Anda di halaman 1dari 11

REVITALISASI MULTIKULTURALISME MELALUI

EMPAT PILAR KEBANGSAAN


Drs. Pryo Sularso. MH

A. Multikultural Sebagai Jati Diri Bagsa Indonesia


Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pandangan tentang ragam kehidupan di dunia , ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keberagaman, dan berbagai macam
budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai,
sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme dapat
juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam
kesadaran politik (“politics of recognition”). (Azyumardi Azra, 2007).
Jadi multikulturalisme tidak sama dengan multikultur yang hanya sebatas
menjelaskan keanekaragaman budaya. Akan tetapi multikulturalisme adalah
merupakan sikap pengakuan atau penerimaan terhadap realitas keragaman kultural,
yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras,
ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang
terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat.
Kondisi keaneka ragaman budaya seperti masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang tergolong paling beragam di dunia. Dan jauh sebelum Indonesia
merdeka sudah tergolong masyarakat multikulturalisme. Kadar kemajemukannya itu
nampak lebih dari 17.000 gugusan pulau dan dalam satu pulau ada yang terdiri dari
banyak kelompok suku. Seperti di pulau Jawa, Sumatara, Kalimantan, Sulawesi dan
yang lainnya. Sehingga di Indonesia terdapat bermacam-macam suku dengan
beraneka budaya dan bahasa lokal ( lingua franca ). Masyarakat multikultural
merupakan fenomena masyarakat alami bangsa Indonesia. (Anita Tresiana, 2006)
Sebenarnya bangsa Indonesia terdahulu cukup memiliki pengalaman
dalam keberhasilan mengelola negeri ini sebagai masyarakat multikulturalisme.
Kejayaan bangsa Indonesia diperlihatkan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatera,
kerajaan Airlangga di Jawa Timur, kerajaan Majapahit di Jawa Timur, dan masih
banyak lagi kerajaan-kerajaan lain yang ikut mengukir kejayaan bangsa Indonesia.

1
Kerajaan-kerajaan tersebut pada jamannya telah menjunjung tinggi nilai-nilai
pluralisme,
Pernahkah kita sebagai generasi penerus bangsa berfikir mengapa
masyarakat “ Bali” yang luas wilayahnya sangat kecil jika diperhitungkan dari
keseluruhan wilayah Indonesia lolos dari peng-Islaman raja-raja Islam. Dari arah
barat terkenal dengan Kerajaan Mataram Islam yang berhenti wilayahnya sampai di
Pasuruhan, dari arah timur kerajaan Islam yang terus memperluas wilayah
kekuasaannya adalah Kerajaan Gowa di Sulawesi, kekuasaannya berhenti sampai di
wilayah Lombok. Hindu tetap hindu dan masyarakat Hindu Bali bisa hidup rukun dan
nyaman berdampingan bersama saudara yang beragama lain sampai saat ini.
Candi Borobudur dibangun oleh dinasti Syailendra yang menganut agama
Budha. Dalam sejarah dinasti Syailendra (Budha) dikalahkan oleh dinasti Sanjaya
yang beragama Hindu. Latar belakang perebutan kekuasaan kedua dinasti itu karena
berbeda agama. Yang patut kita syukuri “ meskipun dinasti Sanjaya (pendiri candi
Prambanan/Hindu) mampu mengalahkan dinasti Syailendra, Candi Borobudur
sebagai pusat pemujaan Agama Buda, dibawah kekuasaan dinasti Sanjaya dibiarkan
tetap utuh megah dan kini bisa dibanggakan sebagai kekayaan budaya bangsa
Indonesia.
Pengakuan terhadap keanekaragaman budaya secara demokratis juga
menjiwai para pelajar yang tergabung dalam penggagas lahirnya “Sumpah Pemuda”
tanggal 28 Oktober 1928. Kelompok-kelompok pelajar seperti misalnya Jong Java,
Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong
Ambon dll dapat mengukir sejarah bangsa dengan menyatukan pandangan
yaitu “ Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa jang satu, bangsa
Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatun, bahasa
Indonesia.
Pengakuan terhadap eksistensi nilai multikultur masih sangat terasa disaat
detik-detik Indonesia merdeka. Bukti nyata yang tidak terbantahkan lagi yaitu para
penggagas dasar negara RI yaitu Moh. Yamin, Dr.Soepomo, dan Ir. Soekarno dalam
ide-idenya Asal mula bahan (Kuasa Materialis) Pancasila diawali dari bangsa

2
Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius
yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Dengan demikian asal
bahan Pancasila adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam
kepribadian dan pandangan hidup.
Rasa kebersamaan dan sikap toleransi juga nampak dalam perubahan usulan
dasar negara Pancasila hasil dari "Panitia Sembilan", yang awalnya disepakati dalam
sebuah naskah piagam yang dikenal "Piagam Jakarta", dalam sila pertama berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk- pemeluknya“. Hasil kompromi dari para pendiri negara yang memiliki
keanekaragaman suku, agama, bahasa, budaya dengan begitu indah menunjukkan
sikap kearifannya, demi kepentingan bangsa disepakati berubah menjadi
“ Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari peristiwa di atas mengajarkan kepada kita, dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara wajar ada perbedaan pandangan, wajar ada perbedaan cara
mencapai tujuan, akan tetapi nilai-nilai luhur bangsa harus dapat menjadi batas agar
tidak melampaui batas.
Kondisi riil bangsa Indonesia yang serba majemuk harus kita maknai
sebagai berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Manusia dimuka bumi ini mendiami
wilayah yang berbeda, ada yang mendiami wilayah timur, wilayah barat dan wilayah
timur tengah. Hal ini membuat kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan dan kepribadian
setiap manusia suatu wilayah berbeda dengan yang lainnya. Negara Indonesia
termasuk ke dalam bangsa Timur, yang dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian
baik. Bangsa Timur dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Orang-
orang dari wilayah lain sangat suka dengan kepribadian bangsa Timur, mengapa?
Karena mereka senang dengan kepribadian bangsa Timur yang tidak individualis,
saling tolong menolong, mempunyai rasa toleransi tinggi.
Akan tetapi beberapa konflik yang terjadi setelah merdeka (1945 hingga
sekarang) sangat terasa semakin mengoyak rajutan kebangsaan Indonesia, muncul
sikap ego, menghalalkan segala cara demi kepentingan politik, ekonomi, kelompok
atau golongan. Rasanya kurang pas jika bangsa Indonesia masih saja disebut-sebut
sebagai bangsa Timur

3
Menurut Suwarto (2006) ada tiga bentuk penyebab konflik lokal yaitu :
Pertama, Tuntutan pengakuan identitas etnis dalam wujud negara merdeka seperti
yang disuarakan oleh rakyat Papua, Aceh.
Kedua, Kenginan mempertahankan identitas etnis dan agama antar kelompok
( konflik horizontal ) seperti yang terjadi di Ambon, Poso, peristiwa Sampit.
Ketiga, Perjuangan perlindungan hak – hak masyarakat adat terhadap
eksplorasi sumber daya alam sekitarnya.
Ke 3 katagori sumber konflik di atas menginformasikan bahwa konflik etnik,
ras dan antar kelompok pada hakekatnya dalam konteks yang berbeda – beda.
Karena itu pula penyikapan atas konflik yang mengemuka harus ditelaah sesuai
dengan konteks dan latar belakang sumbernya. Konflik yang beridentitas ras,
suku,dan agama (sumber konflik kategori pertama dan kedua) harus dipahami
sebagai efek dominan dari mis management dalam berbangsa dan bernegara.
Konflik yang beridentitas perjuangan perlindungan hak – hak masyarakat adat
terhadap eksplorasi sumber daya alam sekitarnya. (Sumber konflik kategori ketiga)
acap kali kebijakan pemerintah dalam memanfaat sumber alam di daerah kurang
membumi dalam mensosialisasikan program, dan lebih nampak berpihak pada
pemilik pemodal
Sekarang yang menjadi persoalan “ mampukah dengan memasyarakatkan 4
Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia) menghidupkan kembali kesadaran berjiwa
multikultur”?. Kenyataan yang ada kemajemukan sekarang menjadi pudar bahkan
sudah dalam taraf kepunahan. Faktor ego, berfikir prakmatis, perubahan dari ekonomi
moral menjadi ekonomi pasar dan alergi dengan kearifan lokal merupakan tindakan
yang bertolak belakang dengan nilai–nilai luhur bangsa.
Gejala lain yang merusak tatanan multikultur adalah nafsu segelintir orang
untuk mencari kekuasaan politik, memperkaya diri atau kelompoknya dengan cara
mengangkat isu sara, mendiskriditkan kelompok-kelompok tertentu, merendahkan
nilai-nilai kemanusiaan. Menurut penulis perbuatan yang demikian kotor dalam
negara yang secara akademik mengajarkan nilai-nilai demokratis, tetapi

4
kenyataannya justru sebaliknya, maka sikap yang demikian itu dapat digolongkan
“kejahatan moral”.
Dengan banyaknya problim kemasayarakatan berakibat dimana pluralisme
atau kemajemukan justru berbalik menjadi potensi disintegrasi bangsa, maka tidak
menutup kemungkinan jika dibiarkan terus-menerus dapat mengakibatkan
lepasnya ikatan kebangsaan dalam wadah NKRI, yang awal kemerdekaan ditegakkan
di atas idiologi Pancasila. Maka untuk membangun kembali integritas nasional yaitu
keutuhan bangsa Indonesia yang berwibawa dalam wadah NKRI haruslah diawali
dengan langkah–langkah strategis dan arif serta bijak. Harapan tersebut tentu tidak
semudah membalik telapak tangan, sebab memerlukan adanya kesadaran dari
semua pihak akan arti pentingnya hidup rukun berdampingan dalam situasi
masyarakat yang ber- Bhineka Tunggal Ika.
Dalam pertemuan ini saya mengajak kawan-kawan seprofesi agar dalam
upaya menguasai roh dari 4 Pilar Kebangsaan tidak semata-mata ditangkap lalu
diajarkan, tetapi lebih jauh dicerna dalam arti diinternalisasi, dibakukan sebagai
bagian yang melekat dalam kualitas pribadi guru melalui proses belajar dan
dilaksanakan sehingga layak kita ini menjadi suri tauladan bagi siswa dan
lingkungannya.

B. Potret Pudarnya Jati Diri Bangsa Indonesia


Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 semangat para pejuang bangsa
yang semula solit melawan penjajah, lambat laun menunjukkan gejala perpecahan
yang masing-masing mementingkan kepentingan kelompok atau golongannya sendiri.
Jatuh bangunnya kabinet antara tahun 1950-1959 dan gagalnya Badan Konstituante
membentuk UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950 merupakan bukti sejarah
mulai rapuhnya nilai peradaban bangsa yang diwarnai oleh nilai pluralisme berubah
menuju pola pikir liberalisme sejati.
Benih-benih kehidupan liberal yang ditaburkan sejak tahun 1950 tidak hanya
berhenti pada masalah politik, imbasnya sekarang merambah kesemua aspek
kehidupan. Hal ini tercermin dari kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang makin

5
tidak berbudaya Indonesia. Merusak lingkungan yang terjadi di berbagai pelosok
negeri makin parah, pergaulan bebas dan pornografi.
Meskipun reformasi telah dijalani rakyat Indonesia mendekati dua dasawarsa ,
namun semakin hari wajah bangsa makin nampak penuh dengan ketidak pastian.
Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis multidimensional yang
berkepanjangan disebabkan karena kekeroposan fundamen moral. Krisis kepercayaan
pada pemerintah berujung pada maraknya upaya pemaksaan kehendak dan
intoleransi. Rasa saling curiga dan tidak mempercayai antar instansi, antar elemen
masyarakat semakin kian menjadi-jadi. Apabila penataan pemerintahan tidak segara
mampu mewujudkan sebagai Clean Government maka bisa berujung pada
radikalisme, main hakim sendiri dan masih banyak lagi dampak negatif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Budaya malu terhadap sikap perbuatannya sendiri sudah semakin sirna dari
benak sebagian anak bangsa. Makin banyaknya pejabat yang korup, dan yang
menyakitkan hati rakyat, bertambah senyum ria saat ditangkap KPK.
Dari sisi lain semakin meluasnya sikap hidup euforia, dengan sarana jejaring
sosial membuat kebanyakan generasi sekarang semakin minim “privasi”. Banyak
yang sudah lupa jati diri, lupa akan asas kepaptutan, apa yang sedang mereka
lakukan, dengan siapa meraka lakukan, bahkan sudah dianggap biasa foto-foto selfie
yang seharusnya cukup di ruang pribadi, demi kepuasan batin menjadi konsumsi
khalayak ramai, seakan mereka selalu ingin dipuji dan diperhatikan oleh pihak lain.
Gejala ini sudah merambah sampai pada tiga jenis generasi tua, remaja, dan anak-
anak.
Apabila kita mau merenung sejenak bangsa Indonesia tergolong bangsa yang
aneh. Pada umumnya negara yang menjunjung tinggi “demokrasi” berada dalam
posisi ekonomi “maju”, seperti Amerika, Australia, Inggris, dll, tetapi justru di
Indonesia sebaliknya. Seteh masuk di era reformasi kesadaran berdemokrasi bangsa
Indonesia cukup naik tajam terkadang timbul kesan kebablasan, namun sayang tidak
diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Keanehan juga namapak “ bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka
membangun”, akan tetapi juga terkenal bangsa yang suka merusak. Bahkan dari

6
tahun-ketahun bangsa Indonesia juga suka merusak dirinya sendiri melalui narkoba,
bunuh diri, membunuh anak, membunuh isteri. Menurut menulis dengan hadirnya
4 Pilar Kebangsaan, implementasinya akan lebih bermakna dengan cara
menghidupkan kembali nilai-nilai multikultur melalui berbagai pesan dan metode
sesuai dengan peran masing-masing.

C. Menumbuhkan Kembali Multikulturalisme Melalui 4 Pilar Kebangsaan

Upaya membangun bangsa Indonesia ( Nation-building) agar kembali ke jati


diri bangsa dari tahun ketahun selalu muncul konsep ajaran yang perlu
diimplementasikan oleh pendidik kepada siswanya. Seperti sering berubahnya
kurikulum PKn, melalui P4, munculnya Pendidikan Karakter, sekarang diperkenalkan
dengan 4 Pilar Kebangsaan. Aganya bangsa ini sudah mengalami kebingungan lewat
pintu mana membangun bangsa ini, bagaikan kacang sudah lupa sama kulitnya.
Hemat saya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan salah satu
lembaga yang cukup aktif dalam melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan ke
seluruh pelosok Indonesia, tentu dengan harapan pemahaman yang komprehensif
terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika bisa menjadi
benteng bagi kaum muda dari pengaruh dan budaya asing yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya Indonesia.
Dalam kesempatan ini penulis tidak perlu memaparkan hakekat dari masing-
masing pilar kebangsaan, dengan asumsi dasar materi empat pilar kebangsaan telah
menjadi konsumsi setiap hari tentu sudah menyatu dengan materi tugas sebagai
pendidik bidang studi PKn.
Perlu kita cermati dalam upaya merevitalisasi nilai-nilai multikulturalisme
dalam sistem pendidikan nasional, telah mendapat legalitas yang cukup kuat, hal
ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( 2003 ). Di mana dalam undang-undang
tersebut telah ditetapkan “ Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjujung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa “.

7
Berdasarkan isi Pasal 4 ayat 1 tersebut di atas menunjukkan adanya
pengakuan bahwa pendidikan multikultural sudah merupakan kebutuhan yang
tidak dapat ditunda-tunda lagi. Menurut Tilaar ( 2002 ) pendidikan multikultural
berawal dari perkembangannya gagasan dan kesadaran tentang interkulturalisme.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa pendidikan multikultural sebenarnya adalah
sikap peduli dan mau mengerti terhadap kelompok minoritas.
Apa yang disampaikan oleh Tilaar di atas yang perlu diperhatikan oleh para
pendidik “ dalam proses pembelajaran, sebaiknya guru menguasai nilai dasar yaitu
nilai kultur yang menjadi bahan dasar dari Pancasila, Undang – Undang Dasar
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika”. Bahan dasar
yang kami maksud tidak lain adalah kearifan lokal, adat istiadat yang disesuaikan
dengan tempat dimana pembelajaran berlangsung. Apabila guru dalam
menyampaikan materi ajar yang berkaitan dengan dari 4 pilar kebangsaan berhenti
pada proses transfer of knowledge maka kurang mendukung pengembalian jati diri
bangsa.
Dalam kearifan lokal yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok masyarakat,
penuh dengan filsafat hidup yang berfungsi sebagai petunjuk hidup atau pranata
hidup dalam wujud karya seni, tembang, pitutur luhur, karya sastra, tata cara dalam
pergaulan dan masih banyak lagi jenisnya. Kuncaraningrat ( 1993 ) memberi
makna pranata sosial atau pranata budaya adalah “ mengenai kelakuan berpola
dari manusia dalam kebudayaannya “. Dari pendapat tersebut sudah cukup jelas
bahwa untuk membangun kembali jati diri bangsa melalui pembelajaran PKn yang di
dalamnya ada unsur-unsur 4 pilar kebangsaan, pelaksanaan pembelajaran sebaiknya
melalui proses siswa mengalami. Hanya dengan proses mengalamilah maka kelakuan
yang berpola dapat terwujud.
Sekedar sebagai bahan renungan, yang perlu kajian lebih lanjut oleh pihak
sekolah, para pendidik dan instansi lain diluar pendidikan dalam upaya membangun
kembali jiwa multikultural seperti misalnya:
1. Pembiasaan diri secara kolektif = setiap hari jumat wajib menggunakan bahasa
halus sebagai bahasa komunikasi.

8
2. Menghiasi ruang kerja dengan tulisan “pitutur luhur” sesuai dengan
peran/tugasnya. Misalnya di ruang bendahara ada tulisan “ Becik ketitik olo
ketoro”.
3. Mengadakan kegiatan gotong royong.
4. Khusus untuk para pendidik sebaiknya:
a. Mengkaji Kompetensi Dasar pada materi ajar yang akan diajarkan, untuk
diidentifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal yang cocok sebagai tugas yang
harus dikerjakan oleh siswa. (sedikit tetapi mengena)
b. Mencermati hasil tugas dalam bentuk kesesuaian antara tugas yang diberikan
kepada siswa dengan perilaku siswa.
c. Memberi tugas di luar materi ajar dalam bentuk pembiasaan diri, misalnya
dalam satu minggu ke depan agar siswa mencatat “ bentuk-bentuk kebaikan
orang lain kepada dirinya”, sebagai perwujudan “ dadi manungso ojo rumongso
iso, ananging iso o rumongso”.

D. Penutup
Multikulturalisme adalah kondisi yang telah ada dalam tatanan sosial,
agama dan suku bangsa sejak nenek moyang kita. Kondisi kebhinekaan tersebut
yang dapat hidup berdampingan merupakan kekayaan alam yang merupakan
anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Masalah yang dihadapai saat ini adalah timbulnya konflik horisontal
antar suku, antar agama, antar budaya. Selain itu konflik yang timbul juga tidak
jarang masalah politik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terlalu nafsu
untuk memperoleh kekuasaan di negeri ini dengan menghalalkan segala cara.
Keserakahan anak bangsa untuk mendapatkan keuntungan bidang ekonomi, juga
menjadi penyebab rusaknya ekosistem, tanpa peduli dengan kehidupan anak cucu kita
nanti
Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, maka menghidupkan
kembali multikulturalisme melalui 4 pilar kebangsaan dan mata pelajaran PKn
sudah saatnya ditempatkan pada posisi yang penting. Sebab dengan pendidikan
multikultural dapat dilakukan proses transformasi nilai secara komprehensif,

9
dengan menggunakan kegagalan dan kekurangan pada masa lalu sebagai bagian
usaha perbaikan pada program berikutnya.
Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar
yang mengubah perspektif monokulturural yang didominasi dengan sikap penuh
prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalisme yang menghargai
keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan pradigma semacam
ini menuntut adanya kesanggupan semua elemen masyarakat dan bangsa kembali
untuk menghayati arti pentingnya filsafat yang terkandung dalam kearifan lokal .

10
DAFTAR PUSTAKA

Anita Tresiana, 2006, Inovasi Pendidikan di Tengah Masyarakat Multikultural,


Jurnal PKn Progresif FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta
.
Azyumardi Azra, Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Indonesia Bhineka
Tunggal Ika dalAm Tsaqafah Membangun Budaya Cerdas Menjawab
Tantangan Zaman. Jakarta
Koentjaraningrat, 1993, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.

Suwarto, 2006, Pancasila dan Masyarakat Multikultural Indonesia Dalam Dunia


Pendidikan, Jurnal PKn Progresif FKIP Universitas Sebelas Maret,
Surakarta

Tilaar, 2002, Perubahan Sosial Dan Pendidikan : Pengantar Pedagogik


Transformatif Untuk Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem


Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasioanl Republik
Indonesia, Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai