Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN


CEDERA KEPALA
DI RUANG BEDAH F RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA
PERIODE TANGGAL : 8 APRIL 2002 S/D 12 APRIL 2002

DI SUSUN
OLEH :

SUBHAN
NIM 010030170 B

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM STUSI S.1 ILMU KEPERAWATAN
SURABAYA
2002
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera kepala


Di Ruang Bedah F RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Surabaya, 12 April 2002

Mahasiswa

Subhan
NIM. 010030170 B

Pembimbing Ruangan Pembimbing Akademik

SKp
NIP. NIP.

2
LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk


atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan
koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga
bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala
permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob
yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood
Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15
% dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas
atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P
aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh

3
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

1. Klasifikasi cidera kepala


a. Cidera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi – descelerasi
rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cidera primer dapat terjadi :
1). Geger kepala ringan
2). Memar otak
3). Laserasi.
b. Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :
1). Hipotensi sistemik
2). Hiperkapnea
3). Hipokapnea
4). Udema otak
5). Komplikasi pernapasan
6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.

2. Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :


a. Epidural hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media
yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup
sendiri karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai
1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan
parietalis.
Gejala – gejalanya :
1). Penurunan tingkat kesadaran
2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparese
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu
b. Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut

4
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa
bulan.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena
pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda – tanda vital
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk.

5
3. Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan

Cedera kepala primer Cedera kepala sekunder


-Komotio, Kontutio, laserasi cerebral -hipotensi, infeksi general, syok, hipertermi,
hipotermi, hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi prostaglanding dan peningkatan TIK

Nyeri intracerebral Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung

Kerusakan / Penekanan Komotio cerebri Penurunan ADO2, VO2, CO2,


sel otak local / Difus Kontutio cerebri Peningkatan katekolamin,
Lateratio cerebri Peningkatan Asam Laktat

Gangguan kesadaran / Udema cerebri


Penurunan GCS

Gangguan seluruh kebutuhan Gangguan sel glia / Kejang


dasar (oksigenasi, makan, gangguan polarisasi
minum, kebersihan diri, rasa
aman, gerak, aktivitas dll

Resiko trauma

6
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan
sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
b. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah,
penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
c. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret
pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan
dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya,
demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Aktifitas / istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah
dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan
tonus otot.

2) Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi
dan aritmia.

3) Integritas ego
S : Perubahan tingkah laku / kepribadian
O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive

4) Eliminasi
O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.

5) Makanan / cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).

7
6) Neuro sensori :
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan / pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan
kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan
penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran.
Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.

7) Nyeri / rasa nyaman


S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih.

8) Repirasi
O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi,
stridor , ronchi dan wheezing.

9) Keamanan
S : Trauma / injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus
otot hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi
temperatur tubuh.

10) Intensitas sosial


O : Afasia, distarsia

e. Pemeriksaan penunjang
1) CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.

2) MRI
Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.

8
3) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5) X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur
garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.

6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

7) PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.

8) CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.

9) ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan
( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.

10) Kadar elektrolit


Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intrakranial.

11) Screen Toxicologi


Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.

f. Penatalaksanaan
Konservatif :
- Bedres total

9
- Pemberian obat – obatan
- Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas Masalah :
1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak
2). Mencegah komplikasi
3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.
4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana,
pengobatan dan rehabilitasi.

Tujuan :
1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap
2). Komplikasi tidak terjadi
3). Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang
lain
4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam
perawatan
5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh
keluarga sebagai sumber informasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.
4. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous
koma)
5. Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
6. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.

10
DAFTAR PUTAKA

Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan


Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).

Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2
nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company

Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta.

Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.

Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing
process Approach St. CV. Mosby Company.

Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung.

11
TINJAUAN KASUS

Tanggal Pengkajian : 8 April 2002


Tanggal Masuk Rumah Sakit : 7 April 2002
Ruangan / Tempat : Ruangan Bedah F RS Dr. Soetomo
Diagnosa Masuk : COS + Fraktur Basis Cranii, Fraktur Maksilla F II
– F III

I. IDENTITAS
Nama : Tn Cahyono
Umur : 21 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kedaton / Jombang

Penannggung jawab :
Nama : Sumiatun
Umur : 45 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : SMP / Wiraswasta
Hubungan dengan klien : Orang tua / ibu kandung
Alamat : Kedaton / Jombang

II. ALASAN MASUK RUMAH SAKIT


Alasan di rawat : Tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari kendaraan sepeda
motor

Upaya yang dilakukan :


Langsung membawa klien ke IRD RSUD Dr. Soetomo.
Klien baru pertama kali di opname di Rumah Sakit

III. RIWAYAT KESEHATAN


I.1. Riwayat Penyakit sebelumnya
Klien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang kronis / penyakit
keturunan. Asthma Bronchiale tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada,

12
klien selama ini hanya menderita penyakit panas, batuk dan pilek saja.

3.2 Riwayat penyakit sekarang


Klien tidak sadarkan diri / pingsan setelah jatuh ke selokan
karena menghindar dari truk yang berkecepatan tinggi pada tanggal 7
April 2002. Posisi jatuh tidak diketahui , selanjutnya klien pingsan dan
temannya yang minta bantuan pada orang yang lewat. Kemudian klien di
bawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo, GCS pada saat di IRD ExV4M6.

3.3 Riwayat Kesehatan Keluarga


Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit genetic maupun penyakit
menular yang berbahaya.

3.4. Keadaan kesehatan lingkungan : Tidak dikaji.

3.5. Genogram

Keterangan

= Laki – laki = Klien

= Perempuan = Tinggal dalam satu rumah.

13
IV. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK
I.2. Keadaan Umum
Kesadaran baik, GCS E3V4M6. Badan klien nampak bersih, gizi cukup,
agak gelisah, terpasang infus DS – ½ - NS 1500 cc / 24 jam dan manitol 4
x 100 cc pada tangan kiri dan terpasang Dower kateter
I.3. Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60 mm Hg
Nadi : 84 x / menit
Suhu : 36,8 0C
Pernapasan : 20 x / menit
I.4. Body Sistem
a) Pernapasan
Hidung : Nampak kotor karena adanya sisa darah yang kering
Trakhea : Dalam Batas normal
Dada : Bentuk simetris, gerakan simetris, jejas tidak ada
Suara napas : Vesikuler, tidak ada suara tambahan, batuk tidak
ada, sputum tidak ada, cyanosis tidak.
Frekuensi napas : 20 x / menit

b) Kardiovaskuler
Nyeri dada tidak ada, pusing tidak ada, kram kaki tidak ada, sakit
kepala sebelah kanan, palpitasi tidak ada, Clubbing finger tidak ada.

c) Persyarafan
Kesadaran : baik, GCS E3V4M6
Kepala dan wajah : Deformitas wajah baik, edema palpebra S/D :
+/+
Mata :Mata agak sulit dibuka karena pada daerah
palpebra oedema dan nampak kebiruan.
Mulut : Bengkak pada daerah bibir, gigi depan atas
dan bawah keluar sebanyak 4 dan 3, terdapat
darah yang mengering pada daerah mulut.
Leher : Dalam batas normal
Refleks fisiologis : Normal
Refleks Pathologis : Babinski negatif
Pendengaran : kanan / kiri normal
Penciuman : Normal

14
Pengecapan : Tidak dikaji
Penglihatan : Tidak dikaji
Perabaan : Tidak dikaji
Lainnya : Tidak ada.

d) Perkemihan / eliminasi urine


Produksi urine : kurang lebih 1300 cc / 24 jam
Warna urine : Kuning agak kemerahan
Gangguan saat kencing : Tidak ada
Lainnya : Terpasang kateter sejak tanggal 7 April
2002.

e) Makan dan minum :


Mulut : Tampak kotor dengan darah yang
mongering, tidak dapat menutup mulut
dengan rapat, udem pada daerah bibir. Klien
tidak dapat mengunyah dengan sempurna,
makanan yang diberikan adalah bubur saring
dan susu. Porsi yang diberikan dapat
dihabiskan.
Tenggorokan : Tidak ada kelainan
Abdomen : jejas tidak ada, peristaltik baik, simetris
BAB : Selama 2 hari ini klien belum BAB
Obat pencahar : belum digunakan
Lavamen : Belum dilakukan
Lain – lain : Tidak ada.

f) Tulang otot dan integumen


Kemampuan pergerakan sendi
5 5
5 5

Parese tidak ada, paralise, tidak, hemiparese tidak ada.


Ekstremitas atas : Tidak terdapat kelainan
Ekstremitas bawah : Terdapat luka lecet pada lutut kanan yang
mengering.
Warna kulit : Sawo matang
Akral : Hangat

15
Turgor kulit : Baik
ADL : Klien saat ini masih berbaring di tempat
tidur.

g) Sistem Endokrin
Terapi hormon :tidak ada Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan fisik :normal
Perubahan ukuran kepala :tidak mengalami kelainan
Rambut dan kulit : Tidak nampak kering
Exopthalmus : Tidak ada
Goiter : Tidak ada
Hipoglikemia : Tidak ada
Toleransi terhadap panas : Ya
Toleransi terhadap dingin : Ya
Polidipsi : Tidak ada
Poliuri : Tidak ada
Polipagi : Tidak ada
Postural hipotensi : Tidak ada
Kelemahan : Tidak ada.

h) Sistem Hemopoitik
Diagnosa penyakit hemopoitik yang lalu : Tidak ada
Anemia : Tidak ada
Kecenderungan perdarahan : Tidak ada
Transfusi darah : Tidak pernah
Golongan darah : O.

i) Reproduksi
Laki – laki : Testis ada, penis normal.

j) Psikososial
Klien dapat berinteraksi dengan baik kepada petugas kesehatan.

k) Spritual
Sewaktu belum sakit klien menjalankan sholat 5 waktu secara teratur,
dan selama sakit klien tidak lagi melaksanakannya.

16
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tanggal 8 April 2002
Hb : 13,4 gr %
Leuko : 20.600
Trombo : 181.000

2. BGA :
PH : 7,392 ( N : 7,35 – 7,45 )
PCO2 : 34,2 ( N : 35 – 45 )
PO2 : 217,9 ( N : 80 – 104 )
HCO3 : 20,4 ( N : 21 – 25 )
BE : - 4,6 ( N : - 3,3 - +1,2 )

3. CT- Scan
ICH Parieto Occipital dextra, Fronto parietal dextra, Fraktur Zygoma
Dextra, dinding lateral orbita dextra
Analisa : COS + SFBC + FR. Maxilla LF II – III + Hematosinus dextra dan
sinistra.
Rencana Acara : Operasi fraktur maxilla

VI. THERAPY
- Voltaren 3 x 1 amp
- Rantin 3 x 1 amp
- Cedantron 3 x 1 amp
- Dilantin 3 x 1 amp
- Manitol 4 x 100 cc
- Infus DS ½ - NS

VII.DIAGNOSA KEPERAWATAN SESUAI PRIORITAS.

1. Gangguan perfusi darah otak berhubungan dengan oedema serebri


dengandata penunjang :
- Sewaktu kecelakaan pasien tidak sadarakan diri
- GCS ExV4M5
- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra,
fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.

17
- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC
Pernapasan 20 x / menit.
- Pemberian manitol 4 x 100 cc

4. Resiko terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan gangguan


oksigenisasi ke otak dengan data penunjang :
- GCS ExV4M5
- CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra,
fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.
- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC
Pernapasan 20 x / menit.
- Pemberian Dilantin 3 x 1 amp

5. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dan


infus dengan data penunjang :
- Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002
- Terpasang infus sejak tanggal 7 April 2002
- Pengeluaran urine sebanyak 1300 cc/ 24 jam melalui selang kateter.
- Pemberian cedantion 3 x 1 amp
- Pemberian voltaren 3 x 1 amp

6. Gangguan oral hygiene berhubungan dengan perawatan mulut yang


tidak optimal dengan data penunjang :
- Klien mengatakan rasa nyeri sewaktu membuka mulut
- Oedema pada daerah mulut
- Gigi tanggal sebanyak 7 buah
- Terdapatnya darah kering sekitar mulut dan hidung

18
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika


Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan
lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi
dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin
meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif


antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,
disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir
separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh
fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan
kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala.
Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih
terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya
dukungan sistem transportasi dan komunikasi

Tujuan

Dengan adanya resume ini, maka saya selaku panyusun mebuat resume ini
bertujuan untuk memenuhi persyaratan ujian semester dari dosen pembimbing mata
kuliah computer, yaitu pak Maiza Efaldi, S.Kom.

BAB II

CKB (Cedera Kepala Berat)

Defenisi

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika


Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000

19
kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan
lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi
dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin
meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif


antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,
disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir
separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh
fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan
kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala.
Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih
terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya
dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan tantangan
bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap
petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis
untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan
rujukan ke rumah sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat
menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan
terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan
berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.

Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala bisa diklasifikasikan dalam berbagai aspek, tetapi untuk


kepentingan praktis di lapangan dapat digunakan klasifikasi berdasarkan beratnya
cedera. Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan menggunakan
Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat
kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang
dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons),
dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons)1,3.

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

20
1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 – 15
2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9 – 12
3. Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8

Glasgow Coma Scale

I. Reaksi membuka mata


1. Buka mata spontan
2. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
3. Buka mata bila dirangsang nyeri
4. Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
II. Reaksi berbicara
1. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
2. Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3. Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
4. Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
5. Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
III. Reaksi gerakan lengan/tungkai
1. Mengikuti perintah
2. Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
3. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
4. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
5. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
6. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

Penderita yang sadar baik (composmentis) dengan reaksi membuka mata spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi baik, mempunyai nilai GCS total sebesar 15.
Sedang pada keadaan koma yang dalam, dengan keseluruhan otot-otot ekstremitas
flaksid dan tidak ada respons membuka mata sama sekali, nilai GCS-nya adalah 31.

Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu


cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita
lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Sedangkan cedera otak sekunder

21
merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik3,4.

Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi,


bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah
atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang dan berakhir
pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini akan berakhir
dengan kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-
keadaan yang merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah
mengalami cedera (neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera). Beban
ekstra ini bisa karena penyebab sistemik maupun intrakranial. Berbeda dengan cedera
otak primer, banyak yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi
terjadinya cedera otak sekunder3,4,5.

Penyebab cedera otak sekunder di antaranya3,4,5:

1. Penyebab sistemik: hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan


hiponatremia.
2. Penyebab intrakranial: tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.

Bagi petugas kesehatan di daerah, tugasnya adalah mencegah, mendeteksi, dan


melakukan penanganan dini terhadap kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder.

Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan6: (1)


Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel
otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.
Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena
diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering
diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan
hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi.
Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen.

22
Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan
secepatnya1.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis ada 5, yaitu:

(1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;

(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat;

(3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat;

(4) Terlambat dilakukan tindakan bedah;

(5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan
sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok,
hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway,
breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat
memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan
pelvis3,6.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain


shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang
sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot
flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan
bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi
vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga
perlu segera bantuan pernapasan6.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan
chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui

23
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu
bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada
penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan
secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila
ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam
posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial3,5,8,10.

Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk
mendapatkan penanganan selanjutnya.

Rujukan

Sesuai dengan keadaan masing-masing daerah yang sangat bervariasi,


pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan, keadaan geografis,
dan cepatnya mencapai rumah sakit rujukan yang ditentukan. Prinsipnya adalah ‘To
get 0a definitif care in shortest time’. Dengan demikian, bila memungkinkan
sebaiknya semua penderita dengan trauma kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada

24
fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di
negara kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas tersebut
(khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit dilaksanakan. Oleh
karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan3:

1. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita, sebaiknya


langsung dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas bedah saraf (rumah sakit
propinsi).
2. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit terdekat yang ada
fasilitas bedah.
3. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk
mendapatkan penanganan lebih baik.

Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok, kejang,
apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat dalam perjalanan,
keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat. Dengan adanya risiko
selama transportasi, maka perlu persiapan dan persyaratan dalam transportasi, yaitu
disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan
obat gawat darurat (di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction,
oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc,
diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat rujukan yang
lengkap dan jelas3.

Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan kita


untuk merujuk penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita untuk
menentukan keputusan yang terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria pasien cedera
kepala yang masih bisa dirawat di rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu5 :

1. Orientasi waktu dan tempat masih baik


2. Tidak ada gejala fokal neurologis.
3. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah.
4. Tidak ada fraktur tulang kepala.
5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah.
6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu.

Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi secara
aktif (menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam. Bila dijumpai nyeri

25
kepala bertambah berat, muntah makin sering, kejang, kesadaran menurun, dan
adanya kelumpuhan maka segera lapor ke puskesmas atau petugas medis terdekat5.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena dapat mencegah


terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan morbiditas dan
mortalitasnya. Dua hal penting dalam penanganan awal ini adalah penanganan segera
di tempat kejadian dan proses transportasi saat merujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.
Tujuan dari penanganan cedera kepala bukan lagi sekadar menolong jiw,a tetapi
menyembuhkan penderita dengan sequele yang seminimal mungkin. Petugas medis di
puskesmas sebagai ujung tombak penyedia pelayanan kesehatan terdepan, memiliki
tanggung jawab yang penting untuk melakukan penanganan awal seoptimal mungkin
dan mempersiapkan rujukan penderita ke tingkat fasilitas yang lebih tinggi.

Saran

Saya selaku penulis, menyadari bahwa resume ini jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun demi kesempurnaan resume yang akan dibuat dimasa mendatang.

Daftar Pustaka

1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors.


American College of Surgeon, 1997 : 195-227.
2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1998 : 147-176.
3. Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In : Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999.
4. Darmadipura MS. Cedera otak primer dan cedera otak sekunder tinjauan
mekanisme dan patofisiologis. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Bedah Saraf. 2000.
5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In :
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.

26
6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar
penanganan cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.
7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR, ed. Head
Injury. Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.
8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika 1996;10:
802-804.
9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-injured
patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma.
McGraw-Hill, 1996: 103-117.
10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured patient. In:
Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill,
1996: 331-344.

27

Anda mungkin juga menyukai