Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ETIKA DAN TUJUAN KEBAHAGIAN

Dosen Pembimbing :

Moh. Yusuf Efendi,M.A

Disusu Oleh:

1. Yuni Puji Rahayu (1120190105)


2. Nur Farlina (1120190107)
3. Dewi Arum Fitriani (1120190109)
4. Musfirotun Ni’am (1120190111)

PROGRAM STUDI TARBIYAH


FAKULTAS PENDIDIKN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA’ SUNAN GIRI
BOJONEGORO
2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur kami


panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Etika dan Tujuan Kebahagiaan. Tidak lupa
juga kepada teman, keluarga dan dosen kami yang memberikan bimbingan serta
masukan yang berarti hingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan


bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................. 2
C. Tujuan .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pandangan Epistemologi dan Metafisika Epikuros ............... 3


B. Etika Kebahagiaan Epikuros ................................................. 4
C. Kenikmatan sebagai absennya rasa sakit dan penderitaan .... 4
D. Kenikmatan dengan kebijaksanaan ....................................... 5
E. Kenikmatan j alan menuju ketentraman dan ketenangan
jiwa ........................................................................................ 6
F. Tanggapan ............................................................................. 7
G. Pengalaman masa lalu ........................................................... 8
H. Kecerdasan emosional ........................................................... 9
I. Kecerdasan intelektual ........................................................... 9
J. Tingkat keimanan .................................................................. 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti menghendaki agar hidupnya
bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan menjadi tujuan hidup
manusia.. Orang mencari kebahagiaan itu dengan berbagai cara.Ada orang yang
menganggap bahwa harta, kekayaan , uang, dan jabatan adalah sumber
kebahagiaan. Dengan memiliki semuanya itu orang merasa bahagia karena bisa
menikmati hidup yang enak. Oleh karena itu berbagai macam cara dilakukan
orang untuk meraih sesuatu yang dianggapnya sebagai sumber kebahagiaan
tersebut. Untuk dapat meraih sumber kabahagiaan dimaksud orang menggunakan
cara-cara tertentu, baik yang terpuji maupun dengan cara yang tidak terpuji.

Sementara itu ada juga orang yang memandang bahwa kebahagiaan itu
bukan terletak pada harta, benda, kekayaan, uang maupun jabatan, melainkan
pada sikap seseorang dalam memandang sesuatu itu sebagai anugerah yang perlu
disyukuri sehingga membuat dirinya bahagia. Orang yang demikian itu menyadari
bahwa kebahagiaan itu terletak dalam hati nuraninya., yakni hati yang bisa
mensyukuri segalanya yang dia terima entah yang baik maupun buruk sekalipun.

Kunci kebahagiaan hidup tidak terletak pada tida adanya persoalan dan
kesulitan yang dialami dalam hidup ini, melainkan pada sikap kota dalam
menghadapi persoalan hidup ini. Jadi yang menentukan ketenteraman hidup
manusia adalah sikap orang itu dalam menghadapi kesulitan, bukannya
permasalahannya itu sendiri.

Sikap orang dalam menghadapi kesulitan hidup sangat ditentukan oleh dua
faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk dalam faktor
eksternal antara lain besar-kecilnya masalah, lama-tidaknya masalah dapat
diselesaikan, kerugian yang diakibatkan oleh masalah tersebut, dan sebagainya
dukungan yang diperoleh dari keluarga maupun teman-teman.

Sedangkan yang termasuk faktor internal antara lain adalah pengalaman


masa lalu, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektua dan tingkat keimanan
seseorang. Keempat faktor di atas akan menentukan “sikap hidup” seseorang
dalam menghadapi kesulitan dalam hidup seharihari. Sikap hidup inilah yang
akhirnya menentukan tingkat kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup
manusia.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan Epistemologi dan Metafisika Epikuros?


2. Apa itu Etika Kebahagiaan Epikuros?
3. Bagaimana Kenikmatan sebagai Absennya Rasa Sakit dan 
Penderitaan?
4. Bagaimana Kenikmatan dengan Kebijaksanaan?
5. Bagaimana Kenikmatan sebagai Jalan Menuju Ketentraman dan
Ketenangan Jiwa?

C. Tujuan

1. Mengetahui pandangan Epistemologi dan Metafisika Epikuros


2. Mengetahui Etika Kebahagiaan Epikuros
3. Mengetuhi Kenikmatan sebagai Absennya Rasa Sakit dan  Penderitaan
4. Mengetahui Kenikmatan dengan Kebijaksanaan
5. Mengetahui Kenikmatan sebagai Jalan Menuju Ketentraman dan
Ketenangan Jiwa

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Epistemologi dan Metafisika Epikuros

Terlebih dahulu kita akan sedikit memahami epistemologi dan metafisika


Epikuros karena pemikiran-pemikiran inilah yang mendasari ajaran etikanya.

a. Epistemologi: Sensasi sebagai Kriteria Kebenaran

Yang diminati oleh Epikuros adalah pengetahuan untuk memahami dunia


sekeliling yang dikatakannya berhubungan dengan pencapaian kebahagiaan
manusia. Untuk itu ia menyatakan bahwa manusia memerlukan alat yang bisa
diandalkan. Alat tersebut adalah tiga kriteria kebenaran: sensasi (pengalaman
inderawi), konsep umum (pandangan umum) dan perasaan. Sensasi merupakan
kriteria yang utama, sedangkan kedua lainnya merupakan turunan dari sensasi.
Epikuros menegaskan “semua sensasi adalah benar” dalam arti, sensasi yang
dialami oleh indera manusia merupakan bukti dari eksistensi aktual suatu obyek.
Kriteria kedua adalah konsep umum yang merupakan pemikiran dalam memori,
hasil dari pengalaman inderawi yang konstan mengenai suatu obyek. Kriteria
ketiga adalah perasaan nikmat atau sakit yang datang dari sensasi.

Lebih lanjut, Epikuros menyatakan bahwa nikmat adalah alami dan membawa
kebahagiaan, sedangkan sakit adalah asing dan karenanya membawa penderitaan.
Dengan demikian, kriteria kebenaran diperlukan untuk memandu manusia
mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan. Sensasi adalah pemandu
manusia akan eksistensi obyek dalam dunia, konsep umum membantu memahami
dan menjelaskan sensasi dengan benar, sedangkan perasaan nikmat atau sakit
adalah kriteria bagaimana manusia harus bertindak.

b. Metafisika: Alam Semesta Terdiri dari Atom dan Void

Seperti Demokritos, pemikiran metafisika Epikuros banyak didasari oleh


pemikiran atom. Epikuros berpendapat bahwa alam semesta dibentuk dari atom
(yang tidak dapat dibagi) yang bergerak dalam void (ruang kosong). Baik atom
maupun void berjumlah tak terhingga.

Epikuros menyatakan bahwa atom memiliki ukuran dan bentuk. Atom juga
memiliki berat dan oleh karena itu secara alami bergerak ke bawah. Akan tetapi
secara random, atom-atom ini mengalami gerakan yang melenceng (the swerve)
yang mengakibatkan tabrakan dan penyatuan dengan atom lainnya. Atom-atom
yang bersatu kemudian membentuk materi tubuh atau kumpulan tubuh. Masing-

3
masing tubuh akan memiliki karakter yang berbeda (seperti warna, tekstur atau
sifat), tergantung dari struktur atom yang membentuknya. Alam semesta
dikatakan terbentuk karena adanya gerakan melenceng ini. Dari sini Epikuros
berpendapat bahwa ‘nothing comes into existence from nothing’. Atom dan void
telah ada sejak dulu dan akan selalu ada di masa depan. Setiap tubuh atau
kumpulan tubuh bisa terbentuk ataupun musnah sedangkan atom dan void adalah
abadi.

Bahwa segala sesuatu merupakan kumpulan atom-atom begitu pula dengan jiwa
manusia. Jiwa merupakan tubuh yang terbentuk dari atom-atom yang sangat halus
dan hanya dapat menyatu dalam tubuh fisik. Pada saat kematian, atom-atom jiwa
menguap ke dalam void karena tubuh manusia tempat atom-atom jiwa itu
menyatu telah terurai. Epikuros berkata “Kematian bukanlah apa-apa. Karena
apa yang telah terurai tidak bisa mengalami sensasi, dan apa yang tidak
merasakan sensasi adalah bukan apa-apa bagi kita”. Oleh karena itu, tidak ada
yang perlu ditakuti karena kematian hanyalah pemusnahan tubuh.

Epikuros juga percaya akan adanya dewa-dewa, akan tetapi berpendapat bahwa
mereka tidak memiliki kepentingan dan hubungan apapun dengan manusia.
Dewa-dewa hidup terpisah dalam ruang di antara sistem kosmis yang dikenal
dengan istilah intermundia. Seperti manusia, dewa-dewa juga terbentuk dari atom.
Akan tetapi mereka dapat hidup imortal karena menjalani kebahagiaan sempurna
dan memiliki kemampuan untuk menjaga dan memperbaharui atom-atom dalam
tubuhnya.

B. Etika Kebahagiaan Epikuros

     The Four Part Cure


        (Philodemus, Herculaneum Papyrus 1005, 4.9-14)
       Don’t fear god, don’t worry about death,
       What is good is easy to get, and what is terrible is easy to endure.
Pemikiran epistemologi dan metafisika seperti terangkum di atas mendasari ajaran
etika Epikuros mengenai kenikmatan. Jelas bagi Epikuros, sensasi merupakan
kriteria kebenaran dan bagaimana rasa nikmat atau sakit memandu manusia untuk
memutuskan apa yang baik bagi hidupnya. Akan tetapi kita harus berhati-hati
untuk memahami nikmat seperti apa yang dimaksud oleh Epikuros dan tidak
begitu saja menyamakan etika Epikuros dengan hedonisme kasar yang sekedar
mengejar kenikmatan jasmani.

C. Kenikmatan sebagai Absennya Rasa Sakit dan Penderitaan (Apathia)

Epikuros membedakan 2 jenis kenikmatan yaitu kinetic pleasure (kenikmatan


bergerak) dan katastematic pleasure (kenikmatan pada kondisi yang statis,

4
harmonis dan penuh). Kenikmatan kinetik merupakan kenikmatan yang diperoleh
sensasi inderawi saat seseorang menjalankan aktifitas yang menyenangkan
(misalnya, saat menyantap makanan). Sedangkan kenikmatan katastematik justru
datang saat rasa sakit dan penderitaan hilang (misalnya, saat lapar dan dahaga
hilang). Jika dihubungkan dengan pemikiran atomisnya, pada kenikmatan
katastematik, atom-atom dalam tubuh manusia bergerak secara harmonis dan
stabil.

Epikuros lalu kembali pada pengamatannya terhadap bayi, yang dikatakannya


masih murni dan belum dihinggapi berbagai macam hasrat. Bayi yang lapar
mencari kenikmatan katastematik yaitu rasa nikmat saat perut tidak lagi merasa
lapar. Dari pengamatan ini lalu disimpulkan bahwa saat tubuh terbebas dari sakit
dan penderitaan, manusia mengalami kenikmatan yang membahagiakan. Dengan
kata lain, kebahagiaan manusia datang dari kenikmatan katastematik yang berarti
absennya rasa sakit dan penderitaan. Kenikmatan katastematik adalah esensial
bagi kebahagiaan manusia. Sedangkan kenikmatan kinetik hanyalah variasi dari
kenikmatan, ia tidak menghilangkan rasa sakit, sebaliknya kedatangannya
seringkali disertai oleh sakit dan penderitaan.

D. Kenikmatan dengan Kebijaksanaan (Phronesis)

Epikuros menyadari bahwa kenikmatan berkaitan erat dengan terpenuhinya hasrat.


Oleh karena itu ia membedakan 3 macam hasrat: hasrat alami dan perlu (seperti
makanan), hasrat alami tapi tidak perlu (seperti makanan mewah dan seks) dan
hasrat yang sia-sia (seperti kekayaan dan kekuasaan). Epikuros mengingatkan
bahwa hasrat alami dan perlu akan mendatangkan kenikmatan
katastematik sedangkan kedua hasrat yang lain hanya menghasilkan kenimatan
kinetik. Jika kenikmatan datang karena terpenuhinya hasrat, maka ada 2 strategi
untuk mencapainya: pertama, memenuhi segala hasrat yang muncul, dan kedua,
memenuhi hasrat yang mudah dicapai. Epikuros menganjurkan jalan kedua,
karena secara realistis tidak mungkin manusia dapat memenuhi semua.
Sebaliknya, hasrat yang tidak terpenuhi justru mendatangkan sakit dan
penderitaan (apathia).

Epikuros juga membedakan dua jenis penderitaan yaitu penderitaan fisik dan
penderitaan mental. Penderitaan fisik berkaitan dengan apa yang dirasakan saat
ini, sedangkan penderitaan mental berkaitan dengan memori masa lalu dan
ketakutan akan masa depan (yang sebenarnya tidak pasti). Karena cakupannya
lebih panjang, penderitaan mental bisa memperburuk penderitaan fisik.
Selanjutnya Epikuros menyimpulkan bahwa penderitaan mental dapat
menghalangi tercapainya kebahagiaan, dan bahwa penghalang kebahagiaan
terbesar adalah ketakutan akan masa depan (terutama kematian dan hidup setelah

5
kematian) serta ketakutan akan dewa-dewa (yang akan menghukum manusia jika
tidak hidup sesuai dengan harapan dewa-dewa).

Bahwa atom-atom dapat mengalami gerakan random juga mendasari pemikiran


Epikuros mengenai kebebasan kehendak. Seperti atom yang membebaskan diri
dari gerakan alaminya, manusia juga bisa membebaskan diri dari ‘takdirnya’. Di
sini Epikuros seolah-olah ingin membebaskan manusia dari rasa takut akan dewa-
dewa dan kematian. Ia ingin mengajarkan manusia untuk mengatur hidup menurut
kebijaksanaannya sendiri (phronesis). Manusia harus melihat jauh ke depan dan
memiliki penguasaan diri dalam mengolah hasratnya. Tidak semua kenikmatan
perlu diraih dan tidak semua penderitaan perlu ditolak. Penderitaan adalah baik
dan bisa dijalani jika pada akhirnya ia memberikan kenikmatan yang besar.
Sebaliknya kenikmatan bisa buruk dan mesti ditolak jika dibaliknya ada
penderitaan yang lebih besar.

E. Kenikmatan sebagai Jalan Menuju Ketentraman
dan Ketenangan Jiwa (Ataraxia)

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa etika Epikuros bersifat privatistik karena
sifatnya mencari kebahagiaan pribadi. Tidak mengherankan jika semboyan
Epikuros adalah“hidup dalam kesembunyian”. Manusia dianjurkan hidup tenang
dengan menikmati kenikmatan yang mudah diraih, serta menghindari sakit dan
penderitaan. Bagi Epikuros, kenikmatan berada dalam ketentraman jiwa yang
tenang, bebas dari perasaan cemas atau dikenal dengan istilah ataraxia.

Dengan prinsip privatistik ini, Epikuros seolah-olah tidak melihat politik, keadilan
dan kehidupan publik sebagai sesuatu yang bernilai. Keadilan bagi Epikuros
hanyalah sarana bagi kenikmatan, yang diperlukan untuk sekedar mengatur
ketentraman agar manusia tidak mengganggu ketenangan hidup manusia yang
lain. Politik menjadi terlalu berisiko, karena kehidupan politik seringkali naik
turun, mengancam ketentraman dan ketenangan hidup. Kehidupan publik,
walapun menawarkan kenikmatan seperti kemasyuran dan kekayaan, seringkali
penuh kecemasan dan bersifat kompetitif. Padahal kecemasan dan perilaku
kompetitif tidak diperlukan dalam usaha pencapaian kenikmatan katastematik.

Berkaitan dengan kehidupan sosial, satu hal yang menarik adalah Epikuros
menekankan tingginya nilai persahabatan. Menurut Epikuros “Persahabatan
bagaikan menari mengelilingi dunia, menggugah kita semua untuk merasakan
kebahagiaan”. Pemikiran persahabatan ini menimbulkan dua penafsiran. Di satu
sisi, bisa ditafsirkan sebagai pemikiran egoistik karena sahabat dilihat sebagai alat
untuk mencapai kenikmatan. Akan tetapi di sisi lain, bisa menunjukkan
bagaimana etika Epikuros juga bersifat altruistik karena dalam persahabatan,

6
kebahagiaan tidak hanya datang dalam tindakan menerima tapi juga dalam
tindakan memberi.

F. Tanggapan
a. Perbandingan dengan Etika Yunani Lainnya

Seperti seluruh tradisi filsafat Yunani, etika Epikuros memiliki kesamaan dengan
etika Aristoteles dan juga etika Stoa. Ketiganya bersifat teleologis dan memiliki
titik tolak yang sama bahwa kebahagiaan merupakan nilai tertinggi yang menjadi
tujuan hidup manusia. Perbedaan mendasar dari ketiganya adalah definisi tentang
kebahagiaan itu sendiri. Aristoteles menyatakan kebahagiaan datang saat manusia
berhasil mengembangkan dirinya. Stoa menyatakan kebahagiaan tercapai saat
manusia menyatu dengan keselarasan alam semesta. Sedangkan Epikuros
mengidentikkan kebahagiaan dengan kenikmatan.

Dibandingkan dengan etika Aristoteles terlihat bahwa etika Epikuros menjadi


lebih ‘sempit’, walaupun sama-sama dilakukan dengan phronesis. Bagi Aristoteles
hidup etis terlaksana tidak hanya dalam pengembangan potensi individu tapi lebih
luas lagi yaitu dalam tindakan yang merealisasikan hakikat dan potensi manusia
sebagai makhluk sosial. Sebaliknya etika Epikuros menjadi terlihat egois karena
hanya mempertimbangkan kenikmatan dan kenyamanan diri sendiri. Dengan
prinsipnya menyepi dari kehidupan publik, etika Epikuros seolah-olah
mengingkari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Sehingga timbul
pertanyaan apakah kebahagiaan yang dituju oleh etika Epikuros benar-benar
membahagiakan?

Dibandingkan dengan etika kebahagiaan Stoa, etika Epikuros juga memiliki


perbedaan pandangan mengenai takdir dan kebebasan. Jika Epikureanisme ingin
mengajarkan manusia untuk melawan takdir dan menggunakan kebijaksanaannya
sendiri, kaum Stoa justru memiliki pandangan determinisme tentang hukum alam
universal yang mendasari gerak dalam alam semesta, segalanya termasuk manusia
berada di bawah takdir. Sama dengan Epikurean, kaum Stoa juga mencita-citakan
tercapainya ataraxia dan apathia seperti kaum Epikurean, akan tetapi
pemaknaannya menjadi berbeda. Ataraxia dan apathia bukanlah ketentraman dan
ketenangan jiwa individu melainkan sikap mental yang kuat, yang sudah bertekad
untuk menyatu dengan alam dan tak bergeming jika digoyangkan oleh yang fana.
Kehidupan sosial juga mendapatkan tempat dalam etika Stoa. Ataraxia dikatakan
membebaskan manusia untuk bersikap positif dan bertanggungjawab terhadap
masyarakat sekeliling.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketiga etika Yunani di atas memiliki
tujuan yang sama yaitu mengajarkan manusia paham hidup yang baik, bermutu
dan bermakna. Akan tetapi sifat privatistik dari etika Epikuros menjadikan etika
ini lebih sempit dan egois dibandingkan dengan kedua etika yang lain. Magnis-

7
Suseno bahkan menyatakan, etika Epikuros mengandung cacat moral karena tidak
dapat menampung sikap-sikap moral dasar seperti tanggung jawab, kewajiban,
cinta kasih, perjuangan demi keadilan demi kebaikan sesama. Walaupun etika
Epikuros mengandung kebaikan dan kebijaksanaan, kebahagiaan privat yang
ditawarkan seperti menyempitkan arti kebahagiaan yang sebenarnya.

b. Perbandingan dengan Etika Kant

Jika dibandingkan dengan etika Kant, maka etika Epikuros menjadi sangat
berlawanan. Etika Kant bergerak dari kewajiban murni tanpa ada tujuan tertentu
(deontologis) sedangkan etika Epikuros, sebagaimana etika Aristoteles, justru
ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu yaitu kebahagiaan (tergolong dalam
etika teleologis). Seperti dikatakan di atas, etika Epikuros tidak dapat menampung
nilai-nilai moralitas sebaliknya etika Kant seluruhnya justru berbicara tentang
keluhuran moralitas dan bagaimana moralitas mengikat manusia dengan mutlak.
Menurut Kant pertanyaan tentang kebahagiaan adalah masalah kebijaksanaan,
bukan moralitas. Tak ada kaitan antara moralitas dengan kebahagiaan, penjahat
pun ingin hidup bahagia. Moralitas baru dimulai ketika orang tidak memikirkan
dirinya sendiri melainkan apa yang secara obyektif menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya.

Walaupun demikian, keluhuran yang dikandung oleh etika Kant tidak begitu saja
menjadikan etika Epikuros tidak bernilai. Etika Epikuros terasa lebih manusiawi,
‘hangat’ dan relevan dengan konteks hidup manusia sehingga mudah dimaknai
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam konteks dunia
yang didominasi kapitalisme saat ini maka etika Epikuros menjadi sangat berguna
dan mudah diterapkan dalam melawan terjangan konsumerisme.

G. Pengalaman Masa Lalu

Orang yang banyak mengalami kegagalan dan kekecewaan di masa lalu pada
umumnya akan menjadi orang yang percaya diri dan mudah patah semangat
dalam menghadapi kesulitan. Di samping itu konsep dirinya menjadi serba
negatif, menganggap diri orang yang gagal, bodoh, sial, dan sebagainya. Dalam
hal ini konsep diri menjadi sangat negatif dan hal inilah  yang semakin membuat
orang tidak berkembang.

Jika kita mau berkembang, kita harus mengubah konsep diri kita menjadi lebih
positif. Kita  tidak mungkin berkembang subur jika konsep diri kita serba negatif.
Oleh karena itu lebih baik menonjolkan segi positif dalam diri kita dari pada hal-
hal yang negatif. Karena setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekuatan
yang mesti kita tonjolkan.

8
H. Kecerdasaan Emosional

Orang yang cerdas secara emosional memiliki  lima ciri yaitu : Pertama, mampu
mengenali dan memahami emosi-emosi yang bergejolak di dalam dirinya, Kedua,
mampu mengenali dan memahami emosi-emosi yang bergejolak di dalam diri
orang lain, Ketiga, mampu memotivasi diri agar selalu menjadi lebih baik dari
hari ke hari. Keempat, mampu mengendalikan emosi-emosi yang bergejolak di
dalam dirinya., dan Kelima, mampu memelihara hubungan-hubungan dengan
orang lain.

Emosi memegang peranan penting yang amat domonan yang menentukan sikap
orang terhadap lingkungannya. Rasa tentram dan damai, bahagia dan cemas, amat
dipengaruhi oleh kondisi emosi kita. Emosi yang kurang terkendali akan membuat
orang cepat bereaksi tanpa pikir panjang. Hal inilah yang akhirnya membuat
orang tidak tentram hidupnya. Hidup kita akan menjadi lebih tenteram dan damai
jika kita  cerdassecara emosional, terutama dalam hal kemampuan mengendalikan
diri.  Untuk  mengendalikan diri perlu latihan dalam berbagai hal, misalnya
latihan mengendalikan rasa marah, rasa cemas, rasa malu dan sebaginya. Ini
menjadi keterampulan hidup (life skills) yang perlu  dipelajari secara serius oleh
mereka yang mau hidup bahagia.

I. Kecerdasan Intelektual

Yang dimaksud dengan kecerdasan intelektual adalah kemampuan orang untuk


berpikir rasional dan masuk akal. Semakin kita mampu berpikir rasional, semakin
kita mampu mengendalikan emosi-emosi kita yang sedang bergejolak. Sebaliknya
jika kita kurang mampu berpikir secara rasional, akhirnya emosi kita yang
mengendalikan kita. Orang yang bertindak hanya berdasarkan emosi belaka,
tindakannya sering membabi buta, tanpa perhitungan. Akibatnya banyak pihak
yang dirugikan. Lebih parah lagi, kita menyesali  perbuatan setelah  banyak pihak
yang menjadi korban kebrutalan kita.

Rasio dan emosi sangat erat hubungannya. Kita bisa mengendalikan emosi dengan
meningkatkan rasionalisasi kita. Sebaliknya emosi yang tidak terkendali bisa
membutakan rasio kita.

J. Tingkat Keimanan

Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang ia akan semakin berhati-hati dalam


bertindak, karena ia akan selalu mempertimbangkan aspek moral dan religiusitas
dari tindakannya. Sebaliknya orang yang rendah aspek keimanannya , ia tidak
akan memperdulikan pertimbangan-pertimbangan moral dan agama dalam
bertindak. Aspek keimanan ini sering kali disebut sebagai kecerdasaan spiritual.
Dengan kata lain , jika kita ingin hidup bahagia kita harus meningkatkan
kecerdasan  emosional, kecerdasan intelektual serta kecerdasan spiritual.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Epikureanisme merupakan salah satu aliran besar filsafat yang


mendominasi jaman Helenisme, pasca Aristoteles. Pendiri aliran ini adalah
Epikuros yang lahir di kota Samos, Yunani pada tahun 341 SM dan meninggal di
Athena pada tahun 271 SM.

Epikuros dikatakan menulis ratusan karya akan tetapi hampir seluruhnya


musnah dan hanya berapa potong yang tersisa. Pemikiran aslinya ditemukan
dalam kumpulan tulisan Laertius, penulis Romani yang hidup pada abad ke-3 M.

10
DAFTAR PUSTAKA

Rist, JM, Epicurus: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press,


UK, 1977).

Magnis-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika, Franz Magnis-Suseno  (Yogyakarta:


Kanisius, 1997).

Inwood, Brad, & LP Gerson (eds.), Epicurus, Epicurus Reader  (Hackett


Publishing, USA, kindle edition, 1997).

https://stkip.wordpress.com/2010/06/08/kebahagiaan-sebagai-tujuan-hidup-
manusia/

11

Anda mungkin juga menyukai