Makalah Ilmu Al-Qur'an

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ILMU AL-QUR’AN

“MUNASABAH AL-QUR’AN”

DISUSUN OLEH:

1. DARMA (10200121060)
2. ANDI MUH FATHIR (10200121061)
3. NURSARAH A. CONORAS (10200121062)
4. ANDI BASO ISRAM (10200121064)
5. MUH ZULKIFLI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PROGRAM STUDY HUKUM TATANEGARA
(SIYASAH SYARIYYAH)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT marilah senantiasa kita ucapkan atas limpahan rahmat dan
nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan kepada kami.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna berupa bahasa yang
indah.

Kami disini akhirnya dapat sangat bersyukur karena telah menyelesaikan tugas yang berjudul
“MUNASABAH AL-QUR’AN”
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber acuan nilai, sikap serta perilaku umat islam. Sebagi acuan
tentunya Al-Qur’an harus dipahami terlebih dahulu, baru kemudian diamalkan. Upaya pemahaman
Al-Qur’an tersebut dapat dilakukan berbagai cara, melalui ilmu asbab nuzul, munasabah, serta
lainnya.

Jika asbab nuzul mengaitkan satu atau sejumlah ayat dengan konteks sejarahnya, maka fokus
perhatian ilmu munasabah antar ayat dan surat bukan pada kronologi historis dari bagian-bagian teks,
tetapi aspek pertautan antar ayat dan surat menurut urutan teks. Bagi para mufassir, imu munasabah
lebih penting daripada ilmu asbab nuzu. Subhi as-salih mengatakan, wajar jika penjelasan tentang
munasabah didahulukan dari asbab nuzul, mengingat begitu banyak manfaat yang timbul dari imu
munasabah. Apalagi kaidah tafsir mengatakan, ukuran dalam memahami ayat adalah redaksinya yang
bersifat umum, bukan penyebab turunnya ayat yang bersifat khusus

Munasabah adalah ilmu yang baru dibandingkan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya. Tidak
banyak mufassir yang menggunakanilmu ini didalam kitab tafsir mereka, karena ilmu ini dipandang
sulit dan rumit. Selain itu, ilmu ini juga kurang diminati untuk dikembangkan.

Seorang muslim tidak dapat menghindarkan diri dari ketertarikannya dengan Al-Qur’an.
Seorang muslim mempelajari Al-Qur’an tidak hanya mencari kebenaran ilmiah, tetapi juga mencari
isi dan kandungan Al-Qur’an.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian munasabah?
2. Apa saja macam-macam munasabah?
3. Bagaimana cara mengetahui munasabah dan apa fungsinya?
4. Bagaimana pandangan ulama tentang munasabah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Munasabah
Munasabah secara etimologi, menurut as-suyuthi berarti al-musyakalah (keserupaan) dan
al-muqorobah (kedekatan). Istilah munasabah digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas,
dan berarti al-wasf al-mmukarrib li al-hukum (gambaran yang berhubungan dengan
hukum).
Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).

Menurut pengertian terminology munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut:

a. Menurut az-zarkasi:
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapka terhadap
akal, pasti akal itu akan menerimanya.
b. Menurut mana’ al-qatan.
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa beberapa ungkapan di dalam
satu ayat, atau antara ayat pada bebrapa ayat, atau antara surat (di dalam al-
qur’an).
c. Menurut ibnu Al-Arabi.
Munasabah adalah ketertarikan ayat-ayat al-qur’an sehingga seolah-olah
merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan
redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
d. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik
susunan atau urutan bagian-bagian al-qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat
dengan surat.
Jadi dalam konteks ulum al-qur’an, munasabah berarti menjelaskan korelasi
makna antara ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus
(rasional atau aqil), persepsi (hadist), atau imajinatif (khayali): atau korelasi
berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan dan perlawanan.

B. Macam-macam munasabah
Dalam al-qur’an sekurang-kurangnya terdapat 8 macam munasabah yaitu:
a) Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya As-syuyuti menyimpulkan
bahwa munasabah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi
menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya. Sebagai
contoh, dalam surah Al-fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulillah. Ungkapan itu
berkorelasi dengan surah Al-baqarah ayat 152 dan
ۡ ‫فَ ۡٱذك ُُرونِ ٓي أ َ ۡذك ُۡركُمۡ َو‬
ِ ‫ٱشك ُُرواْ ِلي َو ََل ت َ ۡكفُ ُر‬
186: ‫ون‬

Artinya : “karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat
kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari
nikmatKu” (Qs. Al-Baqarah: 152)

ِ َ ‫ٱختَلَفُواْ ِفي ۡٱل ِك َٰت‬


ِ ‫ب َل ِفي‬ ۡ َ‫ق َو ِإنَّ ٱلَّ ِذين‬ ۡ َ َ ‫َٰذَ ِلكَ ِبأَنَّ ٱللَّهَ نَ َّز َل ۡٱل ِك َٰت‬
ِ َ‫شق‬
‫اق َب ِعيد‬ ِ ‫ب ِبٱل َح‬

Artinya : “dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,


maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar
mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs. Al-Baqarah: 186)

Berkaitan dengan ilmu munasabah ini Nasr Abu Zaid menjelaskan


bahwa
hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat al-Baqarah merupakan hubungan
stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan
dengan isi dan kandungan.

b) Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya


Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin
pada namanya masing-masing.
Keserasian serupa itu merupakan pembahasan surat serta penjelasan menyangkut
tujuan surat tersebut. Sebagaimana diketahui surat kedua dalam Al-Qur’an diberi
nama al-Baqarah yang berarti lembu betina. Cerita tentang lembu betina yang
terdapat dalam surat itu pada hakikatnya menunjukkan kekuasaan Tuhan dalam
membangkitkan orang yang telah mati (tercantum dalam surat al-Baqarah)
67. dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah
kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang
jahil".
68. mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia
menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu".
69. mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia
menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang
kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."
70. mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia
menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena
Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya
Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."
71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula
untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya".
kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan
perintah itu[63].
[62] Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi ialah supaya hilang rasa
penghormatan mereka terhadap sapi yang pernah mereka sembah. [
63] Karena sapi yang menurut syarat yang disebutkan itu sukar diperoleh, hampir
mereka tidak dapat menemukannya. sehingga dengan demikian, tujuan dari al-
baqarah adalah menyangkut kekuasaan Tuhan kepada hari kemudian.

c) Munasabah antar bagian suatu ayat


Munasabah antar bagian suatu surat sering berbentuk korelasi Al-tadhadadh
(perlawanan) seperti yang terlihat pada surat Al-Hadid ayat 4 :
ُ ‫ض َو َما َي ۡخ ُر‬
ُ ِ ‫ش يَ ۡعلَ ُم َما يَ ِل ُج فِي ۡٱۡلَ ۡر‬ ِۖ ِ ‫علَى ۡٱل َع ۡر‬
َ ‫ٱست َ َو َٰى‬ ِ ‫ت َو ۡٱۡل َ ۡرضَ فِي‬
ۡ ‫ست َّ ِة أَيَّام ث ُ َّم‬ ِ ‫س َٰ َم َٰ َو‬ َ َ‫ه َُو ٱلَّذِي َخل‬
َّ ‫ق ٱل‬
‫ ُ ِفيه َِۖا َوه َُو َم َعكُمۡ أ َ ۡينَ َما كُنت ُۡۚۡم َوٱللَّهُ ِب َما ت َ ۡع َملُونَ َب ِصير‬
ُ ‫س َما ِٓء َو َما َي ۡع ُر‬
َّ ‫نز ُل ِمنَ ٱل‬ ِ ‫ِم ۡنهَا َو َما َي‬

Artinya:” Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy[1453] Dia mengetahui apa yang masuk
ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanyadan apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepada-Nya [1454]. dan Dia bersama kamu di mama saja
kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (al Hadid:4)

Antara kata “yaliju” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar), serta kata
“yanzilu” (turun) dengan kata “ya‟ruju” (naik) terdapat korelasi perlawanan. Kata
“bersemayam diatas „Arsy ialah satu sifat yang wajib kita imani sesuai dengan
kebesaran Allah dan kesucianNya. Dan yang dimaksud dengan “yang naik
kepadanya” antara lain adalah amal-amal dan do’a-do’a hamba.

d) Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan

Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas,


tetapi sering pula tida jelas. Munasabah antarayat yang terlihat dengan jelas
umumnya menggunakan pola ta‟kid (penguat), tafsir (penjelas), i‟tiradh
(bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antarayat yang menggunakan
ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau
bagian ayat yang terletak disampingnya.

٢ َ‫ب ْالعٰ لَ ِم ْي َۙنَ ْالعٰ لَ ِمي َْۙن‬


ِ ِّ ‫ ا َ ْل َح ْمدُ ِللّٰ ِه َر‬١ ‫الر ِحيْم‬ َّ ‫ِبس ِْم اللّٰ ِه‬
َّ ‫الرحْ مٰ ِن‬

Artinya : “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Qs Alfatihah 1-2)

Ungkapan “rabb al-alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “al-rahman” dan “ar-
rahim”dari ayat pertama. Munasabah antarayat menggunakan pola tafsir apabila satu ayat
atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat disampingnya.
Contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 2-3

٣ َ‫صلَ ٰوةَ َو ِم َّما َرزَ ْق ٰنَ ُه ْم يُن ِفقُون‬ َ َۛ ‫ذَ ِلََ ك ْٱل ِك ٰت َبُ ََل َري‬
ِ ‫ ٱلَّذِينَ يُؤْ ِمنُونَ بِ ْٱلغَ ْي‬٢ َ‫ْب فِي َۛ ِه ُهدًى ِلِّ ْل ُمتَّقِين‬
َّ ‫ب َويُ ِقي ُمونَ ٱل‬

Artinya : “kitab Al-Qur‟an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertakwa yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib yang
mendirikan sebagian rizqy yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Qs.Al-
baqarah 2-3)

Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian orang
yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-hal yang gaib, mengerjakan shalat, dan
seterusnya.

Munasabah antar ayat yang menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian
ayat mempertegas arti ayat yang terletak disampingnya. Contoh dalam surat Alfatihah ayat
6-7

ِ ‫ط الَّ ِذيْنَ ا َ ْنعَ ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم ەَۙ َغي ِْر ْال َم ْغض ُْو‬
٧ َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َو ََلالضاَّليْن‬ ِ ٦ ‫ط ْال ُم ْستَ ِقي َْم‬
َ ‫ص َرا‬ َ ‫الص َرا‬
ِّ ِ ‫اِ ْه ِدنَا‬

Ungkapan “Ash-shiratal Al-mustaqin” pada ayat 6 dipertegas oleh


ungkapan
“shiratalladzina...” . antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu
terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung). Munasabah antara ayat
yang menggunakan pola i‟tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak
ada kedudukannya dalam i‟rab (struktur kalimat), baik dipertengahan kalimat
atau diantara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contoh pada surat
An-nahl ayat 57 :

٧٧ َ‫سب ْٰحن ََۙه َولَ ُه ْم َّما َي ْشت َ ُه ْون‬ ِ ‫َو َيجْ َعلُ ْونَ ِللّٰ ِه ْال َب ٰن‬
ُ ‫ت‬

Artinya ”Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan[831].


Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang
mereka sukai (Yaitu anak-anak laki-laki)”.

Kata “subhanahu” pada ayat diatas merupakan bentuk i’tiradh dari dua
ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-
orang kafir yang menetapkan anak peremouan bagi Allah.12
e) Munasabah antar suatu kelompok ayat dan kelompok ayat disampingnya Sebagai
contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 20, Allah memulai penjelasannya
tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertaqwa. Dalam
kelompok berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat-
mereka yang berbeda-beda yaitu mukmin, kafir dan munafik.13

f) Munasabah antarfashilah (pemisah) dan isi ayat Munasabah ini mengandung


tujuan-tujuan tertentu diantaranya yaitu tamkin (menguatkan) makna yang
terkandung dalam suatu ayat. Misalnya dalam surat Al-Ahzab ayat 25 :

٢٧ ‫َو َردَّ اللّٰهُ الَّ ِذيْنَ َكفَ ُر ْوا بِغَي ِْظ ِه ْم لَ ْم يَنَالُ ْوا َخي ًْرا َۗو َكفَى اللّٰهُ ا ْل ُمؤْ ِمنِيْنَ ْال ِقت َا َل َۗو َكانَ اللّٰهُ قَ ِويًّا َع ِزي ًْز ۚا‬

Artinya : “dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan
Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”

Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan


bukan karena lemah melainkan karena Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Tujuan dari fashilah adalah memberi penjelasan tambahan meskipun tanpa
fashilah sebenarnya makna ayat sudah jelas.14

g) Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama Munasabah ini arti
bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran ini
dikuatkan kembali di akhir surah.15 Misalnya terdapat pada surah Al-Hasyr.
Munasabh ini terletak dari sisi kesamaan kondisi yaitu segala yang ada baik
dilangit maupun dibumi menyucikan Allah sang pencipta keduanya.

‫ض َوه َُو ْالعَ ِز ْي ُز ْال َح ِك ْي ُم‬ ِ ‫سبَّ َح ِللّٰ ِه َما فِى السَّمٰ ٰو‬
ۚ ِ ‫ت َو َما فِى ْاَلَ ْر‬ َ

Artinya : “telah bertasybih kepada Allah apa yang ada dilangit dan bumi. Dan
dialah yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs Al Hasyr : 1)

‫ض َوه َُو ْالعَ ِزي ُْز ْال َح ِك ْي ُم‬


ۚ ِ ‫ت َو ْاَلَ ْر‬ َ ُ‫ص ِّ ِو ُر لَهُ ْاَلَ ْس َم ۤا ُء ْال ُحس ْٰن ۗى ي‬
ِ ‫سبِِّ ُح لَه َما فِى السَّمٰ ٰو‬ َ ‫ئ ْال ُم‬ ِ َ‫ُه َو اللّٰهُ ْالخَا ِل ُق ْالب‬
ُ ‫ار‬
Artinya : “dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk
rupa, yang mempunyai Al-Asma Al-husna.Bertashbih kepadanya apa yang
dilangit dan bumi, dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al
Hasyr : 24)

h) Munasabah antar penutup satu surat dengan awal surat berikutnya

Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya sebab,


semua permulaan surah erat sekali kaitannya dengan akhiran surah sebelumnya,
sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.16 Jika diperhatikan pada setiap
pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya,
sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya pada permulaan surat Al-
Hadid dimulai dengan tasbih:

‫ض َوه َُو ْال َع ِزي ُْز ْال َح ِك ْي ُم‬ ِ ‫سبَّ َح ِللّٰ ِه َما فِى السَّمٰ ٰو‬
ۚ ِ ‫ت َو ْاَلَ ْر‬ َ

Artinya : “semua yang berada dilangit dan yang berada dibumi bertashbih
kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah yang MahaKuasa
atas segala sesuatu” (Qs Al-Hadid:1)

‫ض َوه َُو ا ْلعَ ِزي ُْز ا ْل َح ِك ْي ُم‬


ۡۚ ِ ‫ت َو ْاَلَ ْر‬ َّ ‫سبَّ َح ِللّٰ ِه َما فِى ال‬
ِ ‫سمَٰ َٰو‬ َ

Artinya : “maka bertashbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang


MahaBesar”.

C. Cara mengetahui munasabah dan fungsinya

Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi.


Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan
riwayat, baik dari Nabi maupun dari sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan
mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-
angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Menurut Syekh Izzudin bin
Abdus Salam bahwa seseorang mufassir terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan
suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak menemukan. Jika tidak menemukan
keterkaitan keterkaitan, mufassir tidak diperkenankan memaksakan diri, karena jika
memaksakan berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Jadi dalam hal ini
dibutuhkan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya
hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya,
apalagi kalam yang terbaik.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dalam surah (munasabah) dalam Al-Qur’an
diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu :
a. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi obyek pencarian.
b. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
c. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
d. Dalam mengambil kesimpulannya hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan
bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

Pandangan Ulama tentang munasabah Sebagaimana cabang ulumul quran yang lain,
ilmu munasabah juga ada pro dan kontra. Sebagian ulama tidak mengakui eksistnsi ilmu
munasabah dengan alasan bahwa ayat alquran merupakan unit-unit yang berdiri sendiri
(mustaqillah), dan diantara ayat-ayat quran yang diletakkan berurutan didalama mushaf,
banyak yang turun dengan interval waktu yang sangat panjang, maka bukan suatu keharusan
adanya keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lain (mahmud syaltut dan ma’ruf ad-dualibi)
Pendapat ulama tentang keberadaan munasabah, secara garis besar, terbagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama menampung dan mengembangkan munasabah dalam
menafsirkan ayat, sedang kelompok lain tidak memperhatikan munasabah dalam menafsirkan
sebuah ayat. Ar-razi adalah orang yang menaruh perhatian terhadap munasabah penafsiran,
baik hubungan antar ayat maupun antar surat.nizhamuddin an-Naisaburi dan Abu Hayyan al-
Andalusi, hanya munasabah antar ayat. Az-Zarqani, ulama yang hidup abad 14 H, kitab tasfir
banyak melakukan pembahasan munasabah. 17 Qaththan, op cit. hlm 98 18 As-Suyuthi, Al-
itqan, Tokoh yang memelopori keberadaan ilmu munasabah, abu bakar an-naysaburi (w.324
H), selalu mempertanyakan, mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan apa rahasia
diletakkan disamping surat ini. Burhanuddin al-Biqai, memandang ayat-ayat `al-quran saling
terkait, tidak penghentian yang sempurna dalam al-quran, setiap ujung frasa,ujung ayat, dan
ujung surat, mempunyai keterkaitan dengan bagian berikutnya; tafsirnya nadzem ad-durar fi
tanabasub al-ayat wa as- holistik. Imam Fakhruddin ar-Razi(w. 606), menyatakan bahwa
umumnya perbendeharaan alquran terletak pada rangkaian tata urutan dan pertalian nya,
dalam kitabnya, mafatihul-ghaib fi-tafsiril quran(kunci keajaiban dalam menafsirkan
alquran). Al-Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi(468-543 H) dengan kitabnya, sirajul-muridin-
wa- sirajul-muhtadin(lentera orang-orang yang berkehendak dan lentera orang-orang yang
meraih petunjuk), mengatakan bahwa hubungan pertalian ayat-ayat quran antara bagian
dengan bagian lainnya laksana kalimat yang sangat teratur dan tersusun rapi penjelasannya.
Al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, al munasabah, bersifat rasional,
terjangkau oleh akal. Berbagai hubungan antara pembuka surat dan penutup surat maknanya
berdasarkan pendekatan penalaran seperti sabab-musabab, illat dan ma’lul, dan lain-lain;
dapat mengukur kecerdasan seseorang. Izuddin bin Abdus-salam(577-660 H), mewakili ahli
ilmu alquran klasik, berpendapat tidak semua ayat alquran bermunasabah. Sementara ahli
ulumul quran kontemporer yang sependapat dengan izuddin, yaitu Manna’al- Qaththan dan
Shubhi as-Shahih, tidak setuju pemaksaan ilmu munasabah, tidak pada tempatnya
memaksakan munasabah/korelasi/keterkaitan untuk seluruh ayat alquran, ayat alquran
diturunkan dalam rangka menjawab berbagai pertanyaan dan kasus berbeda, pewahyuan
alquran selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari, bagaimana merangkai seluruh ayat alquran yang
sedemikian banyak dan sedemikian panjang waktu penurunannya Salah seorang mufassir
kontemporer yang kurang setuju dengan munasabah adalahSyekh Mahmud Syaltut, mantan
rektor Al-azhar Kairo, dalam penafsiran Al-quran. Tokoh lainnya, Ma’ruf Dualibi, usaha sia-
sia mencari hubungan antar ayat dalam surat, hanya satu hal saja, akidah, kewajiban, ahlak,
atau hak. Menurut Ma’ruf Dualibi, dalam berbagai ayat,Al-quran hanya mengungkapkan hal-
hal yang bersifat prinsip (mabda) dan normatif yang bersifat umum (kaidah). Oleh karena itu,
tidak tepat mengharuskan adanya keterkaitan antar-ayat yang bersifat tafsil. Pendapat ini
ditulis dalam kitab, Al-muwafaqat, oleh As-Syatib
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu
yang mempelajari tentang hakikat keserasian (korelasi) antara satu bagian dengan bagian
yang lain. Ilmu ini sepenuhnya bersifat ijtihady, bukan tauqify.
Macam-macam munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya,
munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat,
munasabah antar ayat yang terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat
dengan kelompok ayat disampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat,
munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama, munasabah antar penutup suatu
surat dengan awal surat berikutnya.
Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi ke dalam dua golongan. Pertama,
golongan yang tertarik dengan munasabah, Kedua, golongan yang tidak tertarik dan
menganggap munasabah tidak perlu dikaji. Golongan pertama diwakili oleh Abu Bakar al-
Nisabury, Fakhrudin al-Razi, Jalaluddin al-Suyuthiy, ibn al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis
Salam, dan yang lainnya. Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam al-Quran
diwakili oleh Ma’ruf Dualibi.

Empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah :

1. Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-
kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
2. Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran saling berhubungan
sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
3. Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya.
4. Untuk menjawab kritikan orang luar (orientalis) terhadap sistematika Al-
Quran.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. 2008. Ulum al-Quran. Bandung: Pustaka Setia

Djalal, Abdul. 2008. Ulumul Qur‟an. Surabaya: Dunia Ilmu

Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Husni. 1999. Mutiara Ilmu-IlmuAl-Qur‟an, terj. Ros
Badr, Ad-Din Muhammad bin ‘Abdullah Az-Zarkasyi. al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, Jilid
Iihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia

Burhanuddin Al-Biqa’i, Nazhm Ad-Durarfi Tanasub Al-Ayat wa As-Suwar, Jilid 1, Majlis


Da’irah Al-Ma’arif An-Nu’maniyah bi Haiderab, India, 1969

Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits,ttp., 1973

Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut,t.t., Jilid 1

Nashrudin, baidan.2005. wawasan baru ilmu tafsir. Yogjakarta: pustaka pelajar

Anda mungkin juga menyukai