Anda di halaman 1dari 49

KARAKTERISASI

MATERIAL
NANOSTRUKTUR
Kuliah 6 & 7_Tuty Emilia Agustina
4.1 Scanning Elektron Microscopy
(SEM)
SEM adalah
salah satu jenis
mikroskop
elektron yang
menggunakan
berkas
elektron untuk
menggambar
profil permukaan
benda
Contoh Peralatan SEM
Prinsip kerja SEM adalah
menembakkan
permukaan benda dengan
berkas elektron bernergi
tinggi seperti diilustrasikan
pada gambar.

Permukaan benda yang dikenai berkas akan memantulkan


kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder
ke segala arah. Tetapi ada satu arah di mana
berkas dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detektor di
dalam SEM mendeteksi elektron yang dipantulkan dan
menentukan lokasi berkas yang dipantulkan dengan intensitas
tertinggi. Arah tersebut memberi informasi profil
permukaan benda seperti seberapa landai dan ke mana arah
kemiringan.
Pada saat dilakukan pengamatan, lokasi permukaan benda
yang ditembak dengan berkas elektron di-scan ke seluruh area
daerah pengamatan. Kita dapat membatasi lokasi pengamatan
dengan melakukan zoom-in atau zoom-out.

Berdasarkan arah pantulan berkas pada berbagai titik


pengamatan maka profil permukaan benda dapat dibangun
menggunakan program pengolahan gambar yang ada dalam
komputer.

SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada mikroskop


optik. Hal ini disebabkan oleh panjang gelombang de Broglie
yang dimiliki elektron lebih pendek daripada gelombang optik.
Makin kecil panjang gelombang yang digunakan maka makin
tinggi resolusi mikroskop.
Panjang gelombang de Broglie elektron adalah :

dengan h konstanta Planck dan p adalah momentum elektron.


Momentum elektron dapat ditentukan dari energi kinetik
melalui hubungan :

dengan K energi kinetik elektron dan m adalah massanya.


Dalam SEM, berkas elektron keluar dari filamen panas lalu
dipercepat pada potensial tinggi V. Akibat percepatan tersebut,
akhirnya elektron memiliki energi kinetik
Dengan menggunakan dua persamaan terakhir, dapat
dituliskan momentum elektron sebagai

dengan demikian panjang de Broglie yang dimiliki elektron


adalah :

Umumnya tegangan yang digunakan pada SEM adalah


puluhan kilovolt. Sebagai ilutrasi, misalkan SEM dioperasikan
pada tegangan 20 kV maka panjang gelombang de Broglie
elektron sekitar 9 × 10-12 m.
• Syarat agar SEM dapat menghasilkan citra permukaan
yang tajam adalah permukaan benda harus bersifat
sebagai pemantul elektron atau dapat melepaskan
elektron sekunder ketika ditembak dengan berkas elektron.
Material yang memiliki sifat demikian adalah logam. Jika
permukaan logam diamati di bawah SEM maka profil
permukaan akan tampak dengan jelas. Bagaimana dengan
material bukan logam seperti isolator ?
• Agar profil permukaan bukan logam dapat diamati dengan
jelas dengan SEM maka permukaan material tersebut
harus dilapisi dengan logam seperti diilustrasikan pada
gambar. Film tipis logam dibuat pada permukaan material
tersebut sehingga dapat memantulkan berkas elektron.
Metode pelapisan yang umumnya dilakukan adalah
evaporasi dan sputtering.
• Pada metode evaporasi,
material yang akan diamati
permukaanya ditempatkan
dalam satu ruang (chamber)
dengan logam pelapis. Ruang
tersebut dapat divakumkan dan
logam pelapis dapat
dipanaskan hingga mendekati
titik leleh. Logam pelapis
diletakkan di atas filamen
pemanas. Atom-atom menguap
pada permukaan logam. Ketika
sampai pada permukaan
material yang memiliki suhu
lebih renda, atom-atom logam
terkondensasi dan membetuk
lapisan film tipis di permukaan
material. Ketebalan lapisan
dapat dikontrol dengan
mengatur lama waktu
evaporasi. Logam pelapis yang
umum digunakan adalah emas.
• Prinsip kerja sputtering mirip
dengan evaporasi. Namun
sputtering dapat berlangsung
pada suhu rendah (suhu kamar).
Permukaan logam ditembak
dengan ion gas berenergi tinggi
sehingga terpental keluar dari
permukaan logam dan mengisi
ruang di dalam chamber. Ketika
mengenai permukaan sample,
atom-atom logam tersebut
memmebtuk fase padat dalam
bentuk film tipis. Ketebalan
lapisan dikontrol dengan
mengatur lama waktu sputtering
Foto SEM
sejumlah
sampel: (a)
partikel, (b)
nanotube,
dan (c)
partikel yang
terorganisasi
• Seperti pada Gbr.(a) tampak jelas bahwa ukuran partikel
yang dibuat tidak seragam, tetapi bervariasi. Pernyataan
selanjutnya adalah bagaimana menentukan distribusi
ukuran partikel ? Caranya sebagai berikut.
• Perhatikan, setiap foto SEM memiliki bar skala yang
panjangnya sudah tertentu. Bar tersebut menjadi acuan
penentuan ukuran partikel. Contohnya ada bar yang
tertulis panjangnya 0,5 μm. Jika diukur dengan penggaris
misalkan panjang bar tersebut adalah 1 cm maka 1 cm
pada gambar bersesuaian dengan panjang 0,5 μm ukuran
sebenarnya. Jika kita mengukur diameter partikel pada
gambar dengan menggunakan penggaris adalag 2,2 cm
maka diameter riil partikel tersebut adalah (2,2 cm/1 cm)
× 0,5 μm = 1,1 μm.
• Agar pengukuran dapat dilakukan dengan teliti maka foto
SEM difoto copy perbesar beberapa kali lipat seperti
ilustrasi pada gambar di bawah. Kita lakukan pengukuran
pada gambar hasil foto copy. Kita lakukan pengukuran
diameter ratusan partikel kemudian membuat tabulasi
misalkan seperti pada Tabel sbb :
Dari Tabel kita buatkan
diagram titik dengan
menggunakan sumbu
datar adalah titik tengah
jangkauan dan sumbu
vertical adalah jumlah
partikel. Diagram yang
kita peroleh tampak pada
gambar berikut :
Selanjutnya kita fiting
titik-titik pada diagram
dengan menggunakan
fungsi log-normal.
Contoh kurva tampak
pada gambar
disamping.
Dari nilai parameter kita
dapat menentukan
diameter rata-rata
partikel.
Gambar fitting hasil pengukuran
dengan fungsi distrubusi log-
normal
• SEM yang paling canggih pun yang ada
saat ini tidak sanggup mengamati ukuran
partikel dalam orde beberapa nanometer.
Bayangan jelas yang dapat diperoleh SEM
minimal hanya sekitar 50 nm. Gambar ini
pun biasanya diamati dengan field
emission SEM (FE-SEM). Di bawah ukuran
tersebut SEM memberikan bayangan yang
kabur
4.2 Transmission Electron Microscopy
(TEM)
• TEM adalah alat yang paling
teliti yang digunakan untuk
menentukan ukuran partikel
karena resolusinya yang sangat
tinggi. Partikel dengan ukuran
beberapa nanometer dapat
diamati dengan jelas
menggunakan TEM. Bahkan
dengan high resolution TEM
(HR-TEM) kita dapat
mengamati posisi atom-atom
dalam partikel.
• Prinsip kerja TEM sangat mirip dengan prinsip kerja
peralatan rontgen di rumah sakit. Pada peralatan rontgen,
gelombang sinar-X menembus bagian lunak tubuh
(daging) tetapi ditahan oleh bagian keras tubuh (tulang).
Film yang diletakkan di belakang tubuh hanya
menangkap berkas sinar-X yang lolos bagian lunak tubuh.
Akibatnya, film menghasilkan bayangan tulang.
• Pada TEM, sample yang sangat tipis ditembak dengan
berkas electron yang berenergi sangat tinggi (dipercepat
pada tegangan ratusan kV). Berkas electron dapat
menembus bagian yang “lunak” sample tetapi ditahan
oleh bagian keras sample (seperti partikel). Detektor yang
berada di belakang sample menangkap berkas electron
yang lolos dari bagian lunak sample. Akibatnya detector
menangkap bayangan yang bentuknya sama dengan
bentuk bagian keras sample (bentuk partikel).

contoh foto TEM


sample partikel
dan carbon
nanotube.
• Dengan menggunakan high resolution TEM (HR-TEM) kita
dapat menentukan lokasi atom-atom dalam sample seperti
tampak pada gambar di bawah.

Titik-titik pada gambar tersebut


adalah atom-atom penyusun
partikel. Dari citra tersebut maka
susunan kristal partikel dapat
ditentukan. Jika sample yang
diamati dengan TEM berbentuk
partikel maka distribusi ukuran
partikel dapat ditentukan dengan
cara yang sama dengan
menentukan distribusi ukuran
partikel hasil foto SEM seperti yang
diuraikan sebelumnya.
4.3 Atomic Force Microscopy (AFM)
AFM termasuk mikroskop
cangih yang sederhana
pengoperasiannya. Prinsip
kerja AFM juga sangat
sederhana dan dapat
dipahami hanya dengan
konsep-konsp fisika dasar.
AFM tidak memerlukan
system vakum, tegangan
tinggi, maupun fasilitas
pendingin seperti pada SEM
dan TEM.
• Perangkat utama sebuah AFM adalah sebuah tip yang
sangat tajam yang ditempatkan di ujung cantilever.
Cantilever beserta tip digerakan sepanjang permukaan
benda yang diamati. Dengan adanya tekstur permukaan
benda yang tidak rata maka selama mengerakkan tip
sudut kemiringan cantilever berubah-ubah. Perubahan
sudut tersebut memberikan informasi kedalaman tekstur
permukaan benda. Sudut yang dibentuk cantilever
ditentukan dengan mengarahkan berkas tipis sinar laser
ke arah cantilever dan sinar yang dipantulkan ditentukan
seperti diilustrasikan pada gambar.
Perubahan sudut cantilever menyebabkan perubahan arah
sinar pantul. Ke dua sudut tersebut berkaitan satu dengan
lainnya. Dengan kata lain, dengan mengetahui sudut sinar
pantul maka sudut cantlever dapat di ketahui, dan pada
akhirnya kedalaman tekstur permukaan benda dapat dketahui.
Sudut pantul sinar laser pada berbagai titik scan ditentukan.
Selanjutnya dengan program pengolahan citra yang ada dalam
computer, profil permukaan sample dapat dibangun.
• Contoh profil
permukaan
sample yang
diamati dengan
AFM. Sampel
berupa single
wall carbon
nanotube yang
ditempatkan di
atas substrat.
4.4 Karakterisasi Lebar Celah Pita Energi
• Lebar celah pita energi semikonduktor menentukan
sejumlah sifat fisis semikonduktor tersebut. Beberapa
besaran yang bergantung pada lebar celah pita energi
adalah mobilitas pembawa muatan dalam semikonduktor,
kerapatan pembawa muatan, spektrum absorpsi, dan
spectrum luminisensi. Ketika digunakan untuk membuat
divais mikroelektronik, lebar celah pita energi menentukan
tegangan cut off persambungan semikonduktor, arus yang
mengalir dalam devais, kebergantungan arus pada suhu,
dan sebagainya.
• Bagaimana cara menentukan lebar celah pita energi
dalam semikonduktor? Caranya adalah melalui
pengamatan spektrometri ultraviolet-visible (UV-Vis). Alat
yang digunakan adalah spectrometer UV-Vis. Bagaimana
metode ini bekerja?
• Contoh spectrometer UV-Vis

Dasar pemikiran
metode tersebut
cukup sederhana.
Jika material disinari
dengan gelombang
elektromagnetik
maka foton akan
diserap oleh
elektron dalam
material. Setelah
menyerap foton,
elektron akan
berusaha meloncat
ke tingkat energi
yang lebih tinggi.
• Berikut ilustrasi pita energi yang dimiliki material, khususnya
bahan semikonduktor. Jika elektron yang menyerap foton
mula-mula berada pada puncak pita valensi maka tingkat
energi terdekat yang dapat diloncati elektron adalah dasar
pita konduksi. Jarak ke dua tingkat energi tersebut sama
dengan lebar celah pita energi.

Gambar pita valensi, pita konduksi, dan celah energi bahan semikonduktor yang
digambar secara skematik (kiri) dan digambar dalam diagram energi-bilangan
gelombang (kanan)
Jika energi foton yang diberikan kurang dari lebar celah
pita energi maka elektron tidak sangggup meloncat ke
pita valensi. Elektron tetap berada pada pita valensi.
Dalam keadaan ini dikatakan elektron tidak menyerap
foton. Radiasi yang diberikan pada material diteruskan
melewati material (transmisi). Elektron baru akan
meloncat ke pita konduksi hanya jika energi foton yang
diberikan lebih besar daripada lebar celah pita energi.
Elektron menyerap energi foton tersebut. Dalam hal ini
kita katakan terjadi absorpsi gelombang oleh material.
Ketika kita mengubah-ubah frekuensi gelombang
elektromagnetik yang dijatuhkan ke material maka
energi gelombang di mana mulai terjadi penyerapan
oleh material bersesuaian dengan lebar celah pita
energi material.
Jika semikonduktor diradiase dengan EM dengan energi foton kurang dari lebar
celah energi maka elektron tidak sanggup meloncat ke pita konduksi (kiri).
Elektron dapat mencapai pita konduksi jika material diradiasi dengan gelombang
EM dengan energi foton lebih besar daripada lebar celah energi.
• Lebar celah pita energi semikonduktor umumnya lebih
dari 1 eV. Energi sebesar ini bersesuaian dengan panjang
gelombang dari cahaya tampak ke ultraviolet. Oleh sebab
itu pengamatan lebar celah pita energi semikonduktor
dilakukan dengan spektroskop UV-Vis.
4.5 Metode Scherrer
• TEM adalah alat yang sangat mahal, baik dari segi harga,
biaya operasional, maupun pemeliharaan. Bagaimana
kita menentukan ukuran partikel nano jika TEM tidak
tersedia?
• Ketiadaan TEM tidak menghalangi kita untuk menentukan
ukuran partikel nano meskipun dengan pendekatan yang
tidak terlalu akurat. Metode yang sering digunakan orang
sebagai alternatif adalah metode Scherrer. Ukuran
kristallin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak
difraksi sinar-X yang muncul. Gambar berikut adalah
contoh instrumen difraksi sinar-X.
Gambar Contoh peralatan difraksi sinar-X
Metode ini sebenarnya memprediksi ukuran kristallin dalam
material, bukan ukuran partikel. Jika satu partikel mengandung
sejumlah kritallites yang kecil-kecil, seperti diilustrasikan pada
Gambar (a), maka informasi yang diberikan metode Schrerrer
adalah ukuran kristallin tersebut, bukan ukuran partikel. Untuk
partikel berukuran nanometer, biasanya satu partikel hanya
mengandung satu kristallites, seperti diilustrasikan pada Gambar
(b). Dengan demikian, ukuran kristallinitas yang diprediksi
dengan metode Schreer juga merupakan ukuran partikel.

Gambar (a) satu partikel


mengandung sejumlah
kristallites dan (b) satu
partikel hanya mengandung
satu kristallites (kristal
tunggal)
Berdasarkan metode ini, makin
kecil ukuran kristallites maka
makin lebar puncak difraksi yang
dihasilkan, seperti diilustrasikan
pada gambar di samping. Kristal
yang berukuran besar dengan
satu orientasi menghasilkan
puncak difraksi yang mendekati
sebuah garis vertikal. Kristallites
yang sangat kecil menghasilkan
puncak difraksi yang sangat lebar.
Lebar puncak difraksi tersebut
memberikan informasi tentang
ukuran kristallites
• Mengapa kristallites yang kecil menghasilkan puncak yang
lebar? Penyebabnya karena kristallites yang kecil memiliki
bidang pantul sinar-X yang terbatas. Puncak difraksi dihasilkan
oleh interferensi secara konstruktif cahaya yang dipantulkan
oleh bidang-bidang kristal. Jumlah celah yang sangat banyak
identik dengan kirtallites yang ukuran besar. Karena difraksi
sinar-X pada dasarnya adalah interferensi oleh sejumlah
sumber maka kita dapat memprediksi hubungan antara lebar
pucak difraksi dengan ukuran kristallites berdasarkan
perumusan interferensi celah banyak.
• Hubungan antara ukuran ksirtallites dengan lebar puncal
difraksi sinar-X dapat diproksimasi dengan persamaan
Schrerer:
persamaan Schrerer :

Bentuk yang lebih umum lagi adalah menggunakan


parameter B bukan sebagai FWHM dari puncak difraksi,
tetampi menggunakan B dari persamaan Warren, yaitu
• Persamaan Warren :

Sekarang kita coba melihat aplikasi rumus ini untuk mencari


ukuran kristallin suatu sample. Pertama kita amati pola
difraksi sinar-X untuk sample tersebut pada jangkauan sudut
yang cukup luas (antara 0o sampai 90o).
Gambar berikut ini adalah contoh pola difraksi sinar-X
sample yttrium oksida (Y2O3) yang dibuat dengan
pemanasan dalam larutan polimer.
Difraksi sinar-
X untuk
partikel Y2O3

Berdasarkan foto SEM ukuran partikel beberapa ratus


nanometer. Kita ingin menentukan ukuran kristallin
sehingga kita dapat mengertahui apakah partikel tersebut
adalah single kristallin atau polikristallin. Kita melihat
sejumlah puncak difraksi. Dengan membandingkan dengan
referensi dalam powder diffraction file kita meyakini bahwa
material yang dibuat benar-benar merupakan Y2O3.
• Bagaimana menentukan ukuran kristallin. Yang pertama
yang dilakukan adalah menentukan FWHM. Untuk
maksud ini kita pilih satu puncak yang paling jelas. Di sini
kita memilih puncak yang lokasinya sekitar sudut 30o. Kita
gambar ulang pola difraksi hanya dengan melibatkan data
sekitar sudut 30o. Gambar berikut adalah pola difraksi
yang kita peroleh dengan mengambil jangkauan sudut
antara 28o sampai 30,5o.

Gbr difraksi sinar-X


pada jangkauan
sudut yang sangat
sempit, yaitu
sekitar puncak
yang berada pada
sudut antara 28,0o
sampai 30,5o
• Umumnya bentuk puncak difraksi dianggap memenuhi
fungsi Lorentzian. Dengan fiiiting Lorentzian
menggunakan software Origin Microcal, kita dapatkan
hasil seperti pada di bawah ini. Data yang diperoleh dari
fitting tersebut adalah luas kurva = 616,83, pusat kurva =
29,205o, FWHM = 0,72371o, offset = 391,91, dan tinggi =
542,60.

Fitting Lorentzian
untuk puncak
difraksi sekitar
sudut antara 28,0o
hingga 30,5o
• Yang terpenting bagi kita adalah data lokasi puncak dan lebar
puncak difraksi karena dapat tersebut yang akan digunakan
untuk memprediksi ukuran kristalling dengan menggunakan
persamaan Schreerer. Karena sumbu datar adalah sudut
dinyatakan dalam 2θ maka yang digunakan sebagai B adalah
setengahnya yaitu B = 0,72371o/2 = 0,361855o =
0,361855×π/180 rad = 0,006312 rad. Panjang gelombang
sinar-X yang digunakan dalam eksperimen adalah 0,1540598
nm. Dengan dmikian, perkiraan ukuran kristallin adalah
4.6 Metode BET
• Teori BET diperkenalkan tahun 1938 oleh Stephen
Brunauer, Paul Hugh Emmett, dan Edward Teller. BET
adalah singkatan dari nama ketiga ilmuwan tersebut.
Teori ini menjelaskan fenomena adsorpsi molekul gas di
permukaan zat padat (melekatnya molekul gas di
permukaan zat padat). Kuantitas molekul gas yang
diadsorsi sangat bergantung pada luas permukaan yang
dimiliki zat pada tersebut. Dengan demikian, secara tidak
langsung teori ini dapat dipergunakan untuk menentukan
luas permukaan zat padat.
• Jika zat padat berupa partikel-partikel maka luas
permukaan untuk zat padat dengan massa tertentu makin
besar jika ukuran partikel makuin kecil. Dengan
mendefinisikan luas permukaan spesifik sebagai
perbandingan luas total pemukaan zat padat terhadap
massanya maka luas permukaan spesifik makin besr jika
ukuran partikel makin kecil. Metode BET memberikan
informasi tentang luas permukaan spesifik zat padat.
Dengan demikian metode ini dapat digunakan untuk
memperkirakan ukuran rata-rata partikel zat padat. Untuk
material berpori, luas permukaan spesifik ditentukan oleh
porositas zat padat. Dengan demikian metode BET juga
dapat digunakan untuk menentukan porositas zat padat.
• Landasan utama teori BET adalah (a) molekul dapat
teradsoprsi pada permukaan zat padat hingga beberapa
lapis. Teori ini lebih umum dari teori adsorpsi satu lapis
molekul dari Langmuir. (b) Juga dianggap bahwa tidak
ada interaksi antar molekul gas yang teradsorpsi pada
permukaan zat padat.(c) Lalu, teori adsorpsi satu lapis
dari Langmuir dapat diterapkan untuk masing-masing
lapis gas. Dengan asumsi di atas, BET mendapatkan
persamaan umum yang menerangkan keadaan molekul
yang teradsorpsi pada permukaan zat padat sebagai
berikut :
A

B
• Plot BET adalah kurva dengan sumbu datar P/P dan
sumbu tegak 1/υ[(P /P)-1]. Kurva tersebut berbentuk garis
lurus seperti pada gambar di bawah.
• Dengan memperhatikan persamaan A, maka kemiringan
kurva sama dengan (c-1)/υmc, dan titik potong kurva
dengan sumbe tegak sama dengan 1/υmc. Dari dua nilai
tersebut kita dapat menentukan c dan υm.

Berdasarkan nilai υm maka


dapat dihitung luas
permukaan total sample yang
diukur, yaitu :
dengan m adalah massa sample. Sebagai contoh, karbon aktif
memilikin luas penampang adsorpsi untuk gas nitrogen pada
suhu nitrogen cair adalah 0,16 nm2. Luas pemukaan spesifiknya
mencapai 3000 m2/g.
4.7 Kolloid Logam dalam Insulator

• Jika fraksi volum kolloid cukup kecil, pola absorpsi dapat


diprediksi dari persamaan Doyle :
Gambar Tipikal kurva
absorpsi oleh logam

• Jika fraksi volum koloid cukup besar maka pola absorpsi


diberikan oleh persamaan Doremus

Arnold menunjukkan bahwa posisi maksimum puncak absorpsi merupakan


fungsi ukuran kolloid. Untuk kolloid yang sangat kecil, r ≤ 1 nm, posisi
maksimum spectrum bergeser ke gelombang panjang jika ukuran kolloid
makin kecil. Sebaliknya untuk kolloid yang berukuran besar, r ≥ 10 nm,
puncak absorpsi bergeser ke gelombang panjang jika ukuran kolloid makin
besar.

Anda mungkin juga menyukai