Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

Disusun untuk memenuhi tugas Program Internsip Dokter Indonesia Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia

Disusun Oleh:
Firina Adelya S, dr.

Dokter Pendamping:
Iwan G A Mandagi, dr.
Ernie Burhanuddin, dr.

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PERIODE


FEBRUARI 2019-2020
RSAU DR. M HASSAN TOTO
KABUPATEN BOGOR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi virus dangue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), deman dangue, demam
berdarah dangue, sampai demam berdarah disertai syok (dengue shock syndrome).
Tanda patognomonik antara demam dangue dan demam berdarah dengue adalah peningkatan
permeabilitas kapiler darah yang menyebabkan adanya kebocoran dari intravaskuler ke
kompartemen ekstravaskuler. Pada DBD yang parah hilangnya plasma sangat penting, pasien
menjadi hipovolemik, tanda-tanda circulatory compromise, dan dapat menjadi syok. Demam
berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan kematian, tetapi bila berkembang
menjadi sindrom syok dengue akan meningkat menjadi 40%.
Sindrom syok dengue merupakan salah satu kegawatan di bidang infeksi. Masalah yang
berkembang di Indonesia belakangan ini adalah kecenderungan pasien yang menderita demam
berdarah dengue jatuh pada keadaan yang lebih berat, yaitu sindrom syok dengue.
Penanganan DSS adalah resusitasi dengan pemberian cairan secara parenteral, dengan tujuan
untuk memulihkan dan mempertahankan kebutuhan cairan selama periode meningkatnya
permeabilitas kapiler. Perawatan khusus diperlukan untuk menghindari overload cairan dengan
semua komplikasiny. Bila resusitasi cairan dimulai sejak tahap awal, syok bisa reversibel, dan
masalah kebocoran plasma teratasi, pasien dapat sembuh dengan baik.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. M.I


Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Kp. Sawah
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda

Tanggal Masuk : 21-09-2019

Tanggal Keluar : 25-09-2019


Informasi diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada pasien dan orang tua
pasien.

II. Anamnesis

Keluhan Utama : Sesak dan Lemas

Pasien ke IGD RSAU dr. M. Hassan Toto pada tanggal 21 September 2019 datang dengan
keluhan demam sejak 3 hari SMRS. Keluhan sesak dan lemas sejak 3 minggu sebelum masuk RS,
dirasakan hilang timbul, tidak disertai mengi, faktor yang memperberat dan memperingan sesak
tidak diketahui.

Keluhan disertai demam sejak 5 hari lalu, demam timbul mendadak tinggi pada pagi hari.
Keluhan demam dirasakan terus menerus, sempat dirasakan naik turun, namun demam lebih
meningkat menjelang malam hari. Menurut ibu pasien demam turun jika pasien mengkonsumsi
obat dan 6 jam kemudian demam bisa dirasakan kembali. Menurut orang tuanya keluhan demam
baru pertama kali dirasakan. Keluhan demam tidak disertai dengan nyeri persendian hebat sampai
tidak bisa berjalan, pasien menyangkal keluhan demam diawali dengan menggigil dan setelah
demam berkeringat banyak hingga harus berganti pakainan, pasien juga menyangkal sempat
bepergian ke daerah endemis malaria. Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan pasien,
riwayat keluhan serupa di keluarga maupun di lingkungan rumah disangkal.

Selain demam saat ini pasien sangat mengeluhkan perasaan tidak enak diperut, perut terasa
begah, Selain itu perut juga terasa nyeri terutama di bagian ulu hati. Keluhan juga disertai mual,
muntah >5x/hari setiap diisi makan dan minum dan fekuensi BAB meningkat >3x/hari dengan
konsistensi cair, ampas +, lendir -, darah -.

Demam tidak disertai dengan mimisan, gusi berdarah, dan bintik-bintik merah dikulit.
Menurut ibunya, 1 hari sebelum dibawa ke IGD RS terdapat keluhan frekuensi buang air kecil
berkurang dan badan anaknya terasa dingin.

 Riwayat Penyakit Sebelumnya

Pasien menyangkal adanya riwayat alergi, asma, penyakit jantung bawaan.

 Riwayat Pengobatan

Pasien sebelumnya sudah berobat dan dirawat dengan keluhan sesak tapi belum membaik.

 Riwayat Keluarga

Menurut ibunya di keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit keturunan. Pasien juga
menyangkal bahwa ada anggota keluarganya yang memiliki keluhan serupa.

 Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien sehari-hari menjalankan aktivitasnya pagi bersekolah dan sepulang sekolah pasien
terkadang bermain bersama teman-temannya. Ayah pasien bekerja sebagai pedagang pada pagi
hari dan sore hari terkadang mengajar ngaji, ibu pasien hanya sebagai ibu rumah tangga. Pasien
merupakan anak pertama dari 3 bersaudara, pasien memiliki 2 orang adik.

 Pemeliharaan Kehamilan dan Antenatal

Ketika hamil, ibu pasien rajin melakukan pemeriksaan kehamilan di Bidan. Pada usia
kehamilan trimester I ibu pasien melakukan kontrol sebanyak 1x dalam 2 bulan. Pada usia
kehamilan trimester II ibu pasien melakukan kontrol sebanyak 1x/bulan dan pada trimester ke III
juga melakukan kontrol 1x/bulan. Keluhan selama kehamilan berupa mual, muntah pada awal usia
kehamilan. Obat-obatan yang diminum selama masa kehamilan meliputi vitamin, tablet penambah
darah, dan sempat meminum anti muntah.

 Riwayat Kelahiran

Pasien lahir dari ibu dengan umur kehamilan 38 minggu secara spontan ditolong bidan
dengan berat badan lahir 3000 gram dan panjang 48 cm, langsung menangis kuat segera setelah
lahir dan tidak ada kebiruan.

 Riwayat Imunisasi

Riwayat imunisasi sudah dilakukan lengkap seuai usianya

 Riwayat Makan dan Minum Anak

Saat kecil pasien mendapatkan ASI sejak lahir hingga usia kurang lebih 1 tahun. Pasien
mulai mendapatkan makanan tambahan selain ASI saat usia 6 bulan. Saat ini pasien makan
makanan sesuai menu keluarga. Sehari-hari pasien makan nasi hanya 1 kali, nasi disertai lauk pauk
beraneka ragam seperti tahu, tempe, telur, ayam dan disertai sayur. Selain makan nasi pasien lebih
sering membeli chiki dan makanan jajanan seperti cilok, mie, bakso dan minuman kemasan.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 E4V5M6
Tanda vital
TD : 90/60 mmHg (Normal sistol 113-117 dan diastole 74-78 mmHg)
Nadi : 126x/menit (Normal 60-90x/menit)
Pernapasan : 34x/menit (Normal 14 – 22x/menit)
Suhu : 36o celcius (Normal 36,3 oC – 37,7oC)
BB : 40 kg
TB : 135 cm
Pemeriksaan Fisik Generalis
Kepala : Normocephal
- Mata : Pupil bulat isokor, kornea jernih, refleks cahaya +/+, Konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, mata cekung +/+
- Telinga : Bentuk simetris, pendengaran baik, nyeri tekan processus mastoid (-)
- Mulut : Mulut bersih, bibir kering(+), lidah kotor(-), stomatitis(-), papil
atrofi(-). Tonsil T3/T3, Hiperemis(-), kripta melebar, detritus (-), mukosa bibir
kering
- Leher : KGB tidak teraba, trakea di tengah
- Thorax
 Pulmo
- Inspeksi :
- Bentuk dan gerak simetris, tertinggal (-)
- massa (-), lesi (-), ruam (-)
- retraksi intercostal (-), retraksi supraklavikular(-)
- Palpasi :
Vocal fremitus normal dan simetris kedua lapang paru, Sela iga melebar (-)
- Perkusi :
- Perkusi sonor dan simetris di kedua lapang paru
- Batas paru hepar normal
- Auskultasi :
- Vesiculer breath sound +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
• Cor :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V LMCS
- Perkusi : Batas jantung normal, tidak ada pembesaran
- Auskultasi : Suara jantung normal, S1 normal, S2 normal, murmur (-), gallop (-)

- Abdomen :
- Inspeksi : datar, simetris
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari BAP dan 2 jari BPX
dan lien tidak teraba
- Perkusi : timpani pada seluruh abdomen.
- Auskultasi : bising usus menurun 3 kali permenit (Normal 4-6x/m)

- Ekstrimitas : Akral dingin, Capillary refill time > 2 detik, edema -/-

Hasil Laboratorium

IV. Working Diagnosis


- Dengue Fever
- GEA + Dehidrasi Ringan sedang
- Obs. Dyspnoe ec ?

V. Penatalaksanaan
- O2 NK 3 lpm
- IVFD loading Kaen 3B 150cc → lanjut 20 tpm
- Ranitidine 40mg/12 jam IV
- Ondansetron 4mg/8jam IV
- Ceftriaxone 1,5gr/12 jam dalam 100cc NaCl
- Gentamicin 160mg /12 jam
- Cek OT/PT, Ur/Cr, Elektrolit
- Rontgen thorax
- Observasi TTV
FOLLOW UP

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN


Hari 1 S: Os masih sesak, badan dingin - O2 Nasal Kanul 2-4
21-09-2019 lpm
O: Somnolen E3M6V3, sakit berat - loading NaCl 1000cc
TD: 100/60 mmHg  evaluasi TTV 
bila blm teratasi, ulang
RR: 30x/m NaCl 1000cc 
evaluasi TTV  bila
N: 110x/m
masih syok  loading
S : 36C , sanbehest 500cc ,
pasang dopamine
Spo2 : 100% 5mc/kgBB.
- Bila syok teratasi 
Akral dingin, CRT >2”
NaCl 300cc/6 jam
A: Syok (DSS), sepsis berat - Pro perawatan ICU
- Pasang kateter
- Observasi diuresis
Hasil Lab
Ur/Cr : 75/3,0
SGOT/GPT : 247/109
Na/K/Cl : 135/3,5/93
Hari 2 S: Keluhan demam dirasakan naik turun, - O2 Nasal Kanul 3 lpm
22-09-2019 sesak nafas berkurang (+), Terpasang kateter - IVFD NaCl
300cc/6jam
O : Kes: Somnolen, E3M6V3 - Curcuma 3x1 cth
KU: sakit berat - HP pro 2x1 tab
TD 110/70 mmHg - Ibuprofen 3x400 mg
prn
RR: 24x/m - Pantau TTV/ jam
- Cek H2TL/ hari
N: 106x/m
- Balance cairan/ 24 jam
S : 36C

Akral hangat, CRT <2 detik


A : - Sindrom Syok Dengue Terkompensasi
- Sepsis berat

Hari 3 S: Keluhan demam dirasakan naik turun, P : O2 NRM 3 lpm


23-09-2019 sesak nafas (-), Terpasang kateter - Dopamin stop
- Ceftriaxone diganti
O : Kes: Compos mentis, E4M6V5 levofloxacin 2x500mg
KU: sakit sedang IV
TD: 110/74 mmHg RR: 24x/m - Bila KU stabil dan ttv
baik boleh pindah ke
N: 100x/m S : 38C ruang biasa

Akral hangat, CRT >2”

Hasil Laboratorium

A : Sindrom Syok Dengue Terkompensasi


- Sepsis berat

Hari 4 S: sesak nafas (-) P:


24-09-2019 - Pantau TTV
O : Kesadaran : compos mentis - Cek H2TL, SGOT/GPT,
KU : Sakit sedang Ur/Cr ulang
TD: 120/70 mmHg RR: 22x/m - Aff O2 dan kateter
N: 100x/m S : 37C
Thoraks : Simetris
Pulmo : VBS +/+, Rh-/-, Wh-/-
Cor : BJ I II Regular, Murmur-,
Gallop-
Abdomen : Datar, Soepel, BU (+) NT
(+) epigastrium
Ekstrimitas : akral hangat, CRT <2 detik,
edema tidak ada

Hasil Laboratorium :
Trombosit : 69.000/mm3
Ht : 31%
A : Sindrom Syok Dengue Terkompensasi
- Sepsis berat

Hari 5 S: Demam (-), lemas (+), BAB sudah tidak P : BLPL


25-09-2019 hitam, mual (+), sesak nafas (+) berkurang, PCT 3x1 tab PO
BAK tidak ada kelainan. Curcuma 2x1
Cefixime 2x200mg
O : Kesadaran : compos mentis
KU : Sakit sedang

TD: 120/70 mmHg RR: 22x/m


N: 100x/m S : 36,5C
Thoraks : Simetris
Pulmo : VBS +/+, Rh-/-, Wh-/-
Cor : BJ I II Regular, Murmur-,
Gallop-
Abdomen : Datar, Soepel, BU (+) NT
(+) epigastrium
Ekstrimitas : akral hangat, CRT <2 detik,
edema tidak ada

Hasil Lab :
A : Sindrom Syok Dengue Terkompensasi
- Sepsis berat
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus.
Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile
illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Sindrom Syok Dengue (SSD).

3.1 DEFINISI

Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD
disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari
DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling
berat, yang berakibat fatal. (1,2,3)
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam
syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome
(DSS).
Demam berdarah merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, ditandai dengan demam 2–7 hari
disertai dengan manifestasi perdarahan, penurunan jumlah trombosit <100.000/mm3, adanya
kebocoran plasma ditandai dengan peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai normal.1,5

3.2 INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian DBD di Indonesia cenderung megalami kenaikan tiap tahunnya. Berdasarkan
data Surveillans Penyakit Menular oleh Ditjen Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan disebutkan per Februari 2019 kasusnya mencapai
16.692 kasus dengan angka kematian sebanyak 169 orang. Jumlah tersebut meningkat jika
dibandingkan dengan data sepanjang tahun 2018. Persebaran kasus DBD di Indonesia hampir
merata di seluruh provinsi. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit
DBD, karena virus penyebab dan nyamuk penularannya tersebar luas baik di rumah maupun
ditempat-tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan air
laut.3,6

3.3 ETIOLOGI
Etiologi penyakit demam berdarah dangue adalah virus dengue termasuk family flaviviridae
genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe. Terdapat empat serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotip terbanyak. 5,7

Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relative labil terhadap suhu dan faktor
kimiawai lain serta masa viremia yang pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA
dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung dua
protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M. 7

Virus dengue adalah anggota dari genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus kecil
(50nm) ini mengandung satu untai RNA sebagai genom. Virionnya terdiri dari nukleokapsid
dengan kubik simetrisnya tertutup didalam envelope lipoprotein. Genome virus dengue sepanjang
11.644 nekleotid dan tersusun dari tiga gen protein struktural yang mengkode nukleokaptid atau
protein inti (C), protein membrane-associated (M), protein envelope (E), dan tujuh protein gen
non struktural (NS). 7

3.4 PATOFISIOLOGI

Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. (1,2,3)
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous
infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)(1,2,3)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga
plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun
hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. (1,2,3)

Gambar 4. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue


Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus
dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. (1,2)

Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD


Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
(2,3)

Gambar 6. Patogenesis Perdarahan pada DBD


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di
sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler
yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),
kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.(2,3)
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara
hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya
reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1) Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan
sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2) Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada
sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fogosit mononukleus.
3) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang
telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah
sel yang terinfeksi.
4) Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-
mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut
berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen
dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta
tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

3.5 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas, dapat bersifat asimtomatik atau tidak
bergejala, demam yang tidak khas sulit dibedakan dengan infeksi lain.
Gambar 3.1 Pembagian Infeksi Virus Dengue

Sindrom virus akan sembuh sendiri , namun dikhawatirkan apabila dikemudian


hari terkena infeksi yang kedua, manifestasi klinis yang diderita akan lebih berat berupa
demam dengue, demam berdarah dengue, sindrom syok dengue atau expanded dengue
syndrome.
Demam dengue
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
berupa demam, myalgia, sakit punggung, dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik
seperti rasa lemah (malaise), anoreksia , dan gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya
timbul mendadak, tinggi (39-40C), terus menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik,
biasanya berlangsung 2-7 hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh menurun,
namun masih diatas normal, kemudian suhu naik tinggi kembali, pola ini disebut sebagai
pola demam bifasiik. Demam disertai gejala myalgia, sakit punggung, arthralgia, muntah,
fotofobia dan nyeri retroorbital.
Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam maculopapular atau rubeliformis. Pada masa
penyembuhan timbul ruam di kaki dan tangan berupa ruam maculopapular dan ptekie
diselingi bercak-bercak putih, dapat disertai rasa gatal yang disebut ruam konvalesens.
Manifestasi perdarahan umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet yang positif (>=10
ptekie dalam area 2,8 cmx2,8cm) atau beberapa ptekie spontan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukan jumlah leukosit yang normal, namun pada beberapa
kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun kejadian terjadi leukopeni dengan
jumlah PMN yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam. Jumlah trommbosit dapat
normal atau menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan jumlah trombosit
<50.000/mm3. Peningkatan nilai hematocrit sampai 10% , mungkin ditemukan akibat
dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan yang kurang.

Demam berdarah dengue

Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis, serta konvalesens.
Setiap fase perlu bantuan yang cermat, karena setiap fase perlu risiko yang dapat memperberat
keadaan sakit.7

1. Fase febris
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan menghilangnya demam.
Penurunan demam terjadi secara lisis, asrtinya suhu tubuh menurun secara segera, tidak secara
bertahap. Menghilangnya demam yang dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi
dan tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat plasma yang tidak
berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan
menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.1,5,7

2. Fase kritis

Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya hari ke 3-7 penyakit,
akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler bersamaan dengan peningkaya kadar hematokrit,
hal ini merupakan tanda awal dari fase kritis, periode kebocoran plasma biasanya berlangsung 24 -
48 jam yang ditandai dengan peningkatan hematokrit, mendahului perubahan tekanan darah serta
volume nadi, oleh sebab itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin
meningkat berarti kebutuhan cairan intera vena untuk mempertahankan volume intravascular
bertambah, sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.Syok
terjadi ketika terjadi kehilangan banyak plasma, nantinya dapat menyebabkan asidosis metabolik,
DIC.1,5,7

3. Fase penyembuhan
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang bertahan dalam 24-48 jam, terjadi reabsorbsi
cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruamg intravascular yang berlangsung secara bertahap
pada 48-72 jam berikutnya. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek
dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu
tubuh akan tetapi jumlah pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat.7
Gambar 3.2 Perjalanan penyakit infeksi Dengue

Pada pasien ini manifestasi klinis sesuai dengan penjelasan diatas, karena keluhan demam
pasien mulai menurun saat demam masuk hari ke 4 hal ini dibuktikan dari suhu pasien pada
demam hari ke 4 adalah 36,8 setelah sebelumnya suhu tubuh pasien 38,7. Selain keluhan demam
pasien juga mengeluhkan mual dan nyeri di persendian.

Saat demam memasuki hari ke 4 pasien menunjukkan fase kritis dimana sebelumnya tidak
ada keluhan perdarahan, pada saat ini pasien mengeluhkan terdapat BAB kehitaman seperti aspal
dengan konsistensi cair. Selain itu pasien juga menunjukkan tanda-tanda penurunan tekanan
darah, nadi meningkat akral teraba dingin, namun tidak ditunjang dengan pemanjangan capillary
refil timenya. Pada demam hari ke 6 pasien sudah menunjukkan tanda-tanda penyembuhan
dimana tanda vital pasien mulai stabil, tanda perdarahan saluran cerna berkurang dan akral teraba
hangat.

Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume intravascular yang akan


menyebabkan syok hipovolemik yang dikenal sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang
memperburuk prognosis.

Sindrom syok dengue

Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar oenurunan suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari
sakit ke4-5 (rentang hari ke 3-7) dan sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning sign).
Pasien yang tidak mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.

Syok Terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya hipovolemi menyebabkan tubuh
melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur neurohormonal agar tidak terjadi hipoperfusi
pada organ vital. System kardiovaskular mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isi
sekuncup (stroke volume) , laju jantung (heart rate) , dan vasokonstriktor perifer. Pada fase ini
tekanan darah biasanya belum turun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung. Oleh karena itu
takikardi yang terjadi pada saat tubuh mulai turun, walaupun tekanan darah belum banyak
menurun harus diwaspadai kemungkinan anak jatuh ke dalam syok. Pada beberapa pasien,
khususnya remaja dan dewasa takikardi tidak terjadi.

Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung atau pengobatan tidak adekuat,
kompensasi dilakukan dengan mempertahankan sirkulasi ke organ vital dengan mengurangi
sirkulasi ke daerah perifer (vasokonstriksi perifer), secara klinis ditemukan ekstremitas dingin dan
lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi berbecak-bercak, pengisian waktu kapiler memanjang lebih
dari dua detik. Dengan adanya vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer
sehingga tekanan diastolic meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi akan
menyempit kurang dari 20mmHg.

Pada tahap ini system pernafasan melakukan kompensasi berupa quite tachypnea (takipnea tanpa
peningkatan kerja otot pernafasan). Kompensasi system keseimbangan asam basa berupa asidosis
metabolic namun nilai pH masih normal dengan tekanan karbondioksida rendah dan kadar
bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar. Pemberian cairan yang
adekuat pada umumnya akan memberikan prognosis baik. Bila keadaan kritis luput dari
pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan tepat, maka pasien akan jatuh
kedalam syok dekompensasi.

Syok dekompensasi

Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahankan system kardiovaskular
telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolic telah menurun, disebut syok hipotensif.
Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian pengobatan tidak adekuat akan
terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur,
sianosis makin jelas terlihat. Temuan adanya hipotensi merupakan hal yang terlambat karena
tanda hipotensi sudah masuk ke dalam syok dekompensasi, kolap kardiorespirasi akan segera
terjadi. Deteksi dini syok terkompensasi dan terapi yang cepat dapat memberikan prognosis yang
baik.
Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan kondisi mental karena penurunan
perfusi otak. Pasien menjadi gelisah, bingung, atau letargi.

3.6 KLASIFIKASI
Berdasarkan buku pedoman diagnosis dan tatalaksana infeksi dengue pada anak tahun 2014
membuat klasifikasi DBD menjadi demam dengue, demam berdarah dengue, sindrom syok
dengue yang dibagi menjadi syok terkompensasi dan syok dekompensasi, dan expanded dengue
syndrome. Klasifikasi ini berpedoman berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2009 dan 2011 yang
telah disesuaikan dengan situasi di Indonesia.7

a. Demam Dengue
b. Demam Berdarah Dengue

Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak, kontinua, kadang
bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam disertai gejala lain yang sering ditemukan pada
demam dengue seperti muka kemerahan, anoreksia, myalgia, dsn srtslgis. Gejala lain yang dapat
timbul berupa nyeri epigastric, mual, muntah, nyeri didaerah subcostal kanan atau nyeri abdomen
difus, kadang disertai nyeri tenggorokan. Faring dan konjungtiva yang kemerahan (pharyngeal
injection dan ciliary injection) dapat ditemukan pada pemeriksaan fisis. Demam dapat mencapai
suhu 40°C, dan dapat disertai kejang demam. 5,7

Tanda perdarahan dapat berupa uji tourniquet yang positif, petekie spontan yang dapat
ditemukan di daerah ekstremitas, aksila, muka dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi
dapat ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna, hematuria lebih jarang
ditemukan. Perdarahan berat dapat ditemukan seperti kelebihan cairan, gangguan elektrolit,
ensefalopati, ensefalitis, perdarahan hebat, gagal ginjal akut, gangguan jantung dan hemolytic
uremic syndrome. 5,7

Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit, namun
berlangsung singkat sehingga sering luput dari pengamatan orang tua. Ruam konvalesens seperti
pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak
fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta. Perlu
diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian pemeriksa. Hepatomegali tidak
disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan dengan derajat penyakit, namun hepatomegali lebih
sering ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok dengue/SSD).5,7
c. Sindrom Syok Dengue
Sindrom syok dengue merupakan syok hipovolemi yang terjadi pada DBD, yang dapat
diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai perembesan plasma. 7 Pada tahap
sindrom syok dengue ini dibedakan menjadi syok terkompensasi dan syok dekompensasi.7

Tabel 3.1 Perbedaan syok terkompensasi dan syok dekompensasi

d. Expanded Dengue Syndrome

Manifestasi pada tahap ini berupa keterlibatan organ lain seperti hati, ginjal, otak maupun
jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak ditemukannya kebocoran
plasma. Manifestasi ini dapat terjadi diakibatkan oleh kondisi syok yang berkepanjangan dan
berlanjut menjadi gagal organ atau pasien dengan komorbiditas atau ko-infeksi. Penyulit infeksi
dengue dapat berupa kelebihan cairan, dan gangguan elektrolit, sedangkan yang termasuk
manifestasi klinis yang tidak lazim adalah ensefalopati dengue atau ensefalitis, perdarahan hebat,
infeksi ganda kelainan ginjal dan miokarditis.
3.7 LABORATORIUM

Setiap penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan lengkap darah,


sangatlah penting karena pemeriksaan ini berfungsi untuk mengikuti perkembangan dan diagnosa
penyakit. Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien didiagnosa
sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu di lakukan pengulangan sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit tersebut normal atau menurun. Pada pasien DHF didapatkan jumlah trombosit
<100.000 /µl. Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi, yang
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Nilai peningkatan ini lebih dari 20%. 1,7

Penderita DHF sering muncul limfosit plasma biru, hal ini disebabkan karena limfosit
merupakan satu-satunya sel tubuh yang mampu mengenal antigen secara spesifik dan mampu
membedakan penentu antigenik, sehingga respon imunnya bersifat spesifik. Limfosit yang
berstimulasi dengan antigen akan mengalami perubahan struktural dan biokimia. Istilah yang
biasa untuk menggambarkan perubahan morfologi tersebut antara lain limfosit plasma biru,
limfosit reaktif atau limfosit atipik.8

Uji serologi ini merupakan konfirmatif adanya infeksi virus dengue. Antibodi terhadap virus
dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu
pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda
dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara
infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-
14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu
diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah
demam hari kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.7,9
Gambar 3.3 Perubahan Titer IgG dan IgM pada Infeksi Dengue

Tiga aspek utama yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis dengue secara adekuat :

1. Virologi dan serologi yang berhubungan dengan waktu infeksi dengue Masa inkubasi adalah 4-
10 hari setelah digit oleh nyamuk, pada infeksi primer viremia terjadi 1-2 hari sebelum mulainya
demam sampai hari ke 4-5. Antibodi spesifik Anti-dengue IgM dapat ditemukan saat hari ke 3-6,
kemudian akan menetap dengan kadar yang rendah sampai 3 bulan setelah demam. IgG akan
meningkat pada hari ke 9-10 yang kemudian akan bertahan dengan kadar rendah sampai 1 dekade
dan hal ini dapat mengetahui kemungkinan seseorang pernah terinfeksi dengue sebelumnya.

2. Jenis metode diagnostik dalam kaitannya dengan manifestasi klinis pada saat fase demam
menunjukan sedang terjadinya viremia, beberapa komponen virus terdapat dalam darah sehingga
pilihan yang tepat adalah RT-PCR, NS-1 Ag. Saat fase kritis dan penyembuhan dapat kita lihat
IgM spesifik bisa dengan menggunakan rapid Test, ELISA maupun haemagglutination inhibition
assay (HIA).

3. Karakteristik sampel klinis Virus dengue yang labil mudah dinonaktifkan pada suhu di atas 30°
C, sehingga harus berhati-hati selama transportasi dan penyimpanan sampel.Sampel serum yang
dikumpulkan selama 4 hari pertama demam berguna untuk virus, genom dan deteksi antigen
dengue.Sampel harus cepat diangkut pada suhu 4 ° C ke laboratorium dan diproses secepat
mungkin.Serum steril tanpa antikoagulan berguna.Jika spesimen pengiriman tidak dapat dilakukan
dalam 24-48 jam pertama, pembekuan pada -70 ° C dianjurkan.

Berdasarkan pada kasus ini hasil pemeriksaan laboratorium pasien menunjang untuk
menegakkan demam berdarah dengue, hal ini ditandai dengan penurunan jumlah trombosit kurang
dari 100.000 mm3. Hasil pemeriksaan serologi juga menunjang pada pasien ini ditemukan hasil
yang positif pada IgG, sedangkan pada IgM menunjukkan hasil negatif.

3.8 PENATALAKSANAAN
Pada pasien dengan demam tinggi yang timbul terus menerus, kurang dari 7 hari yang disertai
nyeri kepala, nyeri retroorbital, myalgia, artalgia ruam kulit, terdapat manifestasi perdarahan baik
spontan maupun dari uji tourniquet, jumlah leukosit kurang dari 4000/mm3 tanpa atau dengan
jumlah trombosit yang menurun dan disertai dengan riwayat keluarga atau lingkungan rumah ada
kasus dengue maka harus dicurigai pasien tersebut menderita dengue.7

Pada pasien infeksi virus dengue yang berobat ke pelayanan kesehatan dapat bermanifestasi
sebagai demam dengue, demam berdarah dengue, sindrom syok dengue yang dibagi menjadi syok
terkompensasi dan syok dekompensasi, dan expanded dengue syndrome. Oleh karena itu harus
diteliti pasien mana yang bisa dilakukan pengobatan rawat jalan dan pasien mana yang harus
dirawat iniap.

Gambar 3.4 Bagan skrining tersangka infeksi dengue

Penatalaksanaan terapi DBD pada dasarnya adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan
memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi
cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara
hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi.5,7

Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura
ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi
keingingan makan dan minum masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak
diperkenankan memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika
simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C.5

Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang digunakan
pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-
hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3 jam pertama dan selanjutnya
tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan
hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat
untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cukup dan
cegah pemberian transfusi berulang. Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal
cairan pengganti yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode
kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal
pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir
dengan edema. 7,8

Kebutuhan Cairan Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak
umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.

BB ideal (kg) Rumatan (mL) Rumatan + Defisit 5% (mL)


5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200
Tabel 3.2 Kebutuhan cairan berdasarkan BB ideal, perhitungan Holiday segar

1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20
ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2
lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak
terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi
dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
(HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada
jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi
keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa
hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada
syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai
cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan peningkatan tekanan nadi
lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit,
tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi
10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24
jam atau sampai klinis stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya
cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit
stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan
seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan darah, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum
baik.
4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila
tampak perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan
cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-
8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan
cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP
normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.

Gambar 3.5 Bagan tatalaksana sindrom syok dengue terkompensasi


Gambar 3.6 Bagan tatalaksana sindrom syok dengue dekompensasi

Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)(2)


1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
1. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD


Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl
starch (HES).(2)
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka
pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena
akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan
selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5
jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan
cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor
VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak
boleh diberikan pada pasien dengan KID.(2)
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap
sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. (2)
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES
450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah
larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-
12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang
dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung
trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin
parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.(2)

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD
seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang
perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah
cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung
urin serta mencatat jumlahnya.(2)
3.9 KOMPLIKASI
Komplikasi-komplikasi ini terjadi biasanya berkaitan dengan syok
dalam/berkepanjangan menyebabkan asidosis metabolik dan pendarahan berat akibat
DIC dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal. Lebih penting,
penggantian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma menyebabkan
efusi masif menyebabkan gangguan pernapasan, kongesti paru akut dan/atau gagal
jantung. Terapi cairan yang dilanjutkan setelah periode kebocoran plasma akan
menyebabkan edema paru akut atau gagal jantung, terutama ketika ada reabsorpsi
cairan di ekstravasasi. Selain itu, syok dalam/berkepanjangan dan terapi cairan yang
tidak tepat dapat menyebabkan gangguan metabolik / elektrolit. Kelainan metabolik
sering ditemukan sebagai hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan kadang-
kadang, hiperglikemia. Gangguan-ganggan ini dapat menyebabkan berbagai
manifestasi yang tidak biasa, misalnya encephalopathy. 5,7

3.9 KRITERIA MEMULANGKAN PASIEN


Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematocrit stabi;l,
tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit 50.000/μl dan cenderung meningkat,
tidak dijumpai adanya distress pernafasan yang disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis.5,7

3.10 PROGNOSIS

Diagnosis diini syok terkompensasi disertai dengan pengobatan yang cepat dan
tepat mempunyai prognosis yang jauh lebih baik dibanding apabila pasien sudah jatuh
ke dalam fase syok dekompensasi. Karena prinsip utama tata lasksana DSS adalah
pemberian cairan yang cepat dengan jumlah adekuat. Selain itu bila ditemukan factor

32
ko-morbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan gangguan asam-basa, gangguan
elektrolit harus diobati dengan segera.

3.11 Definisi Sepsis


Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2012, sepsis diartikan sebagai adanya
infeksi yang disertai dengan manifestasi klinis dari infeksi sistemik. Sepsis juga
merupakan komplikasi infeksi yang berpotensi mengancam nyawa. Sepsis berat
merupakan keadaan sepsis yang diikuti dengan gangguan fungsi organ, hipotensi atau
hipoperfusi jaringan. Sedangkan sepsis dengan hipotensi ialah sepsis dengan tekanan
sistolik <90mmHg atau rata-rata tekanan arteri (Mean Arterial Pressure) <70 mmHg
atau penurunan tekanan sistolik >40mmHg.

Perkembangan dari Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure


(MODS/MOF) akan menyebabkan suatu keadaan yang dinamakan syok septik. Syok
septik didefinisikan sebagai suatu keadaan kegagalan sirkulasi akut yang ditandai
dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan yang cukup
ataupun adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat yang
>4mg/dL) yang tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain.

3.12 Tahap Perkembangan Sepsis


 Infeksi
Proses patologi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogenik
ke jaringan tubuh yang normalnya steril.
 Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
Respons peradangan sistemik terhadap beragam serangan klinis yang
berat. Respons ini berupa dua atau lebih dari kondisi-kondisi berikut:
a. Suhu tubuh >38°C atau <36°C

33
b. Denyut nadi >90 kali/menit
c. Laju nafas >20 kali/menit atau PaCO2<4,3 kPa (<32 Torr) / 32 mm
HG
d. Jumlah leukosit >12.000 sel/mm3, <4.000 sel/mm3, atau >10% sel
neutrofil batang
 Sepsis

Sindrom klinis ditandai dengan adanya infeksi dan respon inflamasi


sistemik, yang bermanifestasi dalam dua atau lebih kondisi-kondisi
seperti yang ditemukan pada SIRS sebagai akibat infeksi.

 Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ.

 Syok septik
Sepsis berat dengan hipotensi, walaupun resusitasi cairan yang adekuat
telah diberikan, disertai adanya kelainan perfusi.

 Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)


Adanya perubahan fungsi organ pada pasien yang sakit akut di mana
homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.

3.13 Kriteria Diagnosis


Berikut merupakan kriteria diagnosis untuk sepsis berdasarkan Surviving Sepsis
Campaign 2012:

1. Variabel umum
- Demam (>38.3C)
- Hipotermia ( <36C)

34
- Laju nadi >90x/menit atau lebih dari 2 standar deviasi di atau nilai normal
sesuai usia
- Takipneu
- Gangguan status mental
- Edema secara signifikan atau balance cairan positif (>20 ml/kg selama 24
jam)
- Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl atau 7,7 mmol/l) tanpa disertai
dengan diabetes

2. Variabel inflamasi
- Leukositosis (jumlah sel darah putih >12.000 µL)
- Leucopenia (jumlah sel darah putih <4000 µL)
- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur
- C-reactive protein plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia
- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia

3. Variabel hemodinamik
- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg, Mean Arterial Pressure
menurun >40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 standar deviasi di
bawah normal sesuai usia)

4. Variabel disfungsi organ


- Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)
- Oligouria akut (output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2
jam setelah pemberian resusitasi cairan yang adekuat)
- Kelainan koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60)

35
- Ileus (tidak adanya bising usus)
- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 µL L)
- Hiperbilirubinemia (total plasma bilirubin >4mg/dL atau 70 µmol/L)

5. Variabel perfusi jaringan


- Hiperlaktatemia (>1mmol/L)
- Penurunan capillary refill atau mottling

Sedangkan kriteria diagnosis untuk sepsis berat adalah sebagai berikut:

1. Sepsis dengan hipotensi


2. Laktat di atas batas atas nilai normal
3. Output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam setelah
pemberian resusitasi cairan yang adekuat
4. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <250 tanpa disertai dengan
pneumonia sebagai sumber infeksi
5. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <200 disertai dengan pneumonia
sebagai sumber infeksi
6. Kreatinin >2,0 mg/dL (178,8 µmol/L)
7. Bilirubin >2mg/dL (34,2 µmol/L)
8. Jumlah platelet <100.000 µL
9. Koagulopati (INR>1,5)

3.14 Penatalaksanaan Sepsis


Tatalaksana Sepsis

Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang


sesuai, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila
diperlukan. Diperlukan pula terapi suportif, seperti bila terjadi respons imun

36
maladaptif host terhadap infeksi dapat diberikan vasopresor dan inotropik, 
terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi. Skrining sumber infeksi menjadi esensial dalam penanganan
pasien sepsis, diperlukan ketelitian dalam menduga mikroorganisme patogen
yang menjadi penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di
RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba
empirik.

a. Resusitasi
Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi.
Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis-
induced hypoperfusion adalah:
a) CVP 8–12 mm Hg
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians
ventrikular yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal
tinggi, target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.
b) MAP ≥ 65 mm Hg
c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr
d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed venous
oxygen saturation (SvO2) 70% or 65%,

Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level
laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan.

Terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi


bila diperlukan. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70%
atau mixed venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan resusitasi
cairan, transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian
dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).

37
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian cairan inisial kristaloid,
minumun 30 ml/kg untuk dewasa dan tambahan albumin pada pasien yang
membutuhkan cukup banyak kristaloid untuk mempertahankan cukup MAP.
Sebaiknya menghindari hetactarh, karena koloid buatan tidak terbukti
menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal akut.

  
1. Skrining untuk sepsis dan perkembangan keadaan
Skrining rutin perlu dilakukan pada pasien dengan sakit berat pada severe
sepsis untuk mendapatkan terapi lebih awal. Mengurangi waktu untuk
diagnosis sepsis berat menjadi komponen penting untuk menurunkan angka
kematian akibat disfungsi multiorgan.

2. Terapi antimikroba
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur
diambil. Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan
mortalitas. Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan dapat penetrasi
ke tempat yang diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba empiris tergantung
pada riwayat penyakit pasien meliputi intoleransi obat, penggunaan antibiotik
sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta, sindrom klinis, dan patogen
berdasarkan komunitas dan rumah sakit.

Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatidf dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom syok
toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien tertentu. Iinisial
kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk pasien dengan
sulit untuk disembuhkan,

38
Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus mempertimbangkan mengenani
virulensi dan prevalensi methicillin resistant staphylococcus aureus dan resistensi
spektrum luas beta laktam dan carbapenem untuk gram negatif bacilli di beberapa
komunitas dan seting kesehatan.

- terapi antifungal empirik, seperti: echinocandin, triazoles (fluconazole,


amfoterisin B).
- Pemilihan terapi antibiotik definitif tergantung pada tipe patogen,
karakteristik pasien, dan regimen terapi rumah sakit. Karena pasien dengan
sepsis berat atau syok septik punya latar yang sedikit untuk menentukan
terapi, maka terapi pilihan inisial harus spektrum luas untuk dapat melawan
patogen luas. Setelah patogen kausatif diidentifikasi, baru dilakukan de-
eskalasi dengan memakan agen antimikroba yang sesuai patogen tersebut,
lebih aman, dan biaya yang paling efektif. Dapat juga digunakan
antimikroba kombinasi setelah tes susceptibilitas dilakukan,

Level procalcitonin dan biomarker lain dapat membantu untuk diskontinuitas


penggunaan antimikroba empirik pada pasien yang klinis sepsis namun tidak ada
cukup bukti infeksi. Penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan
endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana
terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis
berat dan gagal multi organ. Patogen bakteri yang resisten terhadap beberapa obat
seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp.

- Pada pasien infeksi berat yang berhubungan dengan gagal pernafasan dan
syok septik, kombinasi terapi dengan spektrum beta laktam dan
aminoglikosida atau fluoroquinolon disarankan uuntuk P. Aeruginosa.
- Kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk pasien dengan syok septik dari
infeksi bakteri Steptococcus pneumoniae. Terapi kombinasi empiris ini

39
sebaiknya tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi menggunakan
single-agent terapi yang tepat setelah ada profil patogen yang kemungkinan
menginfeksi teridentifikasi. Terkecuali, pada monoterapi aminoglikosida,
khususnya pada P. Aeruginosa karena untuk mencegah endocarditis, maka
prolong terapi harus dilakukan. Durasi dari terapi antibiotik adalah 7-10
hari. Penentuhan meneruskan, menurunkan, atau menghentukan terapi
intimikrobial tergantuk pada informasi klinis pasien.

Terapi antiviral diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis berat
atau syok septik dengan penyebab virus.

- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi untuk
komplikasi
- terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir dan zanamivir) untuk
H1N1 virus, influenza A(H3N2), influenza B.

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data


mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti
bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:

 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui


 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen
(Pseudomonas aureginosa, Enterokokus)

3. Kontrol Sumber

40
Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi dibutuhkan sebagai
pertimbangan untuk mengendalikan kontrol sumber untuk didiagnosis atau
dieksklusi sesegera mungkin dan intervensi harus dilakukan pada kontrol
sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan. Misalnya infeksi
jaringan lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis).

4. Pencegahan Infeksi
Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi pencernaan selektif harus
diketahui dan diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kasus
pneumonia yang terkait ventilator. Hal ini harus menjadi perhatian pada
pelayanan kesehatan secara efektif.

Glukonat klorhexidin chlorhexidine gluconate (CHG) oral dapat digunakan


sebagai dekontaminasi orofaring untuk mengurangi resiko pneumonia yang
terkait ventilator pada pasien dengan sepsis berat di ICU.
Peencegahan lain meliputi penanganan perawatan selama di ICU,
pengguunaan kateter, managemen jakan nafas, pengangkatan kepala di kasur,
suction.

5. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.

b. Terapi cairan
Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan untuk resusitasi
pada sepsis berat dan syok septik.Oksigenasi pada keadaan hipoksemia

41
berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja
ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
 Tidak menggunakan hydroxyethyl starches untuk resusitasi cairan
pada sepsis berat dan syok septik.
 Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis
ketika pasien membutuhkan jumlah substansial dari kristaloid.
 Target cairan pertama pada pasien dengan sepsis mengakibatkan
hipoperfusi jaringan dengan dugaan hipovolemia adalah mencapai
minimal 30 ml/kg dari kristaloid. Pemberian yang lebih cepat dan
jumlah cairan yang lebih banyak mungkin dibutuhkan oleh beberapa
pasien.

c. Vasopresor
Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial rata-rata
(MAP) 65 mmHg. Norepinephrine merupakan pilihan utama vasopressor.
Epinefrin (ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi dari
norepinefrin) digunakan ketika agen tambahan dibutuhkan untuk menjaga
tekanan darah yang memadahi. Vasopresin 0,03 U/menit dapat
ditambahkan pada norepinefrin dengan tujuan untuk menaikkan MAP atau
menurunkan dosis norepinefrin. Dopamin dapat menjadi alternative
vasopressor selain norepinefrin hanya pada pasien tertentu. Misalnya pada
pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau
relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan pada pengobatan syok septik
kecuali pada lingkup dimana norepinefrin yang berhubungan dengan
aritmia yang serius, curah jantung diketahui akan tinggi atau tekanan
darah akan secara persisten rendah, atau sebagai terapi penyelamat ketika
kombinasi obat inotropic atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah

42
telah gagal untuk mencapai target MAP. Dopamin dosis rendah
seharusnya tidak digunakan untuk proteksi renal.

d. Terapi Inotropik
Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit
diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam
keadaan disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena peningkatan
tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah atau gejala
hipoperfusi yang terus menerus, meskipun mencapai volume intravascular
secara adekuat dan MAP yang cukup.

e. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati
pasien dewasa syok septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi
vasopressor dapat menjaga kestabilan hemodinamik. Jika hal tersebut
tidak tercapai, direkomendasikan untuk memakai hidrokortison saja
dengan dosis 200mg per hari. Tidak diperbolehkan menggunakan tes
stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi orang dewasa dengan syok septik
yang seharusnya menerima hidrokortison. Pasien dalam terapi
hidrokortison diturunkan dosisnya jika vasopressor tidak lagi digunakan.
Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi sepsis tanpa syok.

f. Pemberian produk darah


Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan jika tidak ada keadaan
khusus, seperti iskemia miokardial, hipoksemia yang berat, perdarahan
akut, atau penyakit jantung iskemik, direkomendasikan bahwa transfusi sel
darah merah hanya dilakukan ketika konsentrasi Hb menurun hingga <7
g/dl dan untuk mencapai target Hb 7-9 g/dl pada orang dewasa. Tidak
dianjurkan untuk menggunakan eritropoietin sebagai terapi spesifik dari

43
anemia terkait sepsis. FFP tidak diberikan untuk mengkoreksi
abnormalitas pembekuan pada kondisi tidak perdarahan atau prosedur
invasif terencana.

Pada pasien dengan sepsis berat, diberikan profilaksis platelet jika


jumlahnya <10.000/mm3 (10x109/L) pada kondisi tidak ada perdarahan.
Disarankan untuk transfusi trombosit profilaksis jika jumlahnya
<20.000/mm3 (20x109/L) jika pasien memiliki resiko perdarahan yang
signifikan. Jumlah trombosit yang lebih tinggi (≥50.000/mm3) disarankan
pada perdarahan aktif, pembedahan, atau prosedur invasif.
3.15

44
BAB IV

KESIMPULAN

Dengue shock syndrome (DSS) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus,
ditandai dengan demam 2–7 hari dapat disertai dengan manifestasi perdarahan,
penurunan jumlah trombosit <100.000/mm3, adanya kebocoran plasma ditandai
dengan peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai normal, serta adanya gejala
kegagalan sirkulasi. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang
banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia
tenggara. Penatalaksanaan DSS adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Halstead, SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam :


Nelson Textbook of Pediatrics.19th ed. Kliegman, et al Philadelphia:
Elsevier; 2011. P 1134-6.
2. Depkes RI, Surveilans Epidemiologi Demam Berdarah Dengue, Ditjen
P2PL, Jakarta. 2010.
3. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi Penyakit
Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017.
4. Dinas Kesehatan Kota Serang, Profil Kesehatan Kota Serang Tahun 2015,
Dinkes Kota Serang, Serang.
5. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. 2th ed. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2015.
6. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku
Saku Pengendalian Demam Berdarah Dengue untuk Pengelola Program DBD
Puskesmas. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. 2013.
7. Hadinegoro SR, Moedjito I dan Chairulfatah. Pedoman Diagnosis
dan Tata Laksana kasus Infeksi Dengue pada Anak tahun 2014. Jakarta :
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1-69
8. IDAI. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue
pada Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

46

Anda mungkin juga menyukai