Anda di halaman 1dari 1

Charoline Utami Sudono

2019130027 // 303

Kita sebagai individu pasti pernah menentukan pilihan dan mengambil keputusan yang
berhadapan dengan situasi tertentu apalagi berkaitan dengan masalah etis yang tidaklah selalu
mudah. Dalam menghadapi hal tesebut kita harus memiliki prinsip yang dapat dijadikan
pedoman, bagaimana dan apa saja yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan
seperti prinsip melakukan yang baik dan benar. Prinsip sikap baik perlu tidak hanya diwujudkan
secara minimal dengan tidak melakukan atau menghindarkan perbuatan jahat, tetapi juga secara
positif melakukan dan mengusahakan perbuatan yang baik.

Untuk memilih apa yang benar, orang masih akan dihadapkan pada dilema deontologi dan
teleologi. Para deontolog percaya bahwa kebenaran suatu perbuatan tidak ada hubungannya
dengan hasil perbuatan tersebut. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang saya sadari sebagai
yang wajib aku lakukan karena aku menyadarinya baik, tanpa perlu mempertimbangkan apakah
hasilnya baik, bermanfaat atau tidak. Sementara para teleolog percaya bahwa kebenaran suatu
perbuatan tergantung sebagian kalau tidak seluruhnya pada hasil perbuatan tersebut. Perbuatan
yang benar adalah perbuatan yang hasil atau akibatnya membawa manfaat bagi banyak orang.

Bahkan apa yang disebut sebagai Sepuluh Perintah Tuhan pun dalam prakteknya masih ada
pengecualiannya juga. Sebutlah sebagai contoh perintah “Jangan membunuh” dalam
kenyataannya masih ada pengecualian, seperti: kecuali mempertahankan diri, perang, aborsi atau
euthanasia. Berdasarkan kenyataan ini, para penganut paham deontologi dapat saling membunuh
karena ketidaksetujuan mereka atas pengecualian-pengecualian dari peraturan. Pelanjaran yang
dapat dipetik dari kenyataan ini adalah bahwa perbuatan yang baik dan benar itu tidaklah jelas
dengan sendirinya sebagaimana disangka orang pada umumnya.

Berikut adalah patokan dalam menilai apakah suatu keputusan baik dan benar atau buruk dan
salah, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah
demikian juga kepada mereka” (Bdk. Matius 7:12). Atau dalam ungkapan yang lain dapat
dikatakan demikian: “Apa yang tidak kamu sukai, janganlah lakukan itu kepada orang lain”.
Patokan minimal kedua adalah pertimbangan baik aspek deontologi maupun aspek teleologi.

“Benar” merupakan konsepsi di mata hukum. Bila hukum mengatur larangan, kebilehan, atau
keharusan, dan anggota masyarakay bersikap sesuai dengannya, maka itu adalah perilaku/
tindakan hukum yang “benar”. “Baik” atau tidaknya sangat releban terkait konteks etika, baik
erika moralitas intetnal, maupun etika moralitas eksternal yang berupa kebiasaan dan sendi-sendi
perilaku masyarakat setempat seperti budaya, hukum adat, kebiasaan, serta norma-norma sosial
kemasyarakatan setempat. Kesimpulannya dimana “baik” didefinisikan sebagai tidak merugikan
orang lain juga tidak merugikan diri sendiri

Anda mungkin juga menyukai