk."
Tentang penampilan seseorang dengan trikiasis, sebagian besar peserta di
semua FGD menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki mata merah, berair,
gatal yang tidak nyaman dalam cahaya langsung dan bahwa bulu mata orang-
orang tersebut keluar. Mayoritas peserta di semua FGD lebih lanjut menunjukkan
bahwa seseorang dengan trachoma biasanya mengalami rasa sakit yang parah. Di
FGD07, wanita dewasa, satu peserta menyatakan: “Mata selalu gatal dan terasa
sakit, ada kemerahan di mata dan sangat berair, bola mata berubah warna, ada
banyak keluarnya cairan dari mata.”

Praktek dalam pengobatan trachoma


Mengenai cara anggota masyarakat mengobati infeksi trachoma, hanya
dalam satu FGD dimana mayoritas peserta menunjukkan bahwa meminum
antibiotik yang dibagikan oleh Tenaga Kesehatan Masyarakat (CHWs) adalah
pengobatan yang digunakan untuk trachoma. Tiga seperempat (n = 9) dari para
pemimpin opini lebih lanjut menunjukkan bahwa anggota masyarakat
menggunakan obat/antibiotik yang diberikan setiap tahun dan juga mengunjungi
rumah sakit untuk pengobatan.
Namun, dalam sebelas FGD, sebagian besar peserta menunjukkan bahwa
anggota masyarakat mengobati trachoma dengan menggunakan ASI, air asin, dan
darah dari cuping telinga kambing, direbus secara tradisional herbal yang dikenal
sebagai daun oleleshwa dan oseki dan menggaruk mata yang terkena
menggunakan tembakau. Menarik keluar bulu mata menggunakan embutet
(pinset) sebagai pengobatan untuk trachoma disebutkan oleh mayoritas peserta
dalam seperempat (n = 3) dari FGD. Di dalam FGD09 di kalangan remaja putri,
salah satu peserta mengindikasikan bahwa: “Ada spesialis yang membantu
menggaruk mata dengan tembakau, kami juga menggunakan ASI, itu melegakan
banyak, kami kadang-kadang menggunakan larutan garam atau daun teh, kami
gunakan daun dan akar dari hutan untuk menghilangkan rasa sakit.”
Selanjutnya, seperempat (n = 3) informan kunci menunjukkan bahwa
anggota masyarakat mengobati trakoma dengan praktik tradisional seperti dengan
menggunakan jamu, air asin dan ASI.

Praktek dalam pembersihan wajah dan kebersihan pribadi


Tentang apakah anggota komunitas mencuci muka anak-anak mereka,
mayoritas peserta dalam setengah dari FGD menunjukkan bahwa anggota
masyarakat mencuci wajah anak-anak setiap pagi sebelum mereka pergi ke
sekolah tetapi anak-anak harus berbagi air, baskom dan handuk. Dalam FGD04,
laki-laki dewasa, peserta menyatakan bahwa: “Ya mereka mencuci wajah, tetapi
harus berbagi air dan baskom, mereka juga berbagi handuk.”
Informan kunci juga memberikan pendapat mereka tentang praktik
masyarakat berkaitan dengan kebersihan pribadi dan dua pertiga (n = 8)
menunjukkan bahwa anggota masyarakat mereka tidak mematuhi kebersihan
pribadi, mereka tidak mandi setiap hari dan ada yang menginap 2 hingga 3 hari
dan lainnya 5 - 7 hari tanpa mandi. KII05, seorang kepala suku laki-laki berusia
45 tahun menyatakan bahwa: “orang dewasa bisa 5 sampai 7 hari tidak mandi.”
Dalam hal kebersihan anak, setengah (n = 6) para pemimpin opini
menunjukkan bahwa anak-anak terutama selama liburan sekolah tidak
memperhatikan kebersihan dan jarang mandi atau berganti pakaian. KII05, laki-
laki berusia 45 tahun menyatakan bahwa: “Anak kecil menghabiskan waktu lebih
lama tanpa mandi selama liburan dan akhir pekan ketika mereka tidak pergi ke
sekolah.” Hanya dua informan kunci menyebutkan bahwa anggota masyarakat
mandi setiap hari meskipun ketersediaan air menjadi hambatan dan mereka harus
meminimalkan penggunaannya.

Praktik penggunaan dan kepemilikan toilet


Tentang praktik anggota masyarakat dalam menggunakan toilet, sebagian
besar (11) pemimpin opini menunjukkan bahwa jamban lubang dapat diterima di
komunitas mereka meskipun beberapa orang tidak menggunakannya sebagaimana
adanya karena mahal untuk dibangun dan ada semak-semak yang luas di sekitar
rumah mereka. Hanya satu pemimpin opini yang menyebutkan bahwa jamban
tidak dapat diterima di komunitasnya anggota sebagai orang takut terlihat pergi ke
dalamnya karena menurut budaya mereka itu memalukan. Seorang petani laki-laki
36 tahun, KII12 menyatakan: “Sebagian besar anggota masyarakat tidak ingin
membangun toilet. Ini karena banyak orang takut untuk masuk toilet karena tidak
ingin dilihat oleh orang lain. Mereka mengatakan bahwa itu merupakan
kurangnya rasa hormat.”
Berkenaan dengan apakah pria, wanita dan anak-anak berbagi toilet, 5
pemimpin opini menunjukkan bahwa anggota komunitas mereka dapat berbagi
toilet, dan 2 orang mengatakan bahwa berbagi dapat diterima selama ada pintu
terpisah untuk wanita dan pria. Namun, lima pemimpin opini menyatakan bahwa
berbagi toilet antara pria, wanita dan anak-anak tidak dapat diterima dalam
komunitas mereka sebagaimana adanya karena dianggap tabu. Seorang guru
wanita berusia 25 tahun KII06 menyatakan bahwa: “Laki-laki, perempuan dan
anak-anak tidak diperbolehkan menggunakan jamban yang sama karena tabu,
seorang ayah dan anak perempuannya tidak boleh menggunakan toilet yang
sama.”
Pada sepertiga (n = 4) FGD, sebagian besar peserta lebih lanjut
menunjukkan bahwa meskipun toilet bisa diterima, anggota keluarga tidak bisa
berbagi karena itu merupakan hal tabu bagi seorang anak perempuan untuk
berbagi toilet dengan ayah mertuanya. Dalam FGD04, laki-laki dewasa, seorang
peserta menyatakan bahwa: “Boleh tetapi jambannya harus dibagi menurut jenis
kelamin.” Di FGD09 dengan remaja perempuan, salah satu peserta menyatakan
bahwa: “Ya diterima tetapi memalukan karena kadang-kadang mungkin saja
Anda sedang dalam perjalanan keluar dan Anda bertemu dengan ayah mertua."
Selain itu, sebagian besar peserta dalam semua FGD menunjukkan bahwa
jamban lubang dapat diterima di antara anggota masyarakat mereka meskipun
dalam seperempat (n = 3) dari FGD, sebagian besar peserta menunjukkan bahwa
jamban mahal dan mereka tidak mampu membangunnya dan dibagi berdasarkan
jenis kelamin dan usia.

Praktek pembuangan kotoran anak


Mengenai praktik anggota masyarakat dalam membuang kotoran anak
kecil, 10 responden selama KII menyatakan bahwa itu digunakan sebagai
makanan anjing atau dibuang ke semak-semak. Hanya satu pemimpin opini
menyebutkan bahwa anggota masyarakat modern membuangnya ke jamban.
KII04, perempuan berusia 33 tahun, menyatakan: “Tidak ada lubang kakus
sehingga orang membuang kotoran anak kecil ke semak-semak. Itu juga menjadi
makanan untuk anjing.”

Persepsi mengenai risiko


Tentang apakah ada beberapa orang di komunitas yang lebih berisiko
terkena infeksi trakoma daripada yang lain, semua pemimpin opini menunjukkan
bahwa ada adalah, dengan dua pertiga (n = 8) menyebutkan bahwa trakoma lebih
sering terjadi pada anak-anak dan setengahnya (n = 6) mengatakan bahwa hal itu
lebih umum di kalangan orang tua karena mereka tidak memperhatikan
kebersihan pribadi. Sepertiga (n = 4) dari para pemimpin opini menunjukkan
bahwa perempuan adalah yang paling terpengaruh karena mereka menghabiskan
waktu di rumah-rumah yang berasap dan tidak berventilasi. Hanya 1/6 (n = 2) dari
pemimpin opini yang mengatakan bahwa trachoma lebih sering terjadi pada
orang-orang klan Imolelian yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Laki-laki
38 tahun, petani, KII08 menyatakan bahwa: “Klan Imolelian adalah pemilik
sebenarnya dari trachoma tergantung pada tradisi kita.”
Selain itu, sebagian besar peserta dalam 11 FGD menunjukkan bahwa
anak-anak lebih berisiko terserang trachoma sementara di 10 FGD beberapa
peserta menunjukkan bahwa yang paling rentan adalah orang tua karena mereka
tidak memperhatikan kebersihan. Namun, dalam tiga perempat (n = 9) dari FGD,
beberapa peserta menunjukkan bahwa perempuan lebih berisiko terkena trachoma
karena mereka selalu berada di ruangan berasap.
Dalam 3 FGD, para peserta menunjukkan bahwa trachoma adalah penyakit
yang diturunkan dan klan Imolelia lebih berisiko terinfeksi. Hanya di tiga
perempat (n = 9) dari FGD yang sebagian besar peserta menunjukkan bahwa
setiap orang yang tidak memperhatikan kebersihan pribadi berisiko terkena
trachoma. Dalam FGD05 dengan pemuda, satu peserta menyatakan bahwa:
“Setiap orang dengan sanitasi yang buruk, meskipun adalah kaum muda selama
mereka tidak menjaga kebersihan pribadi bisa terjangkit trachoma.”

Persepsi azitromisin oral dan salep mata tetrasiklin


Persepsi terhadap obat yang didistribusikan setiap tahun untuk trachoma,
sebagian besar peserta di 11 FGD menunjukkan bahwa obat itu baik dan memiliki
membantu meningkatkan kesehatan masyarakat secara umum dan bahwa
distribusi harus terus dilakukan setiap tahun. Namun, dalam setengah (n = 6) dari
FGD mayoritas peserta mengatakan bahwa obat tersebut menyebabkan efek
samping seperti muntah dan diare dan diminta bahwa penyadaran harus dilakukan
sebelum kegiatan pendistribusian yang akan membuat lebih banyak orang
mengkonsumsi narkoba. Itu hanya dalam satu FGD di mana besar mayoritas
peserta menyatakan bahwa obat-obatan tersebut tidak baik sama sekali. Dalam
FGD12 di antara wanita dewasa, salah satu peserta menyatakan bahwa: “Obat
memiliki efek yang tidak bagus sama sekali, menyebabkan muntah dan sakit
perut, ganti obat jika bisa.”
Mayoritas (n = 11) dari pemimpin opini menyatakan bahwa obat-obatan
itu baik untuk mereka dan dua pertiga (n = 8) menunjukkan bahwa beberapa
anggota masyarakat mengeluhkan efek samping seperti muntah, diare, pusing dan
malaise. Lima pemimpin opini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk
menciptakan kesadaran dan memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
sebelum pemberian obat agar masyarakat dipersiapkan dengan baik. Hanya satu
pemimpin opini yang menyebutkan bahwa tidak ada obat trachoma yang
didistribusikan di komunitasnya di tahun 2013. KII02, seorang pengusaha pria
berusia 31 tahun menyatakan: “Obat yang diberikan setiap tahun membantu
mencegah trachoma, mereka membawa obat pada tahun 2013 dan semua orang
meminumnya. Setelah minum orang merasa lapar dan ada yang muntah. Orang-
orang harus diberi pemberitahuan sebelumnya sehingga mereka dapat bersiap."
Mengenai preferensi salep mata tetrasiklin atau antibiotik oral, sebagian
besar peserta dalam 7 FGD menunjukkan bahwa mereka lebih suka antibiotik oral
karena juga dapat melawan penyakit lain di tubuh dan seseorang diharuskan
menelan hanya sekali dalam setahun. Namun dalam tiga perempat dari FGD,
mayoritas dari peserta menyatakan bahwa salep mata lebih disukai karena dapat
diletakkan langsung pada mata yang terinfeksi, bahwa salep tidak ada efek
samping dan itu bagus untuk menghilangkan semua kotoran mata dan di pagi hari
mata dapat melihat dengan lebih tajam.”
Empat pemimpin opini menyatakan bahwa kedua mata salep dan
antibiotik sama bagusnya dengan salep untuk anak-anak dan wanita hamil dan
tablet untuk orang dewasa.

Persepsi lalat di wajah anak-anak


Tentang persepsi lalat yang sering menyerang wajah anak-anak, 7
pemimpin opini menyatakan bahwa masyarakat menganggap lalat sebagai berkah
dari Tuhan, tanda-tanda hujan, indikator kekayaan masa depan dan sebagai teman
yang tidak menularkan penyakit. Hanya 2 responden yang menyatakan bahwa
masyarakat menganggap lalat sebagai penyebar penyakit. KII04, perempuan 33
tahun, pemimpin kelompok perempuan menyatakan: “Masyarakat percaya bahwa
lalat tidak buruk tetapi mereka adalah berkah. Para ibu tidak tahu apakah lalat
menularkan penyakit kepada anak-anaknya.”

Persepsi ketersediaan air


Selama KII, semua pemimpin opini menunjukkan bahwa tidak tersedianya
air merupakan tantangan utama terutama di bulan-bulan kering dalam setahun
dengan setengah menunjukkan bahwa anggota komunitas mereka harus berjalan
lebih jauh dari 5 kilometer mencari air dan belanja bahkan sampai 9 jam dalam
satu hari. Sisanya setengah menunjukkan bahwa anggota komunitas mereka
menghabiskan sekitar 1 jam karena mereka harus berjalan untuk jarak mulai dari
1- 4 kilometer untuk mencari air. Seorang guru laki-laki berusia 31 tahun, KII01
menyatakan bahwa: “Satu-satunya sumber air adalah hujan. Di musim kemarau
orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain di mana air tersedia, mereka
melakukan perjalanan 7 sampai 12 kilometer ke sumber air, ada yang
menghabiskan 9 sampai 10 jam perjalanan ke sumber air.”
Mengenai persepsi para pemimpin opini tentang tantangan dalam
mempromosikan praktik kebersihan yang lebih baik di masyarakat, dua pertiga
menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran, pendidikan kesehatan menjadi
tantangan utama sedangkan 7 lainnya menyebutkan bahwa tidak tersedianya air
yang cukup adalah penghalang utama untuk promosi kebersihan yang lebih baik.
Kemiskinan sebagai tantangan untuk mempromosikan kebersihan yang lebih baik
disebutkan oleh 5 pemimpin opini. KII11, seorang pendeta laki-laki berusia 40
tahun menyatakan bahwa: “Tantangan termasuk praktik budaya, kurangnya air
dan fasilitas penyimpanan air, kemiskinan dan buta huruf.”

Diskusi
Hasil penelitian saat ini telah menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat
menyadari bahwa trachoma adalah penyakit mata yang ditularkan oleh lalat
karena higiene dan sanitasi yang buruk. Namun, ada anggota komunitas yang
tidak mengaitkan lalat terhadap infeksi trakoma dan bahkan menganggapnya
sebagai tanda berkah, kekayaan dan curah hujan. Kehadiran lalat sebagai faktor
risiko aktif untuk trachoma telah didokumentasikan sebelumnya oleh beberapa
penelitian.
Hasil penelitian saat ini juga menunjukkan bahwa mayoritas anggota
masyarakat menyadari tanda-tanda infeksi trakoma seperti berair, mata merah
gatal dan menyebut penyakit ini secara lokal sebagai enkoe. Sebuah studi berbeda
yang dilakukan di Kenya juga melaporkan bahwa pengasuh anak-anak dengan
trachoma memiliki kesadaran yang tinggi akan tanda-tanda infeksi trachoma dan
menyebutnya dalam bahasa lokal. Hasil studi saat ini juga menunjukkan bahwa
anggota masyarakat sadar bahwa menjaga kebersihan diri termasuk mencuci mata,
tidak berbagi handuk dan air mandi sebagai serta sanitasi lingkungan merupakan
faktor kunci dalam pencegahan infeksi trakoma. Meskipun berbagi penggunaan
handuk dianggap sebagai faktor risiko utama dalam penularan trachoma, tinjauan
sistematis dan meta-analisis melaporkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan dalam berbagi handuk dan peningkatan risiko trachoma.
Hasil penelitian saat ini lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam meskipun
anggota komunitas menyadarinya manfaat membangun kandang hewan jauh dari
tempat tinggal mereka untuk mengurangi penularan infeksi, mereka masih
melakukannya. Masyarakat lebih memilih untuk memiliki kandang hewan
peliharaan di dekat mereka sehingga dapat melindungi dari hewan liar, perampok
ternak dan dapat memerah susu di pagi hari. Upaya dalam edukasi kesehatan
untuk membawa perubahan perilaku diperlukan untuk mempengaruhi perilaku
dan persepsi masyarakat. Tinjauan cochrane menguraikan keberadaan hewan
peliharaan dekat dengan tempat tinggal manusia sebagai masalah sanitasi
lingkungan yang perlu ditangani untuk pengendalian trachoma.
Hasil studi saat ini juga menunjukkan bahwa meskipun masyarakat
menyadari bahwa trachoma diobati dengan antibiotik yang dibagikan setiap tahun
oleh petugas kesehatan masyarakat, mereka takut akan efek sampingnya. Sebagian
besar masyarakat menggunakan metode tradisional lainnya seperti rebusan
ramuan tradisional, air susu ibu dan air garam serta mencabut bulu mata untuk
mengobati trachoma. Sebuah penelitian yang dilakukan di Guinea Bissau
melaporkan penggunaan pengobatan tradisional seperti mencuci wajah dengan
urin; atau dengan pasta yang dibuat dengan menggiling daun, bunga dan akar
pohon lokal; dan membersihkan mata dengan jus lemon atau cabai giling.
Pengobatan tradisional dilaporkan terus digunakan karena masyarakat memiliki
persepsi lokal tentang etiologi dan riwayat trakoma.
Tentang kebersihan wajah, hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa
pengasuh mencuci wajah anak-anak mereka setiap hari, meskipun banyak anggota
komunitas tidak menjaga kebersihan pribadi karena mereka tidak mandi setiap
hari. Hubungan antara sering mencuci wajah dan mengurangi penularan trachoma
telah dilaporkan dalam penelitian lain. Skala besar uji coba secara acak yang
dilakukan di Tanzania dengan tujuan menggalakkan cuci muka menunjukkan
bahwa anak-anak dengan wajah bersih berisiko lebih rendah mengalami trachoma
inflamasi yang parah (TI). Tidak tersedianya air untuk kebersihan wajah dan
personal hygiene menurut hasil penelitian saat ini merupakan faktor penyumbang
penularan trakoma.
Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa masyarakat harus berjalan
jauh untuk mencari air dan sangat bergantung pada curah hujan untuk pasokan air.
Studi sebelumnya di komunitas penggembala di Turkana wilayah Kenya, Gambia
dan Tanzania Utara melaporkan keluarga besar sebagai faktor risiko utama dalam
penularan trakoma. Hal ini terkait dengan jumlah air yang tersedia untuk setiap
anggota keluarga setiap hari. Jarak ke sumber air yang jauh, kurang, tidak
memadai jumlah air yang digunakan per keluarga untuk membersihkan,
kurangnya jamban dan perilaku dan praktik kebersihan yang buruk dilaporkan
menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat penularan
trachoma. Hasil serupa telah dilaporkan di Tanzania Utara yang menunjukkan
bahwa jarak jauh ke sumber air, kurang dan tidak memadai jumlah air yang
digunakan dan praktik kebersihan yang buruk adalah faktor utama yang
berkontribusi terhadap tingkat penularan trachoma. Tinjauan kritis terhadap
strategi SAFE untuk pencegahan trachoma yang membutakan menyimpulkan
bahwa antara lain, meningkatkan suplai dan kualitas air, dan memberikan
pendidikan kesehatan akan membantu memutus penularan trachoma.
Tentang praktik membuang kotoran anak kecil, hasil studi menunjukkan
bahwa anggota masyarakat membuang kotoran anak-anak di semak-semak
terdekat atau meninggalkannya di ladang untuk dimakan anjing. Hanya minoritas
dari masyarakat modern membuang kotoran anak-anak di jamban. Ini merupakan
indikasi bahwa lingkungan terkontaminasi dan dengan demikian merupakan
reservoir yang baik untuk berkembang biak lalat. Hasil studi saat ini menunjukkan
bahwa praktik penggunaan jamban mungkin terbatas karena kepercayaan dan
persepsi sosial budaya yang menghambat penggunaan toilet oleh semua anggota
keluarga. Menantu perempuan tidak nyaman menggunakan jamban yang sama
dengan mertuanya laki-lakinya dan percaya bahwa berbagi ruangan adalah hal
yang tabu yang mengatakan bahwa setiap jenis kelamin diminta untuk memiliki
bilik sendiri. Membangun bilik kakus terpisah menurut jenis kelamin atau usia
terhitung mahal untuk komunitas seperti ini dan umumnya sebagian besar
masyarakat lebih suka menggunakan semak-semak jika tidak ada bilik terpisah
daripada berbagi kakus. Keyakinan ini berkontribusi pada kontaminasi lingkungan
yang menyebabkan infeksi trakoma karena menjadi daya tarik lalat. Sebuah studi
yang dilakukan di Ayod County, Sudan, menyoroti pentingnya masyarakat
berperilaku pembuangan kotoran manusia yang benar untuk mengurangi
penularan trachoma. Sebuah uji coba terkontrol secara acak memeriksa
penggunaan jamban menunjukkan bahwa penyediaan jamban dan sangat
penggunaan yang tinggi mengakibatkan penurunan lalat di wajah, dan penurunan
prevalensi trachoma. Jamban hanya akan memperbaiki lingkungan sanitasi jika
dapat diterima dan digunakan secara konsisten oleh sebagian besar masyarakat.
Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan bahwa penyediaan jamban harus
sesuai dengan apa yang sudah ada dan dapat diterima di masyarakat.
Karena rentan terhadap infeksi trakoma, hasil penelitian saat ini
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sadar bahwa anak kecil dan ibu
paling berisiko terkena infeksi trakoma dan berhubungan dengan kebersihan yang
buruk. Beberapa anggota masyarakat memiliki persepsi bahwa wanita yang
menghabiskan waktu di ruangan berasap lebih berisiko terinfeksi. Cromwella dkk.
melaporkan risiko trikiasis yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan
laki-laki, sehingga mendukung pendapat bahwa perempuan memiliki risiko
trikiasis yang lebih besar. Demikian pula hasil studi yang dilakukan di Gambia
dan Tanzania menyimpulkan bahwa kurangnya komunitas berhubungan
childhood active infection dan kebutaan diinduksi trikiasis pada dewasa
merupakan hambatan utama untuk implementasi SAFE. Hasil penelitian saat ini
telah menunjukkan lebih lanjut bahwa beberapa anggota masyarakat memiliki
persepsi yang salah bahwa klan Imolelian yang mewarisi penyakit ini dari nenek
moyang mereka yang lebih berisiko terkena trachoma. Demikian pula dengan
peserta dari pedesaan dalam penelitian ini yang dilakukan di Guinea Bissau juga
mengungkapkan keyakinannya bahwa penyakit mata berasal dari pulau lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Narok memiliki persepsi
yang buruk tentang obat yang didistribusikan selama MDA karena efek
sampingnya seperti: muntah, diare, pusing dan malaise dan menunjukkan
perlunya penciptaan kesadaran tentang potensi efek samping. Pentingnya
menghabiskan lebih banyak waktu untuk pelatihan petugas kesehatan masyarakat
tentang efek samping azitromisin dan bagaimana membimbing masyarakat yang
akan menerima obat telah digarisbawahi dalam studi percontohan yang dilakukan
di Ghana. Selain itu, temuan penelitian tentang motivasi distributor obat dalam
Program Eliminasi Filariasis Limfatik di Kenya menyerukan upaya gabungan oleh
petugas kesehatan, pemerintah setempat dan media massa dalam menciptakan
kesadaran tentang MDA dan potensi efek samping terkait. Di satu sisi, hasil
penelitian saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota masyarakat lebih
suka menggunakan salep mata tetrasiklin untuk pengobatan trachoma karena
langsung pada mata di mana penyakit itu terjadi. Di sisi lain hasilnya juga
menunjukkan bahwa anggota masyarakat lebih suka menelan azitromisin karena
ini dilakukan hanya sekali setiap tahun dan memiliki persepsi bahwa obat tablet
juga membersihkan semua infeksi lainnya. Umumnya, ada anggota komunitas
yang memiliki preferensi untuk menelan antibiotik dan ada yang lebih suka
menggunakan salep mata tetrasiklin untuk pengobatan trachoma. Uji coba
terkontrol secara acak telah menunjukkan bahwa kedua pengobatan tersebut sama-
sama berkhasiat, azitromisin menjadi lebih efektif dalam penggunaan operasional.
Tetrasiklin hampir tersedia secara universal tetapi lamanya administrasi dan
kesulitan atau ketidaknyamanan dalam aplikasi memiliki hasil kepatuhan yang
buruk. Azitromisin di sisi lain yang aktif terhadap C. trachomatis ekstra-okular
dan ditoleransi dengan baik oleh orang dewasa dan anak-anak dan mencapai
kepatuhan yang baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun beberapa anggota
masyarakat telah menjalani operasi trikiasis yang berhasil, ketakutan kehilangan
penglihatan menjadi penghalang untuk operasi di antara mereka yang tidak
menjalani operasi. Pasien dengan trikiasis tidak menjalani operasi karena mereka
melaporkan mengetahui orang-orang yang kehilangan penglihatan setelah
menjalani operasi. Sebuah studi yang dilakukan di Ethiopia merekomendasikan
bahwa pasien yang memiliki hasil positif mengenai pengalaman operasi bisa
menjadi juru kampanye yang baik di memotivasi anggota masyarakat lainnya
dengan trikiasis untuk menjalani operasi.

Kesimpulan
Pendidikan kesehatan dan kegiatan promosi untuk penciptaan kesadaran
dengan tujuan mengubah persepsi dan praktik budaya yang berkontribusi terhadap
transmisi trakoma perlu diberikan kepada masyarakat. Sensitisasi komunitas
selama MDA penting agar masyarakat dapat memahami manfaat mendapat
azitromisin dan mengapa salep mata tetrasiklin harus menjadi pilihan untuk anak
kecil dan ibu hamil. Masyarakat perlu didorong untuk membangun dan
memanfaatkan jamban untuk pembuangan limbah mnusia dan Pemerintah
Kabupaten Narok harus mempertimbangkan menyediakan air untuk
mempromosikan praktik kebersihan yang akan membantu mengendalikan
penularan trakoma.

Keterbatasan penelitian
Penelitian ini murni studi kualitatif dan tujuannya adalah untuk
mengeksplorasi dan menggambarkan pengetahuan, praktik dan persepsi infeksi
trachoma dan kontrol di antara peserta studi yang dipilih secara seleksi. Hasil
tidak dapat digeneralisasikan karena ukuran sampel penelitian kualitatif tidak
representatif tetapi dapat digunakan untuk membangun teori melalui hipotesis
tentatif.

TRACHOMA

I. Definisi
Jurnal:
Trachoma adalah Neglected Tropical Disease (NTD) yang sampai saat ini
merupakan penyebab infeksi utama kebutaan di dunia dan disebabkan oleh bakteri
Klamidia trachomatis. Biasanya ditemukan di komunitas dengan kebersihan yang
buruk dan menghilang secara spontan dengan peningkatan status sosial ekonomi
masyarakat. Gaya hidup dan budaya diketahui mempengaruhi terjadinya trakoma
dan penyakit mata lainnya.

Teori 1:
Trakoma adalah suatu bentuk keratokonjungtivitis kronis yang disebabkan
oleh infeksi bakteri Chlamydia trachomatis. Trachoma merupakan penyakit
infeksi yang dapat menyebabkan kebutaan bagi penderitanya. Penyakit ini
disebabkan oleh tersebarnya bakteri Chlamydia trachomatis di tempat-tempat
yang kualitas sanitasinya buruk dan kualitas air yang tidak adekuat. Bakteri-
bakteri ini kemudian tersentuh oleh tangan manusia, menempel di tubuh lalat, atau
tempat-tempat lain yang nantinya mengontaminasi mata orang yang sehat. Infeksi
oleh bakteri ini dapat menyebabkan munculnya jaringan parut pada kornea mata.
Pada awalnya, terbentuk reaksi infeksi inflamasi pada bagian kelopak atas. Reaksi
ini lama-kelamaan membuat kelopak mata mengerut dan menyempit. Kelopak
yang membentuk jaringan parut ini lama-kelamaan semakin ke dalam hingga pada
akhirnya menutupi kornea. Ketika kornea tertutupi jaringan parut maka si
penderita mulai mengalami kebutaan. Dalam setiap kedipan mata, bulu mata akan
menggaruk kornea dan membuat penderita menderita. Kondisi ini disebut
trichiasis.
Teori 2:
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang di
sebabkan oleh trachomatis. Penyakit ini dapat mengenai segala umur tapi lebih
banyak diemukan pada orang muda dan anak–anak. Daerah yang banyak terkena
adalah di Semenanjung Balkan. Ras yang banyak terkena banyak ditemukan pada
ras Yahudi, penduduk asli Australia dan Indian Amerika atau daerah dengan
higiene yang kurang. Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung
dengan secret penderita trachoma atau melalui alat–alat kebutuhan sehari–hari
seperti handuk, alat–alat kecantintikan dan lain–lain masa inkubasi rata–rata 7 hari
(berkisar dari 5 sampai 14 hari).
II. ETIOLOGI
Jurnal:
Sebagian besar peserta di semua FGD telah mendengar tentang trachoma
dan menyadari bahwa itu adalah penyakit mata yang disebabkan oleh sanitasi dan
kebersihan yang buruk dan seperempat peserta FGD dapat menunjukkan bahwa
trakoma dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui berbagi air mandi,
baskom dan handuk. Laki-laki dewasa: sebagian besar peserta menyatakan bahwa:
“Ya, kami pernah mendengarnya; ini disebabkan oleh debu dan sanitasi yang
buruk, kebersihan yang buruk juga dengan berbagi pakaian dan baskom dan
dengan lalat.”
Semua 12 pemimpin opini menyadari bahwa trachoma adalah penyakit
mata yang menyebabkan kebutaan dengan sebelas menunjukkan bahwa itu adalah
penyakit menular yang ditularkan oleh lalat dan disebabkan oleh kebersihan yang
buruk, tidak mencuci muka dan tangan, berbagi air, baskom dan handuk, kotoran
dan debu. Hanya satu responden, seorang petani berusia 38 tahun yang
menyatakan bahwa trakoma hanyalah penyakit dari Tuhan dan tidak menular.
Hanya dua orang dengan trikiasis yang sadar bahwa itu adalah penyakit yang
disebabkan oleh kotoran dan ditularkan oleh lalat sedangkan 3 sisanya
menunjukkan bahwa mereka memiliki tidak tahu apa penyebab masalah mereka.
Perempuan 65 tahun mengatakan bahwa: “Saya benar-benar tidak tahu tetapi saya
pikir itu disebabkan oleh asap dan juga jerawat di mata saya.”
Selanjutnya, dua orang yang telah menjalani operasi trikiasis menyatakan
bahwa trakoma disebabkan oleh asap dan usia tua dengan satu orang mengatakan
bahwa penyakit ini diturunkan sementara 4 orang menyebutkan bahwa mereka
tidak mengetahui penyebabnya. Satu responden lebih lanjut menyatakan bahwa
seorang petugas kesehatan masyarakat telah memberitahunya bahwa penyakit
tersebut disebabkan oleh lalat. Perempuan 45 tahun menyatakan bahwa: “Saya
percaya itu karena dapur berasap yang kami gunakan untuk memasak makanan
kami. Saya juga percaya itu disebabkan oleh mewarisinya dari orang tua kita
karena ibuku juga memilikinya.”
Sebagian besar peserta di semua FGD sadar bahwa kandang hewan
peliharaan mereka harus berada diluar rumah akan membantu mencegah
trachoma. Di dalam FGD05, mayoritas pemuda, peserta setuju bahwa: “Ya kami
tahu itu adalah penyakit yang mempengaruhi mata, sanitasi yang buruk
berkontribusi terhadap penularannya, lalat yang adalah hasil dari hewan di dekat
rumah juga berkontribusi pada penularan penyakit.”
Hasil penelitian saat ini telah menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat
menyadari bahwa trachoma adalah penyakit mata yang ditularkan oleh lalat
karena higiene dan sanitasi yang buruk. Namun, ada anggota komunitas yang
tidak mengaitkan lalat terhadap infeksi trakoma dan bahkan menganggapnya
sebagai tanda berkah, kekayaan dan curah hujan. Kehadiran lalat sebagai faktor
risiko aktif untuk trachoma telah didokumentasikan sebelumnya oleh beberapa
penelitian.

Teori:
Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba dan C.
Masing- masing serotipe ditemukan di tempat dan komunitas yang berbeda beda.
Chlamydia adalah gram negatif, yang berbiak intraseluler. Spesies C trachomatis
menyebabkan trakoma dan infeksi kelamin (serotipe D-K) dan limfogranuloma
venerum (serotipe L1-L3). Serotipe D-K biasanya menyebabkan konjungtivitis
folikular kronis yang secara klinis sulit dibedakan dengan trakoma, termasuk
konjungtivitis folikular dengan pannus, dan konjungtiva scar. Namun, serotipe
genital ini tidak memiliki siklus transmisi yang stabil dalam komunitas. Karena
itu, tidak terlibat dalam penyebab kebutaan karena trakoma.

III. FAKTOR RISIKO


Jurnal:
Tentang apakah ada beberapa orang di komunitas yang lebih berisiko
terkena infeksi trakoma daripada yang lain, semua pemimpin opini menunjukkan
bahwa ada adalah, dengan dua pertiga (n = 8) menyebutkan bahwa trakoma lebih
sering terjadi pada anak-anak dan setengahnya (n = 6) mengatakan bahwa hal itu
lebih umum di kalangan orang tua karena mereka tidak memperhatikan
kebersihan pribadi. Sepertiga (n = 4) dari para pemimpin opini menunjukkan
bahwa perempuan adalah yang paling terpengaruh karena mereka menghabiskan
waktu di rumah-rumah yang berasap dan tidak berventilasi. Hanya 1/6 (n = 2) dari
pemimpin opini yang mengatakan bahwa trachoma lebih sering terjadi pada
orang-orang klan Imolelian yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Laki-laki
38 tahun, petani, KII08 menyatakan bahwa: “Klan Imolelian adalah pemilik
sebenarnya dari trachoma tergantung pada tradisi kita.”
Selain itu, sebagian besar peserta dalam 11 FGD menunjukkan bahwa
anak-anak lebih berisiko terserang trachoma sementara di 10 FGD beberapa
peserta menunjukkan bahwa yang paling rentan adalah orang tua karena mereka
tidak memperhatikan kebersihan. Namun, dalam tiga perempat (n = 9) dari FGD,
beberapa peserta menunjukkan bahwa perempuan lebih berisiko terkena trachoma
karena mereka selalu berada di ruangan berasap.
Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
sadar bahwa anak kecil dan ibu paling berisiko terkena infeksi trakoma dan
berhubungan dengan kebersihan yang buruk. Beberapa anggota masyarakat
memiliki persepsi bahwa wanita yang menghabiskan waktu di ruangan berasap
lebih berisiko terinfeksi. Cromwella dkk. melaporkan risiko trikiasis yang lebih
tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki, sehingga mendukung pendapat
bahwa perempuan memiliki risiko trikiasis yang lebih besar. Demikian pula hasil
studi yang dilakukan di Gambia dan Tanzania menyimpulkan bahwa kurangnya
komunitas berhubungan childhood active infection dan kebutaan diinduksi
trikiasis pada dewasa merupakan hambatan utama untuk implementasi SAFE.
Hasil penelitian saat ini telah menunjukkan lebih lanjut bahwa beberapa anggota
masyarakat memiliki persepsi yang salah bahwa klan Imolelian yang mewarisi
penyakit ini dari nenek moyang mereka yang lebih berisiko terkena trachoma.
Demikian pula dengan peserta dari pedesaan dalam penelitian ini yang dilakukan
di Guinea Bissau juga mengungkapkan keyakinannya bahwa penyakit mata
berasal dari pulau lain.
Teori:
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit dan
persebarannya yang meluas. Beberapa diantaranya adalah:
1. Kualitas sanitasi dan air
2. Personal hygiene
3. Kemiskinan
4. Kepadatan penduduk
Faktor utama yang mempengaruhi persebaran penyakit adalah kualitas
sanitasi dan personal hygene manusia. Hal ini karena penyakit ini sebagian besar
ditularkan lewat pajanan manusia-manusia atau lewat lalat sebagai vektor.
Seseorang penderita trachoma memiliki peluang sangat besar dalam menularkan
penyakit ini. Ketika ada salah satu bagian tubuhnya, tisu, atau sapu tangan yang
digunakan untuk menyapu matanya maka pada saat itu juga bakteri berpindah dari
sumber (mata penderita) ke media perantara (tangan, tisu, sapu tangan). Ketika
ada orang yang bersalaman dengan tangan yang telah mengandung bakteri
chlamidia kemudian dia menggunakannya untuk mengucek matanya padahal dia
belum mencuci tangannya maka pada saat itu juga penyakit mulai menyebar.
Lingkungan yang sanitasinya tidak terjaga memungkinkan lalat untuk
berkembang biak dengan baik. Lalat dapat menjadi vektor trachoma. Lalat dapat
hinggap di mata penderita. Agen yang menempel di tubuh lalat akan dibawanya
ke tempat lain, misalnya tempat penampungan air, tangan orang yang sehat, atau
bahkan langsung hinggap di mata orang yang sehat. Agen kemudian tersentuh
oleh tangan orang sehat. Jika orang tersebut personal hygienenya kurang terjaga
maka ia akan menggunakan tangannya yang tadinya dihinggapi lalat dan
mengucek matanya. Pada saat itu agen mulai tersebar di orang yang baru. Hal
yang sama akan terjadi lewat tisu atau saputangan yang terpajan, air, dan
sebagainya.

IV. Gambaran Klinis42,43


Jurnal :
Mayoritas peserta di semua FGD sadar tanda-tanda trachoma seperti mata
berair, mata merah dengan gumpalan putih di sudut mata, mata gatal dengan bulu
mata melengkung ke dalam dan menggosok mata.
Setengah (n = 6) dari informan kunci menyadari tanda-tanda infeksi trakoma
seperti: mata berair, gatal, dan merah dengan bulu mata bergesekan bola mata.
KII01, seorang guru laki-laki berusia 31 tahun menyatakan bahwa: “Tanda-tanda
trachoma adalah mata berair, menggosok mata, bulu mata dan mata cekung; itu
disebabkan oleh kekotoran dan lalat. Itu ditularkan melalui berbagi pakaian dan
handuk."
Mayoritas peserta di semua FGD lebih lanjut menunjukkan bahwa seseorang
dengan trachoma biasanya mengalami rasa sakit yang parah. Di FGD07, wanita
dewasa, satu peserta menyatakan: “Mata selalu gatal dan terasa sakit, ada
kemerahan di mata dan sangat berair, bola mata berubah warna, ada banyak
keluarnya cairan dari mata.”

Teori :
Mac Callan, mengklasifikasikan trakhoma berdasarkan gambaran klinisnya,
menjadi 4 stadium yaitu:
Stadium I
Disebut sebagai stadium insipien atau stadium permulaaan. Pada tarsus superior
terlihat hipertrofi papil dan folikel folikel yang belum masak.
Stadium II
Stadium ini disebut stadium established atau stadium nyata. Didapatkan folikel
folikel dan papil pada tarsus superior. Stadium ini dibagi lagi menjadi dua yaitu
IIA dan IIB.

Stadium IIA
Pada tarsus superior terdapat hipertrofi papil dan folikel folikel yang sudah
mature.
Stadium IIB
Pada tarsus superior terlihat lebih banyak hipertrofi papil dan menu-tupi folikel
folikel.
Stadium III
Disini mulai terbentuk jaringan parut atau sikatrik pada konjungtiva tarsal
superior yang berupa garis putih halus. Pada stadium ini masih dijumpai adanya
folikel pada konjungtiva tarsal superior dan tampak pannus yang masih aktif.
Stadium IV
Disebut juga trakhoma sembuh. Pada stadium ini pada konjungtiva tarsal superior
tidak ditemukan lagi folikel, yang ada hanya sikatrik dan pannus yang tidak aktif
lagi. Pada stadium ini mungkin juga ditemukan penyulit penyulit dari trakhoma.

Klasifikasi lain Trachoma, yaitu dari World Health Organization (WHO):


1. Trachomatous inflamation follicular (TF) : tampak adanya lima atau lebih
follikel pada konjungtiva tarsal superior. Follikel follikel menonjol bulat
dan tampak lebih pucat dari konjungtiva sekitarnya
2. Trachomatous inflamation intense (TI) : terjadi penebalan konjungtiva
tarsal akibat proses keradangan. Konjungtiva tarsal tampak lebih merah,
kasar dan menebal serta banyak terdapat follikel.
3. Trachomatous scarring (TS) : tampak adanya jaringan parut (sikatrik pada
konjungtiva tarsal).
4. Trachomatous Trichiasis (TT) : minimal terdapat satu bulu mata yang
menggores bola mata.
5. Corneal opacitiy (CO) : kekeruhan kornea yang sangat jelas sampai
mencapai pupil.

VI . Penatalaksanaan & Pencegahan42,43


Jurnal:
Mengenai cara anggota masyarakat mengobati infeksi trachoma, hanya
dalam satu FGD dimana mayoritas peserta menunjukkan bahwa meminum
antibiotik yang dibagikan oleh Tenaga Kesehatan Masyarakat (CHWs) adalah
pengobatan yang digunakan untuk trachoma. Tiga seperempat (n = 9) dari para
pemimpin opini lebih lanjut menunjukkan bahwa anggota masyarakat
menggunakan obat/antibiotik yang diberikan setiap tahun dan juga mengunjungi
rumah sakit untuk pengobatan.
Tentang apakah anggota komunitas mencuci muka anak-anak mereka,
mayoritas peserta dalam setengah dari FGD menunjukkan bahwa anggota
masyarakat mencuci wajah anak-anak setiap pagi sebelum mereka pergi ke
sekolah tetapi anak-anak harus berbagi air, baskom dan handuk. Dalam FGD04,
laki-laki dewasa, peserta menyatakan bahwa: “Ya mereka mencuci wajah, tetapi
harus berbagi air dan baskom, mereka juga berbagi handuk.”
Persepsi terhadap obat yang didistribusikan setiap tahun untuk trachoma,
sebagian besar peserta di 11 FGD menunjukkan bahwa obat itu baik dan memiliki
membantu meningkatkan kesehatan masyarakat secara umum dan bahwa
distribusi harus terus dilakukan setiap tahun. Namun, dalam setengah (n = 6) dari
FGD mayoritas peserta mengatakan bahwa obat tersebut menyebabkan efek
samping seperti muntah dan diare.
Itu hanya dalam satu FGD di mana besar mayoritas peserta menyatakan
bahwa obat-obatan tersebut tidak baik sama sekali. Dalam FGD12 di antara
wanita dewasa, salah satu peserta menyatakan bahwa: “Obat memiliki efek yang
tidak bagus sama sekali, menyebabkan muntah dan sakit perut, ganti obat jika
bisa.”
Mengenai preferensi salep mata tetrasiklin atau antibiotik oral, sebagian
besar peserta dalam 7 FGD menunjukkan bahwa mereka lebih suka antibiotik oral
karena juga dapat melawan penyakit lain di tubuh dan seseorang diharuskan
menelan hanya sekali dalam setahun. Namun dalam tiga perempat dari FGD,
mayoritas dari peserta menyatakan bahwa salep mata lebih disukai karena dapat
diletakkan langsung pada mata yang terinfeksi, bahwa salep tidak ada efek
samping dan itu bagus untuk menghilangkan semua kotoran mata dan di pagi hari
mata dapat melihat dengan lebih tajam.
Teori:
Strategi “SAFE” untuk manajemen trakoma yang didukung oleh WHO dan
lembaga lainnya meliputi Bedah untuk trikiasis, Antibiotik untuk penyakit aktif,
Kebersihan wajah dan Perbaikan lingkungan.
Antibiotik harus diberikan kepada mereka yang terkena dampak dan semua
anggota keluarga. Pemberian antibiotik tunggal tidak selalu efektif dalam
menghilangkan infeksi pada individu, dan masyarakat mungkin perlu menerima
pengobatan tahunan untuk menekan infeksi.
 Dosis tunggal azitromisin (20 mg/kg hingga 1 g) adalah pengobatan
pilihan
 Eritromisin 500 mg dua kali sehari selama 14 hari atau doksisiklin
100 mg dua kali sehari selama 10 hari (tetrasiklin relatif
dikontraindikasikan pada kehamilan/menyusui dan pada anak di
bawah 12 tahun).
 Salep tetrasiklin 1% topikal kurang efektif dibandingkan pengobatan
oral.
 Kebersihan wajah adalah tindakan pencegahan yang penting.
 Perbaikan lingkungan, seperti akses yang memadai
 air dan sanitasi, serta pengendalian lalat, adalah tindakan pencegahan
penting.
 Pembedahan ditujukan untuk menghilangkan entropion dan trikiasis
dan mempertahankan penutupan kelopak mata yang lengkap, terutama
dengan rotasi tarsal bilamelar.

GRADING TRAKOMA: Pembagian menurut Mc Callan


Stadium Nama Gejala
Stadium I Trakoma Insipien Folikel imatur, hipertrofi papilar minimal
Stadium II Trakoma Folikel matur pada dataran tarsal atas
Stadim IIA Dengan hipertrofi Keratitis, folikel limbus
papilar yang
menonjol
Stadium IIB Dengan hipertrofi Aktivitas kuat dengan folikel matur
folikular yang tertimbun di bawah hipertrofi papilar yang
menonjol hebat
Stadium III Trakoma sikatrik Parut pada konjungtiva tarsal atas,
permulaan trikiasis dan entropion
Stadium IV Trakoma sembuh Tak aktif, tak ada hipertrofi papillar atau
folikular, parut dalam bermacam derajat
deviasi

1. Stadium insipien.
2. Stadium established ( dibedakan atas dua bentuk )
3. Stadioum parut
4. Stadium sembuh.
Stadium 1 (hiperplasi limfoid) : Terdapat hipertropi papil dengan folikel
yang kecil – kecil pada konjungtiva tartus superior, yang memperlihattkan
penebalan dan kongesti pada pembuluh darah konjungtiva. Secret yang sedikit
dan jernih bila tidak ada infeksi sekunder. Kelainan kornea sukar diteukan tetapi
kadang –kadang dapat ditemukan neovaskularisasi dan keratitis epitelial ringan.
Stadium 2 : Terdapat hipertrofi papiler dan polikel yang matang  ( besar )
pada konjujngtiva tartus superior.pada stadium ini dapat ditemukan pannus
Trachoma yang jelas. Terdapat hipertrofi papil yang berat yang seolah – olah
mengalahkan gambaran folikel pada konjungtiva superior. Pannus adlah
pembuluh darah yang terletak didaerah limbus atas dengan infiltrate.
Stadium 3 : terdapat parut pada konjungtiva tartus suprrior yang terlihat
sebagai garis putih yang halus sejajar dengan margo palpebra. Parut folikel pada
limbus kornea disebut cekungan  Herbert. Gambaran papil mulai berkurang .
Stadium 4 : Suatu pembentukan parut yang sempurna pada konjungtiva yang
dapat menyebabkan perubahan bentuk pada tartus yang menyebabkan enteropion
dan trikiasis.
Pembagaian menurut WHO Simplified Trachoma Grading Scheme
1. Trakoma Folikular (TF)

 Trakoma dengan adanya 5 atau lebih folikel dengan diameter 0,5 mm di


daerah sentral konjungtiva tarsal superior
 Bentuk ini umumnya ditemukan pada anak-anak, dengan prevalensi
puncak pada 3-5 tahun
2. Trakoma Inflamasi berat (TI)

 Ditandai konjungtiva tarsal superior yang menebal dan pertumbuhan


vaskular tarsal.
 Papil terlihat dengan pemeriksaan slit lamp.
3. Sikatrik Trakoma (TS)

 Ditandai dengan adanya sikatrik yang mudah terlihat pada konjungtiva


tarsal.
 Memiliki resiko trikiasis ke depannya, semakin banyak sikatrik semakin
besar resiko terjadinya trikiasis.
4. Trikiasis (TT)

 Ditandai dengan adanya bulu mata yang mengarah ke bola mata.


 Potensial untuk menyebabkan opasitas kornea
5. Opasitas Kornea (CO)

 Ditandai dengan kekeruhan kornea yang terlihat di atas pupil.


 Kekeruhan kornea menandakan prevalensi gangguan visus atau kebutaan
akibat trakoma

KOMPLIKASI & SEKUELE


Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma
dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus
kelenjar lakrimal. Hal ini mengurangi komponen akueosa dalam film air mata
prakornea secara drastis, dan komponen mukosanya mungkin berkurang karena
hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebrae
superior berupa membaliknya bulu mata kedalam (trikiasis) atau seluruh tepian
palpebrae (entropion) sehingga bulu mata terus menerus mengggesek kornea.
Kondisi ini sering mengakibatkan ulcerasi kornea, infeksi bacterial kornea, dan
parut kornea. Ptosis, obstruksi ductus nasolacrimalis, dan dakriosistitis adalah
komplikasi trakoma lainnya yang sering dijumpai.

PENATALAKSANAAN
Kunci pentalaksanaan trakoma yang dikembangkan WHO adalah strategi
SAFE (Surgical care, Antibiotics, Facial cleanliness, Environmental
improvement).
1. Terapi antibiotik
WHO merekomendasikan dua antibiotik untuk trakoma yaitu azitromisisn oral
dan salep mata tetrasiklin.
 Azitromisin lebih baik dari tetrasiklin namun lebih mahal.
 Program pengontolan trakoma di beberapa negara terbantu dengan donasi
azitromisin.
 Konsentrasi azitromisin di plasma rendah, tapi konsentrasi di jaringan
tinggi, menguntungkan untuk mengatasi organisme intraselular.
 Azitromisin adalah drug of choice karena mudah diberikan dengan single
dose. Pemberiannya dapat langsung dipantau. Karena itu compliance nya
lebih tinggi dibanding tetrasiklin.
 Azitromisin memiliki efikasi yang tinggi dan kejadian efek samping yang
rendah. Ketika efek samping muncul, biasanya ringan; gangguan GI dan
rash adalah efek samping yang paling sering.
 Infeksi Chlamydia trachomatis biasanya terdapat juga di nasofaring, maka
bisa terjadi reinfeksi bila hanya diberi antibiotik topikal.
 Keuntungan lain pemberian azitromisin termasuk mengobati infeksi di
genital, sistem respirasi, dan kulit.
 Resistensi C. trachomatis terhadap azitromisin dan tetrasiklin belum
dikemukakan.
 Azitromisin : dewasa 1gr per oral sehari; anak anak 20 mg/kgBB per oral
sehari
 Salep tetrasiklin 1% : mencegah sintesis bakteri protein dengan binding
dengan unit ribosom 30S dan 50S. Gunakan bila azitromisin tidak ada.
Efek samping sistemik minimal. Gunakan di kedua mata selama 6 minggu
2. Tindakan bedah
 Pembedahan kelopak mata untuk memperbaiki trikiasis sangat penting
pada penderita dengan trikiasis, yang memiliki resiko tinggi terhadap
gangguan visus dan penglihatan.
 Rotasi kelopak mata membatasi perlukaan kornea. Pada beberapa kasus,
dapat memperbaiki visus, karena merestorasi permukaan visual dan
pengurangan sekresi okular dan blefarospasme
3. Kebersihan wajah
 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kebersihan wajah pada anak-
anak menurunkan resiko dan juga keparahan dari trakoma aktif.
 Untuk mensukseskannya, pendidikan dan penyuluhan kesehatan harus
berbasis komunitas dan berkesinambungan
4. Peningkatan sanitasi lingkungan
 Penyuluhan peningkatan sanitasi rumah dan sumber air, dan pembuangan
feses manusia yang baik.
 Lalat yang bisa mentransmisikan trakoma bertelur di feses manusia yang
ada di permukaan tanah. Mengontrol populasi lalat dengan insektisida
cukup sulit.

Anda mungkin juga menyukai