Anda di halaman 1dari 23

STATUS NASAB ANAK LUAR NIKAH DAN WARISANNYA

DITINJAU MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


DAN HUKUM ISLAM

Oleh : Abd. Latif, S.H., M.H.

( Panitera Pengganti Mahkamah Syar’iyah Aceh)


Email: la.luthfi@yahoo.com

Abstrak
Dalam hukum Fiqih, ketentuan nasab menjadi salah satu alasan untuk saling mewarisi.
Anak yang tidak memiliki status yang jelas akan bermasalah dalam kewarisan. Dalam
masyarakat, anak yang tidak jelas status nasab disebut “anak zina”. Asal-usul anak merupakan
dasar untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya.
Demikianlah yang diyakini dalam berbagai kitab Figh. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam,
yang menyebutkan bahwa : Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Berkaitan dengan hal ini dalam Pasal 186
Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep dan status nasab anak luar nikah dan
untuk mengungkap status anak yang lahir di luar nikah dalam kaitannya dengan hak
memperoleh warisan, wali dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, baik
menurut Peraturan Perundang-undangan maupun menurut Hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Preskriptif dengan pendekatan yuridis
normatif, yang bertujuan untuk memaparkan/melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya
sekaligus menganalisis status nasab anak luar nikah dan warisannya menurut perundang-
undang dan hukum Islam.
Nasab merupakan pengakuan syara‟ bagi hubungan seorang anak dengan garis
keturunan ayahnya, yang saling menimbulkan hak dan kewajiban. Status anak di luar nikah
yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut Hukum Islam
disamakan dengan anak zina dan anak li‟an.
Dengan demikian, agar adanya harmonisasi di dalam penerapannya dan demi
kemaslahatan umum, maka materi ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist, dapat
menjadi serapan dalam pembentukan Hukum Nasional.

Kata kunci : Status Nasab Anak Luar Nikah


THE STATUS LINEAGE OF ILLEGITIMATE CHILD
AND THE HERITANCE CONSIDERED BY LAW REGULATIONS
AND ISLAMIC LAWS

Abd. Latif
(Cleck of Court of Mahkamah Syar‟iyah Aceh)
Email: la.luthfi@yahoo.com

Abstract

In the Fiqh Law, the rule of lineage becomes one of the reason inherit something
for one and each other. the child who doesn‟t have a clear status will have any prolem in
matter pertaining to ip inheritance. The child history is a basic to show if there is a
relationship of descent (in the male line) with his/her father. That is something which believe
in every of Fiqh Book. On the Compilation of Islamic Law the sentence which have meaning
the illegitimate is a term “ a child who born withot a ruler married”. As written on Section
100 Compilation of Islamic Law which called that : a child who born without a ruler married
only has a descent with his mother and the his mother‟s family. Related with this point, on the
Section 186 compilation of Islamic law state that: “ a child mother and his mother‟ family”.
The reseach is purposed to find out the concept and lineage status of illegitimate
child and to express the status of the illegitimate child on relationship with the right to get
inheritance, custody and basic necesssities of life with the man who caused his born, both
according to Regulation Laws or Islamic Law.
This research use research method analytic descriptive normative yuridis
approach, with is purposed to express/describe object situation or the event and analise
illegitimate lineage status and the inherit according to The Laws and Islamic Law.
Nasab is a confession of syara‟ for the relationship between a child with his/her
father line descent, that make the right and duty for one and each other. The illegitimate
status that is a child who is fertilized and born without a ruler married, according to Islamic
Law it is similar with outside of married child and li‟an child.
So, in order that there is a harmonization in calibration and for the importance of
human being, then, the teaching material which sourceon Al Qur‟an and Hadist, it could be a
absorbing on the forming of National Law. Be desirable that biologic father can use the
institute of dying exhortation in matters pertaining to inheritance problem, and Guardian
Judge on marrying his daughter.

Key Words: The Status of illegitimate Lineage Child.

2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syariat pernikahan merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh
Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna menyalurkan kodrat
manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan teratur mengembang
biakkan keturunan yang sah, di samping mewujudkan suasana rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam Q.S. Ar-
Ruum ayat 21, yang artinya ;
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men ciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.

Dalam hukum Islam, hubungan suami isteri antara laki-laki dan


perempuan yang tidak terikat tali pernikahan disebut “zina”, sehingga apabila
akibat hubungan dimaksud membuahkan janin, maka setelah dilahirkan anak
tersebut adalah anak luar nikah atau yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan
istilah “anak zina”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada mengelompokkan pembagian
anak secara sistematis yang disusun dalam satu Bab tertentu, sebagaimana
pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal
42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang
sah.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan
tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan
dengan melahirkan bayi.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang
waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari
kelahirannya oleh suami.
Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan
diuraikan pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam kitab fikih,
yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak
zina” adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagai
mana yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan
bahwa : Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Berdasarkan definisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka
yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang
janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VII/2010
tanggal 27 Pebruari 2012, maka hubungan perdata anak dengan ayahnya dan
keluarga ayahnya didasarkan atas adanya hubungan darah secara nyata antara
anak dengan ayahnya, sebagaimana hubungan darah dengan ibunya, meskipun
antara ayah dan ibunya belum tentu ada ikatan perkawinan. Ketiadaan dan/atau
ketidaksempurnaan hubungan nikah antara ayah dengan ibunya tidak
menghapuskan adanya hubungan darah dan hubungan perdata antara anak dengan
ayah kandungnya sebagaimana hubungan perdata antara anak dengan ibu
kandungnya. Hal ini sesuai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, hasil uji materil Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa :

2
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Mengenai hal anak luar nikah ini sampai saat ini dapat saja terjadi, hal
tersebut dilakukan oleh :
a. Pihak-pihak yang masih bujangan.
b. Satu pihak bujangan (ibu) dan bapak dalam status pernikahan atau
sebaliknya.
c. Akibat dari adanya perkosaan.
d. Pihak-pihak dalam status pernikahan dan pihak isteri melakukan zina dan
dapat dibuktikan.1

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang masih berlaku


hingga sekarang, menentukan bahwa anak yang dilahirkan dari seorang wanita
tanpa adanya perkawinan ibunya dianggap tidak mempunyai ayah maupun ibu.
Berdasarkan Pasal 221 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut:
seorang anak tidak sah mempunyai status sebagai anak wajar dari pada ibunya. Ia
memperoleh status sebagai anak wajar dengan adanya pengakuan oleh ayahnya.
Pasal 221 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi : yang dimaksud dengan
ayah seorang anak wajar, ia yang mengakui anak tersebut, dan Pasal 222 KUH
Perdata yang berbunyi : seorang anak tidak sah, mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ibunya sejak saat kelahiran anaknya, dan dengan ayahnya
pada saat dilakukannya pengakuan.
Di dalam Hukum Islam tidak dibenarkan mengakui anak biologis (anak tidak
sah) menjadi anaknya (anak yang sah). Di dalam Islam, anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dari suami isteri yang sah yang masih terikat dengan
perkawinan yang sah, dan jika proses pembuahannya diluar rahim, maka

1
Iman Jauhari, Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003,
hlm. 10.
3
setelah jadi embrio dikembalikan ke dalam rahim isteri yang sah yang punya
bibit, maka anak itu anak yang sah dan anak itu dibangsakan kepada ayahnya.
Dalam hal anak biologis yang dihasilkan oleh perbuatan zina, kumpul
kebo dan lainnya, sama sekali tidak ada hubungan nasab dan kekerabatan. Oleh
karena itu dia secara hukum adalah orang luar yang diakui sebagai manusia biasa
lainnya, karena anak zina itu tidak bersalah dan yang bersalah adalah pelaku zina
baik laki-laki maupun perempuan. Anak zina tidak menjadi wali kepada saudara
seibunya, dan tidak mewarisi dari ayah biologisnya, dia hanya mewarisi dari
keturunan ibunya sebagai saudara seibu.2
Alasan-alasan akademik bahwa pentingnya masalah status nasab anak di
luar nikah dan warisannya perlu untuk diteliti adalah :
1. Belum adanya sinkronisasi pengaturan anak luar nikah dalam berbagai
Peraturan Perundang-undangan.
2. Setiap anak lahir memiliki hak azasi dan salah satu bentuknya adalah hak
untuk memperoleh status hukum . Status nasab adalah hak azasi bagi
seorang anak yang selama ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat.
3. Semestinya dalam pengaturan hukum mengenai anak luar nikah harus ada
harmonisasi antar undang-undang, sehingga dapat memberikan kepastian
dan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak tersebut

B. Identifikasi Masalah
Dari latarbelakang dan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsepsi nasab menurut Peraturan Perundang-undangan dan
Hukum Islam?
2. Bagaimana status nasab anak luar nikah menurut Peraturan Perundang-
undangan dan Hukum Islam?

2
Ibid. hal 21
4
3. Apa akibat hukum bagi anak luar nikah terhadap kewarisan berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Islam?

C. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti terlebih dahulu peraturan perundang-
undangan yang relevan dengan permasalahan, dengan melihat hukum dari aspek
normatif.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan analitis
(analytical approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Dengan
menggunakan statute approach akan memberikan gambaran tentang pengaturan
pokok permasalahan yang sedang dikaji, sedangkan analytical approach adalah
menganalisis terhadap bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung
oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan-aturan perundang-undangan
secara konsepsional sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek.
Selanjutnya dengan conceptual approach akan memperoleh gambaran teori-teori
yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang sedang dikaji, sehingga
memungkinkan ditentukan arti kata-kata secara tepat untuk menggunakannya
dalam proses pemikiran.
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder
adalah data publikasi hukum berupa dokumen-dokumen resmi. Data sekunder ini
terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer adalah berupa buku-buku peraturan perundang-
undangan, yaitu Kompilasi Hukum Islam, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang bertujuan untuk

5
melengkapi dan mendukung data-data ini, agar penelitian menjadi lebih
sempurna.
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen-dokumen resmi, publikasi tentang hukum meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar
para ilmuan hukum yang merupakan data normatif yang berkenaan dengan
penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap permasalahan yang diteliti.
Sedangkan bahan hukum tertier berupa kamus-kamus hukum, ensiklopedi
hukum dan artikel-artikel hukum yang berkaitan dengan permasalahan.

II. KONSEPSI NASAB DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Identifikasi Nasab
Di dalam Peraturan Perundang-undangan, terutama dalam Undang-
Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tidak ditemukan adanya
istilah nasab. Namun di dalam Kompilasi Hukum Islam istilah nasab ini dapat
dijumpai dalam beberapa pasal, akan tetapi tidak menjelaskan apa pengertian
nasab itu sendiri.
Nasab, keturunan anak sebelah ibunya tetap berlaku pada semua keadaan
kelahiran, sama ataupun tidak. Adapun nasab keturunan sebelah bapak, maka ia
tidak berlaku kecuali anak itu merupakan hasil perkawinannya yang sah atau
perkawinan yang fasid atau persetubuhan syubhat ataupun pengakuan dengan
keturunan. Islam membatalkan sistem yang berlaku pada masa Jahiliah mengenai
penyambungan keturunan anak-anak zina. Sabda Nabi Muhammad SAW, yang
artinya “Anak yang lahir sah berhak ditetapkan nasab keturunan, dan penzina
berhak dilontar dengan batu” (HR. Jamaah, kecuali Tarmizi, Jamaah terdiri dari
Ahmad dan para pengarang kitab Nayl al-Autar, Jilid VI, Hal. 279).
Ini bermakna bahwa anak yang lahir dari hubungan suami isteri yang sah
di nasabkan keturunannya kepada bapak. Manakala zina tidak layak menjadi
sebab bagi mewujudkan nasab, ia hanya layak dan berhak dirajam.
6
Hadis ini pada zahirnya menunjukkan bahwa anak di nasabkan kepada
bapak setelah berlaku satu tempat tidur, dan nasab tidak ditetapkan melainkan
dibolehkan berlaku persetubuhan pada perkawinan yang shahih atau fasid. Ini
adalah pendapat jumhur.

B. Sebab-Sebab Ketetapan Nasab


Nasab dan keturunan me rupakan salah satu nikmat Allah SWT yang
besar yang diberikan kepada bani Adam. Dalam hal ini nasab dalam hukum
Islam adalah dengan zanniyah/kuat sangka saja, tidak sampai kepada yakiniyah,
sebab masih ada kemungkinan benih asal anak tersebut bukan dari suami, tetapi
bisa saja dari orang lain, akan tetapi kita hanya boleh menghukum yang zahir saja
yang hakikat hanya Allah SWT yang mengetahuinya.3
Sebab-sebab ketetapan nasab anak kepada ibunya ialah kelahiran, baik sah
ataupun tidak. Adapun sebab-sebab ketetapan nasab kepada bapaknya ialah:
1. Perkawinan yang Sah
Jumhur Fuqaha bersepakat mengatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh
perempuan yang mempunyai suami secara sah disambungkan nasab kepada
suaminya berpandukan kepada hadist yang lepas, yang artinya “Anak yang
lahir sah berhak ditetapkan nasab keturunan”.
2. Perkawinan Fasid
Perkawinan yang fasid dalam menentukan nasab ada lah sama seperti
perkawinan yang shahih, karena langkah berhati-hati dan cermat dalam
menentukan nasab demi untuk mencerahkan hidup anak dan menjaganya.
Syarat menentu kan nasab dengan sebab perkawinan fasid ada tiga yaitu :
a. Suami terdiri dari orang yang dapat menghamilinya, yaitu baligh di sisi
ulama Maliki dan Syafi’i, baligh atau remaja di sisi ulama Hanafi atau
Hambali.

3
Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Jilid II, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007, Hal.
2.
7
b. Berlaku persetubuhan dengan perempuan ataupun khalwat menurut
pendapat ulama Maliki. Jika tidak ada persetubuhan atau khalwat setelah
perkawinan fasid, maka tidak ada ketetapan nasab anak karena khalwat
pada perkawinan fasid adalah sama seperti khalwat pada perkawinan yang
shahih, karena berpeluang melaku kan persetubuhan. Ulama Hanafi
mensyaratkan berlaku persetubuhan saja. Khalwat tidak memadai untuk
menentukan nasab dengan sebab perkawinan yang fasid karena tidak
dihalalkan persetubuhan antara lelaki dan perem puan.
c. Perempuan melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dari persetu
buhan, atau khalwat disisi ulama Maliki dan dari persetubuhan disisi
ulama Hanafi. Jika perempuan melahirkan anak sebelum lewat masa
enam bulan dari persetubuhan dan khalwat di sisi dua golongan pertama,
maka tidak ada ketetapan nasab dari lelaki itu karena ia menunjukkan
bahwa ia telah hamil sebelum bersetubuh dan ia adalah anak dari lelaki
lain. Sebaliknya jika ia melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih
dari bersetubuh atau berkhalwat, maka ketetapan nasab anak dari suami
melalui perkawinan fasid.
Tidak ternafikan nasab dari lelaki itu kecuali dengan li‟an pada pendapat
Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun pada pendapat ulama Hanafi tidak
ternafikan nasab anak itu walaupun dengan li‟an, karena tidak sah li‟an di sisi
Hanafi melainkan setelah perkawinan yang sah, sedangkan perkawin an dalam
masalah ini adalah fasid.
3. Persetubuhan Syubhat
Persetubuhan syubhat ialah hubungan jenis bukan zina dan tidak
berazaskan di atas akad perkawinan yang sah atau perkawinan yang fasid.
Umpamanya, perempuan bersama suaminya pada malam pertama tanpa
mengenalinya terlebih dahulu, hanya orang berkata bahwa itulah isterinya,
lalu ia menyetubuhinya. Contoh lain seperti lelaki bersetubuh dengan
perempuan yang sedang terbaring di tempat tidurnya dan disangka itu

8
isterinya, lalu ia menyetubuhi perempuan tersebut. Contoh lain ialah
persetubuhan semasa dalam „iddah ketika suami menceraikannya dengan
talak tiga, dan ia berkeyakinan bahwa perempuan tersebut masih halal
baginya.

C. Pembuktian Adanya Nasab


Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa anak yang lahir sebagai akibat
zina dan/atau li’an, hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang
melahirkannya. Sedangkan hubungan dengan ayah biologis haruslah didasarkan
pada ada atau tidaknya perkawinan yang sah dalam masa pembuahannya.
Secara syariat Islam, nasab didasarkan kepada perkawinan yang sah.
Ketidakjelasan nasab akan membawa pada masalah hukum yang lain, waris,
perwalian dan lain sebagainya . Jika ia tidak bisa dinasabkan secara syar‟i, maka
tidak bisa mendapatkan hak waris. Tes DNA itu merupakan penemuan pada ilmu
kedokteran (medis) terkini. Sebab pada masa Rasul dan jaman sahabat belum
dikenal istilah seperti itu. Yang ada pada saat itu adalah sistem al-qiyafa, yakni
menurut penglihatan setelah melihat bagian-bagian pada bayi yang baru lahir.
Dan salah satu contohnya atau yang saat ini telah di-qiyas-kan adalah dalam
bentuk sidik jari. 4
Namun demikian, menurut Neng Djubaedah, jika terbukti bahwa
seseorang anak mempunyai hubungan biologis dengan seorang lelaki sebagai
ayah biologisnya, baik karena zina, perkosaan, incest, kumpul kebo, cloning,
mut’ah, mula’anah, pembuahan di luar rahim (embrio) yang benihnya bukan
berasal dari suami isteri yang sah yang dikandungkan di dalam rahim isterinya,
atau benihnya berasal dari suami isteri yang sah tetapi dikandungkan kepada
pemilik rahim bukan isterinya, atau pemilik spermatozoa adalah bukan suami
yang sah dari pemilik rahim yang mengandung kan, dan lain-lain berdasarkan

4
Anonimus, Ulasan Mengenai Nasab dan Pembuktian Keturunan Melalui Tes DNA Secara
Biologis, http://2.,bp.blogspot.com/_sw4NMILXTh4/SPwfnpdrEAI/sijra-e-nasab.jpg. Sabtu, 3/31/
2012. 9:08. WIB.
9
ta‟zir dapat ditentukan hukuman berupa kewajiban bagi ayah biologis untuk
membayar nafkah, pendidikan, perawatan, dan lain-lain hingga anak dewasa dan
mandiri.5

III. STATUS NASAB ANAK LUAR NIKAH MENURUT PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Anak Luar Nikah


Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada anak luar nikah
diakui dan anak luar nikah yang disahkan. Pengakuan merupakan perbuatan untuk
meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya yang mengakuinya.
Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tuanya yang telah
mengakuinya lebih dahulu atau mengakuinya pada saat perkawinan
dilangsungkan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada 3 (tiga) tingkatan status
hukum dari pada anak diluar perkawinan, yaitu:
1. Anak diluar perkawinan yang belum diakui oleh orang tuanya.
2. Anak diluar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua
orang tuanya.
3. Anak diluar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang
tuanya melangsungkan perkawinan sah.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian anak diluar
nikah dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut :
1. Anak luar nikah dalam arti luas, adalah anak luar nikah karena perzinaan
dan sumbang.
Anak Zina adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah,
antara lak-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya
terikat pernikahan dengan orang lain, sedangkan anak Sumbang adalah

5
Neng Djubaedah, Kedudukan Perempuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, hal. 70.
10
anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang
perempuan yang keduanya berdasarkan undang-undang ada larangan
untuk saling menikahi.
2. Anak luar nikah dalam arti sempit, adalah anak yang dilahirkan diluar
pernikahan yang sah.
Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan
ayah dan ibunya. Apabila anak itu terpaksa disahkanpun tetap tidak ada
akibat hukumnya (Pasal 288 KUHPerdata). Kedudukan anak itu sangat
disayangkan, namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan,
karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku
zina itu sendiri.
Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya,
yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 dan
Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap
anak diluar nikah, timbullah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau
ibunya. Pengakuan terhadap anak diluar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta
otentik, apabila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu
pelaksanaan pernikahan.6
Berdasarkan pengaturan KUHPerdata, waris mewaris hanya berlaku bagi
anak luar kawin yang diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Tanpa pengakuan dari
ayah dan/atau ibu, maka anak luar kawin tidak mempunyai hak mewaris. Berbeda
halnya dengan hukum waris Islam yang berlaku di Indonesia, yaitu anak luar
kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 100 Kompilasi
Hukum Islam).
Hukum Islam juga menetapkan anak di luar perkawinan adalah :
1. Anak mula‟anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-
li‟an oleh suaminya. Kedudukan anak mula ‟anah ini hukumnya sama

6
Efendi Perangin, Hukum Waris, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 28.
11
saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-
li‟an, tetapi mengikuti nasab ibunya yang melahirkannya, ketentuan ini
berlaku juga terhadap kewarisan, perkawinan dan lain-lain.
2. Anak Syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki
yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya. 7

B. Status Anak Luar Nikah Menurut Peraturan Perundang-Undangan dan Hukum


Islam
1. Anak Luar Nikah Menurut Peraturan Perundang-Undangan..
a. Anak sah.
Pasal 205 KUHPerdata, menyebutkan bahwa : Tiap-tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perka winan memperoleh si suami
sebagai bapaknya.
Hal ini menunjukkan bah wa hubungan antara anak yang dilahirkan dan
atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan adalah merupakan hubungan yang sah,
sehingga kedudukan atau status anak tersebut dapat dikatakan sebagai anak yang
sah. Tetapi lain halnya terhadap anak yang lahir setelah perkawinan putus, sebab
harus dibuktikan terlebih dahulu apakah anak tersebut dibenihkan sepanjang
perkawinan, pembuk tiannya tentu sulit, karena undang- undang membuat suatu
asumsi atau persangkaan, yaitu : Anak-anak yang dilahirkan dalam waktu 300
hari sesudah putusnya perkawinan adalah anak yang dibenihkan sepanjang
perkawinan dan karena nya adalah anak sah. 8

b. Anak Luar Nikah.


Anak yang lahir diluar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau
disangkal dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alam). Hukum
menghendaki dan menun tut agar tidak terjadi kelahiran sebagai akibat hubungan
badaniah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak terikat oleh

7
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, hlm. 83.
8
Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam, kowani, jakarta
2008, hlm.13.
12
suatu ikatan yang dikenal sebagai lembaga perkawinan, namun kenyataannya
dalam masyarakat menunjukkan bahwa tuntutan kesusilaan dan hukum itu tidak
dapat dipenuhi oleh sebagian anggota masyarakat.9
Pembenihan dan kelahiran anak hanya dapat dibenarkan oleh kesusilaan,
jika hal itu terjadi melalui jalur yang suci. Dengan demikian sebagaimana yang
disebutkan diatas bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan
yang sah, maka seorang anak yang lahir atau dibenihkan di luar perkawinan
adalah anak alami atau anak luar kawin.
Suatu hubungan kekeluargaan antara anak dan keluarga si ayah atau ibu
yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya dapat diletakkan dengan
pengesahan anak (wettiging), yang merupakan suatu langkah lebih lanjut daripada
pengakuan. Perlu diingat, undang-undang tidak membolehkan pengakuan
terhadap anak-anak zina dan sumbang.
Dalam hal pengakuan anak luar nikah dikategorikan dalam 2 (dua) bagian,
yaitu :
1) Tidak boleh diakui, yaitu anak-anak yang lahir dari :
a. Hubungan perzinaan, di sebut dengan anak-anak zina (adultery).
b. Hubungan sumbang atau incest disebut anak anak sumbang.
2) Boleh diakui, yaitu :
a. Kalau diakui disebut anak-anak alami yang diakui sah (erked
kinderen). Anak-anak yang diakui ini boleh pula disahkan (gewettig).
b. Kalau tidak diakui disebut anak-anak alami yang diakui sah (natuurlijk
niet erkend kinderen).
Anak yang lahir dari perbuatan zina dan sumbang tidak diperkenan
kan untuk diakui oleh orang yang berbuat zina, kecuali ada dispensasi dari
Presiden sebagaimana di atur dalam Pasal 283 jo 273 KUHPerdata.
Berdasar kan ketentuan ini, maka anak zina dan anak sumbang tidak bisa
dipaksakan pengakuannya kepada laki-laki yang membuahinya. Hal ini

9
Ibid.,hlm.23.
13
didasarkan pada azas hukum perdata yang menentukan bahwa dalam
hukum perkawinan harus dihormati ketentuan-ketentuan dan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat, di antaranya ada halangan bagi
laki-laki untuk menikahi ibu si anak itu.
1.2. Kedudukan Anak Luar Kawin yang Diakui dalam KUHPerdata.
Kepada anak-anak sumbang dan anak-anak zina, undang-undang tidak
memberikan hak mewaris, tetapi undang-undang memberikan kepada mereka hak
menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap boedel (Pasal 867 ayat (2)) yang
besarnya tidak tertentu, tergantung dari besarnya kemampuan bapak atau ibunya
dan keadaan para ahli waris sah, dan haknya bukan hak waris.
Anak luar nikah hanya mempunyai hak waris sepanjang laki laki atau
perempuan yang membenihkannya mengakuinnya. Apabila belum diakui, maka
tidak ada hubungan perdata (yang berarti tidak ada pertalian keluarga), dan tidak
ada pula hubungan pewarisan antara mereka.
Kedudukan anak luar nikah dalam hukum Islam.
Kedudukan hukum bagi anak zina tidak bernasab kepada laki-laki yang
melakukan zina terhadap ibunya, ia tidak mengikuti nasab laki-laki pemilik
sperma yang menyebabkan kelahirannya, tetapi nasabnya mengikuti kepada ibu
yang melahirkannya, maka hal ini berakibat pula pada hilangnya
kewajiban/tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada
ayah, dan antara keduanya adalah sebagai orang lain.
Sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
tersebut di atas, pandangan MUI itu tidak akan berubah kecuali Mahkamah
Konstitusi dapat memberikan bukti lain berdasarkan hukum syariat Islam. "MUI
sudah melakukan kajian sesuai syariat Islam dan dari hasil kajian tersebut
kemudian dikeluarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Inti fatwa
Nomor 11 yang ditetapkan 10 Maret 2012 itu, bahwa :

14
Anak hasil zina tidak mem punyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan
nafaqah dengan lelaki yang menyebab kan kelahirannya. Selanjutnya, bahwa
anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Dan Pemerintah berwenang menjatuhkan
hukuman ta‟zir (bentuk dan kadar hukumannya ditetapkan pihak berwenang)
lelaki pezina yang mengakibat kan lahirnya anak dengan mewajibkannya
untuk mencukupi kebutuhan anak tersebut dan memberikan harta setelah ia
meninggal melalui wasiat wajibah.
Tidak ada pilihan baginya menerima atau meninggalkan sebagian. Dia
harus menyerah pada semua hukum yang dihalalkan dan yang diharamkan,
sebagaimana arti (maksud) dari ayat di bawah ini: "Dan tidaklah patut bagi laki-
laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang Mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka..." (QS. Al-Ahzab: 36).
Asal usul anak dalam Kompilasi hukum Islam.
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang diyakini dalam fiqh
Sunni, karena para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li‟an hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Berbeda dengan
pemahaman ulama Syi’ah bahwa anak zina tidak mempunyai nasab dengan ibu
atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina tidak bisa mewarisi keduanya.

IV. AKIBAT HUKUM BAGI ANAK LUAR NIKAH TERHADAP KEWARISAN


BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN HUKUM
ISLAM

A. Akibat Hukum Bagi Anak Luar Nikah Terhadap Kewarisan Menurut Peraturan
Perundang-Undangan
Karena secara biologis tidak mungkin seorang anak tidak mempunyai
ayah, maka demi kepentingan hukum yang menyangkut segala akibatnya

15
dibidang pewarisan, kewarganegaraan, perwalian, dan sebagainya, maka melalui
perwalian dan pengesahan anak ini ditimbulkan hukum perdata baru.
Peristiwa pengakuan, pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-
diam tetapi harus dilakukan dimuka pegawai pencatatan sipil, dengan percatatan
dalam akta kelahiran, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat
pengesahan) atau dalam akta tersendiri dari pegawai pencatatan sipil.

B. Akibat Hukum Bagi Anak Luar Nikah Terhadap Kewarisan Menurut Hukum
Islam
1. Hubungan Nasab
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan,
dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal demikian secara
hukum, anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah/bapak
alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan
laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
Sebagai jalan keluar dari hal ini, hubungan anak zina dengan ayah yang
membuahinya dapat dihubungkan melalui jalan hibah atau wasiat, apabila ayah
dari anak tersebut merasa bertanggung jawab atas perbuatannya yang menyebab
kan kelahiran anak itu, karena dalam hukum Islam dikenal adanya hibah dan
wasiat, dan ketentuan ini dapat berlaku untuk anak yang lahir diluar nikah yang
sah.
2. Nafkah
Oleh karena kedudukan anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib
memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja.10
Sedangkan bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut
secara biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara

10
Abul A’la Almaududi, Kejamkah Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta 1993, hlm. 37.
16
yuridis formal sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam diatas,
tidak mempunyai kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut.
3. Hak-hak Waris.
Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan,
maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya
dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186
Kompilasi Hukum Islam : Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina
dengan ayah (laki-laki yang membuahinya), karena anak zina tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengannya, sedangkan hubungan kekerabatan itu, timbul
atas dasar akad nikah yang sah, sebagaimana yang telah ditentukan oleh Syari’at
Islam. Tetapi seorang anak mempunyai hubungan dengan ibu dan kerabat ibunya
dan ia berhak mendapat warisan dari pihak ibu dan kerabat ibunya. Tidak ada
pengakuan dan pengesahan terhadap anak zina, karena hukum Islam hanya
mengenal anak sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan suami isteri yang sah
menurut syara‟.
Apabila anak yang lahir akibat dari perbuatan zina (diluar perkawinan)
tersebut ternyata perempuan, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah,
maka ayah/bapak alami (genetik) tersebut tidak berhak atau tidak sah untuk
menikahkannya (menjadi wali nikah), yang menjadi wali nikahnya adalah
wali Hakim, sebagaimana ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam Pasal 19
Kompilasi Hukum Islam, yakni : Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya. Sedangkan Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam adalah : Yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, akil dan baligh.

17
V. PENUTUP
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian mengenai permasalahan-
permasalahan di atas, maka dapat dikemukakan sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan
yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari akad pernikahan yang
sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat. Nasab merupakan pengakuan
syara‟ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya.
2. Kedudukan anak luar nikah menurut Hukum Islam, hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya. Hubungan hukum antara anak di luar nikah
dengan ibu sama kuatnya hubungan hukum antara anak sah dengan bapaknya.
Dalam hukum Islam tidak mengenal adanya pengakuan anak oleh ayah
biologisnya. Sedangkan kedudukan anak luar nikah menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yakni anak yang lahir diluar perkawinan diakui/tidak
oleh orang tuanya, maka dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja
belum terjadi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan ayah/ibu yang
membenihkannya. Akan tetapi setelah ada pengakuan (erkenning), terbit suatu
pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak
mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya.
3. Akibat hukum bagi anak luar nikah menurut Hukum Islam adalah anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya saja. Sehingga tidak dapat dinisbahkan atau dinasabkan
kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami
(genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili perempuan yang
melahirkannya itu, maka tidak ada hak waris mewarisi antara anak yang
dilahirkan melalui perzinaan dengan ayah biologisnya.
B. Saran.
1. Hendaknya hukum harus memberi perlindungan dan kepastian yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,

18
termasuk terhadap anak-anak yang meskipun keabsahan perkawinan orang
tuanya masih dipersengketakan. Untuk itu perlu dipikirkan kembali secara
serius akibat yang muncul dari fakta “anak luar nikah” ini terutama dari sisi
pembuktian dan proses peradilannya. Putusan Mahkamah Konstitusi harus
ditindak lanjuti dengan proses pembaharuan legislasi, atau melalui proses
pembaruan Undang-Undang Perkawinan, dan proses pembaruan Hukum
Acara mengenai hal ini. Di samping itu agar adanya harmonisasi di dalam
penerapannya dan demi kemaslahatan umum, maka materi ajaran yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist, agar menjadi serapan dalam
pembentukan Hukum Nasional.
2. Islam tidak menganut lembaga pengakuan dan pengesahan terhadap anak di
luar nikah, karena pengakuan dan pengesahan yang mengakibatkan adanya
hubungan nasab anak luar nikah dengan ayah biologisnya dikhawatirkan akan
terjadi pergeseran nilai moral yang membawa kepada penyimpangan seksual
(perzinaan) sekaligus merusak tatanan hukum dan merendahkan kesucian
lembaga perkawinan. Untuk itu seorang ayah biologis hendaknya
menggunakan lembaga wasiat dalam masalah kewarisan, dan wali Hakim
dalam pernikahan anak perempuannya yang lahir di luar nikah.
3. Kepada para pezina yang telah terlanjur melakukan perbuatan tercela itu,
hendaknya bersedia untuk menikahi wanita yang bersangkutan dan
memelihara serta mendidik anak yang dilahirkan di luar nikah tersebut sampai
ia dewasa dan mandiri.

19
REFERENSI
A. Buku:
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, Asy
Syifa’, Semarang, 1998.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Prenada


Media Group, Jakarta, 2006.

Abul A’la Almaududi, Kejamkah Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
1993.

Alhamdani, Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Amani, Jakarta,


1990.

Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya,


Jakarta, 1993.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2002.

Djubaedah, Neng. Kedudukan Perempuan dalam Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta, Tahun 2000.

Effendi, Perangin, Hukum Waris, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.

Hamid A., Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Yayasan PeNA,


Banda Aceh, 2005.

Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam, Kowani,
Jakarta, 2008.

Iman Jauhari, Perlindungan Hak-Hak Anak, dalam Teori dan Praktik, Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2007.

----------------, Kapita Selekta Hukum Islam, Jilid II, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2007.

----------------, Advokasi Hak-Hak Anak (Ditinjau dari Hukum Islam dan


Peraturan Perundang-undangan), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah, Masykur A.B.,


Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff; Cet. 6, Lentera, Jakarta, 2007.

20
Qardhawi, Yusuf., Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 4, diterjemahkan oleh Moh.
Suri Sudahri, et.al., cet. 1, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.

Wahbah al-Zuhaili, Penterjemah Ahmad Shahbari Salamon, et al, 2001, Figh dan
Perundangan Islam, Jilid VII, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan
Pustaka.

B. Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi


Kependudukan

Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi


Hukum Islam.

C. Jurnal/Makalah/Internet:

Eddy Purnama, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bahan Kuliah Program


Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,
2011.

Anonimus, Ulasan Mengenai Nasab dan Pembuktian Keturunan Melalui Tes


DNA Secara Biologis, http://2.,bp.blogspot.com/sw4NMILXTh4/
SPwfnpdrEAI/sijra/-e-nasab.jpg., Sabtu, 3/31/2012. 9:08. WIB.

21

Anda mungkin juga menyukai