Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

EPIDEMIOLOGI LANJUT

“PERAWATAN LANJUTAN DAN KRITIS PASIEN DENGAN SARI


PATOFISIOLOGI SEPSIS DAN ARDS”

Disusun oleh
WILIS MILAYANTI (K012192014)

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wataala, karena berkat rahmat
dan karunia-Nyalah, sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.
Makalah ini dibuat dan disusun dengan mengacu pada satuan pendidikan dan bahan
ajaran yang diberikan oleh pembina. Penulis amat menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya.
Makalah ini dibuat berdasarkan pencarian referensi yang ada. dan bimbingan dari
pembina dan teman-teman, mudah-mudahan segala bimbingan dan bantuan yang diberikan
bernilai ibadah di sisi Allah subhanahu wataala, dan penulis ucapkan banyak terima kasih.
Semoga petunjuk, rahmat dan karunia Allah subhanahu wataala, senantiasa tercurahkan
kepada kita sekalian untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan Indonesia.

Makassar, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I Pedahuluan
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................2
BAB II Pembahasan...........................................................................................3
BAB V Penutup
A. Simpulan..............................................................................................17
B. Saran....................................................................................................18
Daftar Pustaka..................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepsis adalah SIRS (Systemic Inflamatory Respons Syndrome) ditambah
tempat infeksi yang diketahui atau ditentukan dengan biakan positif dari organisme
dari tempat tersebut. Sedangkan SIRS itu sendiri memiliki dua atau lebih kriteria
sebagai berikut: 1. Suhu >38oC atau 90 denyut/menit; 3. Respirasi >20/menit atau pa
CO2 12.000/mm3 atau 10% sel imatur (band) (Hermawan, 2010). Sepsis merupakan
penyakit yang sering terjadi di ICU dan merupakan salah satu penyebab kematian
tersering yang masih ada di jaman sekarang. Salah satu komplikasi dari sepsis yang
banyak dijumpai adalah Acute Respiratory Distrees Syndrome (ARDS). Angka
kejadian pada pasien di ICU masih sering di temukan di Indonesia.
Pada beberapa penelitian sebelumnya banyak yang mengatakan bahwa angka
kejadian ARDS yang berhubungan dengan komplikasi sepsis di ICU masih sangat
tinggi. Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam
data text book adalah 2-8% untuk Sepsis yang berkomplikasi ke ARDS (Hermawan,
2010). Tapi sudah menurun jika dibandingkan dengan angka kejadian di tahun-tahun
sebelumnya. Oleh sebab itu sangat penting untuk dilakukan penelitian mengenai
angka kejadian komplikasi sepsis yaitu ARDS agar semakin berkurang angka
kejadiannya dan resiko kematian akibat komplikasi tersebut semakin menurun.
Beberapa penyebab kejadian ARDS masih menjadi masalah penelitian yang
terus dikaji kebenarannya. Faktor yang berkaitan dengan komplikasi tersebut antara
lain adalah gagal nafas dengan onset akut, PaO2/FIO2 <200mmHg sampai
hipoksemia berat, radiografi thorak sesuai dengan edema paru dan tekanan baji
kapiler pulmoner <18 mmHg tanpa tanda klinis hipertensi atrial kiri (Susanto, 2012).
Selain itu juga bsa sangat mungkin diatasi dengan menangani masalah sepsis yang
sebelumnya terjadi yaitu tentang stabilisasi pasien, pemberian antibiotik yang
adekuat, fokus infeksi awal harus dielimisasi, pemberian nutrisi yang adekuat, dan
terapi suportif lainnya.
ARDS adalah salah satu penyakit paru akut yang memerlukan perawatan di
Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang tinggi yaitu 60%
(Susanto, 2012). Sedangkan data mortalitas dari kejadian ARDS di Amerika adalah
sebanyak 40 % dari keseluruhan kasus yang ditemukan. Pada penelitian yang lain
didapatkan bahwa mortalitas pasien ARDS yang sebelumnya terkena sepsis lebih
tinggi dari pasien yang hanya terkena ARDS (Seu CC.,dkk, 2010).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat  disimpulkan rumusan masalah,
yaitu : menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Sepsis dan ARDS serta
menjelaskan tentang faktor fisiologi pada sepsis dan ARDS.

C. Tujuan
Adapun tujuan dari masalah ini yaitu menjelaskan tentang sepsis dan ARDS
serta mengetahui faktor fisiologi pada sepsis dan ARDS.
BAB II
PEMBAHASAN
1. SEPSIS
A. Definisi Sepsis
Sepsis adalah kumpulan gejala sebagai manifestasi respon sistemik terhadap
infeksi. Respon inflamasi sistemik adalah keadaan yang melatarbelakangi sepsis.
Respon ini tidak hanya disebabkan oleh adanya bakteriemia, tetapi juga oleh sebab-
sebab lain. Demam atau hipotermi, leukositosis atau leukopeni, takipneu, dan
takikardi adalah tanda utama atau respon sistemik, yang kemudian dinamakan sebagai
systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Penyebab SIRS mungkin infeksi
ataupun tidak terdapat infeksi. Jika penyebabnya adalah infeksi atau ditemukan
adanya suatu infeksi bakteri, maka pasien menderita penyakit yang dinamakan sepsis.
Ketika sepsis berhubungan dengan kerusakan organ yang jauh dari tempat infeksi,
maka dinamakan severe sepsis.
Sepsis adalah, respon sistemik tubuh terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis
berat (disfungsi organ akut sekunder untuk dicurigai adanya infeksi) dan syok septik
(sepsis berat ditambah hipotensi tidak terbalik dengan resusitasi cairan). Sepsis berat
dan syok septik masalah kesehatan utama, yang mempengaruhi jutaan orang di
seluruh dunia setiap tahun, membunuh satu dari empat (dan sering kali lebih), dan
kejadiannya masih meningkat. Mirip dengan politrauma, infark miokard akut, atau
stroke, kecepatan dan ketepatan terapi diberikan dalam jam awal setelah sepsis berat
berkembang cenderung mempengaruhi hasil.
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory
response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Sepsis juga
dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Adapun bukti klinisnya sebagai
berikut:
1. Demam (>38,3°C)
2. Hipotermia (suhu pusat tubuh < 36°C)
3. Heart rate > 90/menit atau lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal usia
4. Takipneu
5. Perubahan status mental
6. Edema signifikan ataukeseimbangan cairan positif (> 20 mL/Kg lebih dari 24
jam)
7. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7,7 mmol/L) dan tidak diabetes
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi,
atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status
mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40
mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1
jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial
rata-rata ≥70 mmHg.
B. Epidemiologi sepsis
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus
sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun
1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian
sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar
660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di
Amerika Serikat.
Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika Serikat. Dari
jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian).
Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat
kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut.
C. Etiologi sepsis
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme
kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus,
Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan
suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme
penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok
septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat
yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya
ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum,
urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,
tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses
oleh kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi
dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama,
terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi
medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya
pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan
panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
D. Patofisiologi
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk
ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan
jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul
reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya
tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada
tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem
imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan
dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons
imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan
antara regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan
mikroorganisme penyebab infeksi..
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis.
Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram
negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif
(misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen
parasit.
Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel
imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki
tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-
membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB
(NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor
necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu
produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-
activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang
menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan
produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik
menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil.
Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat.
Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke
dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya
memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi,
meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab
hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ dan kematian.
Terdapat beberapa patofisiologi terjadinya sepsis, yaitu gangguan koagulasi,
disfungsi seluler, dan gangguan metabolik.
1. Gangguan Koagulasi
Dalam keadaan tubuh yang normal, terjadi homeostasis yang baik sehingga
darah dapat mengalir dalam tubuh dan pembekuan darah dapat terjadi pada saat
yang diperlukan untuk mengontrol perdarahan. Namun, pada sepsis terjadi
perubahan pada sistem koagulasi dan sel yang mengatur sistem tersebut.
Terjadi peningkatan penggunaan trombosit dan waktu pembekuan darah akan
meningkat. Homeostasis menjadi terganggu sehingga terjadi penyumbatan
pembuluh darah. Produksi faktor-faktor prokoagulan pun akan meningkat
sehingga sumsum tulang akan menghasilkan sel darah putih ke dalam sirkulasi.
Efek lokal tersebut dapat menyebabkan terjadinya koagulopati sistemik.
Akibat adanya gangguan koagulasi, trauma sel endothelial, dan abnormalitas
aliran darah, terjadi gangguan perfusi jaringan dan akhirnya jaringan mengalami
hipoksia.

2. Disfungsi Selular
Terdapat beberapa aspek seluler yang mengalami gangguan fungsi pada saat
kondisi sepsis, yaitu adanya apoptosis limfosit, hiperaktivitas neutrofil, dan
kegagalan sel endotelial.
a. Apoptosis Limfosit
Limfosit merupakan sel penting dalam tubuh dalam melawan infeksi.
Pada pasien sepsis terdapat apoptosis yang signifikan pada limfosit, terutama
pada limpa dan timus. Adanya apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab
terjadinya penurunan fungsi limfosit pada pasien sepsis sehingga terjadi
kegagalan produksi sitokin.
b. Hiperaktivitas Neutrofil
Neutrofil juga merupakan komponen penting dalam sistem imun
bawaan sebagai respon terhadap adanya infeksi. Dalam keadaan normalnya,
neutrofil dalam sirkulasi memiliki waktu hidup yang singkat, sekitar 24 jam.
Namun, pada pasien sepsis terdapat penundaan apoptosis neutrofil. Hal ini
menyebabkan neutrofil lebih lama beredar dalam sirkulasi dan menyebabkan
aktivasi faktor nuklear kB serta penurunan level caspase 3. Hal ini
mengakibatkan pertambahan jumlah sel teraktivasi yang berlebih dan dapat
berpotensi menimbulkan trauma pada organ.
c. Kegagalan Sel Endotel
Gangguan endotelial terjadi akibat adanya peningkatan ekspresi
molekul adhesi pada sel endotel. Hal ini menyebabkan sel darah putih
cenderung menempel pada dinding sel dan terjadi gangguan sistem koagulasi.
3. Gangguan Metabolik
Pada pasien sepsis, terjadi kerusakan dan disfungsi pada mitokondria. Hal ini
menyebabkan energi yang dihasilkan menurun. Akibatnya, terjadi disfungsi organ
secara perlahan dan viabilitas sel dalam menjalankan fungsinya menurun.
Gagal ginjal akut, depresi miokard, disfungsi liver, ensefalopati, dan
kegagalan paru akut dapat terjadi. Selain itu, terjadi peningkatan katabolisme pada
sepsis tingkat lanjut. Dapat terjadi penurunan substansi massa otot pada pasien
dengan kegagalan multi organ. Penurunan sensitivitas insulin dan hiperglikemia
juga dapat terjadi pada pasien dengan sepsis lanjut.

Determinan Adaptasi fisiologis terhadap syok septik dan


CO implikasi untuk perawatan

Preload  Underfilling ventrikel dan hipovolemia sering terjadi pada sepsis.


 Pemuatan fluida adalah intervensi utama untuk meningkatkan preload.
Detak  Peningkatan Detak jantung untuk mengkompensasi syok septik dewasa dan anak-
Jantung anak.
 Anak-anak memiliki denyut jantung basal yang lebih tinggi dan memiliki
cadangan denyut jantung yang lebih sedikit.
 Ambang denyut jantung adalah target resusitasi pada anak-anak.
Afterload  Nada vaskular dapat bervariasi sebagai respons terhadap sepsis-dari perifer
berbintik dingin (dingin) ke vasodilatasi dengan tekanan nadi lebar (hangat).
 Vasopresor digunakan untuk meningkatkan tekanan perfusi pada orang dewasa
dan
anak-anak.
Kontraktilita  Fungsi miokard dapat bervariasi sebagai respons terhadap sepsis; dari disfungsi
s menjadi fungsi hyperdynamic.
 Inotrop dapat meningkatkan disfungsi jantung, jika ada.

E. Tatalaksana Syok Septik


1. Kenali septic shock pada pasien dewasa suspek atau terkonfirmasi vasopresor
dibutuhkan untuk menjaga MAP ≥ 65 mmHg, laktat ≥ 2mmol/L, jika tidak
terjadi hipovolemia.
2. Kenali septic shock pada pasien anak dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
[TDS] < persentil 5 atau SD > 2 di bawah normal usianya) atau dua dari gejala
berikut: perubahan status mental; takikardia atau bradikardia (denyut jantung <
90 x/menit atau > 160 x/menit pada bayi dan < 70 x/menit atau > 150 x/menit
pada anak); kenaikan waktu pengisian ulang kapiler (> 2 detik) atau denyut yang
lemah; takipnea; kulit berbintik atau kulit dingin atau ruam petekie atau purpura;
peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.

F. Rekomendasi yang Mengalami Syok Septik


1. Untuk resusitasi septic shock pada pasien dewasa, beri cairan cairan kristaloid
250-500mL sebagai bolus cepat dalam 15-30 menit pertama dan perhatikan lagi
tanda-tanda kelebihan cairan setelah setiap bolus.
2. Untuk resusitasi septic shock pada pasien anak, beri cairan cairan kristaloid 10-
20mL/kgBB sebagai bolus cepat dalam 30-60 menit pertama dan perhatikan lagi
tanda-tanda kelebihan cairan setelah setiap bolus.
3. Pada pasien dewasa, berikan vasopresor jika renjatan tetap terjadi selama atau
setelah resusitasi cairan. Tekanan darah awal adalah MAP ≥ 65 mmHg pada
pasien dewasa dan peningkatan penanda perfusi.
4. Pada pasien anak, berikan vasopresor jika:
a) Tanda-tanda renjatan seperti perubahan status mental; bradikardia atau
takikardia (denyut jantung < 90 denyut/menit atau > 160 denyut/menit pada
bayi dan denyut jantung 70 denyut/menit atau 150 denyut/menit pada pasien
anak); kenaikan waktu pengisian ulang kapiler (> 2 detik) atau denyut yang
lemah; takipnea; kulit berbintik atau kulit dingin atau ruam petekie atau
purpura; peningkatan laktat; oliguria tetap ada setelah dua bolus ulang; atau
b) Target tekanan darah sesuai umur tidak tercapai; atau
c) Tampak tanda-tanda kelebihan cairan.

G. Tahapan perkembangan sepsis


Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini
sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai
mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati.
3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke
tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan
oksigen yang cukup.
Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok
septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian
(National Health Service UK, 20013).

2. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)


A. Definis ARDS
Acute Respiratory Distress Syndrome atau disingkat ARDS adalah kondisi
yang muncul ketika cairan mengumpul di alveoli, yaitu kantung udara kecil dan
elastis pada paru-paru. Cairan biasanya merembes dari pembuluh darah kecil.
ARDS biasa juga dikenal dengan sidrom gangguan pernapasan akut. Acute
respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut yang
memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%.
ARDS adalah sindrom dengan beberapa faktor risiko yang memicu timbulnya
akut insufisiensi pernapasan. Mekanisme patogenik bervariasi tergantung pada
faktor pemicu, tapi seperti yang ditunjukkan pada temuan otopsi, ada sejumlah fitur
umum paru patologis, seperti peningkatan permeabilitas yang tercermin edema
alveolar karena kerusakan sel epitel dan endotel, dan infiltrasi neutrofil pada fase
awal ARDS. 18 Kriteria ARDS terbaru adalah konferensi Berlin tahun 2011, ada
beberapa modifikasi (oksigenasi, waktu onset akut, X-ray thoraks, dan kriteria
tekanan baji) di Berlin yang di lebur dengan definisi AECC.18 Pada definisi di
Berlin, ARDS di klasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan rasio
PaO2/FiO2. Yang penting nilai rasio PaO2/FiO2 dianggap hanya dengan CPAP
atau nilai PEEP minimal 5 cm H2O
B. Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat
berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi
sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan
produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan
merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS
berkisar antara 30-50%. Data pada tahun 2016 menunjukkan, dari 50 negara, prevalensi
ARDS mencapai 10,4% dari total pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU).
Faktor resiko lain yang dapat mengakibatkan ARDS adalah cedera paru langsung
(paling sering aspirasi lambung) merupakan penyebab non sistemik dari ARDS. Selain itu
beberapa faktor resiko lain seperti bakteriemia, trauma, fraktur, terbakar, pneumonia,
overdosis obat, TBC milier, luka berat, transfusi berulang, dan juga Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC). Faktor risiko umum ARDS dibagi menjadi faktor risiko
langsung dan tidak langsung. Berikut adalah tabel faktor risiko umum pada ARDS.

C. Patogenesis
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada
ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan
kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Terdapat tiga fase
kerusakan alveolus:
1. Fase eksudatif: ditandai dengan edema intertisial dan alveolar, nekrosis sel
pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membran basalis, pembengkakan
sel endotel dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran
hialin pada duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga
ditemukan hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru.
2. Fase proliferatif: paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai
proliferatif sel epitel pneumosit tipe II,
3. Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.

Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan prognosis. Epitelium


alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel pneumosit
tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih
yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah
pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi
10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas
metabolik intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten
terhadap kerusakan. Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan
kesulitan dalam mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan
pada fase akut terjadi pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan
pembentukan membran hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang
gundul. Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial
dipenuhi cairan yang kaya akan protein. Keberadaan mediator anti inflamasi,
interleukin-1-receptor antagonists, soluble tumor necrosis factor receptor, auto
antibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10 menjaga keseimbangan
alveolar.

D. Patofisiologi
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru
interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis
kongestif difus. Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang
menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan
osmotik protein dan hidrostatik :
Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya
edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi
ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke
interstitial. Cairan kapiler tersebut akan mengencerkan protein intertsitial sehingga
tekanan osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam
vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
(alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan
compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak
mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan
osmotik. Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga
paru menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner,
ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF,
semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang
ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan
curah jantung akan menurun 40%. Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena
pengumpulan asam laktat selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur
metabolik maupun respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang
sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume paru,
kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan kapasitas difusi.
Penyebab Hipoksemia pada ARDS
1. Intrapulmonary Shunt
a. Bentuk ventilasi yang parah ketidakcocokan perfusi (Ventilasi / Q(perfusi)):
- area paru-paru perfusi tetapi tidak berventilasi (V / Q <1).
b. Meningkatkan FiO2 tidak mudah meningkatkan hipoksemia:
- PEEP dapat merekrut yang runtuh
alveoli dan meningkatkan shunt.
2. Ventilasi Terbuang (Ventilasi Ruang Mati)
a. Area paru-paru yang berventilasi tetapi tidak perfusi
- karena penyumbatan pembuluh darah dari trombosis atau kerusakan yang
terkait dengan peradangan
- Vd / Vt = (PaCO2 - P kadaluarsa CO2) / PaCO2.
b. Jika ada, terkait dengan prognosis yang lebih buruk pada ARDS.
c. Dapat menyebabkan asidosis respiratorik berat.
3. Kenali ARDS dengan Rasio S/F atau P/F
a. Diagnosis tradisional dengan gas darah arteri
PaO2 ÷ Rasio FiO2 <300
b. Tekanan parsial arteri O2 ÷ oleh fraksi O2 dalam gas inspirasi.
c. Diagnosis samping tempat tidur lebih mudah dengan pulse oximeter

d. Diagnosis Klinis
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang
menjadi faktor risiko ARDS. Tandanya adalah takipnea, retraksi intercostal, adanya
ronkhi kasar yang jelas dan adanya gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak
respons dengan pemberian oksigen. Bisa juga dijumpai hipotensi dan febris. Sebagian
besar kasus disertai dengan mutiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang
umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem kardiovaskuler dan saluran cerna
seperti perdarahan saluran cerna.
e. Klasifikasi
Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok berdasarkan
nilai PaO2/FiO2. Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) dalam kriteria ini.
Berikut merupakan definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin:
a. ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang dari dan
sama dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure (PEEP) atau
continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O.
b. sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari dan sama
dengan 200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O. c. berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤
100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
f. Diagnosis
Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut ini.
1. Akut, yang berarti onset berlangsung satu minggu atau kurang dari itu.
2. Opasitas bilateral yang konsisten dengan edema paru yang dideteksi dengan CT
scan atau foto polos toraks.
3. PF ratio kurang dari 300 mmHg dengan minimal nilai PEEP atau CPAP
sebesar5 cmH2O.
4. Tidak dapat dijelaskan sebagai gagal jantung atau overload cairan. Pemeriksaan
objektif dapat dilakukan (misalnya ekokardiografi), pada beberapa kasus jika
tidak ada penyebab yang jelas seperti trauma atau sepsis.
g. Tata Laksana
Aspek esensial dalam tata laksana pasien dengan ARDS adalah mengobati
penyebab presipitasi, menyediakan perawatan suportif yang baik, dan mencegah
komplikasi lanjut. Ventilasi volume tidal rendah (6 mL/kg BB ideal) sebaiknya
diberikan pada semua pasien dengan ARDS. Hal ini dapat menurunkan ventilasi per
menit lalu meningkatkan PaCO₂. Positive end expiratory pressure (PEEP) biasanya
diperlukan untuk menjaga oksigenasi dalam level yang adekuat. Posisi pronasi juga
dapat dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi namun tidak berkaitan dengan
penurunan mortalitas. Tidak ada terapi spesifik yang efektif untuk pasien dengan
ARDS. Penerapan strategi pemberian cairan, menjaga tekanan vena sentral serendah
mungkin akan mempersingkat masa pemakaian ventilasi mekanik. Berdasarkan
beberapa penelitian, penggunaan kortikosteroid dan nitric oxide tidak
direkomendasikan pada ARDS.Terapi non-konvensional seperti memposisikan pasien
dalam posisi tengkurap (prone position), memberikan efek dalam meningkatkan
oksigenasi dan berhubungan dengan menurunkan mortalitas.
Tata Laksana ARDS menurut WHO:
1. Kenali kegagalan pernapasan hipoksemik berat jika tidak ada tanggapan dari pasien gawat
pernapasan terhadap terapi oksigen standar dan persiapkan dukungan oksigen/ventilasi
lanjutan.
Catatan: Pasien dapat tetap mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemia
walaupun sudah diberi oksigen melalui sungkup tutup muka dengan kantong reservoir (aliran
10-15 L/menit, yang biasanya adalah aliran minimal yang diperlukan agar kantong tetap
mengembang; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Kegagalan napas hipoksemia pada ARDS biasanya
terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan intrapulmoner dan
biasanya memerlukan ventilasi mekanis
2. Intubasi endotrakea harus dijalankan oleh petugas terlatih dan berpengalaman dengan
menerapkan kewaspadaan airborne.
3. Catatan: Pasien ARDS, terutama pasien anak kecil atau pasien dengan kondisi obesitas atau
hamil, dapat dengan cepat mengalami desaturasi selama intubasi. Berikan preoksigenasi
dengan 100% FiO2 selama 5 menit, melalui sungkup wajah dengan kantong reservoir,
sungkup berkatup pembatas kantong, oksigen high-flow nasal oxygen (HFNO) atau NIV.
Intubasi urutan cepat (rapid-sequence intubation) dapat dilakukan setelah penilaian saluran
pernapasan tidak menemukan tanda kesulitan intubasi
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana patogen
atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi.
2. Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan
oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal
yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus,
Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan.
3. Acute Respiratory Distress Syndrome atau disingkat ARDS adalah kondisi yang
muncul ketika cairan mengumpul di alveoli, yaitu kantung udara kecil dan elastis
pada paru-paru. Cairan biasanya merembes dari pembuluh darah kecil. ARDS biasa
juga dikenal dengan sidrom gangguan pernapasan akut.
4. Pada sepsis, infeksi menyebabkan respons inang yang tidak teratur menyebabkan
peradangan luas dan koagulasi berubah yang melukai microvasculature,
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, hipovolemia,
hipoperfusi, Disfungsi dan syok organ yang mengancam jiwa (paling parah) bentuk).
5. Pada ARDS ada proses inflamasi yang luar biasa itu melukai alveoli, yang dibanjiri
edema kaya protein cairan. Runtuhnya alveolar menciptakan perfusi ventilasi luas
ketidakcocokan; secara klinis, pasien datang dengan kondisi yang berat dan refrakter
hipoksemia.

B. SARAN
Adapun saran yaitu hendaknya kalangan medis dapat meningkatkan
pengetahuannya mengenai sepsis dengan mengikuti perkembangan patofisiologi dan
teknik pengobatannya, mengingat patofisiologi sepsis yang selalu mengalami
perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan AG. Sepsis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, KMS, Setiani S (eds.)Ilmu
Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2010. p2889-2895
Amin Z, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, KMS, Setiani S (eds.)Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2010. p234-241
Susanto YS, Sari FR. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). Jurnal Respirologi Indonesia.2012;32(1):44-52
Rubenfeld GD, Caldwell E, Peabody E, Weaver J, Martin DP, Neff M, et al. Incidence and
Outcomes of Acute Lung Injury. N Engl J Med.2005;353(16):1685-1693
Sheu CC, Gong MN, Zhai R, Chen F, Bajwa EK, Clardy PF, et al. Clinical Characteristics
and Outcomes of Sepsis-Related vs Non-Sepsis-Related ARDS.
Chest.2010;138(3):559-567
Munford RS. Severe Sepsis and Septic Shock. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Jameson JL, Loscalzo J (eds.)Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2012. p2223-2231
Matthay MA, Ware LB, Zimmerman GA. The Acute Respiratory Distress Syndrome. J Clin
Invest.2012;122(8):2731-2740
Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome. www.medscape.com (accessed 14
February 2013)
Dahlan MS. Mendiagnosis dan Menata Laksana 13 Penyakit Statistik: Disertai Aplikasi
Program Stata. 7th ed. Jakarta. Sagung Seto; 2010
Lapau B. Metode Penelitian Kesehatan Metode Ilmiah Penulisan Skripsi, Tesis, dan
Disertasi. 1st ed. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia; 2012

Anda mungkin juga menyukai