Anda di halaman 1dari 45

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (1):

MEMAHAMI KARAKTERISTIKNYA

GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA

PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT


DISELENGGARAKAN OLEH
PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA
BEKERJASAMA DENGAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2018
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (1): MEMAHAMI KARAKTERISTIKNYA

KATA PENGANTAR

Om Swasiastu,
Makalah dengan judul “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Me-
mahami Karakteristiknya” disusun untuk keperluan belajar-mengajar dalam
Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
Advokat Indonesia (Peradi) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universi-
tas Udayana.
Semoga proses belajar-mengajar berhasil dengan ditandai adanya
peroleh pemahaman mengenai karakteristik Hukum Acara Mahkamah Kon-
stitusi dan bermanfaat dalam menjalankan profesi Advokat.
Om Shanti Shanti Shanti Om,

Denpasar, Rabu 17 Januari 2018

Gede Marhaendra Wija Atmaja

i
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (1): MEMAHAMI KARAKTERISTIKNYA

DAFTAR ISI
1. Pendahuluan ___ []

2. Pengertian Hukum Acara MK ___ []

3. Asas-Asas Hukum Acara MK___ []

4. Kekhususan Hukum Acara MK____ []

5. Penutup _______ []

Daftar Pustaka

Gede Marhaendra Wija Atmaja


 Lektor Kepala dalam bidang Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana.
 Menamatkan pendidikan doktor dalam ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya-Malang dengan menulis disertasi
“Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan
Peraturan Daerah”.
 Mengajar: Politik Hukum, Hukum Kebijakan
Publik, Hukum Perundang-undangan,
Perancangan Perundang-undangan, Hukum
Asasi Manusia, dan Hukum Peradilan KOnsti-
tusi.

ii
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Pendahuluan
1
Makalah ini bermaksud untuk memahami karakteristik hukum acara
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.1
Mengenai hukum acara tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mengaturnya da-
lam Pasal 24C ayat (6), “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konsti-
tusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang.”
Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (6)
UUD 1945 berturut-turut adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003),
yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 13
Agustus 2003, dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan
(Pasal 88 UU 24/2003). UU 24/2003 terdiri dari 8 bab (Pasal 1 –
Pasal 88), dan hukum acara diatur dalam Bab V (Pasal 28-Pasal
85).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 ten-
tang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 8/2011),
yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Juli

1
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyeleng-
garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan aga-
ma, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh se-
buah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945).

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 1


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

2011, dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan (Pasal II UU


8/2011). Materi muatan mengenai hukum acara juga mengalami
perubahan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 ten-
tang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU
4/2014).
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali
mengalami pengujian, sampai tahun 2016 tercatat 32 (tiga puluh dua) kali
pengujian.2 Diantaranya adalah pengujian dengan nomor registrasi
48/PUU-IX/2011 dan telah diputus dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 48/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Ta-
hun 2009 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Tanggal Putusan: 18 Oktober 2011). Salah satu
pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa hukum acara
Mahkamah Konstitusi memiliki karakter khusus, yang berbeda dengan
hukum acara lainnya, seperti dengan Hukum Acara Perdata.
Makalah ini, sebagaimana dikemukakan di awal, adalah berupaya
memahami karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi melalui pem-
bahasan hal-hal berikut:
1. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
2. Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
3. Kekhususan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

2
Veri Junaidi Adelline Syahda Adam Mulya Bunga Mayang, 2016, Tiga Belas Ta-
hun Kinerja Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Pengujian Undangundang, Jakarta:
Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, h. 3.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 2
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

4. Seluk-beluk Putusan Mahkamah Konstitusi.


Metode yang digunakan adalah melakukan studi dokumen dengan
mengkaji secara kritis Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi serta Putusan Mahkamah Konstitusi
berkenaan dengan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Selain itu di-
lakukan juga studi literatur, pembacaan secara kritis atas pustaka tentang
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Berikutnya dilakukan interpretasi un-
tuk memperoleh pemahaman mengenai karakteristik Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi.

2 Pengertian Hukum Acara MK

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi memberikan


pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum yang
mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki
oleh MK.3 Selanjutnya dikemukan:
1. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah hukum formil yang
berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari
hukum konstitusi yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.
2. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik khusus,
karena hukum materiil yang hendak ditegakkan tidak merujuk pa-
da undang-undang atau kitab undang-undang tertentu, melainkan
konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri. 4
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dibedakan menjadi 2 (dua) ba-
gian, yakni Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai
3
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, h. 13.
4
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 14.

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 3


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang


menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi serta hukum acara yang berlaku
secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud, meliputi Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Hukum
Acara Pembubaran Partai Politik, dan Hukum Acara Memutus Pendapat
DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil
Presiden.5
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang berlaku secara umum
ditemukan dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan pa-
da sejumlah Peraturan Mahkamah Konstitusi6 yakni:
1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 04 tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun
2016 Tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon,
Jawaban Termohon, dan Keterangan Pihak Terkait.
2. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 2 TAHUN 2012 tentang
Persidangan Mahkamah Konstitusi.
3. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 19 TAHUN 2009 tentang
Tata Tertib Persidangan.
4. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing)
Ddan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).

5
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid.
6
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan pengaturan, sebagaimana ditentukan
Pasal 86 UU 24/2003, “Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-
Undang ini.” Di dalam praktiknya produk kewenangan pengaturan ini disebut Peraturan
Mahkamah Konstitusi. Peraturan yang dkeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi ini diakui
keberadaannya sebagai Peraturan Perundang-undangan sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau berdasar kewenangannya (Pasal
8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan).
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 4
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

5. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 11/PMK/2006 tentang


Pedoman Administrsi yustisial mahkamah Konstitusi.
6. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 1 TAHUN 2012 tentang
Produk Hukum Mahkamah Konstitusi.
Hukum Acara MK yang berlaku secara khusus berkenaan dengan
kompetensi MK, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) dan
(2) UUD 1945 kompetensi Mahkamah Konstitusi mencakup:
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji un-
dang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Da-
sar.

Hukum Acara MK yang berlaku secara khusus, selain ditemukan da-


lam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, juga ditemukan dalam
sejumlah Peraturan Mahkamah Konstitusi, dikemukakan dalam tabel beri-
kut:

Tabel: Hukum Acara MK dalam Peraturan MK.

No. Kompetensi MK Hukum Acara


Peraturan Mahkamah Konsitusi No-
1 menguji undang-undang
mor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
terhadap Undang-Undang
Beracara dalam Perkara Pengujian
Dasar.
Undang-Undang
Peraturan Mahkamah Konsitusi No-
2 memutus sengketa
mor 08/PMK/2006 tentang Pedoman
kewenangan lembaga
Beracara dalam Sengketa
negara yang
Kewenangan Konstitusional Lembaga
kewenangannya diberikan
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 5
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

oleh Undang-Undang Da- Negara.


sar.
Peraturan Mahkamah Konsitusi No-
3 memutus pembubaran
mor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
partai politik.
Beracara Partai Politik.
1. Peraturan Mahkamah Konsitusi
4 memutus perselisihan ten-
Nomor 02 tahun 2017 tentang Pe-
tang hasil pemilihan
rubahan Atas Peraturan
umum.
Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2016 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Perse-
lisihan Hasil Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dengan Satu
Pasangan Calon.
2. Peraturan Mahkamah Konsitusi
Nomor 01 tahun 2017 tentang Pe-
rubahan Atas Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Perse-
lisihan Hasil Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.
3. Peraturan Mahkamah Konsitusi
Nomor 03 tahun 2017 tentang Pe-
rubahan Atas Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 3
Tahun 2016 Tentang Tahapan,
Kegiatan, dan Jadwal Penaganan
Perkara Perselisihan Hasil Pemili-
han Gubernur, Bupati, dan Wali-
kota.
4. Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pe-
doman Beracara dalam Perse-
lisihan Hasil Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
5. Peraturan Mahkamah Konsitusi
Nomor 05/PMK/2004 tentang
Prosedur Pengajuan Keberatan
atas Penetapan Hasil Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presi-
den tahun 2004
1. Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 3 TAHUN 2014 tentang Pe-
rubahan Atas Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan Hasil
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 6
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Pemilihan Umum Anggota Dewan


Perwakilan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Daerah, dan Dewan Per-
wakilan Rakyat Daerah.
5 memberikan putusan atas Peraturan Mahkamah Konsitusi No-
pendapat Dewan Perwaki- mor 21 Tahun 2009 Pedoman
lan Rakyat mengenai beracara dalam Memutus Pendapat
dugaan pelanggaran oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
Presiden dan/atau Wakil Dugaan Pelanggaran oleh Presiden
Presiden menurut Un- dan/atau Wakil Presiden.
dang-Undang Dasar.

Perlu pula dikemukakan pengaturan hukum acara di dalam UU


24/2003 sebagaimana diubah kedua kalinga dengan UU 4/2014 (selanjut-
nya disebut UU 24/2003), dalam tabel berikut.

Tabel: Materi Muatan Bab V Hukum Acara UU 24/2003

BAGIAN PERIHAL PASAL


Pertama Umum 28
Kedua Pengajuan Permohonan 29- 31
Ketiga Pendaftaran Permohonan dan Pen- 32- 35A
jadwalan Sidang
(ditambah 33A dan
35A)
Keempat Alat Bukti 36- 38
Kelima Pemeriksaan Pendahuluan 39
Keenam Pemeriksaan Persidangan 40- 44
(ditambah 42A)
Ketujuh Putusan 45 -49
(ditambah 45A dan
48A)
Kedelapan Pengujian Undang-Undang ter- 50A- 60
hadap Undang-Undang Dasar
(50 dihapus, di-tambah
50A dan 51A)
Kesembilan Sengketa Kewenangan Lembaga 61- 67
Negara yang Kewenangannya
(65 dihapus)
Diberikan oleh Undang-Undang
Dasar

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 7


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Kesepuluh Pembubaran Partai Politik 68- 73


Kesebelas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 74-79
Keduabelas Pendapat DPR Mengenai Dugaan 80- 85
Pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.

Bagian Pertama sampai dengan Bagian Ketujuh mengatur tentang


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi secara umum, dan Bagian Kedelapan
sampai dengan Bagian Keduabelas mengatur tentang Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi secara khusus untuk masing-masing kompetensi
Mahkamah Konstitusi.

3 Asas-Asas Hukum Acara MK

3.1. Makna dan Ruang Lingkup Asas-asas Hukum Acara Mahkamah


Konstitusi.

Asas hukum adalah nilai-nilai yang melandasi norma-norma hukum


(kaidah-kaidah hukum), atau nilai-nilai yang melandasi aturan-aturan
hukum.7 Dengan perkataan lain, asas hukum adalah nilai-nilai mendasari
tindakan pengaturan atau yang mendasari penyelenggaraan kekuasaan
legislasi. Kekuasan dalam negara tidak saja legislasi atau perundang-
undangan, tapi juga penyelenggaraan kekuasaan eksekutif dan penye-
lengaraan kekuasaan kehakiman atau peradilan. Sehingga dapat dipa-
hami adanya asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman atau
peradilan.

7
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah Pengakuan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah, Denpasar: Penerbit: PT.
Percetakan Bali, h. 62.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 8
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi memberikan


pengertian tentang asas dalam konteks Hukum Acara Mahkamah Konsti-
tusi, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Asas adalah prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum sebagai
panduan atau bahkan ruh dalam penyelenggaraan peradilan
konstitusi.
2. Asas diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradi-
lan itu sendiri, yaitu tegaknya hukum dan keadilan, khususnya
supremasi konstitusi dan perlindungan hak konstitusional warga
negara.
3. Asas-asas tersebut harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik
di dalam peraturan maupun praktik hukum acara.
4. Dengan sendirinya asas Hukum Acara MK menjadi pedoman
dan prinsip yang memandu hakim dalam menyelenggarakan
peradilan serta harus pula menjadi pedoman dan prinsip yang
dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses peradilan.8
Berikutnya dikemukakan, sebagaimana proses peradilan pada
umumnya, di dalam peradilan Mahkamah Konstitusi terdapat asas-asas
baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang khusus
sesuai dengan karakteristik peradilan Mahkamah Konstitusi. Maruarar Si-
ahaan, salah satu hakim konstitusi periode pertama, mengemukakan 6
(enam) asas dalam peradilan Mahkamah Konstitusi yaitu (1) ius curia
novit; (2) Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial;
(4) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5)
Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (6)
9
Hakim aktif dan juga pasif dalam persidangan. Tim Penyusun Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi menambahkan satu asas lagi yaitu asas Pra-

8
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Op. Cit., h. 15.
9
Maruarar Siahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indone-
sia, Jakarta: Konstitusi Press, h. 53 – 68..
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 9
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

duga Keabsahan (praesumptio iustae causa).10 Penulis lainnya, yakni


Bambang Sutiyoso mengemukakan ada 11 (sebelas) Asas-asas Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi.11 Berikut dikemukakan klasifikasi asas-asat
tersebut dalam tabel berikut:
No Maruarar Siahaan Bambang Sutiyoso Tim Penyusun
(2005) (2006) (2010)
1 Persidangan Terbuka Independensi/ Nonin- Ius curia novit
untuk Umum. terfentil.
2 Independen dan Im- Praduga Recht- Persidangan ter-
parsial. matige. buka untuk umum
3 Peradilan Di- Sidang Terbuka Untuk Independent dan
laksanakan Secara Umum. imparsial.
Cepat, Sederhana dan
Murah.
4 Hak untuk Didengar Asas Hakim Majelis. Peradilan cepat,
Secara Seimbang sederhana, dan
(Audi et Alteram Par- biaya ringan.
tem).
5 Hakim Aktif dan juga Objektivitas Hak untuk didengar
Fasif dalam Proses secara seimbang
Persidangan. (audi et alteram
partem)
6 Ius Curia Novit. Keaktifan Hakim Hakim aktif dalam
Konstitusi (Dominus persidangan
Litis).
7 - Pembuktian Bebas. Praduga keabsa-
han (praesumtio
iustae causa)
8 - Putusan Berkekuatan
Hukum Tetap dan
Bersifat Final.
9 - Putusan Mengikat
Secara Erga Omnes.
10 -- Sosialisasi.
11 - Peradilan Sederhana,
Cepat, dan Biaya
Ringan.

10
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Loc. Cit.
11
Bambang Sutiyoso, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indone-
sia: Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman kepada Publik akan Hak-Hak Kons-
titusionalnya yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konsti-
tusi, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, h. 38-44.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 10
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Asas-sasa tersebut merupakan asas-asas baik yang bersifat umum


untuk semua peradilan maupun yang khusus sesuai dengan karakteristik
peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni
menegkkan hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan per-
lindungan hak konstitusional warga negara. Intinya adalah menegakkan
hukum konstitusi sebagai hukum materiil yang berada di ranah hukum
publik.
Asas-asas hukum publik yang melandasi peradilan konstitusi dapat
dibandingkan dengan asas-asas hukum publik yang melandasi peradilan
administrasi. Philipus M. Hadjon (et. al.), mengemukakan ciri khas hukum
acara peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang
melandasinya, yaitu:
1. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid atau
praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa
setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig
sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak
menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat (Pasal 67 ayat (1) UU 5/1986).
2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pem-
buktian. Hal ini berbeda dengan Pasal 1865 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Asas ini dianut Pasal 107 UU 5/1986
hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100 UU 5/1986.
3. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimak-
sudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena ter-
gugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat
adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini an-
tara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat (1)
dan (2), Pasal 80, dan Pasal 85 UU 5/1986.
4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga
omnes. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 11
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

publik, artinya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku


bagi siapa saja –tidak hanya bagi para pihak yang ber-
sengketa.12
Dikaitkan dengan ruang lingkup asas-asas di dalam tabel, keempat
asas yang dikemukakan Philipus M. Hadjon (et.al.) terdapat juga dalam
tabel tersebut di atas, yakni yang dalam tabel tersebut dicetak tebal.
Makalah ini membahas asas-asas bersifat umum untuk semua per-
adilan yang berlaku juga untuk peradilan konstitusi yang dijalankan oleh
Mahkamah Konstitusi. Dilanjutkan membahas asas-asas yang khusus
sesuai dengan karakteristik peradilan konstitusi yang dijalankan oleh
Mahkamah Konstitusi, yakni menegakkan hukum konstitusi sebagai
hukum materiil yang berada di ranah hukum publik. Pembahasa merujuk
pada keempat asas hukum publik itu ditambah asas putusan pengadilan
bersifat ultra petita. Jadi, ada 5 (lima) asas yang khusus berlaku dalam
peradilan konstitusi yang dibahas, yakni:
1. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid atau
praesumptio iustae causa).
2. Asas pembuktian bebas.
3. Asas keaktifan hakim (dominus litis).
4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga
omnes.
5. Asas putusan pengadilan ultra petita.

12
Philipus M. Hadjon (et. al.), 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (In-
troduction to the Indonesian Administrative Law), Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, h. 313. Cetakan pertama tahun 1993 dan cetakan kedelapan tahun 2002. Uraian
lebih luas dan mendalam terdapat dalam Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum
Acara Peradilan Administrasi, Surabaya: Airlangga University Press, h. 1- 200.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 12
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

3.2. Asas-Asas Bersifat Umum Untuk Semua Jenis Peradilan

Bagian ini menguraikan asas-asas hukum acara yang berlaku bagi


semua jenis peradilan, termasuk berlaku juga bagi peradilan konstitusi
yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.

3.2.1. Ius curia novit


Asas ius curia novit terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009:
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.

Untuk mengatasi ketiadaan hukum atau kekurangjelasan hukum,


maka UU 48/2009 menentukan dalam Pasal 5 ayat (1), “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Maksud dari ketentuan ter-
sebut agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat (Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009).
Sebelumnya asas ius curia novit itu tertuang dalam Pasal 16 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU 4/2004):
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya, kecuali suatu perkara yang dilarang oleh Undang-
Undang.

Ketentuan tersebut tidak berlaku mutlak, namun ada pengecualian-


nya, yang tertuang dalam Pasal 16 ayat (2) UU 4/2004:
Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), da-
lam usaha penyelesaian perkara perdata, Pengadilan tidak boleh
menerima untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, final dan mengikat, dan

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 13


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

yang subjek dan objeknya sama, tetapi tidak menutup usaha me-
nyelesaikan perkara perdata secara perdamaian.

Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU 4/2004 itu dimohonkan pengujian


dan telah diputus dengan Putusan Perkara Nomor 061/PUU-II/2004 peri-
hal Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (tanggal putusan 21 Oktober 2004). Amar Putusan menya-
takan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, karena tidak terbukti
adanya hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya
Pasal 16 Undang-Undang a quo, oleh karena itu Pemohon tidak mempu-
nyai legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 16
UndangUndang a quo terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga
permohonannya harus dinyatakan tidak dapat diterima.13
Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang mendasari
putusannya, yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima, dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang ada atau tidak adanya hak konsti-
tusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 16
Undang-Undang a quo, Mahkamah merasa perlu menguraikan
latar belakang sejarah dari frasa yang berbunyi, “pengadilan ti-
dak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas” yang terkandung dalam pasal tersebut.
2. Frasa dimaksud didasarkan pada adagium ius curia novit, yang
bermakna bahwasanya pengadilan mengetahui hukumnya (de
rechtbank kent het recht), artinya memahami penyelesaian
hukum atas perkara yang diajukan kepadanya.

13
Ikhtisar Putusan Perkara Nomor 061/PUU-II/2004 Tentang Gugatan Terhadap
Putusan Perdamaian, dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Ikhtisar
Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, h. 380.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 14
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

3. Pada awal era kodifi kasi hukum, adagium tersebut telah dijad i-
kan salah satu asas hukum dan termuat dalam Code Civil, yang
merupakan bagian dari Code Napoleon di Perancis. Pada mu-
lanya asas itu ditafsirkan secara sempit, yaitu “hakim tidak boleh
menolak untuk memeriksa perkara dengan alasan hukum tidak
ada atau kurang jelas”.
4. Penafsiran tersebut didasarkan keyakinan yang berkembang
saat itu, bahwa hukum tertulis yang terkodifikasi itu telah secara
lengkap memuat aturan tentang seluruh peristiwa hukum dan
hubungan hukum yang mungkin terjadi dalam seluruh segi ke-
hidupan manusia. Namun kemudian ternyata bahwa hukum yang
telah terkodifikasi itu tidak pernah lengkap dan selalu tertinggal
oleh perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh kare-
nanya asas itu kemudian ditafsirkan secara luas, yaitu mem-
berikan wewenang kepada pengadilan (hakim) untuk
menemukan hukum (rechtsvinding) untuk mengadili perkara
yang diajukan kepadanya, manakala hukum yang terkodifi kasi
belum mengaturnya.
5. Penemuan hukum itu dimaksudkan agar para pencari keadilan
(justitiabelen) tetap terjamin haknya untuk memperoleh keadilan,
walaupun hukum tertulis belum mengaturnya. Asas tersebut
kemudian diserap dan diterima secara universal.
6. Di Belanda, asas tersebut dimuat dalam Algemene Bepalingen
van Wetgeving (AB), kemudian Indonesia (Nederlandsche Indie)
mencantumkan asas tersebut dalam Pasal 22 Algemene Bepal-
ingen van Wetgeving voor Nederlandsche Indie (Staatsblad 1847
Nomor 23).
7. Dengan menelusuri sejarahnya, ternyata ketentuan yang tercan-
tum dalam Pasal 16 Undang-Undang a quo, bukan hanya meru-
pakan ketentuan umum (algemene norm), melainkan merupakan
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 15
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

asas yang dianut secara universal dalam sistim peradilan. Oleh


karena itu tepat sekali pembuat undang-undang menempatkan
Pasal 16 itu di bawah Bab II dengan berjudul Badan Peradilan
dan Asasnya.
8. Sebagai perbandingan, Filipina mencantumkan asas itu dalam
The Civil Code of The Philippines Article 9 yang berbunyi, “No
judge or court shall decline to render judgement by reason of the
silence, obscurity or insuffi ciency of the laws”
9. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas “pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas”; sama sekali tidak bertentangan dengan
jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum,
sebaliknya asas itu justru memperkukuh pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana ter-
cantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kalaupun benar
anggapan Pemohon bahwa Pemohon telah mengalami kerugian
dengan adanya beberapa putusan Pengadilan yang tidak konsis-
ten, kerugian tersebut bukan disebabkan oleh berlakunya Pasal
16 Undang-Undang a quo, melainkan oleh perbedaan penafsiran
dan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan (hakim).
[ikhtisar 38014
Jadi, asas ius curia novit merupakan asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang berlaku universal, termasuk di Indonesia, dan
juga berlaku bagi Mahkamah Konstitusi.
Asas ini berlaku dalam peradilan Mahkamah Konstitusi sepanjang
masih dalam batas wewenang Mahkamah Konstitusi yang telah diberikan
secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap

14
Mahkamah Konstitusi, 2008, Ikhtisar Putusan ..., Ibid., h. 379-380.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 16
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan konstitusional lembaga


negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil Pemilu, serta
pendapat DPR tentang dengan pelanggaran hukum oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang suatu perkara diajukan dalam bingkai
salah satu wewenang tersebut, Mahkamah Konstitusi harus menerima,
memeriksa, mengadili, dan memutus.15
Terdapat beberapa perkara yang secara substansi sesungguhnya
tidak termasuk ke dalam salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi, na-
mun diajukan dalam bingkai salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi
sehingga Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan memutusnya.
Perkara tersebut antara lain adalah:
1. Perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 yang pada hakikatnya
mengajukan pengujian Putusan Mahkamah Agung Nomor
01/PK/Pilkada/2005 dengan konstruksi pengujian undang-
undang dengan mendalilkan bahwa Putusan Mahkamah Agung
yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut kedudukannya
sama dengan undang-undang. Dalam perkara ini Mahkamah
Konstitusi memutuskan permohonan tidak dapat diterima karena
Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung tidak masuk da-
lam ka-tegori undang-undang yang menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi untuk me-ngujinya.
2. Perkara Nomor 110-111-112-113/PUUVII/2009 yang pada prin-
sipnya bertujuan untuk menguji Putusan Mahkamah Agung No-
mor 15 P/HUM/2009 mengenai perhitungan tahap kedua pada
Pemilu 2009. Namun pengujian tersebut dibingkai dengan perka-
ra pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu DPR, DPD,dan DPRD, khususnya terhadap Pasal 205
ayat (4). Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara ini

15
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Op. Cit., h. 16.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 17
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

mengabulkan permohonan dengan menyatakan ketentuan yang


dimohonkan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally con-
stitutional) sepanjang ditafsirkan seperti yang dituangkan dalam
amar putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam pertimbangan pu-
tusan ini juga dinyatakan bahwa semua peraturan dan putusan
pengadilan yang tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Kons-
titusi menjadi kehilangan dasar pijakannya, dengan kata lain
menjadi kehilangan kekuatan mengikat.16
Jika terdapat perkara yang secara substansi sesungguhnya tidak
termasuk ke dalam salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi dan tidak
termasuk dalam bingkai salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi,
maka persoalannya adalah perihal tidak berwenang dan bukan perihal
hukum tidak ada atau kurang jelas. Menghadapi kondisi ini, Mahkamah
Konstitusi bertindak berdasarkan Pasal 48A ayat (1) huruf a dan ayat (2)
UU 24/2003, yakni mengeluarkan ketetapan yang amarnya berbunyi,
“Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permo-
honan pemohon.”

3.2.2. Persidangan terbuka untuk umum


Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk
umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan,
kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal
ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman:
(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demihukum.

16
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid, h. 16-17.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 18
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Pengecualian terhadap ketentuan tentang persidangan terbuka untuk


umum tersebut terdapat dalam Pasal 14 UU 48/2009, yang dalam ayat (1)
menentukan, “Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan ha-
kim yang bersifat rahasia.”
Asas persidangan terbuka untuk umum tertuang juga dalam Pasal 40
ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, bahwa sidang Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
Rasionalisasi pengecualian itu, yakni rapat permusyawaratan hakim
bersifat rahasia atau tidak terbuka umum, tidak diperoleh rasionalisasinya
dalam penjelasan UU 48/2009 maupun UU 24/2003. Tim Penyusun
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi memberi keterangan sebagai berikut:
1. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup
karena dalam rapat tersebut hakim konstitusi menyampaikan
pendapat untuk pengambilan putusan suatu perkara. Di dalam
rapat tersebut terjadi perdebatan antar hakim konstitusi yang
dapat berlangsung dalam tensi tinggi. RPH dilakukan secara ter-
tutup untuk menjaga kerahasiaan putusan hakim sampai diucap-
kan dalam sidang pleno yang terbuka.
2. Jika RPH tidak dilakukan secara tertutup akan membuka pelu-
ang pihak-pihak tertentu untuk memperjualbelikan informasi ke-
cenderungan putusan atau putusan itu sendiri karena terdapat
rentang waktu antara pengambilan putusan dan pengucapan pu-
tusan.
3. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti oleh pa-
ra hakim konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan beberapa
petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak mem-
bocorkan apapun yang terjadi dan diputuskan dalam RPH.17

17
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid, h. 18.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 19
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

3.2.3. Independen dan imparsial


Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif
serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus
indpenden dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepen-
tingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang ber-
perkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang diru-
muskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
Ketentuan konstitusional tersebut dijabarkan dalam Pasal 3 (1) UU
48/2009, “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.” Berikutnya ayat (2)
menentukan, “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak
lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal se-
bagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945.” Bahkan dipertegas dengan ancaman pidana bagi
yang melanggarnya, sebagaimana dditentukan dalam ayat (3), “Setiap
orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Kemandirian peradilan, yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU
48/2009, adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari
segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis (Penjelasan Pasal 3 ayat
(1) UU 48/2009.
Ketentuan yang sama terdapat dalam Pasal 2 UU 24/2003,
“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggara-
kan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Ketentuan tersebut terkait dengan dengan ketentuan dalam Pasal 12
UU 24/2003, “ Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur orga-
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 20
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

nisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip


pemerintahan yang baik dan bersih.”
Maksud ketentuan tersebut adalah untuk menjaga kemandirian, se-
bagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 12 UU 24/2003:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian dan
kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam mengatur organisasi,
personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip
transparansi dan akuntabilitas.

Maknanya, kemandirian dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam


mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan akan men-
jamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Uraian tersebut di atas menegaskan, kekuasaan kehakiman yang
merdeka menimbulkan 2 (dua) tuntutan. Pertama, menuntut pelaksana
kekuasaan kehakiman (dalam hal ini hakim dan hakim konstitusi) untuk
menjaga kemandirian yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan
bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Kedua,
menuntut pihak di luar kekuasaan kehakiman tidak campur tangan dalam
urusan peradilan dan tidak memberikan tekanan dalam segala bentuk,
baik fisik maupun psikis.
Untuk mendukung independensi dan imparsialitas hakim konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi, telah ditetapkan Peraturan Mahkamah Konsti-
tusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi, yang ditetapkan pada tanggal 1 Desember
2006.
Pasal 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut menentukan dalam
ayat (1), “Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana di dekl
arasi kan pada tanggal 17 Oktober 2005, yang disempurnakan pada
tanggal 1 Desember 2006, ditetapkan sebagai Kode Etik dan Perilaku Ha-
kim Konstitusi. Berikutnya dalam ayat (2) menentukan, “Naskah Deklarasi

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 21


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Hakim Konstitusi yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud Ayat


(1) merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah
Konstitusi ini.”
Lampiran dimaksud berjudul “Deklarasi Hakim Konstitusi Republik
Indonesia Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Republik In-
donesia (Sapta Karsa Hutama). Deklarasi ini antara lain memuat dalam
bagian Pertama perihal “Prinsip Independensi” dan dalam bagian Kedua
memuat perihal “Prinsip Ketakberpihakan”.
Terkait dengan independesi hakim konstitusi, pada bagian pertama
Deklarasi ditegaskan:
Independensi Hakim merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya
cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum
dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin
dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap
perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai
institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. In-
dependensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan
kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi
dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa in-
tervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tin-
dakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau go-
longan tertentu, dengan imbalan atau janji berupa keuntungan ja-
batan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

Adapun prinsip ketakberpihakan diuraikan pada bagian kedua


Deklarasi sebagai berikut:
Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat
fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemeca-
han terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketakber-
pihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang men-
dalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang
terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin da-
lam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap
pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-
benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak
yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 22
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

3.2.4. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya


ringan

Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan


agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh
lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan
salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika penga-
dilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuh-
kan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang
memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang
inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.18
Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan ditegaskan
dalam Pasal 2 ayat (4) UU 48/2009. Penjelasan Pasal 2 ayat (4) mem-
berikan pengertian atas konsep yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) UU
48/2009, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif.
2. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara
yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
3. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan da-
lam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak
mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari
kebenaran dan keadilan.
Mempertegas prinsip tersebut, Pasal 4 ayat (2) UU 48/2009, “Pe-
ngadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang seder-
hana, cepat, dan biaya ringan.”
Mengenai biaya perkara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No-

18
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., h. 21.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 23
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

mor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU


14/1985), disahkan dan diundangkan pada tanggal 12 Januari 2009), dia-
tur dalam Pasal 81A:
(1) Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran
tersendiri dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Dalam mata anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak termasuk biaya kepaniteraan dan biaya proses
penyelesaian perkara perdata, baik di lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, maupun penyelesaian perkara tata
usaha negara.
(3) Untuk penyelesaian perkara perdata dan perkara tata usaha
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), biaya kepani-
teraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan
kepada pihak atau para pihak yang berperkara.
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
merupakan penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Mahkamah Agung berwenang menetapkan dan membebankan
biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pa-
da ayat (3).
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak
menyebutkan mengenai biaya perkara. Dalam proses pembahasan Un-
dang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, pada awalnya terdapat ke-
tentuan tentang biaya perkara, akan tetapi pada saat disahkan, tidak ada
ketentuan mengenai biaya perkara. Mengenai hal tersebut Jimly Ashiddi-
qie menulis:
..., dalam perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat ketika RUU ter-
sebut dibahas, saya sendiri selaku salah seorang anggota Tim Pakar
dari pihak pemerintah mengusulkan agar ketentuan mengenai biaya
perkara itu dihapuskan saja. Alasannya ialah bahwa proses pera-
dilan di lingkungan Mahkamah Konstitusi pada pokoknya bukanlah

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 24


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

mengadili kepentingan pribadi orang per orang, melainkan


menyangkut kepentingan umum atau kepentingan lembaga –
lembaga negara yang juga bersifat publik. Karena itu, orang yang
berurusan dengan Mahkamah Konstitusi tidak perlu dibebani dengan
beban biaya sama sekali.19

Berikutnya dikemukakan, meskipun Undang-Undang No. 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian disahkan dan tidak
menentukan dengan tegas bahwa biaya perkara itu tidak boleh dikenakan,
tetapi dari latar belakang historis ide mengenai biaya perkara itu dari
naskah rancangan undang-undang menjadi undang-undang, jelas dapat
disimpulkan bahwa pembentuk undang-undang memang tidak menghen-
daki adanya biaya perkara di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, dalam
pengaturannya lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi , per-
soalan biaya perkara itu juga ditiadakan. Meskipun mungkin suatu hari
muncul ide untuk itu, tetapi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya,
sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi sendiri tidak boleh membuat
aturan yang mengadakan ketentuan mengenai biaya perkara.20
Berdasarkan uraian tersebut, tepat pernyataan bahwa salah satu
prinsip peradilan konstitusi yang dijalankan Mahkamah Konstitusi adalah
prinsip peradilan cepat, sederhana dan bebas biaya.21 Perihal bebas
biaya, menyangkut pengajuan permohonan, dipertegas dalam perubahan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, yakni UU 8/2011, yang
dalam Pasal 35A menentukan “Permohonan sebagaimana dimaksud da-
lam Pasal 30 tidak dibebani biaya perkara.”

3.2.5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)


19
Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta:
Penerbit Konstitusi Press, h. 402.
20
Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara ..., Ibid., h. 402-403.
21
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Op. Cit., h. 22.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 25
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar


secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling
berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-
termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu
terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara
pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pemben-
tuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai
termohon.22
Asas audi et alteram partem tercermin dalam Pasal 41 UU 24/2003
yang merupakan bagian dari pemeriksaan persidangan. Pasal ini memuat
ketentuan sebagai berikut:
(1) Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40, hakim konstitusi memeriksa Permohonan beserta alat
bukti yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang
berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan
dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga
negara yang terkait dengan Permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.
(4) Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemeriksaan pokok Permohonan;
b. pemeriksaan alat bukti tertulis;
c. mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
d. mendengarkan keterangan saksi;
e. mendengarkan keterangan ahli;
f. mendengarkan keterangan pihak terkait;
g. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan,
keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti
lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
h. pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elek-
tronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti
itu (cetak tebal dari penulis).

22
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 26
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Terutama kata-kata yang tercetak tebal itu mencerminkan asas audi


et alteram partem, namun tidak saja para pihak berpekara yang didengar
keterangan, tapi juga lembaga negara terkait dan pihak lain yang terkait
untuk memberi keterangan, serta keterangan saksi dan keterangan ahli.
Relevan menyimak keterangan yang diberikan oleh Tim Penyusun
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan penerapan asas
audi et alteram partem dalam praktik persidangan Mahkamah Konstitusi,
yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Hak untuk didengar secara seimbang, dalam peradilan MK, ber-
laku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan,
misalnya partai politik peserta Pemilu dan KPU dalam perkara
perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua
pihak yang terkait dan memiliki kepentingan dengan perkara
yang sedang disidangkan.
2. Untuk perkara pengujian undang- undang, selain pemohon pihak
terkait langsung yaitu DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk
undang-undang juga memiliki hak untuk didengar keterangan-
nya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara tidak
langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan
diberi kesempatan menyampaikan keterangannya. Misalnya, pa-
da saat pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ten-
tang Penyelenggara Pemilu, KPU akan diberikan hak menyam-
paikan keterangan. Demikian pula pada saat UU Nomor 18 Ta-
hun 2003 tentang Advokat diuji, maka organisasi advokat dapat
memberikan keterangan.
3. Demikian pula halnya dalam perkara konstitusi yang di dalamnya
terhadap pihak yang saling berhadapan, misalnya PHPU, hak
menyampaikan keterangan tidak hanya diberikan kepada pemo-
hon (peserta Pemilu) dan termohon (KPU), tetapi juga kepada

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 27


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

pihak terkait yang berkepentingan, yaitu peserta Pemilu lain yang


walaupun tidak ikut berperkara tetapi berkepentingan dengan pu-
tusan atas perkara dimaksud. Untuk menjadi pihak terkait dan
menyampaikan keterangan dalam persidangan konstitusi, dapat
dilakukan dengan mengajukan diri sebagai pihak terkait, atau
atas undangan MK.23

3.3. Asas-Asas Yang Khusus Sesuai dengan Karakteristik Peradilan


Konstitusi
Bagian ini menguraikan asas-asas hukum acara yang memberikan

ciri khas peradilan konstitusi yang dijalankan Mahkamah Konstitusi untuk

menegakkan hukum konstitusi yang berada di ranah hukum publik.

3.3.1. Asas praduga keabsahan (praesumptio iustae causa).


Dikenal juga dengan istilah het vermoeden van rechtmatigheid. Asas
praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah
sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini,
semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan
konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini
berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi
maupun prosedur yang harus ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah tin-
dakan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan
itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan berdasar-
kan aturan hukum.24
Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada
kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam
sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Sebelum adanya

23
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 22-23.
24 Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 24.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 28
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

putusan MK, maka tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku


dan dapat dilaksanakan. Hal ini secara khusus dapat dilihat dari
wewenang MK pada perkara-perkara berikut:
1. Suatu ketentuan UU yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan
harus dianggap sah (tidak bertentangan dengan UUD 1945) sebe-
lum ada putusan MK yang menyatakan ketentuan UU dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
2. Dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara juga demikian, tindakan termohon harus dianggap sah dan
tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebelum ada putusan MK
yang menyatakan sebaliknya.
3. Pada perkara perselisihan hasil Pemilu, keputusan KPU tentang
penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan oleh peserta
Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan sebelum ada
putusan MK yang membatalkan keputusan KPU itu.25
Asas praduga keabsahan (praesumptio iustae causa) terdapat juga
pengecualian, artinya asas ini tidak berlaku mutlak. Ini tercermin dalam
Pasal 55 dan Pasal 63 UU 24/2003. Pasal 55 UU 24/2003 menentukan:
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila
undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut
sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada
putusan Mahkamah Konstitusi.

Jika mendasarkan pada asas praduga keabsahan (praesumptio ius-


tae causa) secara mutlak, maka undang-undang yang sedang dalam
proses pengujian Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, dalam pengertian
tidak menunda pelaksanaan undang-undang tersebut, dalam hal ini pen-
gujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang se-

25
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 24-25.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 29
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

dang dilakukan Mahkamah Agung tetap berlangsung. Artinya, undang-


undang tersebut tetap menjadi dasar pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang. Namun, hal itu tidak terjadi, karena
Pasal 55 UU 24/2003 memberikan pembatasan terhadap asas praduga
keabsahan (praesumptio iustae causa).
Selain Pasal 55 UU 24/2003, Pasal 63 UU 24/2003 juga mem-
berikan pembatasan terhadap terhadap asas praduga keabsahan (prae-
sumptio iustae causa). Pasal 63 UU 24/2003:
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang me-
merintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan
sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sam-
pai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pengertian “pelaksanaan kewenangan” adalah tindakan baik


tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan. Dalam mengeluarkan penetapan
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh
pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan (Penjelasan Pasal 63
UU 24/2003).
Jika mendasarkan pada asas praduga keabsahan (praesumptio ius-
tae causa) secara mutlak, maka tidak ada penghentian tindakan baik
tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan. Namun, karena asas tersebut tidak
dianut secara mutlak, maka Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan dis-
kresi (dapat) mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemo-
hon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi, dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh
pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.

3.3.2. Asas pembuktian bebas.

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 30


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Asas pembuktian bebas bermakna hakim yang menetapkan beban


pembuktian. Ini terkait dengan alat bukti. Pasal-pasal dalam UU 24/2003
berkenaan dengan alat bukti adalah sebagai berikut:
1. Pasal 36 UU 24/2003, ayat (2) menentukan, “Alat bukti se-
bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat diper-
tanggungjawabkan perolehannya secara hukum.” Berikutnya ayat
(3) menentukan, “Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pa-
da ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perole-
hannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah”,
dan ayat (4), “Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak
sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.”
2. Pasal 37 UU 24/2003, “Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat buk-
ti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan
persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang
lain.”
3. Pasal 41 UU 24/2003, ayat (1) menentukan, “Dalam pemeriksaan
persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, hakim kon-
stitusi memeriksa Permohonan beserta alat bukti yang diajukan.”
Ayat (4) menentukan, “Pemeriksaan persidangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: ... b. pemeriksaan alat bukti ter-
tulis;... h. pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.”
4. Pasal 45 ayat (1) UU 24/2003, “Mahkamah Konstitusi memutus
perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan ha-
kim.”
Ketentuan-ketentuan tersebut tidak menegaskan perihal
kewenangan hakim yang menetapkan beban pembuktian, namun dalam
praktik peradilan oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan hakim kontitusi
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 31
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

menetapkan beban pembuktian, sebagaimana tampak dari keterangan


Tim Penyusun Hukum Acara Konstitusi:
Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang
disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari ket-
erangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Ha-
kim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat me-
manggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat
bukti diajukan ke MK. Misalnya pada saat MK memerintahkan KPK
membawa bukti percakapan Anggodo dengan beberapa pihak dan
memperdengarkan di dalam sidang MK terkait dengan pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pember-
antasan Tindak Pidana Korupsi, Perkara Nomor 133/PUU-VII/2009.26

3.3.3. Asas keaktifan hakim (dominus litis).


Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif da-
lam proses persidangan”.27Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari
perkara. Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu
sebelum disampaikan oleh pemohon ke pengadilan. Hal ini merupakan
prinsip universal lembaga peradilan.
Pada saat suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat
bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang di-
perkarakan. Dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan indi-
vidual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, dalam perkara yang banyak
menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif.28
Pasal 37 dan Pasal 39 UU 24/2003 menunjukkan dianutnya asas
keaktifan hakim dalam peradilan konstitusi yang dijalankan oleh
Mahkamah Konstitusi, yakni:
1. Pasal 37 UU 24/2003, “Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat buk-
ti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan

26
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 24.
27
Maruarar Siahaan, Hukum Acara ..., Op. Cit., hl. 76.
28
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Op. Cit., h. 23.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 32
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang
lain.”
2. Pasal 39 UU 24/2003, yang dalam ayat (1) menentukan, “Sebelum
mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengada-
kan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permo-
honan”, dan ayat menentukan, “Dalam pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi na-
sihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari.”
Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang selalu lebih banyak
menyangkut kepentingan umum dan tegaknya konstitusi, maka hakim
konstitusi dalam persidangan selalu aktif menggali keterangan dan data
baik dari alat bukti, saksi, ahli, maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisi-
torial).29 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mengemuka-
kan mengenai penerapan asas keaktifan hakim dalam peradilan konstitusi
yang dijalankan Mahkamah Konstitusi, antara lain:
Hakim konstitusi juga dapat mengundang para pakar yang didengar
keterangannya dalam forum diskusi tertutup. Forum semacam ini
misalnya pernah dilakukan pada saat akan memutus pengujian Un-
dang-Undang APBN Tahun 2006.30

3.3.4. Asas putusan pengadilan bersifat erga omnes.


Asas putusan pengadilan bersifat erga omnes bermakna putusan penga-
dilan berlaku bagi semua orang –tidak hanya bagi pihak yang berperkara. Perka-
ra yang menyangkut kepentingan umum, putusan pengadilan bersifat erga om-
nes.
Tidak terkecuali, putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan
yang mengadili perkara yang menyangkut kepentingan umum bersifat er-

29 Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 24.


30
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 33
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

ga omnes. Ketentuan-ketentuan berikut menunjukkan dianutnya asas er-


ga omnes.
Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 menentukan, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk: ... .” Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 men-
jelaskan, “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.”
Seturut dengan ketentuan tersebut, Pasal 47 UU 24/2003 menen-
tukan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”
Jadi, putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Sejak saat memperoleh kekuatan hukum itulah putusan Mahkamah
Konstitusi mengikat bagi semua orang –tidak terbatas pada pihak ber-
perkara. Ini terutama pada perkara pengujian undang-undang, pada saat
putusan Mahkamah Konstitusi itu diucapkan, misalnya mengabulkan
permohonan, maka pada saat itu berlaku bagi semua orang untuk menaati
putusan tersebut, sekalipun ia tidak sebagai pemohon dalam perkara ber-
sangkutan.

Kekhususan Hukum Acara MK


4
4.1. Mengadili Perkara Konstitusi
Ciri khas peradilan konstitusi adalah mengadili perkara konstitusi,
yakni perkara yang menggunakan konstitusi sebagai dasar hukum yang
utama untuk mengadilinya.

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 34


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Hal tersebut tampak pada wewenang Mahkamah Konstitusi yang


pada dasarnya mempersoalkan tentang konstitusionalitas dari obyek yang
diperkarakan, yakni:
1. Wewenang memutus pengujian undang-undang, adalah menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang.
2. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara
pada hakikatnya adalah memutus kewenangan suatu lembaga
negara yang dipersengketakan konstitusionalitasnya.
3. Wewenang memutus pembubaran partai politik adalah
wewenang memutus konstitusionalitas suatu partai politik.
4. Demikian pula halnya dengan wewenang memutus pendapat
DPR dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presi-
den.
Pada awalnya terdapat satu wewenang Mahkamah Konstitusi yang
dipandang tidak terkait dengan pertanyaan atau isu konstitusi, yaitu
memutus perselisihan tentang hasil Pemilu. UU 24/2003 menentukan
bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut adalah memutus perse-
lisihan atau perbedaan penghitungan hasil Pemilu yang terjadi antara pe-
serta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu. Namun dalam perkem-
bangan penanganan perselisihan hasil Pemilu, MK menegaskan bahwa
wewenang tersebut juga meliputi wewenang menguji konstitusionalitas
pelaksanaan Pemilu.31 Ini tampak dalam pertimbangan Mahkamah Konsti-
tusi:
1. Mahkamah Monstitusi dalm Pertimbangan Hukum Putusan Nomor
062/PHPU.B-II/2004 mengenai Perselisihan Hasil Pemilu yang di-
ajukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Wiranto
dan Salahuddin Wahid, menimbang bahwa Mahkamah sebagai
pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar secara kualitatif

31
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 28-29.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 35
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah


digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya
menentukan bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
2. Pergeseran tersebut dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 41/
PHPU.D-VI/2008 mengenai Perselisihan Hasil Pemilukada
Provinsi Jawa Timur. Dalam putusan tersebut MK menegaskan
bahwa wewenang memutus PHPU tidak terbatas pada menilai
dan mengadili perselisihan penghitungan hasil, tetapi juga pelang-
garan yang menyebabkan terjadinya perbedaan penghitungan
hasil, demi menjaga dan menegakkan keadilan dan demokrasi
yang diatur dalam UUD 1945.32
4.2. Putusan Mahkamah Konstitusi Ultra Petita
Hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata, mengenal
pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu
prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang
dimohonkan (ultra petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat
(2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. Karena
adanya pandangan tersebut, pada saat MK memutuskan membatalkan
seluruh UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan mem-
batalkan seluruh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) banyak muncul tanggapan bahwa
MK telah melanggar prinsip larangan ultra petita.33
Upaya meneguhkan larangan ultra petita kemudian dipositifkan da-
lam UU 8/2011 yang merupakan perubahan terhadap UU 24/2003.
Larangan ultra petita tertuang dalam Pasal 45A, “Putusan Mahkamah
Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh

32
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 29, 38.
33 Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara ..., Ibid., h. 53.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 36
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal ter-


tentu yang terkait dengan pokok Permohonan.” Kemudian, Pasal 57 ayat
(2a) menentukan, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang
yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Ketentuan tersebut dimohonkan pengujian, dengan nomor registrasi


48/PUU-IX/2011 dan telah diputus dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 48/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Ta-
hun 2009 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Tanggal Putusan: 18 Oktober 2011).
Pasal yang dimohonkan pengujian dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 adalah Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a). Mahkamah Kons-
titusi menyatakan bahwa Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011
tidak mempunyai kekuatan hukum. Menyangkut Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Mahkamah Konstitusi menolak permo-
honan a quo.
Pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan mengabulkan
permohonan pengujian Pasal 45A UU 8/2011, sebagaimana dituangkan
dalam angka [3.13] antara lain mendasarkan pada prinsip erga omnes dan
ultra petita, yang dapat dirinci sebagai berikut:

1. Karakter hukum acara di Mahkamah Konstitusi terutama dalam


perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah
untuk mempertahankan hak dan kepentingan konstitusional yang
dilindungi oleh konstitusi, sebagai akibat berlakunya suatu Un-
dang-Undang yang berlaku umum (erga omnes).

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 37


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

2. Oleh karena itu apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim


Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau peti-
tum yang diajukan.34
Adapun pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan
mengabulkan permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 ada-
lah ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut, menurut Mahkamah
Konstitusi, bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konsti-
tusi untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka
menegakkan konstitusionalitas norma Undang-Undang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar.35
Merujuk pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, bahwa
hukum acara Mahkamah Konstitusi memiliki karakter khusus, yang ber-
beda hukum acara lainnya, seperti dengan Hukum Acara Perdata, se-
bagaimana dikemukakan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konsti-
tusi, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Ketentuan yang memuat larangan bagi Hakim untuk menga-
bulkan di luar atau lebih dari permohonan Pemohon, dikenal da-
lam hukum acara perdata, yaitu dalam Pasal 178 ayat (2) dan
ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg.
2. Hal tersebut sangat mudah dipahami, karena inisiatif untuk
mempertahankan atau tidak mempertahankan satu hak yang
bersifat keperdataan yang dimiliki orang-perorangan, terletak pa-
da kehendak atau pertimbangan orang-perorang tersebut. Per-
mintaannya tidak dapat dilampaui, karena ada kalanya menga-
bulkan melebihi apa yang diminta, justru merugikan kepentingan
yang bersangkutan.
3. Karakter hukum acara perdata yang demikian adalah untuk
mempertahankan kepentingan individu, yang hanya digerakkan

34
Putusan Mahkamah Konstitusi 48/PUU-IX/2011, h. 92.
35
Putusan Mahkamah Konstitusi 48/PUU-IX/2011, h. 94.
Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 38
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

oleh permohonan atau gugatan penggugat. Oleh karena itu,


kekuatan mengikat dan akibat hukum putusan hakim hanya
mengikat para pihak dalam perkara tersebut atau disebut
mengikat inter-partes. Namun, dalam perkembangannya, be-
berapa putusan Mahkamah Agung, tidak memberlakukan secara
mutlak dengan alasan pertimbangan keadilan dan kepantasan.36
Jadi, secara hukum perundang-undangan dan hukum jurisprudensi

(dalam pengertian hukum yang dibuat oleh hakim), maka tidak ada lagi

larangan ultra petita dalam peradilan konstitusi yang dijalankan oleh

Mahkamah Konstitusi.

BAHAN BACAAN

5 Catatan Akhir

Karakteritik hukum acara Mahkamah Konstitusi ditandai oleh adanya


asas-asas hukum acara yang berlaku khusus untuk peradilan konstitusi
yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi, di samping adanya asas-asas
hukum acara yang berlaku untuk semua jenis peradilan, termasuk berlaku
pula untuk peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.
Karakteritik hukum acara Mahkamah Konstitusi juga ditandai adanya
kekhususan peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konsti-
tusi, yakni mengadili perkara konstitusi dengan tolok ukur konstitusi, dalam
hal ini UUD 1945, yang hakekat menyangkut kepentingan umum. Jadi,
berada dalam ranah hukum publik. Implikasi dari kekhususan peradilan
konstitusi ini adalah tidak dikenalnya larangan ultra petita. Dengan per-
kataan lain, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan ultra peti-
ta.

36 Putusan Mahkamah Konstitusi 48/PUU-IX/2011, h. 93.


Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 39
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (1): Memahami karakteristiknya

Daftar Pustaka

Bambang Sutiyoso, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik


Indonesia: Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman kepada
Publik akan Hak-Hak Kons-titusionalnya yang Dapat Diperjuangkan
dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, Bandung: Penerbit
PT Citra Aditya Bakti.
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah
Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan
Daerah, Denpasar: Penerbit: PT. Percetakan Bali.
Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Ja-
karta: Penerbit Konstitusi Press.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Ikhtisar Putusan
Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Jakarta: Penerbit Sekretariat Jen-
deral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Maruarar Siahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
Philipus M. Hadjon (et. al.), 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indone-
sia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi,
Surabaya: Airlangga University Press.
Tim Penyusun, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.
Veri Junaidi Adelline Syahda Adam Mulya Bunga Mayang, 2016, Tiga
Belas Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Pengujian
Undangundang, Jakarta: Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif.

Gede Marhaendra Wija Atmaja|2018| 40


PERAni
PERHIMPUNAN APyPKAT INDONESIA
INDONESIAN ADVOCATES ASSOCIATION

Denpasar, 8 Januari 2017


RefNo. 1 l/DPC-PERADI/PKPA/I/2018
Re. Permohonan Sebagai Pengajar PKPA
Lampiran Jadwal Pelaksanaan
Kepada:
Yth. Bpk, Dr. Cede Marhaendra Wijaatmaja, SH., M.Hum.
Di-
Tempat ^
Dengan Hormat,
Dengan ini kami sampaikan bahwa DPC Peradi Denpasar bekerja sama dengan DPN Peradi
Pusat dan Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar akan menyelenggarakan
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sebagai salah satu syarat untuk menjadi
Advokat seperti yang tertuang dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut kami memohon kesediaan Bapak menjadi
salah satu pengajar PKPA dengan Mated Ajar: Hukum Acara Mahkamah Konstitusi I,
Pada hari Sabtu, tanggal 03 Pebruari 2018, pukul 15.00-16.30 WITA, bertempat di ruang
kuliah Notanat Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No. 1 Denpasar (jadwal
terlampir).. Adapun materi yang diharapkan untuk diberikan adalah: Prosedur Beracara di
Mahkamah Konstitusi Mulai Dari Surat Kuasa Sampai Putusan Hakim Secara Teori.
Kami mohon agar soft copy materi ajar dan CV pengajar dapat di email kepada kami melalui:
peradi.dps@gmai 1.com (CP 081916621439 atas nama Arum) paling lambat 5 Hari sebelum
Jadwal untuk dapat diperbanyak dan didistribusikan kepada peserta PKPA.
Demikian permohonan kami, atas perhatian dan kesediaannya kami haturkan limpah terima
kasih.

DEWAN PIMPINAN CABANG DENPASAR


Jl. Gunung Salak Utara No. 7 Abasan Denpasar 80117 Bali, Indonesia
Telp. (0361) 9002003, 085100429317, Fax (0361) 9002993
Email: peradi.dps(a)gmail.com Ij Dpc Peradi Dps
DAFTAR AJAR DAN PENGAJAR PKPA DPC PERADI DENPASAR (FH UDAYANA)
NO MATA AJAR TGL HARI/JAM PENGAJAR MODERATOK
1 Pembukaan dan Orientasi 19 Jan 2018 Jum'at/17.00-18.30 DPN PERADI, DPC PERADI & FH UNUD
2 Peran Dan Fungsi Organisasi Advokat 19 Jan 2018 Jum'at/19.30-21.00 Dr. Juniver Girsang SH., M H .
3 Kode Etik Advokat Indonesia I 20 Jan 2018 Sabtu /15.00-16.30 I Made Suardana, SH., M H .
4 Kode Etik Advokat Indonesia II 20 Jan 2018 Sabtu /17.00-18.30 I Nengah Jimat, SH.
5 Hukum Acara Perdata I 20 Jan 2018 Sabtu /19.00-21.00 Dr. I Ketut Tjukup, SH., M H .
6 Hukum Acara Perdata II 26 Jan 2018 Jum'at/17.00-18.30 Giovani Melianus, SH.
7 Hukum Acara Perdata III 26 Jan 2018 Jum'at/19.30-21.00 Gede Eriangga Gautama, SH., M H .
8 Hukum Acara Pidana I 27 Jan 2018 Sabtu /15.00-16.30 Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., M H .
9 Hukum Acara Pidana II 27 Jan 2018 Sabtu /17.00-18.30 Muhammad Lutfi Hakim, SH., M H .
10 Hukum Acara Pidana III 27 Jan 2018 Sabtu 719.00-21.00 Muhammad Lutfi Hakim, SH., M H .
11 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara I 02 Peb 2018 Jum'at/17.00-18.30 Nyoman A. Martana, SH., M H .
12 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara II 02 Peb 2018 Jum'at/19.30-21.00 Dr. I Wayan Wesna Antara, SH., M.Hum.
13 Hukum Acara Mahkamah Konstitusi I 03 Peb 2018 Sabtu /15.00-16.30 Dr. Gede Marhaendra Wijaatmaja, SH., M.Hum.^ /
14 Hukum Acara Mahkamah Konstitusi II 03 Peb 2018 Sabtu /17.00-18.30 Dr. Simon Nahak, SH., M H .
15 Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial I 03 Peb 2018 Sabtu /19.30-21.00 I Nyoman Darmada, SH., M H .
16 Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial II 09 Peb 2018 Jum'at/17.00-18.30 I Wayan Purwita, SH., M H .
17 Hukum Acara Pengadilan Niaga I 09 Peb 2018 Jum'at/19.30-21.00 Dr. Made Arjaya, S H , M H .
18 Hukum Acara Pengadilan Niaga II 10 Peb 2018 Sabtu /15.00-16.30 Harry Ponto, SH., LLM.
19 Hukum Acara Pengadilan Agama 10 Peb 2018 Sabtu /17.00-18.30 Narcis, SH.
20 Hukum Acara Peradilan H A M 10 Peb 2018 Sabtu /19.30-21.00 Prof. Dr. Yohanes Usfiinan., SH., M H .
21 Hukum Acara Persaingan Usaha I 17 Peb 2018 Sabtu /17.00-18.30 Dr. Marwanto, SH., M H .
22 Hukum Acara Persaingan Usaha II 17 Peb 2018 Sabtu /19.30-21.00 Ni Wayan Umi Martina, SH., M H .
23 Hukum Acara Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian 17 Peb 2018 Sabtu /15.00-16.30 Prof. I Made Widnyana, SH., M H .
Sengketa
24 Perancangan Kontrak I 23 Peb 2018 Jum'at/17.00-18.30 Dr. I Wayan Wiryawan, SH., M H .
25 Perancangan Kontrak II 23 Peb 2018 Jum'at/19.30-21.00 I Made Somya Putra, SH., M H
26 Kajian Yuridis Dan Teknik Penulisan Pendapat 24 Peb 2018 Sabtu /17.00-18.30 Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M H .
Hukum I
27 Kajian Yuridis Dan Teknik Penulisan Pendapat 24 Peb 2018 Sabtu /19.30-21.00 Tri Utomo Wiryantono, SH. &
Hukum II & Penutup
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum.
Jum'at Rehat Dinner 18.30-19.30 Sabtu i CofTee Break 16,30-17.00
Rehat Dinner 18.30-19.30

Anda mungkin juga menyukai