Anda di halaman 1dari 6

26 OKTOBER 2021

Dr. Imran Agus Nurali, Sp.Ko


Direktorat promosi Kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
Kementerian Kesehatan

1. Situasi pandemic covid – 19


 Takut, tidak berdaya
 Tidak percaya
 Kekhawatiran populasi berisiko
 Vaksin sedang dalam proses
 Isolasi/karantina
 Kematian
 Rumor dan informasi salah
 Stigma
 Beban system Kesehatan dan kekurangan suplai
2. Titik lengah penggunaan masker dan jaga jarak
 Restoran 68,5%
 Rumah 76%
 Tempat olahraga 77,5%
 Tempat wisata 85,3%
3. Keyakinan vaksinasi
 Sltp kebawah 75%
 Tidak tahu 7,2%
 Tidak mau 18,8%
 D4 S1 keatas 68%
4. Strategi pengendalian cobid-19
 Vaksinasi
 Pemerintah 3T : Test,Treat,Trace
 Masyarakat 3M : Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak
5. Mengapa harus menerapkan 3M?
 Proses vaksin membutuhkan waktu
 Belum ada vakin dengan efektifitas 100%
 Belum semua kelompok dapat divaksinasi
 Belum diketahui berapa lama kekebalan bertahan
6. Menang melawan covid-19
 Menjaga jarak
 Mencuci tangan pakai air sabun dan air mengalir
 Menggunakan Hand sanitizer
 Menghindari kerumunan
 Mengurangi mobilitas
7. Analisis kematian berdasarkan usia dan Riwayat komorbid
 Usia >60 tahun
 Usia >46-59 tahun
 Usia 41-45 tahun

8. Protocol Kesehatan lainnya


 Meningkatkan daya tahan tubuh
 Aktifitas fisik teratur
 Istirahat cukup
 Kelola stress
 Konsumsi gizi seimbang
9. GERMAS INPRES 1
 Mmbiasakan aktivitas fisik
 Konsuumsi pangan sehat
 Deteksi dini factor resiko
 Edukasi perilaku sehat
 Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
10. Sasaran pembudayaan germas
 Individu – 269juta
 Keluarga – 76juta

Dhani Prayatna
1. Kesempatan dalam era digital
 Total populasi dunia 7,6 M, total pengguna internet 4,3 M
 63% total penetrasi internet di asia tenggara
 56% total penetrasi internet di Indonesia
 Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan internet ekonomi terbesar dan
tercepat di asia tenggara, dengan nilai mencapai USD$133B tahun 2025
2. Tacked them using technology
 Mobilitas dan logistic
 Pengembangan bisnis
 Akses terbatas ke pasar
 Intenfisiensi
3. Gojek telah beroperasi di 5 negara
 +150 juta total unduh
 +2 juta mitra driver
 +500 ribu mitra gofood
 Di tahun 2019, gojek berkontribusi sejumlah Rp. 104,6 triliun (US$ 7,1 M)
4. Tantangan industry digital
 Balancing digital innovation and ethics
 Anticipating future of work an inclusive policy
 Improving and preparing relevan infrastruktur digital
5. Kunci untuk menjawab tantangan yang dihadapi perusahaan teknolohi dalam industry 4.0
adalah adanya ongoing dialogue antara swasta dan pemerintah untuk mencapai
 Mendorong data driver dalam mengambil keputusan
 Mendorong adanya kolaborasi
 Pentingnya untuk memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk berkembang

FAIZAL YAN AULIA


KEPALA SEKSI PENGAWASAN BARANG BNPT
PENCEGAHAN PAHAM RADIKAL TERORISME DI KALANGAN PEMUDA
1. Dampak dan jejak terorisme di berbagai negara
 Dampak negara yang terkena terorisme yang awalnya damai dan kemudian waktu tidak
lama terjadi perubahan, apakah negara kita mungkin terkena terorisme? Sangat
mungkin
 Contoh terkena dampak terorisme : Irak dan Suriah
2. Motif seseorang melakukan terorisme
 Ideologi agama yang keliru
 Solidaritas komunal yang negative
 Mob mentality
 Balas dendam
 Situasional
 Separatisme
 Penyebab terorisme adalah radikalisme, penyebab radikalisme adalah intoleran
 Aksi terorisme adalah orang orang yang radikal
3. Definisi intoleransi, radikalisme dan terorisme
 Intoleransi

Intoleran merupakan sebuah “tindakan”, bukan pikiran, apalagi sebuah aturan.


Disebut toleran, menurut Cohen (2004) adalah tindakan yang disengaja oleh actor
dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka
dalam situasi keragaman, sekalipun actor percaya dia memiliki kekuatan untuk
mengganggu (Cohen 2004, hal. 69).
Powel memberi contoh: Seorang Katolik disebut toleran adalah dia yang membolehkan
praktik keagamaan Protestan di masyarakat, sekalipun dia tidak setuju dan punya
kemampuan melarang tapi justru memilih tidak mengganggunya (lihat Powell & Clarke,
Oxford Univ, p.4-5).
Intoleransi adalah kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi.
Ada setidaknya 3 komponen intoleransi; (1) ketidak-mampuan menahan diri tidak suka
kepada orang lain, (2) sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan
orang lain, dan (3) sengaja-mengganggu orang lain. Menurut Hunsberger (1995),
intoleransi adalah tindakan negatif yang dilatari oleh simplifikasi-palsu, atau “prasangka
yang berlebihan” (over generalized beliefs).
Sementara, menurut Haidt (2001), ketiga komponen prasangka cenderung saling
mempengaruhi mengingat sifat pikiran dapat berpengaruh negatif dan memberi reaksi
terhadap sikap muak, dan tidak suka. Dan secara logika memang tidak sulit untuk
membayangkan bagaimana sikap negatif dapat memediasi tindakan negatif. Nah,
kehidupan ideal dalam masyarakat heterogen adalah hidup berdampingan dengan
toleransi. Jurgen Habermas, sang konseptor Ruang Publik, menggarisbawahi tiga poin
penting tentang ruang publik ideal yaitu:
1. Partisipasi dan non-diskriminasi. Yaitu, ruang publik harus menjadi sebuah forum
terbuka untuk semua.
2. Otonomi, yaitu ruang publik harus otonom karena lingkungan otonom kondusif bagi
perdebatan kritis dan rasional.
3. Berisikan debat Rasional atau analitis, yang merupakan esensi ruang publik
Artinya, sebuah Ruang Publik Beragama yang ideal adalah wilayah bersama yang
menampung segala cetusan keberagamaan tanpa halangan apapun. Maka stereotype
terhadap kelompok tertentu seharusnya tidak boleh terjadi, hanya karena simbol dan
cetusan beragama mereka yang khas, seperti; jenggot, jubbah, atau wanita yang berhijab
dan berkalung salib. Dengan demikian, larangan terhadap kelompok tertentu yang ingin
mengekspresikan ibadahnya di lapangan monas dan di jalan-jalan jelas juga termasuk
intoleransi. Kasus pemotongan nisan salib di Jogja baru-baru ini. Sekalipun dengan dalih atas
dasar kesepakatan. Karena disitu terselip “prasangka” juga termasuk intoleransi.
 Radikalisme

Radikalisme juga menjadi istilah yang tak kalah populer di Indonesia belakangan ini.
Terutama setelah ditunjuknya Menteri Agama Fakhrur Rozi dengan kebijakannya
membabat tanda-tanda radikalisme di lingkungan pemerintahan. Di masa Fakhrur Rozi,
pemakaian cadar dan celana cingkrang jelas dilarang. Karena dianggap salahsatu ciri
Islam yang radikal. Islam radikal juga disebut berbahaya sehingga harus diwaspadai
ibarat virus mematikan. Karena Islam radikal dianggap akan mengubah ideologi bangsa,
tidak pro pemerintahan bahkan menebar aksi terorisme.

Lalu apa sebenarnya radikalisme ini?

Secara definitif, radikalisme adalah suatu paham atau gagasan yang menginginkan
adanya perubahan sosial-politik dengan menggunakan cara-cara ekstrem. Termasuk
cara-cara kekerasan, bahkan juga teror. Kelompok-kelompok yang berpaham radikal ini
menginginkan adanya perubahan yang dilakukan secara drastis dan cepat, walaupun
harus melawan tatanan sosial yang berlaku di masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V terbitan Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016, kata “radikal”
berbeda arti dengan radikalisme. Kata ‘radikal’ bermakna ‘secara mendasar (sampai
kepada hal yang prinsip)’. Nomor dua, radikal adalah istilah politik yang bermakna ‘amat
keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan)’. Arti selanjutnya, radikal
juga berarti ‘maju dalam berpikir atau bertindak’.

Selain sebagai istilah politik, istilah radikal dipakai sebagai istilah kimia yang berarti
gugus atom yang dapat masuk ke berbagai reaksi sebagai satu satuan yang bereaksi
seakan-akan satu unsur saja. Sementara, radikalisme punya tiga arti, pertama, ‘paham
atau aliran yang radikal dalam politik’. Kedua, ‘paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis’.
Ketiga, ‘sikap ekstrem dalam aliran politik’. Dapat dilihat, unsur kekerasan sudah masuk
pengertian radikalisme. Tujuan penggunaan kekerasan untuk mengubah kondisi sosial-
politik secara drastis. Unsur kekerasan ini juga lekat kaitannya dengan terorisme, karena
dalam KBBI, ‘terorisme’ dimaknai sebagai ‘penggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan
teror’. Radikalisme memang perlu diwaspadai, terlepas dari labelnya yang melekat
dalam suatu agama. Semua hal berbau radikalisme harus diberantas karena akan
menimbulkan krisis toleransi dalam masyarakat Indonesia. Dengan maraknya paham
radikalisme ini adalah adanya nilai-nilai intoleransi yang diajarkan oleh kelompok-
kelompok radikalisme. Kelompok-kelompok yang terpapar oleh paham radikalisme ini
kurang bisa menerima adanya perbedaan. Menganggap paham atau ajaran yang dianut
kelompok diluarnya adalah salah. Misalnya dalam hal ibadah. Pastilah dalam
menjalankan ibadah setiap agama mempunyai cara yang berbeda-beda. Namun,
kelompok-kelompok radikalisme ini tidak mewajari perbedaan-perbedaan seperti itu.
Kelompok ini juga kurang terbuka dalam menerima kritikan dan saran dari pihak lain.
Dalam konteks agama Islam, diajarkan bahwa perbedaan seharusnya dijadikan sebagai
kekayaan sekaligus keindahan, agar kita senantiasa bersikap saling menghargai satu
sama lain. Sebagaimana Allah swttelah menjadikan umatnya secara berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku. Tidak lain agar satu sama lain dapat saling mengenal dan
menghargai. Dengan ini, seharusnya umat manusia, terutama umat muslim dapat
mewajari adanya perbedaan. Lebih dari itu, diajarkan pula bahwa Islam tidak
didakwahkan dengan paksaan.

 Terorisme

istilah ini merupakan puncak dari intoleransi dan radikalisme. Karena biasanya aksi teror
memang berasal dari akumulasi intoleransi dan radikalisme, lalu dituangkan dalam
perbuatan yakni kekerasan yang menimbulkan ketakutan.
Arti terorisme yang telah disepakati pemerintah dan DPR adalah perbuatan yang
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal
dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif
politik, ideologi, atau gangguan keamanan. Anggota-anggota kelompok teror ada di
tengah masyarakat. Bagaimana cara masyarakat membedakan bahwa yang ada di depan
kita termasuk teroris atau bukan?

“Untuk melihat yang bersangkutan itu terafiliasi kelompok teror atau tidak, bukan dari
tampilan fisik, berjanggut, celana cingkrang, keningnya hitam,” kata Direktur
Perlindungan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Herwan Chaidir
dilansir dari Detik. Stereotip bahwa yang bercelana cingkrang adalah teroris dan yang
berdahi hitam adalah radikalis itu salah. Yang benar, masyarakat perlu melihat sikap dari
kelompok atau individu itu.

“Lebih pada paham yang diimplementasikan, yakni berupa sikap dan tutur kata yang
keras, intoleransi, anti kepada Pancasila, anti kepada NKRI, dan mudah mengkafirkan
pihak lain serta berkeinginan mendirikan khilafah,” kata Herwan. Lebih dari itu, jalan
hidup dan jalan pikiran teroris memang tidak mudah dimengerti. Mereka kadang terlihat
seperti sufi, atau orang yang alim dan rajin beribadah. Namun tujuan mereka adalah
mati syahid secepatnya. Mereka tidak peduli dengan kehidupan dunia, bahkan anak-
anaknya juga diajak ikut mati bersama. Namun sikap teroris dengan masyarakat biasa
sebenarnya mudah dilihat. Mereka yang teroris tidak akan mudah bergaul dengan
masyarakat umum. Mereka biasanya juga tidak suka shalat di masjid berjamaah karena
menganggap ilmunya lebih tinggi daripada imam masjid tersebut. Mereka juga biasanya
lebih sensitif dan arogan terhadap kritik karena mereka menganggap dirinya paling
benar.
4. Kaum muda sangat rentan terpapar ideologi radikal karena tergolong masih labil. Mereka pada
umumnya sedang berproses untuk menemukan jati diri. Di tengah proses identifikasi jati diri
itulah para pelajar dan remaja mudah tergoda ideologi radikal
5. Dua faktor penyebab munculnya paham radikalisme dan tindak pidana terorisme, yaitu faktor
internal, seperti minimnya pemahaman anak tentang agama, wawasan kebangsaan, jenis
kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi anak. Sedangkan untuk faktor eksternal
berupa keluarga, lingkungan, media, kemiskinan, pendidikan
6. Internet/online/media social sebagai sarana radikalisme
 Mudah di akses
 Audiens yang luas
 Anonym
 Kecepatan informasi
 Media yang interaktif
 Murah untuk membuat dan memelihara
 Bersifat multimedia (cetak,suara,foto, dan video)
7. Ciri pemuda pelajar yang sudah terpapar radikalisme
 Mengasingkan diri dari pergaulan
 Menutup komunikasi dengan keluarga dan teman di sekolah
 Mempunyai kesibukan baru
 Berani melawan orang tua
 Mempunyai komunitas, teman baru
 Dalam tahap selanjutnya mulai berani berbohong dan mencuri
8. Langkah praktis bagi generasi muda dalam mencegah pengaruh paham radikal terorisme
 Cermati kondisi lingkungan keluarga, organisasi, sekolah dan masyarakat
 Berhati hati jika bertemu dengan orang yang sering menjelek jelekan pemerintah
 Ajak dialog jika ditemukan orang yang punya paham dan sikap/perilaku yang tidak
sesuai Pancasila, uud 1945, dan nkri
 Sekarang bergerak mulai dari keluarga, organisasi, sekolah dan masyaraakat
9. Peran pemuda/pelajar dalam pencegahan radikalisme
 Tanamkan rasa nasionalisme dan pengamalan Pancasila serta kecintaan terhaadap nkri,
sebagai jangkar keyakinan bernegara dan berbangsa
 Perkaya wawasan keagamaan dan mendalaminya melalui sumber tokoh terpercaya dan
popular dikenal dengan pandangan moderat damai

Anda mungkin juga menyukai