Anda di halaman 1dari 10

Keluhan Bayi 6 Bulan Diare Sejak 3 Hari Yang Lalu

Audrey Fidelia (102016200), Yohana Stefanie H. Samosir (102016110), Ali hanapiah (102016237), Nor
Umi izati binti khalidi (102016261), Reza Ainul Yaqin 1(02016077), Amanda damayanti Pabisa
(102013265), Louis Hendri (102014097), Dylen Grice De wanna (102015027), Febby Christifani Topana
(102016054)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia

Email: umi_izatii@yahoo.com

Abstrak
Semua manusia pernah menikmati susu ibu. Selama mengkonsumsi, sepertinya tidak
ada masalah seperti mual-mual dan diare berkepanjangan. Hal ini disebabkan karena di dalam
usus halusnya terdapat laktase yang mampu merombak laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.
Namun demikian, ada segolongan bayi dan lansia yang tidak tahan dengan laktosa di dalam
usus halus-nya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya laktase atau kandungan laktase pada usus
halusnya sangat rendah, sehingga menimbulkan gejala mual-mual dan diare berkepanjangan.
Peristiwa ini dikenal sebagai intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa pada hakikatnya dipicu oleh
susu yang dikonsumsinya dan berkaitan erat dengan ketidakhadiran laktase pada usus halus
penderita.
Kata kunci: Intoleransi, laktosa, dan laktase.

Abstract
All human have enjoyed mother’s milk. During consume breast milk, there seems to be
no problem, such as nausea and prolonged diarrhea. This is because in the small intestine,
lactase is able to remodel lactose into glucose and galactose. However, there are a group of
infants and elderly who cannot tolerate lactose in their small intestine. This is caused by the
absence of lactase or lactase content in the intestine is very low, causing the symptoms of
nausea and prolonged diarrhea. This event is known as lactose intolerance. Lactose intolerance
is essentially triggered by milk it consumes and is closely related to the absence of lactase in the
small intestine of the patient.
Keywords : Intolerance, lactose, and a lactase.

Pendahuluan
Di dalam susu dan produk susu lainnya terdapat komponen gula atau karbohidrat yang
dikenal dengan laktosa (gula susu). Pada keadaan normal, tubuh dapat memecah laktosa
menjadi gula sederhana dengan bantuan enzim laktase. Pada manusia, laktase terus diproduksi
sepanjang hidupnya. Manusia tidak dapat atau tidak mampu mencerna laktosa sehingga akan
mengalami gangguan pencernaan seperti sakit perut dan diare yang dikenal sebagai intoleransi
laktosa atau defisiensi laktose.1
Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan volume, frekuensi, atau kecairan yang
berlebihan. Setiap proses yang meningkatkan frekuensi defekasi atau volume tinja
menyebabkan tinja mejadi lebih encer karena konsistensi tinja yang lunak dan ditentukan oleh
penyerapan air yang bergantung pada waktu. Proses defekasi ditandai dengan frekuensi lebih
dari biasanya (>3 kali/sehari).2,3
Diare dapat bersifat akut (durasi kurang dari 2 minggu) secara mendadak pada bayi dan anak
yang sebelumnya sehat atau kronik (durasi dari 2 minggu atau lebih) dengan kehilangan berat
badan (failure ofthrive) selama masa diare tersebut.2,3
Anamnesis

Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap


keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Aloanamnesis biasanya dilakukan pada pasien
di bawah umur atau pasien yang tidak kompeten untuk menjawab pertanyaan dari dokter.

 Identitas – nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua
atau penanggung jawab, alamat, pendidikan pekerjaan, suku bangsa dan agama

 Keluhan utama – keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter
atau mencari pertolongan. Hal yang perlu ditanyakan meliputi nyeri, pembengkakan,
penyakit sistemik, dll

 Riwayat penyakit sekarang – riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang


kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan
utama sampai pasien datang berobat

 Riwayat penyakit dahulu – mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan


antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang

 Riwayat penyakit dalam keluarga - untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,


familial atau penyakit infeksi

 Riwayat pribadi dan sosial – meliputi data-data sosial, riwayat kehamilan, kelahiran,
persalinan dan imunisasi.4

Hasil anamnesis :
Bayi laki-laki usia 6 bulan dibawa ibunya berobat ke klinik terdekat dengan keluhan diare
sejak 3 hari yang lalu. BAB 3x sehari, warnanya normal, tidak berdarah dan berbau asam. Tidak
ada muntah, bersin, pilek maupun demam. Tidak ada riwayat alergi dan belum berobat. Bayi
masih mendapatkan ASI namun karena ibunya masih sibuk bekerja, bayi diberikan susu
formula.

Pemeriksaan fisik

Melakukan pemeriksaan antropometri, dengan mengukur berat badan dan tinggi badan.
Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, dengan mengukur tekanan darah, nadi, frekuensi
pernapasan,dan suhu tubuh. Pemeriksaan fisik abdomen meliputi inspeksi, palpasi, dan
auskultasi. Inspeksi dilakukan dengan bantuan kaca pembesar.

 Inspeksi

Dilihat apa saja kelainan kulit yang ditemukan dan tentukan distribusinya. Asimetris,
simetris, cekung, cembung, superfisial. Bagaimana warna kulit pasien atau warna lesi
dan bentuk lesi yang terdapat pada abdomen pasien. Apakah ada gerakan peristaltik
usus maupun pulsasi yang meningkat.

 Palpasi

Lakukan palpasi lesi untuk mengetahui suhu, mobilitas, nyeri tekan dan kedalaman.
Periksa adanya pembesaran kelenjar getah bening dan lain-lain.5
 Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui apakah organ tersebut mengalami pembesaran /
tidak. Lalu apakah organ tersebut berisi udara atau tidak.
 Auskultasi
Untuk mendengar bising usus dan bruit. Peningkatan bising usus biasanya terjadi pada
keadaan diare, obstruksi usus, ileus paralitik, peritonitis. Sedangkan bruit dapat
terdengar pada keadaan stenosis arteri renalis dan infusiensi arteri, dll.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

 Kesadaran : compos mentis


 Keadaan umum : normal, aktif
 TTV, dll : dalam batas normal
 Ubun-ubun besar : terbuka datar dan tidak cekung
 Mata : tidak cekung
 Mulut : bibir lembap
 Leher : normal
 Thorax : normal
 Abdomen (warna, bentuk, lesi, massa, tampak pulsasi, pembuluh darah kolateral) :
normal
 Palpasi : nyeri tekan dan massa
 Perkusi : hipertimpani
 Auskultasi : bising usus meningkat
 Anal : merah/ ruam perianal

Pemeriksaan penunjang

Metode untuk mendiagnosis intoleransi laktosa dapat dilakukan dengan cara:

1. Pengukuran pH tinja (pH < 6, normal pH tinja 7) maka


memperkuat dugaan adanya intoleransi laktosa.

2. Penentuan kadar gula dalam tinja dengan tablet ‘Clinitest’

Normal tidak terdapat gula dalam tinja. ( + = 0.5%, ++ = 0.75%, +++ = 1%, ++++ = 2%)

3. Lactose loading (tolerance) test

Setelah penderita dipuasakan selama semalam diberi minum laktosa 2 g/kgbb. Dilakukan
pengukuran kadar gula darah sebelum diberikan laktosa dan setiap 1/2jam kemudian
hingga 2 jam lamanya. Pemeriksaan ini dianggap positif (intoleransi laktosa) bila didapatkan
grafik yang mendatar selama 2 jam atau kenaikan kadar gula darah kurang dari 25 mg%.

4. Barium meal lactose

Setelah penderita dipuasakan semalam, kemudian diberi minum larutan barium laktosa.
Kemudian dilihat kecepatan pasase larutan tersebut. Hasil dianggap positif bila larutan
barium laktosa terlalu cepat dikeluarkan (1 jam) dan berarti pula hanya sedikit yang
diabsorbsi.

5. Biopsi mukosa usus halus dan ditentukan kadar enzim


laktase dalam mukosa tersebut. Untuk diagnosis klinis biopsi usus penting sekali, karena
banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan ini, misalnya gambaran vilus di bawah
dissecting microscope. Gambaran histologis mukosa (mikroskop biasa dan elektron),
aktifitas enzimatik (kualitatif dan kuantitatif). Biopsi usus ternyata tidak berbahaya dan
sangat bermanfaat dalam menyelidiki berbagai keadaan klinis yang disertai malabsorbsi
usus.

6. Diet eliminasi, yaitu dengan cara tidak mengkonsumsi


bahan makanan yang mengandung laktosa (susu dan produk susu) dan lihat apakah ada
perbaikan gejala. Apabila timbul gejala klinis setelah diberikan bahan makanan yang
mengandung laktosa, maka dapat dipastikan penyebabnya adalah intoleransi laktosa. 6

Working Diagnosis

Intoleransi laktosa

Di usus halus, laktosa dihidrolisis oleh enzim laktase yang terdapat dalam brush border
menjadi glukosa dan galaktosa untuk selanjutnya diabsorpsi. Jika fungsi ini terganggu maka
dapat timbul kelainan yang disebut dengan intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa adalah
gangguan penyerapan laktosa yang disebabkan oleh karena defisiensi enzim laktase dalam
brush border usus halus atau lebih mudah dipahami dengan kondisi seseorang yang tidak
mampu mencerna laktosa, yaitu suatu jenis gula yang terdapat dalam susu dan produk susu.
Ketidakmampuan itu dapat disebabkan kurangnya atau tubuh tidak mampu memproduksi
laktase, yaitu enzim pencernaan yang diproduksi oleh sel-sel di usus yang bertugas memecah
gula susu menjadi bentuk yang lebih mudah diserap tubuh. Kondisi ini disebut juga dengan
defisiensi laktase (Lactase Deficiency).7

Intoleransi laktosa dapat berupa intoleransi primer, sekunder ataupun diturunkan (genetik).
Intoleransi laktosa primer terjadi sejak lahir. Biasanya terutama terjadi pada anak yang
prematur. Usus bayi dalam perut mulai membentuk enzim laktase sejak umur 6 bulan dalam
kandungan dan akan bertambah sejalan bertambahnya usia janin. Sehingga pada anak yang
lahir premature ada kalanya mereka mengalami intoleransi laktosa juga. Intoleransi laktosa
yang diturunkan juga dapat terjadi, biasanya gejala tampak sejak lahir. Namun kondisi ini
insidensinya amat sedikit. Intoleransi laktosa sekunder paling sering terjadi dan diawali dengan
adanya infeksi usus, terjadi pada anak yang sebelumnya mengalami infeksi atau gangguan pada
usus, misalnya diare, atau gastroenteritis kemudian menyebabkan rusaknya usus sehingga usus
tidak dapat menghasilkan enzim laktase dengan baik, akibatnya terjadi diare dan gejala lainnya.

Diagnosis banding
1. Alergi susu sapi

Susu sapi sering ditemukan dalam makanan bayi. Alergi adalah disebabkan reaksi sistem
imun yang abnormal terhadap susu. Sindrom ini ditandai dengan gejala klinis yang khas yaitu
mual muntah, wheezing, gatal-gatal dan mempunyai masalah pencernaan. Gejala lanjutan
adalah diare kronis, tinja bercampur darah, nyeri abdomen, mata dan hidung berair dan ruam
pada kulit terutama bagian mulut.
Kriteria diagnostik :

a. Gejala-gejala menghilang sesudah eliminasi susu sapi.


b. Gejala-gejala tampak kembali 48 jam sesudah pemberian susu sapi.
c. Reaksi-reaksi pada pemberian kembali susu sapi tersebut harus terjadi 3 kali
beturut-turut dengan gejala klinis yang sama baik mengenai masa timbulnya
maupun lama sindromnya.
Gangguan ini biasanya bersifat sementara yaitu timbul kira-kira beberapa menit atau
beberapa jam setelah mengkomsumsi susu.

2. Keracunan makanan

Penyakit yang timbul karena makan makanan yang terkontaminasi atau makanan yang
mengandung racun (misalnya jamur, ikan, dll). Keracunan makanan berlaku apabila makanan
terkontaminasi dengan bakteri (E. coli, Salmonella), parasit (toxoplasma) dan virus (rotavirus).
Kontaminasi dapat terjadi pada tahap produksi, pemrosesan, penyimpanan, pengiriman, atau
penyiapan makanan. Gejala keracunan makanan bermacam-macam, tergantung pada
penyebab keracunan. Walaupun demikian, secara umum gejala keracunan makanan adalah
mual, muntah, diare, nyeri atau kram perut, hilang selera makan dan demam. 8

Etiologi

Sebagian besar karbohidrat yang dimakan sehari-hari terdiri dari disakarida dan
polisakarida. Karbohidrat dapat dibagi dalam monosakarida (glukosa, galaktosa, dan fruktosa),
disakarida (laktosa atau gula susu, sukrosa atau gula pasir dan maltosa) serta polisakarida
(glikogen, amilum, tepung). Setelah masuk ke dalam usus, disakarida akan diabsorbsi dan
masuk ke dalam mikrovili usus halus dan dipecah menjadi monosakarida oleh enzim
disakaridase (laktase, sukrase, dan maltase) yang ada di permukaan mikrovili tersebut.
Defisiensi enzim disakaridase selektif menyebabkan gangguan hidrolisis karbohidrat pada
membran enterosit meskipun tidak ada cedera mukosa.1
Laktosa merupakan sumber energi utama dan hanya terdapat di dalam susu mamalia.
Laktosa ini akan diuraikan oleh enzim laktase (β-galactosidase) yang terdapat di brush border
mukosa usus halus, menjadi glukosa dan galaktosa, yang kemudian akan diserap oleh tubuh di
usus halus. Enzim Laktase ini terdapat di bagian luar pada brush border mukosa usus halus, dan
jumlah yang sedikit.1,9
Epidemiologi

Sekitar 70% dari penduduk dunia mengalami intoleransi laktosa. Dari semuanya itu,
penduduk di Eropa memiliki tingkat kejadian paling rendah, sedangkan di Asia serta Afrika
memiliki tingkat kejadian toleransi laktosa yang paling tinggi. Di Amerika terdapat lebih dari 50
juta orang menderita intoleransi laktosa. Jenis kelamin tidak memiliki peran dalam kasus
intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa ini sering muncul pada anak usia mulai 2 tahun keatas,
karena produksi enzim laktase diprogram secara genetik untuk menurun pada usia tersebut.
Namun tidak menutup kemungkinan pada usia dibawah 2 tahun dapat menderita intoleransi
laktosa (khususnya bayi-bayi prematur).1

Patogenesis

Hidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa terjadi di dalam usus halus memerlukan
enzim laktase. Bila terjadi defisiensi laktase baik primer maupun sekunder, maka pencernaan
laktosa akan terganggu. Bila ada defisiensi laktase, laktosa tidak akan didigesti akibatnya tidak
ada penyerapan oleh mukosa usus halus. Laktosa yang tidak diserap oleh bakteri (terutama
Escherichia coli) yang banyak didalam usus akan merubah laktosa tersebut menjadi asam
organik, antara lain: laktat, asam format, asam asetat, propionate, dan asam butirat disamping
gas CO2 dan hydrogen. Pembentukan asam organik ini akan meningkatkan osmolaritas didalam
lumen usus, sehingga akan menarik air, dan elektrolit dari mukosa ke dalam lumen.
Penambahan volume lumen usus akan menyebabkan rasa mual, muntah dan
peningkatan peristaltik. Peristaltik usus yang meninggi menyebabkan waktu transit usus makin
pendek sehingga mengurangi kesempatan untuk digesti dan absorpsi. Laktosa dan air/elektrolit
yang tidak diserap meninggalkan usus halus sampai di kolon. Di kolon, laktosa ini akan
difermentasi oleh flora normal menjadi gas (CO2, H2, dan CH4), asam lemak rantai pendek
(butirat, propional dan asetat) dan asam laktat. Pembentukan gas menyebabkan perut
kembung dan sakit perut. Pembentukan gas hidrogen oleh flora di kolon dapat dideteksi di
udara pernafasan. Ini yang menjadi dasar uji hidrogen pernafasan. Disamping itu, pembentukan
asam lemak rantai pendek ini berguna untuk nutrisi kolon, membantu absorpsi air/elektrolit
dan motilitas kolon.

Akibatnya pada intoleransi laktosa ditemukan peningkatan peristaltik, pH tinja bersifat


asam (<6), dan tingginya gas hydrogen. Banyaknya gas didalam usus akan menyebabkan
peregangan saluran pencernaan yang juga menimbulkan rasa nyeri. Pada defisiensi laktase
sekunder kondisi yang bertanggung jawab untuk kekurangan laktase meliputi infeksi akut
(misalnya, rotavirus). Infeksi menyebabkan usus kecil cedera dengan hilangnya laktase yang
terkandung pada sel epitel dari ujung vili tersebut. Sel epitel yang belum matang yang
mengganti mengandung laktase yang lebih sedikit, menyebabkan kekurangan laktase
sekunder.10

Gejala Klinis

Laktosa yang tidak tercerna akan menumpuk di usus besar dan terfermentasi,
menyebabkan gangguan pada usus seperti nyeri perut, kram, kembung, bergas, dan mual serta
diare yang sangat frekuen, cair (watery), bulky dan berbau asam, meteorismus, flatulens dan
kolik abdomen. Pada anak-anak memiliki gejala yang sedikit berbeda yaitu, diare berbuih, ruam
gatal dan kadang-kadang muntah. Tanda kemerahan pada sekitar anus menunjukkan tinja yang
asam.

Tingkat keparahan gejala-gejala tersebut bergantung pada seberapa banyak laktosa


yang dapat ditoleransi oleh masing-masing tubuh. Selain itu, pertumbuhan anak akan terlambat
bahkan tidak jarang terjadi malnutrisi. Gejala klinis diatas dapat timbul pada 30 menit hingga 2
jam setelah mengkonsumsi susu dan produk-produk susu (misalnya mentega, keju).

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada intoleransi laktosa dapat berupa bermacam hal,
pada masa pertumbuhan apabila terjadi intoleransi laktosa akan mengakibatkan pertumbuhan
pada anak yang terlambat, dehidrasi karena diare terus-menerus, dan gangguan keseimbangan
elektrolit dan cairan.

Penatalaksanaan
Pada bayi yang mengalami intoleransi laktosa pengobatan dilakukan dengan pemberian
susu rendah laktosa (LLM, Almiron, eiwit melk) atau Free lactose milk formula (sobee, Al 110)
selama 2-3 bulan kemudian diganti kembali ke susu formula yang biasa. (kadar laktosa Almiron
1,0%, eiwit melk 1,4%, LLM 0,8%, Sobee 0% dan Al 110 (0%). Pada intoleransi laktosa
sementara, sebaiknya diberikan susu rendah laktosa selama 1 bulan sedangkan pada penderita
dengan intoleransi laktose primer (jarang di Indonesia) diberikan susu bebas laktosa. Pasien
diedukasi untuk tidak mengkonsumsi segala bahan makanan yang mengandung laktosa
(misalnya susu mamalia dan turunannya seperti keju).11
Respon klinis terhadap pemberian diet bebas laktosa merupakan suatu alternatif untuk
pemeriksaan tinja atau uji diagnostik spesifik. Pembatasan laktosa seharusnya menghasilkan
penyembuhan cepat diarenya dalam 2-3 hari, jika ada defisiensi laktase. Harus bisa
membedakan intoleransi laktosa dengan keadaan sensitif terhadap protein, gastroenteritis akut
tidak memicu sensitivitas susu. Cukup beralasan bila susu sapi diganti dengan susu formula susu
kedelai jika dicurigai intoleransi laktosa karena formula susu kedelai mengandung tepung rantai
pendek atau sukrosa sebagai sumber gulanya. Apabila ada dehidrasi dan anak masih ASI,
lanjutkan pemberian ASI tanpa ragu karena di dalam ASI juga terdapat enzim laktase yang
dapat membantu mencerna laktosa. Dan berikan oralit satu setengah gelas pada 3 jam pertama
ia diare kemudian dilanjutkan setengah gelas sisanya setiap dia diare sampai diarenya
berhenti.12

Pencegahan
Jika anak mengalami diare dengan dugaan penyebabnya intoleransi laktosa, yang utama
apabila anak minum susu sapi atau formula, maka pemberian susu tersebut harus dihenti.
Selain itu, pencegahan untuk intoleransi laktosa adalah dengan mengkonsumsi makanan bebas
laktosa atau rendah laktosa seperti susu kedelai dan susu laktose free. Pencegahan jika diare
disebabkan oleh keracunan makanan dapat berupa :
1. Memanaskan makanan kaleng sebelum dikonsumsi
2. Memasak dan mengolah makanan dengan higienis
3. Menggunakan sarung tangan bagi pekerja food handler, koki, industri rumahan
4. Menjauhkan sumber reservoar dari tempat pengolahan makanan/ penyimpanan
makanan
5. Menyimpan makanan sesuai dengan suhu yang dianjurkan.

Prognosis
Prognosis untuk intoleransi laktosa umumnya baik jika ditangani dengan tepat untuk
mencegah diare yang terus menerus dan tidak terjadi dehidrasi yang dapat menyebabkan
kematian.
Kesimpulan
Laktosa adalah disakarida yang dipecah oleh enzim laktase, suatu enzim pencernaan
yang terdapat dalam usus halus. Intoleransi laktosa adalah berkurangnya kemampuan untuk
mencerna laktosa, yang disebabkan oleh kekurangan enzim laktase sehingga menimbulkan
gejala-gejala intoleransi laktosa meliputi antara lain: perut kembung (banyak gas), sakit perut
dan diare. Penatalaksanaan penderita intorelansi laktosa meliputi: diet rendah atau bebas
laktosa, pemberian probiotik dan enzim laktase.
Daftar Pustaka

1. Egayanti, Yusra. Kenali intoleransi lebih lanjut dalam infoPOM vol. 9. No.1 Januari 2008, hal.
1-3.
2. McPlace SJ. Ganong WF. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran klinis. 5 th ed.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2010.h. 404-5.
3. Hull D, Johnson DI. Dasar-dasar pediatri. Jakarta: EGC; 2008.h. 162-3.
4. Bickley S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-5. Jakarta: EGC,
2006.
5. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007.h.42-3.
6. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FK UI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Edisi ke-11.
Jakarta: Info medika; 2007. h. 298-9.
7. Heyman, Melvin. Lactose Intolerance in Infants, Children, and Adolescents. Pediatrics,
vol.118. Edisi ke-3. September 2006.h.1279-86.
8. S Pitono, Sutjiningsih, Djupri LS. Intoleransi protein susu sapi : gastroenterologi anak praktis.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Cetakan ke-3.h.199-207.
9. Berhman E, Arvin AM, Kliegman RM. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi ke-15. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. h.1355-8.
10. Sinuhaji AB. Intoleransi Laktosa. Majalah Kedokteran Nusantara: Jakarta; 2006. Hal 424-
29.
11. Arifin Z. Peran Prebiotik pada Tatalaksana Intoleransi Laktosa pada Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2006. Hal 223-25.
12. Sutomo B, Anggraini DY. Makanan sehat pendamping ASI. Jakarta: Demedia; 2010.h.
448.

Anda mungkin juga menyukai