DI SUSUN
OLEH :
SUBHAN
NIM 010030170 B
Mahasiswa
Subhan
NIM. 010030170 B
SKp
NIP. NIP.
2
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan
koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga
bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala
permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob
yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood
Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15
% dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas
atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.
Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P
aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
3
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
4
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa
bulan.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena
pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda – tanda vital
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk.
5
3. Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan
Resiko trauma
6
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan
sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
b. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah,
penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
c. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret
pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan
dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya,
demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Aktifitas / istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah
dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan
tonus otot.
2) Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi
dan aritmia.
3) Integritas ego
S : Perubahan tingkah laku / kepribadian
O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive
4) Eliminasi
O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.
5) Makanan / cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
7
6) Neuro sensori :
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan / pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma.
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan
kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan
penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran.
Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
8) Repirasi
O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi,
stridor , ronchi dan wheezing.
9) Keamanan
S : Trauma / injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus
otot hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi
temperatur tubuh.
e. Pemeriksaan penunjang
1) CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.
2) MRI
Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
8
3) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur
garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7) PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8) CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9) ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan
( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
f. Penatalaksanaan
Konservatif :
- Bedres total
9
- Pemberian obat – obatan
- Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas Masalah :
1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak
2). Mencegah komplikasi
3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.
4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana,
pengobatan dan rehabilitasi.
Tujuan :
1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap
2). Komplikasi tidak terjadi
3). Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang
lain
4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam
perawatan
5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh
keluarga sebagai sumber informasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.
4. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous
koma)
5. Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
6. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.
10
DAFTAR PUTAKA
Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2
nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company
Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.
Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing
process Approach St. CV. Mosby Company.
11
TINJAUAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn Cahyono
Umur : 21 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kedaton / Jombang
Penannggung jawab :
Nama : Sumiatun
Umur : 45 tahun
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan/pekerjaan : SMP / Wiraswasta
Hubungan dengan klien : Orang tua / ibu kandung
Alamat : Kedaton / Jombang
12
klien selama ini hanya menderita penyakit panas, batuk dan pilek saja.
3.5. Genogram
Keterangan
13
IV. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK
I.2. Keadaan Umum
Kesadaran baik, GCS E3V4M6. Badan klien nampak bersih, gizi cukup,
agak gelisah, terpasang infus DS – ½ - NS 1500 cc / 24 jam dan manitol 4
x 100 cc pada tangan kiri dan terpasang Dower kateter
I.3. Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60 mm Hg
Nadi : 84 x / menit
Suhu : 36,8 0C
Pernapasan : 20 x / menit
I.4. Body Sistem
a) Pernapasan
Hidung : Nampak kotor karena adanya sisa darah yang kering
Trakhea : Dalam Batas normal
Dada : Bentuk simetris, gerakan simetris, jejas tidak ada
Suara napas : Vesikuler, tidak ada suara tambahan, batuk tidak
ada, sputum tidak ada, cyanosis tidak.
Frekuensi napas : 20 x / menit
b) Kardiovaskuler
Nyeri dada tidak ada, pusing tidak ada, kram kaki tidak ada, sakit
kepala sebelah kanan, palpitasi tidak ada, Clubbing finger tidak ada.
c) Persyarafan
Kesadaran : baik, GCS E3V4M6
Kepala dan wajah : Deformitas wajah baik, edema palpebra S/D :
+/+
Mata :Mata agak sulit dibuka karena pada daerah
palpebra oedema dan nampak kebiruan.
Mulut : Bengkak pada daerah bibir, gigi depan atas
dan bawah keluar sebanyak 4 dan 3, terdapat
darah yang mengering pada daerah mulut.
Leher : Dalam batas normal
Refleks fisiologis : Normal
Refleks Pathologis : Babinski negatif
Pendengaran : kanan / kiri normal
Penciuman : Normal
14
Pengecapan : Tidak dikaji
Penglihatan : Tidak dikaji
Perabaan : Tidak dikaji
Lainnya : Tidak ada.
15
Turgor kulit : Baik
ADL : Klien saat ini masih berbaring di tempat
tidur.
g) Sistem Endokrin
Terapi hormon :tidak ada Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan fisik :normal
Perubahan ukuran kepala :tidak mengalami kelainan
Rambut dan kulit : Tidak nampak kering
Exopthalmus : Tidak ada
Goiter : Tidak ada
Hipoglikemia : Tidak ada
Toleransi terhadap panas : Ya
Toleransi terhadap dingin : Ya
Polidipsi : Tidak ada
Poliuri : Tidak ada
Polipagi : Tidak ada
Postural hipotensi : Tidak ada
Kelemahan : Tidak ada.
h) Sistem Hemopoitik
Diagnosa penyakit hemopoitik yang lalu : Tidak ada
Anemia : Tidak ada
Kecenderungan perdarahan : Tidak ada
Transfusi darah : Tidak pernah
Golongan darah : O.
i) Reproduksi
Laki – laki : Testis ada, penis normal.
j) Psikososial
Klien dapat berinteraksi dengan baik kepada petugas kesehatan.
k) Spritual
Sewaktu belum sakit klien menjalankan sholat 5 waktu secara teratur,
dan selama sakit klien tidak lagi melaksanakannya.
16
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tanggal 8 April 2002
Hb : 13,4 gr %
Leuko : 20.600
Trombo : 181.000
2. BGA :
PH : 7,392 ( N : 7,35 – 7,45 )
PCO2 : 34,2 ( N : 35 – 45 )
PO2 : 217,9 ( N : 80 – 104 )
HCO3 : 20,4 ( N : 21 – 25 )
BE : - 4,6 ( N : - 3,3 - +1,2 )
3. CT- Scan
ICH Parieto Occipital dextra, Fronto parietal dextra, Fraktur Zygoma
Dextra, dinding lateral orbita dextra
Analisa : COS + SFBC + FR. Maxilla LF II – III + Hematosinus dextra dan
sinistra.
Rencana Acara : Operasi fraktur maxilla
VI. THERAPY
- Voltaren 3 x 1 amp
- Rantin 3 x 1 amp
- Cedantron 3 x 1 amp
- Dilantin 3 x 1 amp
- Manitol 4 x 100 cc
- Infus DS ½ - NS
17
- Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC
Pernapasan 20 x / menit.
- Pemberian manitol 4 x 100 cc
18
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Dengan adanya resume ini, maka saya selaku panyusun mebuat resume ini
bertujuan untuk memenuhi persyaratan ujian semester dari dosen pembimbing mata
kuliah computer, yaitu pak Maiza Efaldi, S.Kom.
BAB II
Defenisi
19
kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan
lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi
dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin
meningkat1,2.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap
petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis
untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan
rujukan ke rumah sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat
menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan
terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan
berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:
20
1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 – 15
2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9 – 12
3. Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8
Penderita yang sadar baik (composmentis) dengan reaksi membuka mata spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi baik, mempunyai nilai GCS total sebesar 15.
Sedang pada keadaan koma yang dalam, dengan keseluruhan otot-otot ekstremitas
flaksid dan tidak ada respons membuka mata sama sekali, nilai GCS-nya adalah 31.
Patofisiologi
21
merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik3,4.
Penanganan
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.
Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena
diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering
diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan
hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi.
Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen.
22
Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan
secepatnya1.
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan
sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok,
hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway,
breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat
memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan
pelvis3,6.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan
chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
23
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu
bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada
penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan
secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila
ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam
posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial3,5,8,10.
Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk
mendapatkan penanganan selanjutnya.
Rujukan
24
fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di
negara kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas tersebut
(khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit dilaksanakan. Oleh
karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan3:
Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok, kejang,
apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat dalam perjalanan,
keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat. Dengan adanya risiko
selama transportasi, maka perlu persiapan dan persyaratan dalam transportasi, yaitu
disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan
obat gawat darurat (di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction,
oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc,
diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat rujukan yang
lengkap dan jelas3.
Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi secara
aktif (menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam. Bila dijumpai nyeri
25
kepala bertambah berat, muntah makin sering, kejang, kesadaran menurun, dan
adanya kelumpuhan maka segera lapor ke puskesmas atau petugas medis terdekat5.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Saya selaku penulis, menyadari bahwa resume ini jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun demi kesempurnaan resume yang akan dibuat dimasa mendatang.
Daftar Pustaka
26
6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar
penanganan cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.
7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR, ed. Head
Injury. Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.
8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika 1996;10:
802-804.
9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-injured
patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma.
McGraw-Hill, 1996: 103-117.
10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured patient. In:
Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill,
1996: 331-344.
27