Anda di halaman 1dari 14

PELAKSANAAN TEACHING FACTORY (TEFA) PADA PROGRAM

KEAHLIAN TEKNOLOGI DAN REKAYASA DI SMK NEGERI 4


SEMARANG
Wawan Fathurrohman. 2016. Jurusan Teknik Mesin Fakutas Teknik
Universitas Negeri Semarang. Dr. M Burhan Rubai Wijaya. M.Pd.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan Teaching Factory


pada Program Studi Keahlian Teknologi dan Rekayasa di SMK Negeri 4 Semarang
dan Kriteria sistem pengelolaan Teaching Factory.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian ex post facto, yaitu penelitian
ditujukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel-variabel
lain.Pengumpulan data menggunakanmetode observasi, wawancara dan dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa Pelaksanaan pembelajaran Teaching
Factory di SMK Negeri 4 Semarang belum maksimal dikarenakan oleh beberapa hal
yang menghambat seperti: (1) Sumber Daya Manusia atau pelaksana kegiatan
Teaching Factory kurang karena disamping waktu pelaksanaan setelah KBM
sehingga para siswa, guru atau karyawan sudah lelah dan juga bersamaan dengan
kegiatan lain baik ekstrakurikuler maupun kegiatan di rumah yang lain, (2) Lahan
bangunan sekolah yang kurang luas karena lokasi di tengah kota sehinggan tidak
memungkinkan adanya pelebaran lahan, bahkan untuk ruang kelas pun terkadang
rebutan dan tidak tetap, (3) Ketidakpercayaan konsumen kepada tim pelaksana karena
sebagian besar pelaksana praktek adalah siswa yang ingin belajar dan tidak adanya
tim Assesor, (4) Tidak ada rencana produksi karena hanya bergantung pada pesanan
dari konsumen, sehingga jika tidak ada pesanan maka tidak ada yang
dikerjakan/diproduksi, (5) Ketergantungan produksi pada jumlah pesanan dari
konsumen menyebabkan tim pengelola menjadi malas-malasan dan enggan berinovasi
menciptakan produk yang lain.
Perlu adanya sosialisai kembali tentang “Penerapan Teaching Factory” di
Sekolah Menengah Kejuruan dari Pemerintah atau Dinas Pendidikan dan harus ada
perencanaan dalam menerapkan Teaching Factorysertasebaiknya mulai dengan
menumbuhkan kultur budaya baru pada sumber daya manusia berupa kedisplinan,
ketelitian, dan kreatifitas.

Kata kunci: Teaching Factory, ex post facto, Assesor.


PENDAHULUAN
Era globalisasi memberikan dampak yang menguntungkan dan merugikan.
Dampak yang menguntungkan dirasakan ketika kesempatan kerjasama dengan
negara-negara asing terbuka seluas-luasnya. Dampak lain yang merugikan
dirasakan ketika ketidakmampuan bersaing dengan negara-negara asing, karena
Sumber Daya Manusia (SDM) yang lemah sehingga konsekuensinya akan
merugikan bangsa.

Akar kelemahan SDM Indonesia ini dapat terlihat melalui wahana


pendidikan. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan
formal yang diharapkan mampu menjadikan calon tenaga kerja sesuai kebutuhan dunia
kerja. Proses pembelajaran di SMK lebih dititikberatkan pada penerapan teori-teori
yang telah diberikan melalui kegiatan praktikum.

Untuk mendukung pembelajaran tersebut, Pemerintah membuat kebijakan


pembangunan pendidikan nasional tahun 2010 - 2014 yaitu penyelarasan pendidikan
dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI).

Manajemen SMK harus didesain untuk mecapai keefektifan dan sekaligus


efisiensi. Merencanakan dan melaksanakan program sedekat mungkin dengan
kondisi di tempat kerja merupakan tugas penting SMK. Kurikulum harus disusun
berdasarkan kebutuhan dunia kerja (demand driven). Penyempurnaan program
pemerintah diterapkan untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan melalui
Teaching Factory.

Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran dalam suasana


sesungguhnya, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara
kebutuhan industri dan pengetahuan sekolah.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan Teaching Factory


pada Program Studi Keahlian Teknologi dan Rekayasa di SMK Negeri 4 Semarang
dan Kriteria sistem pengelolaan Teaching Factory yang menjadi acuan pelaksanaan
Teaching Factory di SMK lain yang diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis
melalui sumbangan teori dan analisisnya untuk kepentingan siswa, guru dan
peneliti di masa yang akan datang.

Penelitian ini mengkaji tentang pelaksanaan Teaching Factory di SMK


Negeri 4 Semarang dari berbagai aspek diantaranya: manajemen pengelolaan,
fasilitator / partnership, Quality Control dan Assesor, konsumen, produk Teaching
Factory, mekanisme dan pembagian hasil, serta hambatan yang dilalui dalam
pelaksanaan Teaching Factory selama ini.

KAJIAN PUSTAKA

Tantangan era globalisasi tidak luput dari perhatian pemerintah,


termasuk dalam dunia pendidikan. SMK merupakan salah satu proyek
pemerintah untuk menjawab tantangan globalisasi, sejumlah kebijakan
dikeluarkan untuk menjawab tantangan global. Menurut Tanuatmadja (2008) untuk
mengurangi angka pengangguran sekaligus menjawab tantangan kebutuhan kerja
level operator atau teknisi, pemerintah melakukan terobosan
dengan mendirikan SMK dengan inovasi yang diperoleh dari pengalaman negara-
negara lain yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan.

a. Work Based Learning

Menurut Gray dan Albrecht (1999), work based learning adalah suatu
program dimana siswa dapat belajar di dunia usaha dan industri secara
bersamaan dengan dunia pendidikan (sekolah), program work based
learning dimaksudkan untuk membawa siswa belajar langsung di real
business untuk menerapkan materi pembelajaran yang telah dipelajari di kelas.

b. Link and Match


Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara
dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan Wardiman. Konsep
tersebut dapat menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang
dari ke hari makin bertambah. Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina
Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara
lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan
antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso,
dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat
menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja.

c. Pendidikan sistem Ganda

Menurut Djojonegoro yang dikutip (Muliati, 2007: 9), pendidikan


sistem ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan keahlian kejuruan yang secara sistematik dan sinkron antara
program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang
diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk
mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.

d. Competency Based Training (CBT)


Pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training)
berkembang di Indonesia sejak dimulainya kebijakan keterkaitan dan
kesepadanan (link and match) yang dimanifestasikan dalam program
Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada
tahun 1993/1994. Konsep pelatihan berbasis kompetensi pada hakekatnya
berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh seseorang (kompeten)
sebagai hasil atau output dari pembelajaran.

e. Production Based Training (PBT)


Pembelajaran berbasis produksi / Production Based Training
merupakan salah satu strategi pembelajaran yang sudah di isyaratkan
dalam kurikulum sekolah Menengah Kejuruan dalam Landasan Program dan
Pengembangan. PBT terdiri dari prinsip strategi dan pendekatan serta metoda
untuk melaksanakan proses pembelajaran program produktif.

Pelaksanaan Pembelajaran Teaching Factory


Pembelajaran Teachig Factory merupakan pengembangan dari unit produksi
dan pendidikan sistem ganda yang sudah dilaksanakan di SMK. Teaching Factory
merupakan salah satu bentuk pengembangan dari sekolah kejuruan menjadi model
sekolah produksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh
Triatmoko (2009 : 35) bahwa SMK masih kesulitan untuk menerapkan pendidikan
berbasis produksi (production based education and training) sebagaimana yang
dilaksanakan di ATMI (Akademi Teknik Mesin Indonesia). Oleh karena itu
dimunculkan istilah Teaching Factory yang mengharuskan SMK yang
melaksanakannya untuk memiliki sebuah unit usaha atau unit produksi sebagai
tempat untuk pembelajaran siswa. Dalam unit usaha adau produksi tersebut, siswa
secara langsung melakukan praktik dengan memproduksi barang atau jasa yang
mampu dijual ke konsumen.

Pelaksanaan Teaching Factory untuk pembelajaran dengan mendirikan unit


usaha atau produksi di sekolah berkebalikan dengan proses pembelajaran yang
terjadi di Jerman. Menurut Moerwismadhi (2009), kegiatan praktik siswa sekolah
kejuruan di Jerman dilakukan di dalam sebuah pabrik atau perusahaan, sedangkan
pemerintah mengajarkan materi-materi teoritik di sekolah selama satu sampai dua
hari per minggu. Dengan demikian, Teaching Factory adalah kegiatan
pembelajaran dimana siswa secara langsung melakukan kegiatan produksi baik
berupa barang atau jasa di dalam lingkungan pedidikan sekolah. Barang atau jasa
yang dihasilkan memiliki kualitas sehingga layak jual dan diterima oleh masyarakat
atau konsumen.

Teaching factory adalah perpaduan pendekatan pembelajaran yang sudah


ada yaitu CBT (Competency Based Training) dan PBT (Production Based
Training). CBT adalah pelatihan yang didasarkan atas hal-hal yang diharapkan
oleh siswa ditempat kerja. CBT ini memberikan tekanan pada apa yang dapat
dilakukan oleh seseorang sebagai hasil pelatihan (output) bukan kuantitas dari
jumlah pelatihan. PBT (Production Based Training) adalah suatu proses
pembelajaran keahlian atau ketrampilan yang dirancang dan dilaksanakan
berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya (real job) untuk
menghasilkan barang atau sesuai dengan tuntutan pasar atau
konsumen. Teaching factory adalah suatu konsep pembelajaran dalam ruangan
kelas dan bengkel praktek dengan menerapkan pelatihan dalam suasana
sesungguhnya, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara
kebutuhan industri dan pengetahuan dari sekolah.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian ex post facto, yaitu penelitian


ditujukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel-variabel
lain.

Objek penelitian ini adalah guru mata pelajaran produktif dan siswa pelaksana
pembelajaran Teaching Factory Program keahlian Teknologi dan Rekayasa di SMK
Negeri 4 Semarang.

Metode pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk


mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian. Pengumpulan data dalam
penelitian dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan, keterangan, kenyataan, dan
informasi yang dapat dipercaya. Untuk memperoleh data seperti yang dimaksud,
dalam penelitian ini digunakan beberapa metode, diantaranya adalah dengan
observasi, wawancara dan dokumentasi.

Salah satu model analisis yang dapat digunakan adalah model Milles dan
Huberman. Model ini diterapkan melalui tiga alur, yaitu: (1) Reduksi Data; Data yang
didapatkan dalam penelitian relatif beragam dan rumit. Data tersebut kemudian ditulis
dalam bentuk laporan sementara, (2) Penyajian Data; Teknik penyajian data dalam
penelitian kualitatif dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Penyajian data dapat
berupa uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya, dan
(3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi; Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah jika ditemukan bukti-bukti kuat yang
mendukung tahap pengumpulan data berikutnya.

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian ini dapat menjawab rumusan


masalah yang dirumuskan sejak awal.

HASIL PENELITIAN
Pembelajaran Teaching Factory lebih mengarah kepada proses pengelolaan
manajemen di ruang kelas dan ruang praktek berdasar prosedur dan standar bekerja di
dunia industri yang sesungguhnya sehingga diharapkan teori yang diajarkan dan
praktek yg dibutuhkan siswa seimbang.
Pelaksanaan pembelajaran Teaching Factory di SMK Negeri 4 Semarang
dimulai pada tahun 1988 yang dahulu masih kelompok unit produksi yang bernama
Dinamica Production dengan sistem permodalan awal adalah dari iuran bersama dari
guru-guru dan bekerja sama dengan pihak Koprasi Sekolah karena kebutuhan bahan-
bahan praktek yang kurang memenuhi.

Kegiatan praktek dan semua yang berhubungan dengan Teaching Factory di


SMK negeri 4 Semarang dilaksanakan di luar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
sekolah seperti kegiatan ekstrakurikuler lainya yaitu pukul 15.30 WIB sehingga tidak
mengganggu jam pelajaran siswa.

Siswa di SMK Negeri 4 Semarang tidak seluruhnya diwajibkan mengikuti


kegiatan tersebut tetapi hanya siswa yang ingin mencari pengalaman praktek tambahan
melalui sistem pembelajaran Teaching Factory tersebut.

Pembelajaran Teaching Factory di SMK Negeri 4 Semarang sudah terlaksana


dengan baik sampai sekarang, walaupun sistemnya masih seperti unit produksi pada
umumnya tetapi hubungan dengan instansi dan perusahaan terkait semakin bertambah
diantaranya BLKI, Bapermas, PT. Sinar Mas, PT. Astra dll, serta kebutuhan pesanan
dari konsumen yang lebih banyak dari sebelumnya seperti halnya home industri,
rumah tangga, instansi dll.

Keberhasilan sistem pembelajaran Teaching Factory di SMK Negeri 4


Semarang tidak lepas dari beberapa komponen yang saling mendukung, diantaranya
meliputi Manajemen pengelolaan, Fasilitator/Partnership, Quality control, Assesor
dan Konsumen.

a. Manajemen pengelolaan Teaching Factory

Teaching Factory di SMK Negeri 4 Semarang hanya mengikutkan


guru, siswa dan karyawan yang berminat dan ingin mengembangkan potensi
industrinya melalui kegiatan tersebut sehingga dari segi sumber daya
manusia (SDM) kurang memadai dan berdampak pada pengerjaan suatu
produk/jasa itu sendiri.
Pelaksanaan Teaching Factory di SMK Negeri 4 Semarang di luar
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yaitu sekitar pukul 15.30 WIB yang
merupakan kegiatan praktek tambahan untuk siswa sehingga tidak
mengganggu proses KBM yang berlangsung di sekolah karena tidak semua
siswa mengikuti kegiatan Teaching Factory tersebut serta diharapkan dengan
mengikuti kegiatan ini SMK Negeri 4 Semarang mampu menciptakan lulusan
yang berjiwa wirausaha dan memiliki kompetensi keahlian melalui
pengembangan kerjasama dengan indutri dan bisnis yang relevan. Akan tetapi,
disisi lain karena minimnya waktu yang digunakan untuk kegiatan Teaching
Factory maka berdampak pada produk/jasa yang dihasilkan terutama efisiensi
waktu.

b. Fasilitator / Partnership

SMK Negeri 4 Semarang sudah melakukan kerjasama dengan

beberapa Instansi dan perusahaan untuk menunjang kegiatan Teaching

Factory baik dari segi pembelajaran, tenaga ahli industri maupun modal yang

dimulai dari awal kegiatan Teaching Factory berlangsung, beberapa instansi

dan perusahaan tersebut adalah sebagai berikut:

No. Instansi / Perusahaan Tahun Bidang Kerjasama


1. Koperasi Sekolah 1988 Permodalan awal
Pelatihan pembuatan
2. BLKI Semarang 2006
produk
Pengenalan Teknologi
3. Bapermas 2010
dengan Masyarakat
4. PT. Astra Motor 2012 Jasa Service Motor
5. PT. Sinar Mas 2012 Stanlis
6. PT. Elang Satria Jaya Abadi 2008 Pengelasan

c. Quality Control dan Assesor

Setiap pembuatan produk pesanan konsumen yang sudah jadi akan


dinilai dan diuji terlebih dahulu oleh tim penilai dan assessor baik dari pengelola
Teaching Factory sekolah maupun tim dari perusahaan sehingga diharapkan
tidak mengecewakan konsumen yang memesan produk tersebut.

Kegiatan Quality Control yang dilakukan saat pelaksanaan produksi


kurang sesuai karena belum adanya tim Assesor yang sesuai seperti di
perusahaan atau industri. Kegiatan Quality Control hanya melakukan
pengecekan oleh guru dalam hal ini dilakukan oleh Ketua Program Diklat
yang terkait bukan didatangkan teknisi dari perusahaan atau industri.

d. Konsumen

Konsumen yang sudah memesan produk Teaching Factory di SMK


Negeri 4 Semarang diantaranya home industri, rumah tangga, instansi dll.
Secara pendataan konsumen pemesan yang masuk ke bagian administrasi dan
keuangan kegiatan Teaching Factory tersusun dengan rapi mulai dari awal
pelaksanaan sampai sekarang.

e. Produk Teaching Factory

Produk berupa alat yang dihasilkan dari kegiatan Teaching Factory di


SMK Negeri 4 Semarang diantaranya: Pencacah Daun, Mesin Mixer Adonan,
Mesin Pemarut Kelapa, Mesin Penumbuk Cabai dan Daging, Mesin Pengaduk
Bumbu Snack, Mesin Giling Tebu, Cup Sealer dan Mesin Pemecah Kedelai

Selain menghasilkan produk berupa alat, kegiatan Teaching Factory di


SMK Negeri 4 Semarang juga menghasilkan produk berupa Jasa seperti jasa
service motor gratis (bekerja sama dengan PT. Astra Motor), jasa pembuatan
desain (gelas, kaos, piring, sepatu, dll), jasa pembuatan animasi dan video
shotting serta jasa pembuatan desain rumah/bangunan.

f. Mekanisme dan Pembagian Hasil Teaching Factory

Pembagian hasil dari kegiatan Teaching Factory di SMK Negeri 4


Semarang berdasarkan hasil kesepakatan bersama warga sekolah adalah sebagai
berikut:

a. Untuk pembawa order 5 %


b. Untuk Unit Produksi Program Keahlian (UPPK) 20 %
c. Untuk Unit Produksi Sekolah (UPS) 20 %
d. Untuk Perbaikan dan Perawatan 5 %
e. Untuk Pelaksana 50 % (diambil dari hasil bersih dan setiap saat dapat
berubah melalui kesepakatan)

Mekanisme pelayanan pelanggan DU//DI/Home Industri dibuat secara


sederhana mungkin, dari konsumen mengajukan barang yang akan
dibuat/diperbaiki melalui bagian administrasi kemudian setelah terjadi
kesepakatan harga antara pengelola dengan konsumen produk pesanan akan
dikerjakan oleh tim pelaksana, setelah produk sudah jadi akan dinilai dan diuji
oleh tim quality control, jika lolos maka produk akan segera dikirim ke
konsumen jika sebaliknya maka akan diperbaiki kembali. Mekanisme tersebut
terangkum terangkum dalam bagan sebagai berikut:

DU / DI / Home Industri
Masyarakat Pengguna

Administrasi dan Keuangan


Pelunasan

Pengiriman / Pengambilan
Pelaksana / unit teknis

Quality Control

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Teaching Factory di SMK Negeri 4 Semarang belum bisa dikatakan


berhasil melaksanakan pembelajaran tersebut dikarenakan berbagai hal yang
menghambat seperti: (1) Sumber Daya Manusia atau pelaksana kegiatan Teaching
Factory kurang karena disamping waktu pelaksanaan setelah KBM sehingga para
siswa, guru atau karyawan sudah lelah dan juga bersamaan dengan kegiatan lain baik
ekstrakurikuler maupun kegiatan di rumah yang lain, (2) Lahan bangunan sekolah
yang kurang luas karena lokasi di tengah kota sehinggan tidak memungkinkan adanya
pelebaran lahan, bahkan untuk ruang kelas pun terkadang rebutan dan tidak tetap, (3)
Ketidakpercayaan konsumen kepada tim pelaksana karena sebagian besar pelaksana
praktek adalah siswa yang ingin belajar dan tidak adanya tim Assesor, (4) Tidak ada
rencana produksi karena hanya bergantung pada pesanan dari konsumen, sehingga
jika tidak ada pesanan maka tidak ada yang dikerjakan/diproduksi, (5)
Ketergantungan produksi pada jumlah pesanan dari konsumen menyebabkan tim
pengelola menjadi malas-malasan dan enggan berinovasi menciptakan produk yang
lain. Bahkan yang terjadi di lapangan pelaksanaanya masih menggunakan sistem Unit
Produksi.

Sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan pelaksanaan Teaching Factory


di SMK St. Mikael Surakarta yang bisa dikatakan sangat mumpuni dalam melaksanakan
pembelajaran tersebut dengan berbagai perencanaan manajemen yang matang tentunya
yaitu dengan membuat rencana program jangka panjang, menengah, dan pendek,
pelaksanaan dengan mengintegrasikan ke dalam kurikulum sehingga melibatkan
semua siswa, serta pengawasan dengan melakukan koordinasi rutin dan form
penilaian untuk semua siswa, karyawan, dan guru.

Program yang secara langsung terkait dengan pelaksanaan Teaching Factory


di SMK St. Mikael Surakarta ialah program pendirian unit produksi yang memiliki
badan hukum dan penerapan model backward design dalam proses pembelajaran.
Program pendirian unit produksi bertujuan untuk mendirikan sebuah unit produksi
yang memiliki badan hukum legal serta mampu melakukan kegiatan produksi
menggunakan peralatan sendiri. Pada saat ini, proses produksi yang dilakukan SMK
St Mikael Surakarta menyatu dengan peralatan dan tempat yang dipergunakan untuk
praktik siswa. SMK St Mikael belum memiliki ruangan atau bangunan yang khusus
dipergunakan untuk kegiatan unit produksi. Program pendirian unit produksi tersebut
direncanakan dapat diraih pada tahun 2015.

Sedangkan penerapan model backward design bertujuan untuk mendukung


pencapaian profil lulusan yang ingin dihasilkan oleh SMK St Mikael Surakarta.
Backward design ialah metode merancang kurikulum dengan menetapkan tujuan
sebelum memilih kegiatan atau konten untuk mengajar. Tujuannya untuk menjamin
proses pembelajaran mampu mencapai sasaran yang diinginkan dengan menjaga
materi yang disampaikan tetap fokus dan terorganisir serta memberikan pemahaman
yang lebih baik bagi siswa. Pada saat membuat rancangan implementasi kurikulum
dalam bentuk silabus dan Rancangan Pembelajaran, seluruh guru berkontribusi
terhadap pencapaian visi dengan memasukkan nilai-nilai yang ingin ditanamkan ke
dalam mata pelajaran yang diampunya.

Disamping itu juga didukung oleh beberapa faktor penunjang diantaranya


budaya atau kultur yang baik, sumber daya manusia yang berkompeten di bidangnya
dan fasilitas yang memadai sehingga sangatlah mampu untuk melaksakan Teaching
Factory di sekolah tersebut walaupun belum secara maksimal pelaksanaanya yang
dikarenakan oleh beberapa hal yang menghambat seperti belum adanya ruang atau
bangunan khusus dan belum adanya karyawan yang khusus mengelola Teaching
Factory.

Di SMK Negeri 4 Semarang pun seperti halnya di SMK St. Mikael yang
masih belum ada ruang atau bangunan khusus untuk Teaching Factory bahkan ruang
kelas Kegiatan Belajar Mengajar seringkali kekurangan ruangan serta belum adanya
karyawan khusus untuk mengelola Teaching Factory, struktur kepengurusan
Teaching Factory pun banyak yang merangkap seperti contoh Ketua Jurusan
merangkap sebagai Quality Control dan yang lainya karena Sumber Daya Manusia di
SMK Negeri 4 Semarang sendiri masih terbatas yang mengikuti kegiatan Teaching
Factory tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan:
Pelaksanaan pembelajaran Teaching Factory di SMK Negeri 4 Semarang belum
maksimal dikarenakan oleh beberapa hal yang menghambat seperti: (1) Sumber Daya
Manusia atau pelaksana kegiatan Teaching Factory kurang karena disamping waktu
pelaksanaan setelah KBM sehingga para siswa, guru atau karyawan sudah lelah dan
juga bersamaan dengan kegiatan lain baik ekstrakurikuler maupun kegiatan di rumah
yang lain, (2) Lahan bangunan sekolah yang kurang luas karena lokasi di tengah kota
sehinggan tidak memungkinkan adanya pelebaran lahan, bahkan untuk ruang kelas
pun terkadang rebutan dan tidak tetap, (3) Ketidakpercayaan konsumen kepada tim
pelaksana karena sebagian besar pelaksana praktek adalah siswa yang ingin belajar
dan tidak adanya tim Assesor, (4) Tidak ada rencana produksi karena hanya
bergantung pada pesanan dari konsumen, sehingga jika tidak ada pesanan maka tidak
ada yang dikerjakan/diproduksi, (5) Ketergantungan produksi pada jumlah pesanan
dari konsumen menyebabkan tim pengelola menjadi malas-malasan dan enggan
berinovasi menciptakan produk yang lain. Bahkan yang terjadi di lapangan
pelaksanaanya masih menggunakan sistem Unit Produksi.

Terdapat 9 Prorgam Diklat di SMK Negeri 4 Semarang tetapi yang masih tetap
melaksanakan kegiatan Teaching Factory hanya dari Program Diklat permesinan karena
masih menerima banyak pesanan dari konsumen, itupun akan terlaksana ketika
menerima pesanan dari konsumen seperti halnya Program Diklat lainya.

Sangat berbeda dengan pelaksanaan Teaching Factory di SMK St. Mikael yang
sudah merencanakan dengan membuat program jangka panjang, menengah dan pendek,
program yang secara langsung terkait dengan pelaksanaan Teaching Factory di SMK
St. Mikael Surakarta ialah program pendirian unit produksi yang memiliki badan
hukum dan penerapan model backward design dalam proses pembelajaran.

Disamping itu juga didukung oleh beberapa faktor penunjang diantaranya


budaya atau kultur yang baik, sumber daya manusia yang berkompeten di bidangnya
dan fasilitas yang memadai

Saran

a) Perlu adanya sosialisai kembali tentang “Penerapan Teaching Factory” di


Sekolah Menengah Kejuruan dari Pemerintah atau Dinas Pendidikan.
b) Harus ada perencanaan dalam menerapkan Teaching Factory
c) Sebaiknya mulai dengan menumbuhkan kultur budaya baru pada sumber daya
manusia berupa kedisplinan, ketelitian, dan kreatifitas.

DAFTAR PUSTAKA

Anas Sudijono. (2007). Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Armai Arief. (2010). Tantangan Pendidikan di Era Globalisasi. Diambil pada


tanggal 30 November 2013 dari
http://www.fai.umj.ac.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=23&Itemid=54

Asrori Ardiansyah. (2010). “Konsep Link and Match Dalam


Pendidikan”. Diambil pada tanggal30 November 2013 dari http://kabar-
pendidikan.blogspot.com/2011/04/konsep-link-and-match-dalam-
pendidikan.html

Bayu, Mulyani dan Dian PS. (2010). SMK, Mencetak Tenaga Kerja Kompetitif.
Diambil pada tanggal 30 November 2013 dari http://www.smkupdates.net
/index.php?option=com_content&view=article&id=52:smk-mencetak-
tenaga-kerja-kompetitif&catid=1:latest-news&Itemid=50

Dinah Tanuatmadja. (2008). “Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Menjawab


Tantangan Pengangguran dan Entrepreneurship”. Jurnal Pendidikan
Penabur (No.11/Tahun ke-7/Desember 2008). Halaman 100

Doni Muhardiansyah dkk. (2010). Inovasi Dalam Sistem Pendidikan. Direktorat


Penelitian dan Pengembangan KPK. Jakarta.

Pardjono (2011). “Workshop Peran Industri dalam Pengembangan SMK Menurut


Charles Prosser” Makalah, disampaikan pada workshop peran industri dalam
pengembangan SMK di SMK N 2 Kasihan Bantul 22.

Anda mungkin juga menyukai