Dosen Pembimbing :
Disusu Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................ 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti menghendaki agar hidupnya
bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan menjadi tujuan hidup
manusia.. Orang mencari kebahagiaan itu dengan berbagai cara.Ada orang yang
menganggap bahwa harta, kekayaan , uang, dan jabatan adalah sumber
kebahagiaan. Dengan memiliki semuanya itu orang merasa bahagia karena bisa
menikmati hidup yang enak. Oleh karena itu berbagai macam cara dilakukan
orang untuk meraih sesuatu yang dianggapnya sebagai sumber kebahagiaan
tersebut. Untuk dapat meraih sumber kabahagiaan dimaksud orang menggunakan
cara-cara tertentu, baik yang terpuji maupun dengan cara yang tidak terpuji.
Sementara itu ada juga orang yang memandang bahwa kebahagiaan itu
bukan terletak pada harta, benda, kekayaan, uang maupun jabatan, melainkan
pada sikap seseorang dalam memandang sesuatu itu sebagai anugerah yang perlu
disyukuri sehingga membuat dirinya bahagia. Orang yang demikian itu menyadari
bahwa kebahagiaan itu terletak dalam hati nuraninya., yakni hati yang bisa
mensyukuri segalanya yang dia terima entah yang baik maupun buruk sekalipun.
Kunci kebahagiaan hidup tidak terletak pada tida adanya persoalan dan
kesulitan yang dialami dalam hidup ini, melainkan pada sikap kota dalam
menghadapi persoalan hidup ini. Jadi yang menentukan ketenteraman hidup
manusia adalah sikap orang itu dalam menghadapi kesulitan, bukannya
permasalahannya itu sendiri.
Sikap orang dalam menghadapi kesulitan hidup sangat ditentukan oleh dua
faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk dalam faktor
eksternal antara lain besar-kecilnya masalah, lama-tidaknya masalah dapat
diselesaikan, kerugian yang diakibatkan oleh masalah tersebut, dan sebagainya
dukungan yang diperoleh dari keluarga maupun teman-teman.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Epistemologi: Sensasi sebagai Kriteria Kebenaran
Lebih lanjut, Epikuros menyatakan bahwa nikmat adalah alami dan membawa
kebahagiaan, sedangkan sakit adalah asing dan karenanya membawa penderitaan.
Dengan demikian, kriteria kebenaran diperlukan untuk memandu manusia
mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan. Sensasi adalah pemandu
manusia akan eksistensi obyek dalam dunia, konsep umum membantu memahami
dan menjelaskan sensasi dengan benar, sedangkan perasaan nikmat atau sakit
adalah kriteria bagaimana manusia harus bertindak.
Epikuros menyatakan bahwa atom memiliki ukuran dan bentuk. Atom juga
memiliki berat dan oleh karena itu secara alami bergerak ke bawah. Akan tetapi
secara random, atom-atom ini mengalami gerakan yang melenceng (the swerve)
yang mengakibatkan tabrakan dan penyatuan dengan atom lainnya. Atom-atom
yang bersatu kemudian membentuk materi tubuh atau kumpulan tubuh. Masing-
3
masing tubuh akan memiliki karakter yang berbeda (seperti warna, tekstur atau
sifat), tergantung dari struktur atom yang membentuknya. Alam semesta
dikatakan terbentuk karena adanya gerakan melenceng ini. Dari sini Epikuros
berpendapat bahwa ‘nothing comes into existence from nothing’. Atom dan void
telah ada sejak dulu dan akan selalu ada di masa depan. Setiap tubuh atau
kumpulan tubuh bisa terbentuk ataupun musnah sedangkan atom dan void adalah
abadi.
Bahwa segala sesuatu merupakan kumpulan atom-atom begitu pula dengan jiwa
manusia. Jiwa merupakan tubuh yang terbentuk dari atom-atom yang sangat halus
dan hanya dapat menyatu dalam tubuh fisik. Pada saat kematian, atom-atom jiwa
menguap ke dalam void karena tubuh manusia tempat atom-atom jiwa itu
menyatu telah terurai. Epikuros berkata “Kematian bukanlah apa-apa. Karena
apa yang telah terurai tidak bisa mengalami sensasi, dan apa yang tidak
merasakan sensasi adalah bukan apa-apa bagi kita”. Oleh karena itu, tidak ada
yang perlu ditakuti karena kematian hanyalah pemusnahan tubuh.
Epikuros juga percaya akan adanya dewa-dewa, akan tetapi berpendapat bahwa
mereka tidak memiliki kepentingan dan hubungan apapun dengan manusia.
Dewa-dewa hidup terpisah dalam ruang di antara sistem kosmis yang dikenal
dengan istilah intermundia. Seperti manusia, dewa-dewa juga terbentuk dari atom.
Akan tetapi mereka dapat hidup imortal karena menjalani kebahagiaan sempurna
dan memiliki kemampuan untuk menjaga dan memperbaharui atom-atom dalam
tubuhnya.
4
harmonis dan penuh). Kenikmatan kinetik merupakan kenikmatan yang diperoleh
sensasi inderawi saat seseorang menjalankan aktifitas yang menyenangkan
(misalnya, saat menyantap makanan). Sedangkan kenikmatan katastematik justru
datang saat rasa sakit dan penderitaan hilang (misalnya, saat lapar dan dahaga
hilang). Jika dihubungkan dengan pemikiran atomisnya, pada kenikmatan
katastematik, atom-atom dalam tubuh manusia bergerak secara harmonis dan
stabil.
Epikuros juga membedakan dua jenis penderitaan yaitu penderitaan fisik dan
penderitaan mental. Penderitaan fisik berkaitan dengan apa yang dirasakan saat
ini, sedangkan penderitaan mental berkaitan dengan memori masa lalu dan
ketakutan akan masa depan (yang sebenarnya tidak pasti). Karena cakupannya
lebih panjang, penderitaan mental bisa memperburuk penderitaan fisik.
Selanjutnya Epikuros menyimpulkan bahwa penderitaan mental dapat
menghalangi tercapainya kebahagiaan, dan bahwa penghalang kebahagiaan
terbesar adalah ketakutan akan masa depan (terutama kematian dan hidup setelah
5
kematian) serta ketakutan akan dewa-dewa (yang akan menghukum manusia jika
tidak hidup sesuai dengan harapan dewa-dewa).
E. Kenikmatan sebagai Jalan Menuju Ketentraman
dan Ketenangan Jiwa (Ataraxia)
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa etika Epikuros bersifat privatistik karena
sifatnya mencari kebahagiaan pribadi. Tidak mengherankan jika semboyan
Epikuros adalah“hidup dalam kesembunyian”. Manusia dianjurkan hidup tenang
dengan menikmati kenikmatan yang mudah diraih, serta menghindari sakit dan
penderitaan. Bagi Epikuros, kenikmatan berada dalam ketentraman jiwa yang
tenang, bebas dari perasaan cemas atau dikenal dengan istilah ataraxia.
Dengan prinsip privatistik ini, Epikuros seolah-olah tidak melihat politik, keadilan
dan kehidupan publik sebagai sesuatu yang bernilai. Keadilan bagi Epikuros
hanyalah sarana bagi kenikmatan, yang diperlukan untuk sekedar mengatur
ketentraman agar manusia tidak mengganggu ketenangan hidup manusia yang
lain. Politik menjadi terlalu berisiko, karena kehidupan politik seringkali naik
turun, mengancam ketentraman dan ketenangan hidup. Kehidupan publik,
walapun menawarkan kenikmatan seperti kemasyuran dan kekayaan, seringkali
penuh kecemasan dan bersifat kompetitif. Padahal kecemasan dan perilaku
kompetitif tidak diperlukan dalam usaha pencapaian kenikmatan katastematik.
Berkaitan dengan kehidupan sosial, satu hal yang menarik adalah Epikuros
menekankan tingginya nilai persahabatan. Menurut Epikuros “Persahabatan
bagaikan menari mengelilingi dunia, menggugah kita semua untuk merasakan
kebahagiaan”. Pemikiran persahabatan ini menimbulkan dua penafsiran. Di satu
sisi, bisa ditafsirkan sebagai pemikiran egoistik karena sahabat dilihat sebagai alat
untuk mencapai kenikmatan. Akan tetapi di sisi lain, bisa menunjukkan
bagaimana etika Epikuros juga bersifat altruistik karena dalam persahabatan,
6
kebahagiaan tidak hanya datang dalam tindakan menerima tapi juga dalam
tindakan memberi.
F. Tanggapan
a. Perbandingan dengan Etika Yunani Lainnya
Seperti seluruh tradisi filsafat Yunani, etika Epikuros memiliki kesamaan dengan
etika Aristoteles dan juga etika Stoa. Ketiganya bersifat teleologis dan memiliki
titik tolak yang sama bahwa kebahagiaan merupakan nilai tertinggi yang menjadi
tujuan hidup manusia. Perbedaan mendasar dari ketiganya adalah definisi tentang
kebahagiaan itu sendiri. Aristoteles menyatakan kebahagiaan datang saat manusia
berhasil mengembangkan dirinya. Stoa menyatakan kebahagiaan tercapai saat
manusia menyatu dengan keselarasan alam semesta. Sedangkan Epikuros
mengidentikkan kebahagiaan dengan kenikmatan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketiga etika Yunani di atas memiliki
tujuan yang sama yaitu mengajarkan manusia paham hidup yang baik, bermutu
dan bermakna. Akan tetapi sifat privatistik dari etika Epikuros menjadikan etika
ini lebih sempit dan egois dibandingkan dengan kedua etika yang lain. Magnis-
7
Suseno bahkan menyatakan, etika Epikuros mengandung cacat moral karena tidak
dapat menampung sikap-sikap moral dasar seperti tanggung jawab, kewajiban,
cinta kasih, perjuangan demi keadilan demi kebaikan sesama. Walaupun etika
Epikuros mengandung kebaikan dan kebijaksanaan, kebahagiaan privat yang
ditawarkan seperti menyempitkan arti kebahagiaan yang sebenarnya.
Jika dibandingkan dengan etika Kant, maka etika Epikuros menjadi sangat
berlawanan. Etika Kant bergerak dari kewajiban murni tanpa ada tujuan tertentu
(deontologis) sedangkan etika Epikuros, sebagaimana etika Aristoteles, justru
ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu yaitu kebahagiaan (tergolong dalam
etika teleologis). Seperti dikatakan di atas, etika Epikuros tidak dapat menampung
nilai-nilai moralitas sebaliknya etika Kant seluruhnya justru berbicara tentang
keluhuran moralitas dan bagaimana moralitas mengikat manusia dengan mutlak.
Menurut Kant pertanyaan tentang kebahagiaan adalah masalah kebijaksanaan,
bukan moralitas. Tak ada kaitan antara moralitas dengan kebahagiaan, penjahat
pun ingin hidup bahagia. Moralitas baru dimulai ketika orang tidak memikirkan
dirinya sendiri melainkan apa yang secara obyektif menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya.
Walaupun demikian, keluhuran yang dikandung oleh etika Kant tidak begitu saja
menjadikan etika Epikuros tidak bernilai. Etika Epikuros terasa lebih manusiawi,
‘hangat’ dan relevan dengan konteks hidup manusia sehingga mudah dimaknai
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam konteks dunia
yang didominasi kapitalisme saat ini maka etika Epikuros menjadi sangat berguna
dan mudah diterapkan dalam melawan terjangan konsumerisme.
Orang yang banyak mengalami kegagalan dan kekecewaan di masa lalu pada
umumnya akan menjadi orang yang percaya diri dan mudah patah semangat
dalam menghadapi kesulitan. Di samping itu konsep dirinya menjadi serba
negatif, menganggap diri orang yang gagal, bodoh, sial, dan sebagainya. Dalam
hal ini konsep diri menjadi sangat negatif dan hal inilah yang semakin membuat
orang tidak berkembang.
Jika kita mau berkembang, kita harus mengubah konsep diri kita menjadi lebih
positif. Kita tidak mungkin berkembang subur jika konsep diri kita serba negatif.
Oleh karena itu lebih baik menonjolkan segi positif dalam diri kita dari pada hal-
hal yang negatif. Karena setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekuatan
yang mesti kita tonjolkan.
8
H. Kecerdasaan Emosional
Orang yang cerdas secara emosional memiliki lima ciri yaitu : Pertama, mampu
mengenali dan memahami emosi-emosi yang bergejolak di dalam dirinya, Kedua,
mampu mengenali dan memahami emosi-emosi yang bergejolak di dalam diri
orang lain, Ketiga, mampu memotivasi diri agar selalu menjadi lebih baik dari
hari ke hari. Keempat, mampu mengendalikan emosi-emosi yang bergejolak di
dalam dirinya., dan Kelima, mampu memelihara hubungan-hubungan dengan
orang lain.
Emosi memegang peranan penting yang amat domonan yang menentukan sikap
orang terhadap lingkungannya. Rasa tentram dan damai, bahagia dan cemas, amat
dipengaruhi oleh kondisi emosi kita. Emosi yang kurang terkendali akan membuat
orang cepat bereaksi tanpa pikir panjang. Hal inilah yang akhirnya membuat
orang tidak tentram hidupnya. Hidup kita akan menjadi lebih tenteram dan damai
jika kita cerdassecara emosional, terutama dalam hal kemampuan mengendalikan
diri. Untuk mengendalikan diri perlu latihan dalam berbagai hal, misalnya
latihan mengendalikan rasa marah, rasa cemas, rasa malu dan sebaginya. Ini
menjadi keterampulan hidup (life skills) yang perlu dipelajari secara serius oleh
mereka yang mau hidup bahagia.
I. Kecerdasan Intelektual
Rasio dan emosi sangat erat hubungannya. Kita bisa mengendalikan emosi dengan
meningkatkan rasionalisasi kita. Sebaliknya emosi yang tidak terkendali bisa
membutakan rasio kita.
J. Tingkat Keimanan
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
https://stkip.wordpress.com/2010/06/08/kebahagiaan-sebagai-tujuan-hidup-
manusia/
11