Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker kolorektal merupakan keganasan yang berasal dari jaringan usus

besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan rektum

(bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus). Di Amerika Serikat

kanker kolorektal termasuk keganasan ketiga terbanyak di dunia dan

penyebab kematian kedua terbanyak (Hildebrand dkk, 2009). Dari data

Globocan 2012, insiden kanker rektum dan kolon di Indonesia adalah 12,8

per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh

kasus kanker. Di Indonesia, kanker kolorektal sekarang menempati urutan

nomor 3 yang diakibatkan oleh perubahan diet orang Indonesia, baik

sebagai konsekuensi peningkatan kemakmuran ataupun pergeseran ke arah

cara makan orang Barat (Westernisasi) yang lebih tinggi lemak serta rendah

serat. Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan berkembang secara

cepat dan maju, akan tetapi hanya sedikit yang mengalami peningkatan

harapan hidup jika sudah ditemukan dalam stadium lanjut.

Secara keseluruhan risiko untuk terkena kanker rektum adalah 1 dari 20

orang atau sekitar 5% (Hildebrand dkk, 2009). Lebih dari 90% kanker yang

berkembang di sel-sel kelenjar usus yang melapisi bagian dalam dari kolon

dan rektum yaitu adenokarsinoma (Braddy, 2011). Risiko penyakit

cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak faktor

lain yang dapat meningkatkan risiko individual untuk terkena kanker

kolorektal, diantaranya yaitu usia 40-50 tahun, adanya riwayat keluarga,

1
2

obesitas, konsumsi daging olahan, asupan alkohol dan merokok yang

berlebihan. Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20

tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan

kemajuan pada penanganan kanker kolorektal yaitu pengobatan dengan

cara pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. (Hildebrand dkk, 2009).

Multimodalitas merupakan pemeriksaan kombinasi dari pembedahan,

radioterapi dan kemoterapi yang termasuk dalam tatalaksana terpilih pada

kanker kolorektal. Pengobatan kombinasi radioterapi baik sebelum maupun

sesudah operasi, secara signifikan dapat meningkatkan kontrol lokal dan

kelangsungan hidup secara keseluruhan dibandingkan dengan pembedahan

saja (Sauer dkk, 2004). Pemberian radiasi pra operasi pada tumor yang non-

resektable, baik diberikan sendiri atau konkuren dengan kemoterapi

bertujuan untuk meningkatkan resektabilitas tumor. Sedangkan radiasi pada

tumor kolon bagian distal dapat meningkatkan preservasi sfingter ani

(Gunderson dan Tepper, 2007). Sebesar 85% Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengobatan kombinasi radioterapi sebelum operasi

dapat meningkatkan pelestarian sfingter dibandingkan dengan radioterapi

setelah operasi (Kye dan Hyeon, 2014). Saat ini, peran radiasi terutama

pada masa pra operasi, memiliki efek samping radiasi yang lebih kecil..

Radiasi post operasi memberikan efek samping yang lebih berat, terutama

karena lebih banyak usus halus yang masuk ke lapangan radiasi, selain itu

vaskularisasi pada tumor bed tidak sebaik kondisi pra operasi atau lebih

hipoksik sehingga hasil radiasi kurang optimal (Gunderson dan Tepper,

2007). Dalam radioterapi, pemberian dosis dan penggunaan teknik yang

tepat dapat meningkatkan hasil dan menekan toksisitas radiasi baik akut
3

maupun lanjut. Beberapa hal yang diketahui untuk dapat meningkatkan

keberhasilan terapi dan meningkatkan kesintasan yaitu dengan cara

pemberian kemoterapi konkuren yang dapat menurunkan kontrol lokal

(Huang dkk, 2003). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker

rektum akan mengalami kekambuhan lokal sebesar 6% pada pengobatan

kemoradiasi sebelum operasi dan 13% pada pengobatan kemoradiasi

setelah operasi. Efek samping seperti diare yang ditimbulkan pada

pengobatan kemoradiasi sebelum operasi lebih sedikit dibandingkan

pengobatan kemoradiasi setelah operasi (Sauer dkk, 2004). Dilihat dari

kelangsungan hidup penderita kanker kolorektal dalam lima tahun sebesar

93% pada stadium I, 72-85% pada stadium II, 44-83% pada stadium III, dan

36% pada stadium 4 yang sudah melakukan perawatan primer (Barret dkk,

2009).

Peran radioterapi dalam tatalaksana kanker rektum yaitu bertujuan

kuratif, sedangkan pembedahan dilakukan dengan tujuan untuk mengangkat

tumor dari jaringan sehat sampai ke akar-akarnya. (Gunderson dan Tepper,

2007). Radioterapi merupakan suatu bentuk pengobatan lokal pada kanker

dengan menggunakan radiasi pengion yang bertujuan untuk membunuh sel-

sel kanker melalui pemberian dosis radiasi terukur pada volume tumor/target

yang dituju dan meminimalkan efek radiasi pada jaringan sehat sekitar tumor

(Susworo dan Henry, 2017). Pemberian dosis sebelum atau sesudah

operasi pada tumor yang resektable, diharapkan dapat meningkatkan kontrol

lokal dan kesintasan pada sel-sel tumor yang tidak dapat disingkirkan pada

saat pembedahan. Jaringan-jaringan tumor yang tidak dapat disingkirkan


4

inilah yang akan dilakukan pemeriksaan radioterapi (Gunderson dan Tepper,

2007).

Dengan seiring perkembangan teknologi radioterapi yaitu diawali dengan

pencitraan dua dimensi (2D) hingga tiga dimensi (3D) (Susworo, 2007).

Perbandingan antara teknik 2D dengan 3D yaitu, teknik 2D digunakan untuk

mendefinisikan target tumor berdasarkan simulasi di pesawat sinar-X

simulator atau hanya beberapa potongan irisan pada citra CT, teknik ini

membuat ketidakakuratan definisi target tumor sehingga akan sulit membuat

distribusi dosis semaksimal mungkin pada target tumor dan minimum pada

jaringan sehat atau organ sekitar. Perkembangan teknologi komputer telah

memungkinkan dikembangkan metode perencanaan 3D yang lebih akurat

sesuai bentuk tumor, sehingga diperoleh dosis maksimal pada tumor dan

minimal pada jaringan sehat dan sekitarnya (Susworo, 2007). Penggunaan

teknik 3D pada kasus kanker rektum lebih direkomendasikan untuk

digunakan karena dapat melindungi organ beresiko dengan baik

dibandingkan penggunaan teknik 2D. Hasil studi menunjukkan bahwa dosis

rata-rata yang diterima oleh organ beresiko contohnya kandung kemih yaitu

V40 kurang dari atau sama dengan 73% untuk teknik 2D dan 50% untuk

teknik 3D (Mahmoud dkk, 2012).

Dalam radioterapi 3 dimensi, pemberian radioterapi disesuaikan dengan

bentuk target radiasi yang dikenal sebagai konformal (3D-CRT), ada

beberapa tahapan yang harus dilakukan secara berurutan hingga ketahap

pemberian terapi radiasi diantaranya yaitu imobilisasi (pengganjal lutut untuk

kasus kanker rektum), simulasi dengan CT-scan, delinasi untuk penentuan

target radiasi dan jaringan sehat yang penting, perencanaan 3D dan


5

perhitungan dosis di sistem perencanaan radiasi oleh fisikawan medis,

persetujuan radiasi oleh dokter onkologi dan fisika medis pemeriksaan ulang

yang dikenal dengan quality assurance/quality control (QA/QC), serta

verifikasi posisi pasien pada pesawat radiasi dan terakhir proses terapi

radiasi (Susworo dan Henry, 2017).

Pada tahap CT simulator penggunaan media kontras yang

dimasukkan melalui oral (barium) dilakukan untuk mengidentifikasi usus

halus, dengan posisi pasien prone lebih diutamakan agar usus halus

terdorong ke arah kranial sehingga keluar dari lapangan radiasi (Barret dkk,

2009).

Berdasarkan studi pendahuluan di Sub Departemen Radioterapi

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, pada tahap CT simulator media kontras

yang digunakan adalah iodine dengan cara dimasukkan ke dalam vesika

urinaria, dengan posisi pasien supine pada saat proses CT simulator.

Berdasarkan data tersebut penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang

“Tatalaksana Radioterapi Eksterna Pada Kasus Kanker Rektum Post

Operasi Dengan Teknik 3D-CRT Di Sub Departemen Radioterapi

Rumkital Dr.Ramelan Surabaya”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tatalaksana radioterapi eksterna pada kasus kanker rektum

post operasi dengan teknik 3D-CRT di sub Departemen radioterapi

Rumkital Dr.Ramelan Surabaya ?

2. Mengapa pada proses CT simulator media kontras dimasukkan ke

dalam vesika urinaria dengan kasus kanker rektum post operasi di sub

Departemen radioterapi Rumkital Dr.Ramelan Surabaya ?


6

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tatalaksana radioterapi eksterna pada kasus kanker

rektum post operasi dengan teknik 3D-CRT di sub Departemen

radioterapi Rumkital Dr.Ramelan Surabaya.

2. Untuk mengetahui alasan mengapa pada proses CT simulator media

kontras dimasukkan ke dalam vesika urinaria dengan kasus kanker

rektum post operasi di sub Departemen radioterapi Rumkital dr.Ramelan

Surabaya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan wawasan mengenai tatalaksana 3D-CRT

radioterapi pada pasien kanker rektum post operasi dengan teknik 3D-

CRT di sub Departemen radioterapi Rumkital dr.Ramelan Surabaya.

2. Manfaat Praktis

Untuk menambah referensi pustaka ilmiah serta menambah

informasi bagi radioterapis, fisika medis, dr onkologi radiasi, tenaga

medis lainnya dan institusi pendidikan khususnya mahasiswa jurusan

radioterapi tentang tatalaksana 3D-CRT radioterapi kanker rektum post

operasi di sub Departemen radioterapi Rumkital dr.Ramelan Surabaya

E. Keaslian Penelitian

Penelitian terkait “Tatalaksana Radioterapi Eksterna Pada Kasus

Adenokarsinoma Rektum Post Operasi Dengan Teknik 3D-CRT Di Sub

Departemen Radioterapi Rumkital Dr.Ramelan Surabaya” merupakan

penelitian yang belum pernah dilakukan sebelumnya, namun ada penelitian

yang sejenis yaitu :


7

1. Sauer dkk, (2004) dengan judul “Preoperative versus Postoperative

Chemoradiotherapy for Rectal Cancer”. Dari hasil menunukkan bahwa

pengobatan Pra operasi kemoradioterapi lebih baik dibandingkan

dengan kemoradioterapi pasca operasi, karena dapat meningkatkan

kontrol lokal dan menurunkan toksisitas. Persamaan dengan penelitian

ini yaitu sama-sama membahas tentang kanker rektum. Perbedaannya

yaitu, sauer dkk (204) membahas tentang perbandingan antara

pengobatan kemoradioterapi pra operasi dan post operasi pada kasus

kanker rektum, sedangkan penulis membahas tentang tatalaksana

radioterapi eksterna pada kasus kanker rektum post operasi

2. Mahmoud dkk, (2012) dengan judul “A comparative dosimetric study of

neoadjuvant 3D conformal radiotherapy for operable rectal cancer

patients versus conventional 2D radiotherapy in NCI-Cairo”. Dengan

hasil menunjukkan bahwa direkomendasikan untuk menggunakan teknik

3D pada kasus kanker rektum karena lebih dapat melindungi organ

beresiko dengan baik. Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-

sama membahas tentang kanker rektum. Perbedaannya yaitu mahmoud

dkk (2012) menjelaskan tentang perbandingan teknik konformal dan 2D

posisi AP-PA dalam menargetkan cakupan volume dan dosis untuk

jaringan normal pada kasus kanker rektum, sedangkan penulis

membahas tentang tatalaksana 3D-CRT pada kanker rektum.

3. Keramati dan Fazeli, (2015) dengan judul “Rectal Cancer : a Review”

hasil penelitian menunjukkan bahwa kanker rektum dapat didiagnosa

dari tanda dan gejala, kolonoskopi dan pencitraan imaging, sedangkan

pengobatan yang dapat dilakukan pada pasien kanker rektum yaitu


8

melalui pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi. Persamaan dengan

penelitian ini yaitu sama-sama menjelaskan tentang kasus rektum dari

epidemiologi hingga modalitas pengobatan yang dilakukan.

Perbedaannya yaitu, Keramati dan Fazeli, (2015) meninjau pembaruan

tentang perkembangan kanker rektum termasuk dari epidemiologi, faktor

risiko, presentasi klinis, proses skrinning dan modalitas pengobatan

terbaru dari kanker rektum, sedangkan penulis membahas tentang

tatalaksana kanker rektum pada bidang radioterapi.

4. Indarti dkk, (2015) dengan judul “Profil Pasien Kanker Rektum Yang

Menjalani Radiasi Di Departemen Radioterapi RSUPN Cipto

Mangunkusumo Periode Tahun 2009-2014”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa Mayoritas pasien pada penelitian ini termsuk dalam

stadium ≥ III. Semakin lanjutnya stadium mempengaruhi prognosis

pasien dalam hal kesintasan. Pada penelitian ini sulit untuk menilai pola

rekurensi lokal karena kurang lengkapnya data pada rekam medik.

Untuk mendapatkan hasil penelitian dengan validitas yang lebih tinggi,

dibutuhkan pencatatan rekam medik dan follow up pasien yang lebih

baik. Oleh karena itu diharapkan kesadaran petugas kesehatan untuk

melukakan pengisian rekam medik secara lengkap dan meningkatkan

kepatuhan pasien dalam menjalani follow up melalui komunikasi serta

edukasi yang lebih baik. Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-

sama membahas tentang kanker rektum. Perbedaannya terletak pada

kajian teorinya yaitu Indarti dkk, (2015) meneliti tentang profil pasien

radioterapi kanker rektum, sedangkan penulis meneliti tentang

tatalaksana radioterapi kanker rektum.


9

5. Rafindi, 2018 dengan judul “Analisis Verifikasi Lapangan Penyinaran

Pada Kasus Kanker Rektum Dengan Teknik VMAT (Volumetric

Modulated Arc Therapy) Dengan Verifikasi OBI (On Board Imager) Di

Departemen Radioterapi MRCC Siloam Hospital Semanggi”. Hasil

penelitian ini yaitu nilai rerata area radiasi di titik koordinat y sebesar

0.2455 cm di titik koordinat z sebesar 0.5545 cm dan di titik koordinat x

sebesar 0.4818. Hal ini menunjukkan bahwa pada titik koordinat y tidak

melebihi batas toleransi yaitu 0.5 cm. Pada titik koordinat z melebihi

batas toleransi yaitu 0.5 cm dan pada titik koordinat x mengalami

persamaan dengan batas toleransi yaitu 0.5 cm. Persamaan dengan

penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang kanker rektum,

sedangkan perbedaannya terletak pada metode pengambilan data yaitu

Rafindi, 2018 menggunakan data analisis (kuantitatif) atau penelitian

sedangkan penulis menggunakan studi kasus (kualitatif).

6. Syihab, (2018) dengan judul “Tata Laksana Radioterapi Kanker Rektum

Adenokarsinoma Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya”. Dari hasil penelitian

ini Tata laksana radioterapi pada kanker rektum adenokarsinoma di

RSUD Dr. Soetomo Surabaya dimulai pasien datang dengan membawa

surat rujukan dan membawa pemeriksaan penunjang, pemeriksaan oleh

dokter spesialis onkologi radiasi, perencanaan radioterapi dengan alat

simulator, proses perhitungan dosis dan treatment time oleh fisikawan

medis di ruang TPS, tindakan radioterapi menggunakan 2 lapangan yaitu

Anteroposterior dan Posteroanterior. Sedangkan Alasan Penggunaan 2

lapangan penyinaran yaitu ditentukan berdasarkan stadium (T3A N3 M0),

jenis kanker dan tujuan radioterapi paliatif serta keadaan pasien yang
10

kooperatif. Alasan lain yaitu untuk mengurangi antrian / daftar tunggu

pasien yang overload di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Persamaan

dengan penelitian ini yaitu sama-sama menjelaskan prosedur radioterapi

pada kanker rektum, sedangkan perbedaannya yaitu Syihab, (2018)

membahas tentang tata laksana kanker rektum dengan menggunakan

teknik dua dimensi (2D) sedangkan penulis menggunakan teknik 3D-

CRT.

Anda mungkin juga menyukai