Disusun Oleh :
kelomok 1
Nama anggota:
Dosen Pembimbing :
Puji syukur kepada Allah swt atas anugerah, penyertaan, perlindungan, dan
petunjuk-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Asuhan
Keperawatan Anestesi Dalam Bedah Darurat” .Dengan selesainya makalah ini tidak
lepas dari dukungan dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini izinkan kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Ns.Iswenti
Novera,M.Kep.
Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anestesia pada kasus bedah darurat merupakan tindakan anesthesia-analgesia yang
menjalani pembedahan darurat akibat penyakit yang dideritanya secara mendadak.
Penyakit bedah darurat dibagi menjadi 2 berdasarkan ancaman kegawatannya:
1. Bedah darurat absolut, dimana kasus bedah ini harus segera dikerjakan dalam kurun
waktu < 1jam setelah didiagnosis ditegakkan, karena dapat mengancam jiwa atau
anggota badan akibat gangguan anatomi atau fungsi organ vital.
2. Bedah darurat relative, dimana kasus bedah darurat yang tidak mengancam jiwa
atau anggota badan akibat gangguan anatomi dan fungsi organ yang dapat
dikerjakan dalam kurun waktu <6 jam.
Kasus bedah darurat dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan apabila disertai dengan
penyakit sistemik.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.Memenuhi tugas mata kuliah keperawatan gawat darurat dan kritis.
2.Menambah wawasan mahasiswa mengenai asuhan keperawatan anestesi pada bedah
darurat.
3.Agar dapat dijadikan referensi dilapangan.
1.3 Manfaat
Makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca untuk menambah wawasan tentang
asuhan keperawatan anestesi pada bedah darurat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pre anestesi
Supaya tindakan operasi yang dilakukan dapat optimal baik pada saat dilakukannya
operasi maupun saat post operatif dibutuhkan penilaian yang teliti mengenai kondisi pasien
sebelumnya. Tahapan yang perlu dilakukan dalam persiapan perioperatif meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan penjelasan mengenai prosedur
anestesi yang akan dilakukan berikut manfaat dan resikonya (informed consent).
a.Evaluasi
1. Evaluasi Dasar
Kesadaran pasien sangat penting untuk diketahui pertama kali, rangsang suara
dan sentuhan dapat digunakan untuk menstimulasi kesadaran pasien. Penilaian dan
penatalaksanaan ABCDE dilakukan selanjutnya:
(A) Airway
Harus dibebaskan dari semua bentuk obstruksi. Pasien dengan cedera
tulang belakang dan servikal akan mengeluhkan nyeri bagian leher atau
tanda-tanda cedera kepala atau tulang belakang atau kehilangan kesadaran.
Penggunaan cervical collar (C-collar) pada tulang servikal dan spinal akan
membantu mengurangi derajat ekstensi saat melakukan laringoskopi dan
intubasi trakea. Krikotiroidotomi dan Trakeostomi dilakukan pada pasien
trauma dengan penurunan atau distorsi pada anatomi pernapasan atas atau
bagian wajah yang dapat mengganggu pemberian ventilasi melalui face
mask atau ketika terjadi perdarahan di saluran pernapasan.
(B) Breathing
Dinilai dengan Respiratory Rate, pola dan irama pernapasan.
Pemberian tambahan oksigen dan bantuan bernafas jika ditemukan
indikasi kekurangan oksigen dan sulit ventilasi dari hasil penilaian.3
Pasien-pasien dengan multiple injury, berisiko tinggi terhadap pulmonary
injury yang dapat berkembang menjadi tension pneumothorax, keadaan ini
ditangani dengan needle thoracostomy. Setelah keadaan pemberat teratasi,
dilanjtkan dengan terapi oksigen sesuai dengan indikasi pasien.2
(C) Circulation
Dinilai dengan merasakan pulsasi nadi pada bagian arteri karotis dan
bisa dirasakan hingga bagian proximal dan distal ekstremitas. Capillary
Refill Time (CRT) merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk
menilai hypovolemia setelah melakukan penekanan pada ujung kuku
selama 5 detik, kemudian kembalinya darah setelah dilakukan penekanan
dihitung, waktu normal adalah kurang dari 2 detik.3 Pada pasien dengan
cidera tumpul, perlu diperhatikan tanda-tanda hemothorax, keadaan ini
ditangani dengan melakukan thorachotomy dan kemudian dilanjutkan
dengan terapi cairan sesuai dengan indikasi pasien.
(D) Disability
Dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale dan pemeriksaan
reaksi pupil pasien untuk menentukan ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Tingkat cedera kepala dan cedera lainnya yang dapat menurunkan tingkat
kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan GCS, berbeda
dengan anak-anak dibawah 3 tahun dimana skala verbal menyesuaikan.3
Perlu diketahui tentang mechanism of injury pada pasien untuk
mengekslusi faktor- faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan cedera
pada sistem saraf pusat.
(E) Environment dan Exposure
Dinilai untuk melengkapi primary survey pada kasus-kasus trauma.
c. Pilihan Anestesi
1. Anestesi Regional
Pemilihan anestesi regional dilakukan sesuai dengan indikasi yang diderita
oleh pasien. Teknik regional anestesi lebih tepat digunakan pada prosedur gawat
darurat pada bagian ekstremitas. Blok pada Brachial plexus melalui aksila atau
supraklavikula baik digunakan pada prosedur operasi dibagian ekstremitas atas.
Sedangkan untuk regional anestesi pada ekstremitas bawah dilakukan melalui
subarachnoid dan epidural blok. Tapi kedua teknik tersebut kontraindikasi jika
cairan ekstraselular atau volume vascular tidak adekuat. Pada trauma intrabdominal
dalam kondisi darurat, teknik anestesi regional lebih berbahaya daripada anstesi
umum.
2. Anestesi Umum
Sebelum dilakukan induksi, berikan preoksigenasi dengan oksigen 100%
selama 3-5 menit. Induksi dilakukan dengan teknik “Rapid sequence Induction”
(RSI). Teknik ini dilakukan pada pasien-pasien dengan puasa yang tidak cukup. Rapid
sequence yang dimaksud adalah tujuan dasar teknik dalam mengurangi sebanyak
mungkin waktu yang dibutuhkan antara keadaan tidak sadar dan intubasi trakea
dengan risiko aspirasi isi lambung yang tinggi.6 Induksi dengan posisi kepala lebih
tinggi dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya regurgitasi lambung.4 Sebelum
dilakukan tindakan intubasi trakea, diberikan obat yang tepat untuk membuat pasien
kehilangan kesadaran dalam waktu yang cepat. Thiopental 4- 5mg/kg IV line dapat
diberikan sebagai salah satu agen RSI, yang memberika efek hilangnya kesadaran
secara cepat. Obat lain sebagai alternative adalah etomidate dan ketamine. Setelah
pasien tertidur, lakukan maneuver “Sellick” dengan menekan tulang krikoid ke
posterior untuk mencegah terjadinya regurgitasi sampai terpasang PET dan balonnya
sudah dikembangkan dengan udara.
Berikan suksinilkholin 1-2 mg/kgbb intravena secara cepat. Suksinikholin
digunakan sebagai agen neuromuscular bloker untuk RSI karena memiliki dua tujuan
yang diinginkan yaitu onset yang cepat sehingga dapat melakukan intubasi dengan
cepat dan mengurangi risiko aspirasi. Rocuronium dalam dosis tinggi (0.9-1,2 mg/kg)
dapat juga digunakan tapi waktu yang diperlukan lebih panjang dari Suksinilkholin.
Oksigenasi sampai pasien henti nafas dan tidak boleh melakukan ventilasi
tekanan positif dan lakukan laringoskopi, dilanjutkan dengan intubasi PET.
Balon/cuff PET segera dikembangkan dan lepaskan maneuver Sellick’s. Hubungkan
PET yang telah terpasang dengan mesin anestesia dan berikan napas buatan.
Pemeliharaan anestesia dilakukan dengan inhalasi dan napas kendali.
Ekstubasi PET dilakukan bila pasien sudah sadar, bernafas spontan adekuat
dan jalan napas bersih. Waspadai terhadap kemungkinan terjadinya regurgitasi atau
muntah pasca ekstubasi. Sedangkan pada kasus-kasus risiko tinggi, tidak dilakukan
ekstubasi PET dan pasien langsung dikirim ke ruang terapi intensif untuk terapi lebih
lanjut.
2.2 Intra
Non depolarisasi neuromuskular diberikan ketika ditemukan tanda-tanda kembalinya
transmisi neuromuskular akibat terdegradasinya suksinilkholin. Pilihan obat yang digunakan
tergantung dari kondisi pasien dan efek dari induksi anestesi pada keadaan kardiovaskular
pasien. Rokuronium dan Antrakurium adalah pilihan obat yang tepat untuk digunakan secara
rutin, walaupun farmakokinetik antrakurium harus dalam batas penggunaan rasional pada
pasien geriatri. Atrakurium tidak menimbulkan efek pada sistem kardiovaskular. Morfin 1-5
mg atau Fentanyl 25-100µg dapat diberikan melalui intravaskular, sebagai analgesia. Dalam
kasus bedah darurat lebih dipilih morfin untuk penggunaan berulang, fentanil dapat
berkumpul dan waktu eliminasi lebih panjang daripada morfin. Obat lain yang dapat
digunakan dalam kasus bedah darurat adalah Ketamine dosis rendah (0.15 mg/kg) dan
parasetamol intravaskular. NSAIDs dapat digunkan tetapi dilarang pada pasien-pasien dengan
”Acute Kidney Injury” atau pendarahan pasca operasi, disediakan untuk pasien muda ASA
1&2. Apabila dianggap perlu dipasang kateter vena sentral untuk memantau terapi cairan dan
status hemodinamik.Adapun hal-hal yang harus diperhatikan pada saat intra operatifa yaitu:
1. Terapi Cairan dan Transfusi Darah
Kehilangan darah dan cairan tubuh dapat diganti dengan pemberian kristaloin
dan koloid, sesuai dengan inidikasi pasien untuk menjaga volume intravaskular
(normovaskular). Pasien dengan pendarahan masif dapat dikoreksi dengan cairan
kristaloid tiga sampai empat kali volume darah yang hilang atau pemberian koloid
dengan rasio perbandingan 1;1 sampai mencapai titik transfusi yang diinginkan. Hal
tersebut dapat ditentukan dengan hematocrit dan volume darah pasien. Berikan
transfusi darah bila perdarahan yang terjadi >20% dari perkiraan volume darah pasien,
apalagi perdarahan masih tetap berlangsung atau pasien dengan hemoglobin dibawah
8g/dL. Pasien dengan risiko tinggi dan disertai dehidrasi, goncangan
hemodinamik,perdarahan dan anemia prabedah, program terapi cairan dan transfuse
yang telah dikerjakan, dilanjutkan dengan pemantuan tekanan vena sentral selama
pembedahan.
2. Pemulihan
Analgesi dan terapi cairan harus diberikan secara tepat sebelum pasien
dipindahkan ke ruangan rawat inap. Penggunaan NSAIDs, acetaminophen dan
gabapentin dapat diberikan sebagai pengganti opioid pada penanganan nyeri pasca
operasi. Pada nyeri ringan hingga sedang pasca operasi dapat diberikan
acetaminophen, ibuprofen, hidrokodon atau oxykodon secara oral. Pemberian secara
intravskular dapat diberikan kerolac tromethamine (15-30mg pada orang dewasa atau
acetaminophen (15mg/kg, atau 1 g pada pasien dengan berat badan >50kg).
3.1 Kesimpulan
Evaluasi dan persiapan perioperatif bertujuan meminimalkan resiko anestesi dan
pembedahan dengan mempersiapkan pasien dalam kondisi memungkinkan sebelum operasi.
Tahapan yang perlu dilakukan sebelum operasi yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Pengetahuan ini memungkinkan seorang pasien dipersiapkan
seoptimal mungkin dalam menghadapi pembedahan dan meminimalkan tingkat morbiditas
dan mortalitas serendah mungkin. Hubungan yang baik antara dokter, pasien dan orang
keluarga pasien mempermudah usaha tenaga medis dalam memberikan pelayanan
pre,intra,pasca dalam bedah darurat dengan maksimal.
Penyakit bedah darurat dibagi menjadi 2 berdasarkan ancaman kegawatannya:
1. Bedah darurat absolut, dimana kasus bedah ini harus segera dikerjakan dalam kurun
waktu < 1jam setelah didiagnosis ditegakkan, karena dapat mengancam jiwa atau
anggota badan akibat gangguan anatomi atau fungsi organ vital.
2. Bedah darurat relative, dimana kasus bedah darurat yang tidak mengancam jiwa
atau anggota badan akibat gangguan anatomi dan fungsi organ yang dapat
dikerjakan dalam kurun waktu <6 jam. Kasus bedah darurat dipertimbangkan
untuk dilakukan tindakan apabila disertai dengan penyakit sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta: Indeks.
2010.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti JT, Raya J,
Bedford RF, Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York:
McGraw-hill; 2002.
3. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Young WL. Anesthesia.
Elsevier Health Sciences; 2009 Jun 24.
5. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anesthesia. Churchill Livingstone,; 2015 May 22.
6. Gray D, Morris C. The Principles and Conduct of Anesthesia for Emergency Surgery.
Britain: The Association of Anesthetists of Great Britain and Ireland. 2013.