Anda di halaman 1dari 21

Aksiologi Ilmu

Disusun guna memenuhi tugas tersruktur mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Dimas Indiana Senja

Disusun Oleh:
Umi Makhmudah (1522201071)
Arif Sukirno (1617404005)
Dewi Riyani Puspitasari (1617404009)
Novita Retnani (1617404034)
Rofiq Anwarudin (1617404041)

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

2018
A. Aksiologi Ilmu
1. Definisi aksiologi ilmu
a. Berdasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios yang
berarti nilai dan logis yang berarti ilmu. Dapat disimpulkan
aksiologi adalah ilmu tentang nilai.
b. Berdasarkan pendapat Jujun S. Suriasumantri, aksiologi adalah
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.
c. Berdasarkan pendapat Bramei, aksiologi terbagi dalam tiga bagian
penting antara lain:
i. Tindakan moral yang melahirkan etika.
ii. Ekspresi keindahan yang melahirkan estetika.
iii. Kehidupan sosial politik yang melahirkan filsafat sosial
politik.
d. Dalam Encyclopedia of Philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi
disamakan dengan value dan valuation. Dalam hal ini nilai
dianggap sebagai nilai memberi nilai dan dinilai. Richard Laningan
sebagaimana dikutip Efendi mengatakan bahwa aksiologi yang
merupakan kategori keempat dalam dilsadar merupakan studi etika
dan estetika. Hal ini berarti bahwa aksiologi berfokus pada kajian
terhadap nilai-nilai manusiawi serta bagaimana cara
mengekspresikannya.

2. Nilai

e. Karakteristik Nilai
i. Bersifat abstrak; merupakan kualitas.
ii. Inheren pada objek.
iii. Bipolaritas, yaitu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
iv. Bersifat hierarkis; nilai kesenangan, nilai vital, nilai
kerohanian, nilai kekudusan.
f. Subjektif dan objektif nilai
Sebuah nilai bisa menjadi subjektif dan objektif tergantung pada
perasaan dan intelektualitas yang hasilnya akan mengarah pada
perasaan suka dan tidak suka, senang atau tidak senang. Nilai akan
subjektif jika subjek sangat berperan dalam segala hal. Sementara nilai
akan objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atas kesadaran yang
menilai (Bahtiar, 2004). Seorang ilmuwan diharapkan tidak punya
kecenderungan memiliki nilai subjektif, tapi lebih pada nilai objektif,
sebab nilai ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Nilai
ini tidak semata hanya bergantung pada pendapat individu, tapi lebih
pada objektivitas fakta.

g. Logika

Logika pada dasarnya ialah suatu teknik yang digunakan untuk


meneliti ketepatan dalam penalaran, agar tidak terjadi kesalahan,
kekeliruan, atau kesesatan. Francis Bacon dalam bukunya “Novum
Organum” sebagaimana dikutip Mundiri mengatakan beberapa jenis
kekeliruan:

i. Idols of the cave, yaitu kekeliruan yang disebabkan oleh


pemikiran yang sempit.
ii. Idols of the tribe, yaitu kekeliruan yang disebabkan oleh
hakikat manusia yang secara individu merasa dirinya
berasal dari suku, bangsa, dan ras tertentu.
iii. Idols of the forum, yaitu kekeliruan yang disebabkan oleh
kurangnya penggunaan bahasa sehingga pada gilirannya
akan mengurangi kemampuan memilih kata-kata dan
menggunakannya secara tepat untuk mengungkapkan suatu
kebenaran.
iv. Idols of the market, yaitu kekeliruan pada diri seseorang
karena terlalu kaku dalam mengidentifikasi dirinya
terhadap adat, kebiasaan, dan norma-norma sosial.
h. Etika
Tujuan etika adalah agar manusia dapat mengetahui dan
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Andersen
sebagaimana dikutip Surajiyo mengatakan etika adalah sebuah situasi
yang mempelajari nilai dan landasan bagi penerapannya. Hal ini pantas
atau tidak pantas, baik atau buruk. Sebuah etika tidak akan lagi
mempersoalkan kondisi manusia tetapi sudah pada bagaimana manusia
bertindak namun demikian kita tidak dapat mengatakan bahwa sebuah
etika akan menyelesaikan persoalan praktis. Sebuah etika tidak
mengatakan pada seseorang apa yang harus dilakukannya pada situasi
tertentu. Teori etika akan membantu manusia memutuskan apakah
yang harus dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi praktis
etika adalah memberikan pertimbangan dalam perilaku.

i. Estetika

Estetika dikaitkan dengan seni karena lahir dari penilaian manusia


tentang keindahan. Kattsof sebagaimana dikutip Efendi mengatakan
estetika menyangkut perasaan, dan perasaan ini adalah perasaan indah.
Nilai keindahan tidak semata-mata pada bentuk atau kualitas objeknya,
tapi juga isi dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan
demikian sebuah estetika akan ditemukan dalam sisi lahirnya maupun
batinnya, bukan hanya sepihak. Sebagai ilustrasi, misalnya kita bangun
pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara
umum kita merasa nikmat. Dalam hal ini orang cenderung
mengalihkan perasaan tadi sebagai sifat objek itu, artinya memandang
keindahan sebagai sifat objek yang kita serap, padahal sebenarnya
tetap merupakan perasaan manusia.

3. Ilmu, Nilai, dan Tanggung jawab Ilmuwan

Ilmu sejak tahap awal sudah dikaitkan dengan tujuan tertentu. Ilmu tidak saja
digunakan untuk menguasai alam melainkan juga memerangi umat manusia
atau menguasai manusia. Sebagai ilmuwan, tidaklah terlepas dari hakikat
ilmu. Sikap sosial ilmuwan harus selalu konsisten dalam proses penelaahan
ilmu yang dilakukan. Beberapa sikap sosial yang mungkin diterapkan
ilmuwan sebagai cermin tanggungjawab sosial antara lain:

i. Menjelaskan semua masalah yang tidak diketahui


masyarakat dengan bahasa yang mudah dicerna.
ii. Memengaruhi opini dalam rangka memunculkan masalah
penting untuk segera dipecahkan.
iii. Meramalkan apa yang terjadi dengan sebuah fenomena.
iv. Menemukan alternatif objek permasalahan yang menjadi
pusat perhatian.
v. Di bidang etika, ilmuwan tidak hanya memberikan
informasi tapi juga memberikan contoh (Sumantri, 2003).

4. Kebebasan Nilai Ilmu

Dalam perkembangannya, ada 2 pihak yang saling bertentangan dalam


membahas pertanyaan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak. Pihak
positivisme menganggap ilmu harus bebas nilai. Di pihak lain ada juga yang
beranggapan ilmu tidak bisa bebas nilai karena dalam penerapannya akan
sangat dipengaruhi oleh kepentingan sosial. Dengan demikian nilai adalah
sesuatu yang masih diperdebatkan oleh banyak ilmuwan ketika memandang
nilai dari sebuah ilmu.

Menurut Saifudin seperti dikutip Mundiri, dikatakan bahwa klaim ilmu bebas
nilai berdampak kegiatan ilmiah berjalan atas dasar hakikat ilmu itu sendiri
(Mundiri, 2006).

5. Kegunaan Aksiologi terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan

Berkaitan dengan nilai guna ilmu, baik itu umum maupun agama, tak dapat
dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi semua umat
manusia. Dengan ilmu, seseorang dapat mengubah wajah dunia. Terkait hal
ini, menurut Francis Bacon seperti dikutip Jujun S. Suriasumantri, bahwa
“pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu merupakan berkah
atau justru menjadi malapetaka bagi umat manusia. Untuk mengetahui
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu digunakan, kita dapat
memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

vi. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan untuk


memahami dan mereaksikan dunia pemikiran. Jika
seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut
mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau
hendak menentang suatu sistem kebudayaan, sistem
ekonomi atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari
teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-
teori filsafat ilmu.
vii. Filsafat sebagai pandangan hidup. Dalam hal ini, semua
teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan
dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup
digunakan sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan.
viii. Filsafat sebagai metodologi dalam pemecahan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak tantangan dan
masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap kali keluar
dari pintu itu kaki selalu tersandung maka dapat
diasumsikan bahwa batu itu masalah. Kehidupan akan
dijalani dengan lebih enak bila masalah-masalah itu dapat
segera diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan
masalah, mulai dari cara paling sederhana sampai yang
paling rumit. Bila cara yang digunakan sangat sederhana,
maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.
Penyelesaian masalah yang detail biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam
kehidupan manusia.

6. Kaitan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu.


Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang kala bersifat subyektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek
yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung pada kebenaran pada
pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya menjadi
subjektif apabila subjek berperan dalam memberikan penilaian; kesadaran
manusia menjadi tolok ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang (Zamroni, 2009).

Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan


diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu
faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dan anggapan umum
terletak pada objektivitasnya. Seorang ilmuwan harus melihat realitas empiris
dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat ideologis, agama dan
budaya. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang
ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiah dan tujuannya
agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, tidak terikat pada nilai subjektif (Zamroni, 2009).

7. Nilai Filsafat Ilmu

Istilah nilai dalam bahasa inggris adalah value. Aslinya berasal dari bahasa
latin velere atau bahasa prancis kuno valoir. Nilai secara denotatif dengan harga.
Dan ketika makna itu dihubungkan dengan konsep lain, maknanya menimbulkan
interpretasi yang beragam. Umpamanya nilai atau harga dalam perspektif nilai
ekonomi, ilmu olitik, ilmu jiwa, dan sebagainya. Maka makna nilai bergantung
pada perspektif yang dimaksudkan. Dalam konteks filsafat, segala sesuatu harus
bernilai, misalnya nilai estetik, nilai etik, nilai social dan nilai biologis. Oleh
karena itu, maksud filsafat nilai adalah pembahasan paradigma aksiologis atau
segala sesuatu yang ada dan yang mukin ada yang menghubungkannya pada
hakikat fungsional seluruh pengetahuan.1

Filsafat nilai dalah kajian aksiologis yang mengedepankan jawaban atas


pertanyaan, untuk apa pengetahuan dicari mengapa harus mengamalkan
pengetahuan apa manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dari nilai mencakup dua
cabang filsafat, yaitu etika dan estetika. Yang pertama membicarakan baik dan
buruk perbuatan manusia, yang kedua membahasan keindahan dan seni dalam
kehidupan manusia.

Ada empat pendekatan dalam menilai suatu pendapat moral yaitu:

1. Pendekatan empiris-deskriptif, menyelidiki pandangan umum tentang


moralitas yang berlaku, dampak dari mengikuti norma yang telah menjadi
system social. Pendekatan ini lebih tepat dikaji oleh sosiologi, antropologi
dan psikologi
2. Penekatan fenomenologis, penyelidikan tentang kesadaran moral secara
subjektif. Maksud subjektif disini adalah membiarkan moral dan norma
secara alamiah menjelaskan dampaknya sendiri titik.
3. Pendekatan normatif, menyelidikan tentang norma social yang berlaku
umum, apakah masih memiliki relevansi dengan kehidupan manusia
dewasa ini atau harus ditolak.
4. Pendekatan metaetika, penyelidikan tentang kebenaran moral diluar
dirinya. Sebuah ilmu yang mempertanyakan kemungkinan etika sendiri
sebagai ilmu.2.Moral yang dianut yang telah menjadi sistem sosial diganti
substansinya, sehingga materi moral dapat divalidasi dengan kerangka
moral yang lain yang dipandang lebih pragmatis. Metaetika adalah metode
yang mencegah kekeliruan penelitian terhadap moral itu sendiri.3

Dalam pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai dipahami


sebagai pandangan, cita-cita, adat, kebiasaan, dan alin-lain yang menimbulkan

1
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor:PT.PENERBIT IPB PRESS), 2016. hlm.
2
Suseno, Franz Magnis (1992:44)
3
Juhaya S. Pradja, (1997 42-43)
tanggapan emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu. Dalam filsafat,
nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika4 (Salam, 1997). Logika akan
menjawab tentang persolan nilai kebenaran sehingga dengan logika akan
diperoleh keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu antara
yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan tidak baik. Adapun estitika
akan mengupas tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika biasanya erat
berkaitan dengan karya seni.

Menurut Wilardjo, sebagaimana dikutip Djubaedi dikatakan bahwa


kebenaran sebuah ilmu pengetahuan tidak pernah absolute, tetapi relative tentative
dan sementara (Salam, 1997). Dengan demikian, kebenaran ilmu pengetahuan
hanya berlaku untuk masyarakat ilmiah seiring dengan perkembangan teori yang
diakui kebenarannya pada masa sekarang, tidak selalu berlaku untuk masa yang
akan datang. Sebuah teori bukanlah harga mati yang tidak boleh disanggah, justru
demi kemajuan ilmu itu sendiri, ia harus mampu melahirkan ilmu yang baru.

Sebuah nilai bisa juga bersifat subjektif dan objektif akan sangat
bergantung pada perasaan dan intelektualitas yang hasilnya akan mengarah pada
perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Nilai akan subjektif bila
subjek sangat berperan dalam segala hal. Sementara nilai objektif, jika ia tidak
bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai ( Bahtiar 2004) seorang
ilmuan diharapkan tidak mempunyai kecenderungan memiliki nilai subektif,
tetapi lebih pada nilai objektif, sebab nilai ini tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara sosial. Nilai ini tidak semata-mata bergantung pada pendapat individu,
tetapi lebih pada objektifitas fakta.

Realisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa objek-objek


yang kita serap lewat indera adalah nyata dalam diri objek tersebut. Objek-objek
tersebut tidak bergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain
tidak bergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi,
tetapi interaksi tersebut memengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada
sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti
4
menyadari. Tokoh aliran ini antara lain Aristoteles (384-322 SM), menurut
Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda konkrit atau dalam proses-proses
perkembangannya. Bentuk (form) atau ide atau prinsip keteraturan dan materi
tidak dapat dipisahkan. Kemudian, aliran ini terus berkembang menjadi aliran
realisme baru dengan tokoh George, Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai
reaksi terhadap aliran idealisme, subjectivisme, dan absolutisme. Menurut
realisme baru: eksistensi objek tidak bergantung pada diketahuinya objek tersebut.

Jenis-jenis pengetahuan dapat dibedakan menjadi:

1. Dari keilmiahannya
a. Pengetahuan ilmiah, yang memiliki beberapa ciri pengenal sebagai
berikut:
1) Berlaku umum
2) Mempunyai kedudukan mandiri
3) Mempunyai dasar pembenaran
4) Sistematik
5) Inter subjektif
b. Pengetahuan nir ilmiah. Dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat
dibedakan menjadi:
1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge, common sense
knowledge). Pengetahuan ini bersifat subjektif artinya amat terikat
pada subjek yang mengenal sehingga memiliki sifat selalu benar
sejauh sarana untuk memperolehnya bersifat normal, tidak ada
penyimpangan.
2) Pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang telah menetapkan objek
yang khas atau spesifik dengan menerapkan pendekatan
metodologis yang khas. Kebenarannya bersifat relatif, karena
selalu mendapatkan revisi yang diperkaya oleh hasil penemuan
yang paling mutakhir. Dengan kata lain, kebenarannya selalu
mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian paling
akhir dan mendapatkan persetujuan (aggrement) oleh para ilmuan
dibidangnya.
3) Pengetahuan filsafat, pengetahuan yang pendekatannya melalui
metedologi pemikiran filsafat. Sifat pengetahuannya mendasar dan
menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis dan
spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolute inter-subjektif.
Maksud absolute inter-subjektif adalah nilai kebenaran yang
terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan
pendapat yang melekat pada pandangan seorang filsuf serta
mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan
metodologi pemikiran yang sama.
4) Pengetahuan agama

B. Objektivitas Nilai.

Dewasa ini istilah axio (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam
dialog filosofis, aksiologi bisa disebut sebagai The Theory of Value atau teori
nilai, yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk( good and bad), benar dan salah ( righ and wrong) serta tentang cara dan
tujuan (means and ends).

Aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-


konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai,
terdapat dua kategori dasar aksiologi: objektivisme dan subjektivisme keduanya
beranjak dari pertanyaan yang sama yaitu apakah nilai itu bersifat bergantung atau
tidak bergantung pada pendapat manusia (dependen upon or independent of
mankin)?

Dengan demikian, sebagai cabang filsafat yang berbicara tentang nilai,


aksiologi merupakan ilmu yang memberikan timbangan pada sesuatu yang
berharga, berkualitas, bermakna dan bertujuan bagi kehidupan manusia, individu
maupun kelompok. Aksiologi adalah sesuatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai
(value) yang dibedakan dalam tiga bagian, yaitu :
1) Moral Conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus
yakni etika

2) Esthetic Expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika.

3) Social-political life, bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosial politik

Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu

Nilai kegunaan ilmu dapat dilihat pada kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa
filsafat ilmu iru digunakan, hal itu dapat dilihat dari tiga hal berikut :

1) Filsafat sebagai kumpilan teori digunakan untuk memahami dan mereaksi


dunia pemikiran : jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut
mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak
menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah
kegunaan mempelajari filsafat ilmu.

2) Filsafat sebagai pandangan hidup : semua teori ajaranya diterima


kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan.

3) Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah : dalam hidup ini


kita memiliki banyak masalah, bila ada batu di depan pintu, setiapa keluar
dari pintu itu, kaki kita tersandung, maka batu itu masalah, kehidupan akan
dijalani lebih enak bila masalah-masalah itu dapat diselesaikan, ada
banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang paling
sederhana sampai cara yang rumit, jika cara yang digunakan amat
sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan dengan tuntas,
penyelesaian yang detil itu biasanya dapat mengungkap semua masalah
yang berkembang dalam kehidupan manusia.

Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian, kebenaran tidak bergantung pada pendapat individu,
melainkan pada objektivitas fakta, sebaliknya nilai menjadi subjektif apabila
subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak
ukur penilaian.

Sudah menjadi ketentuan umum bahwa ilmu harus bersifat objektif, salah
satu faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dengan anggapan
umum ialah terletak pada objektifitasnya, seorang ilmuan harus melihat
realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat ideologis,
agama dan budaya, seorang ilmuan harus bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen- eksperimen, ketika seorang
ilmuan bekerja, ia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Hanya nilai objektif yang menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai subjektif yang ada 5

C. Interaksi Subjektif < > Objektif

Telah kita ketahui bahwa aksiologi merupakan bagian dari filsafat yang
mempelajari tentang baik dan buruk, benar dan salah, juga cara dan tujuan. Di
samping itu, aksiologi bisa juga disebut dengan suatu ilmu yang mempelajari
tentang manfaat atau kegunaan pengetahuan bagi manusia. Pernyataan ini
membawa kita pada suatu konsep yang di mana aksiologi erat hubungannya
dengan etika dan moral manusia dalam penggunaan pengetahuan yang telah
diperoleh dan cara mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan sehari –
hari juga nilai – nilai dari kegunaan pengetahuan tersebut. Pada dasarnya,
semua ilmu pengetahuan tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang tidak
bermanfaat jika kita mampu menggunakan ilmu pengetahuan tersebut dengan
cara yang benar, memanfaatkan dengan sebaik-baiknya tentu dengan cara
atau metode yang baik juga dikarenakan akhir-akhir ini banyak orang yang
menggunakan ilmu pengetahuan untuk sesuatu yang tidak benar dan
merugikan pihak lain dalam pengaplikasiannya.

Membahas aksiologi berarti menjadikan nilai sebagai pusat pertama


atas dasar nilai adalah sesuatu yang berharga yang diidamkan setiap manusia.

5
Fautanu idzam, Filsafat Ilmu, (Jakarta : referensi, 2012) hlm.202-206
Nilai juga kita pahami sebagai suatu pandangan, cita-cita, kebiasaan dan hal-
hal lainnya yang mampu menimbulkan adanya tanggapan emosional dan
membawa perasaan pada seseorang atau kelompok tertentu. Bilamana kita
menempatkan nilai dalam ilmu pengetahuan, maka akan kita dapatkan nilai
objektif dan nilai subjektif. Nilai objektif menyampingkan unsur pribadi,
pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu
yang bersifat kedirian karena dimulai dengan fakta. Terlebih, nilai akan
menjadi objektif jika hal itu tidak bergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai karena nilai tidak hanya bergantung pada pendapat pribadi
melainkan lebih pada fakta. Pengetahuan atau ilmu bisa dikatakan bersifat
objektif apabila pengetahuan tersebut diperoleh melalui observasi,
eksperimen dan klasifikasi.

Galileo membagi sifat benda dalam dua golongan, yaitu pertama,


golongan yang langsung mempunyai hubungan dengan metode pemeriksaan
fisik, artinya yang mempunyai sifat – sifat primer (primery qualities) seperti
berat, panjang dan sifat – sifat lainnya yang dapat diukur. Kedua, golongan
yang tidak mempunyai peranan dalam proses pemeriksaan ilmiah disebut sifat
– sifat sekunder (secondary qualities), seperti sifat warna, masam, manis dan
hal-hal lainnya yang bergantung pada pancaindra manusia. Pada zaman
galileo, ilmu pada umumnya tidak dapat memeriksa sifat kehidupan karena
sifat subjektif, tidak dapat diukur dan tidak dapat ditemukan satuan dasarnya.
Hal itulah yang membuat galileo dianggap sebagai pelopor perkembangan
ilmu dan penemu dasar ilmu modern yang hanya berpegang pada soal – soal
subjektif saja.6

Nilai bisa bersifat subjektif apabila subjek sangat berperan dan


bergantung pada perasaan dan pemikiran-pemikiran dari satu sisi agama, adat,
kebiasaan dan lain lainnya yang nantinya akan mengarah tentang bagaimana
kita menyikapi suatu hal dari hal suka atau tidak suka dan senang atau tidak
senang. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai

6
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor:PT PENERBIT IPB Press, 2016), hlm.116.
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan.7 Dan seorang
ilmuwan diharapkan tidak terpengaruh akan hal-hal yang bersifat subjektif,
tetapi cenderung lebih pada nilai-nilai yang bersifat objektif karena
pengetahuan yang didapat seorang ilmuwan lewat observasi dan masih
bersifat subjektif maka hal itu perlu dipertanggungjawabkan secara sosial
dikarenakan seorang ilmuwan memiliki peran yang berharga dalam
membantu peradaban manusia akan pengetahuan-pengetahuan yang
didapatnya dan akan disumbangkan kepada manusia untuk digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.

Sifat objektif dan subjektif sama-sama bersinggungan di kehidupan


kita sehari-hari. Hal-hal yang berhubungan dengan sifat objektif bisa kita
temukan di dunia ilmu pengetahuan. Sedang, segala hal yang berhubungan
dengan sifat subjektif bisa kita cermati dan dapatkan di dunia kita sehari –
hari (life world), terlebih life world yang sedang kita jalani ini juga memiliki
sifat lainnya seperti praktis dan situasional. Manusia hidup dalam dua dunia
tersebut, di mana dunia ilmu pengetahuan mengedepankan rasional, akal,
logika dan fakta sedang dunia praktis mencakup pengalaman manusia ketika
ia hidup dan mati yang mengandung banyak pengalaman dalam hal
penderitaan, kegembiraan, kebodohan juga tidak terlepas dari tradisi
kebudayaan, adat-istiadat, norma, agama, lingkungan dan kepercayaan
beserta praktiknya.

Hubungan antara objektif dan subjektif juga bisa kita lihat dari
beberapa segi kehidupan, salah satunya yaitu pergesaran alam semesta dalam
sifatnya yang objektif menuju ke subjektif bertujuan untuk mencapai suatu
target dalam aktivitas-aktivitas tertentu, misal, teknologi. Teknologi adalah
sesuatu yang bersifat objektif dan bahkan mencakup beberapa pengetahuan di
dalamnya. Teknologi bisa berubah sifat menjadi subjektif apabila seseorang
atau sekelompok orang menggunakan hal tersebut dalam suatu diskusi dan
benar-benar melibatkan tentang teknologi, seperti pengembangan teknologi
7
Latif, Mukhtar. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta:Prenadamedia Group,
2014), hlm. 237.
menjadi lebih modern, penciptaan teknologi terbaru untuk memudahkan
aktivitas manusia dalam kehidupannya sehari-hari juga penemuan-penemuan
tertentu yang menjadikan teknologi sebagai salah satu media dalam
pencapaian target penemuan tersebut. Dengan begitu, bisa kita simpulkan
bahwa teknologi bersifat subjektif apabila kita gunakan untuk tujuan tertentu
yang bergantung pada penguasa teknologi.

Nilai itu bersifat objektif, terkadang bersifat subjektif. Dikatakan


objektif jika nilai – nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu
melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif bila
subjek berperan dalam memberi penilaian. Kesadaran manusia menjadi tolak
ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang
akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan


bahwa ilmu harus bersifat objektif, salah satu faktor yang membedakan antara
pernyataan ilmiah dan anggapan umum ialah terletak pada objektivitasnya.
Bisa dikatakan bahwa nilai objektif adalah tujuan utamanya, bukan nilai
subjektif.8

D. Implikasi Subjektif Objektif terhadap Ilmu itu Bebas Nilai atau Bernilai.
Dalam filsafat, ilmu juga dikaitkan dengan nilai. Pertanyaan yang banyak
dibahas antara lain bahwa apakah selalu ilmu tiu bebas nilai atau tidak bebas
nilai. Tentu tidak ada orang yang meragukannya kalau ilmu itu sendiri
bernilai. Nilai ilmu terletak pada manfaat yang diberikannya sehingga
manusia dapat mencapai kemudahan dalam hidup. Ilmu dikatakan bernilai
karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya yang
objektif, yang terkaji secara kritik. Dengan demikian ilmu sebagai sebuah
nilai adalah sesuatu yang bernilai dan masih bebas nilai. Akan tetapi stelah
ilmu digunakan oleh ilmuwan, ia menjadi tidak bebas nilai. Hal ini
8
Suaedi, Pengantar Filasaft Islam, (Bogor:PT. PENERBIT IPB, 2016), hlm.124
disebabkan sejauh mana moral yang ada pada ilmuwan untuk bertanggung
jawab terhadap ilmu yang dimiliknya akan menyebabkan ilmu itu menjadi
baik atau menjadi buruk.9

Persoalan ilmu pengetahuan bebas nilai mulai mencuat ketika manusia sadar
bahwa dirinya telah teraliniasi oleh ciptaannya sendiri, yaitu ilmu pengetahuan,
gagasan tersebut muncul dari gerakan positivis yang mendobrak etika kebudayaan
yunani kuno yang berupaya membangun pengetahuan yang benar, berdasarkan
pada konsep bios theoretikhos (dimana pengetahuan itu diyakini akan diperolah
melalui serangkaian ritual keagamaan) kemudian digantikan konsep ontologi yang
lahir sebagai upaya para filsuf yunani (kelompok pemikir yang kemudian
bermetamorfosis menjadi madzhab positivisme), yang lebih mengutamakan
kekuatan dan kemampuan rasio serta pengamatan.

Tradisi keilmuan berdasarkan konsep bios theoretikos, yang dibangun dengan


menghubungkan secara eart antara teori dan praxi, dipandang tidak benar bagi
upaya-upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar, karena pencarian
pengetahuan yang benar tidak dapat disandarkan pada pengetahuan yang
diperoleh melalui ritus-ritus keagamaan dan upacara-upacara mistis ataupun cara
yang bersifat metafisik lainnya, melainkan harus dilakukan melalui proses ilmiah,
proses demitologisasi melalui pengembangan konsep ontologi, kemudian
mengikis habis konsep bios theoretikos, yang memberikan alternatif lain sebagai
pondasi dasar yaitu rasiolitas dan empirisme menuju terbentuknya masyarakat
positif yang ilmiah, melalui pengendalian-pengendalian keilmuan yang mengikuti
apa yang terdapat dalam ilmu-ilmu alam, kaum positifisme berupaya menuju pada
pemurnian ilmu pengetahuan yang dilakukan melalui proses kontemplasi bebas
kepentingan, dengan cara memisahkan secara tegas antara teori dengan praxis.

Gugatan-gugatan terhadap eksistensi madzhab positivisme pun mulai terdengar


dari para pemikir yang berasal dari madzhab frankfurt (lebih dikenal sebagai
pemikiran dari aliran ilmu-ilmu kritis/teori kritis) serta kelompok filsuf atau

9
Suaedi, Pengantar...hlm.112-113.
pemikir yang termasuk dalam aliran pemikiran postmodernisme dan post-
strukturalisme.

1. Pengetahuan yang Bebas Nilai

Madzhab positivisme sebagai salah satu aliran filsafat, telah berkembang


dalam alur sejarahnya sendiri, berkembang sebagai upaya untuk menemukan
dan membangun pengetahuan yang benar dengan cara memurnikan ilmu
pengetahuan yang dilakukan melalui proses kontemplasi bebas kepentingan
(sikap teoritis murni) dalam tradisi pemikiran yunani purba, pengetahuan tidak
dipisahkan dari kehidupan konkret, bios theoretikos merupakan suatu bentuk
kehidupan, suatu jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa, dengan
membebaskan manusia dari perbudakan dan doxa , dengan jalan itu manusia
mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidupnya.

Kata theorea berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan yunani kuno, theoros
adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus
keagamaan, dalam ritus ini orang melakukan theorea (memandang) ke arah
peristiwa sakral yang dipentaskan, dan kemudian berpartisipasi didalamnya.
Melalui theorea ini setiap orang mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu
rendah, pengalaman ini dalam istilah yunani disebut katharsis (purifikasi,
pembebasan diri dari perasaan dan dorongan fana yang berubah-ubah) 10

Posisi ilmu bernilai dengan ilmu harus objektif

Nilai suatu ilmu berkaitan dengan kegunaan. Guna suatu ilmu bagi
kehidupan manusia akan mengantarkan hidup semakin tahu akan kehidupan.
Kehidupa itu ada dan berproses yang membutuhkan tata aturan. Aksiologi
memberikan jawaban untuk apa ilmu digunakan. Ilmu tidak akan menjadi sia-sia
jika kita dapat menfaatkannya dengan sebaik-baiknya dan dijalan yang baik pula.
Nilai itu dikatakan objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran

10
Fautanu idzam, Filsafat Ilmu, (Jakarta : referensi, 2012) Hlm.227-229
yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat
objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, sesuatu yang memiliki kadar realitas benar-benar ada. Misalnya
kebenaran itu tergantung pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta,
kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur. Demikian juga dengan
nilai orang yang berslera rendah tidak mengurangi keindahan suatu karya seni.

E. Tujuan Ilmu
Berhubungan ilmu dengan nilai guna ilmu, baik itu umum maupun ilmu
agama, tidak bisa dibantah lagi bahwa ilmu agama dan ilmu umum sangat
bermanfaat bagi umat manusia. Dengan ilmu seseorang dapat melakukan
banyak hal baik untuk sendiri ataupun untuk kepentingan bersama.
Berhubungan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip
oleh Jujun S. Suriasumatri bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”.
Maksudnya adalah semakin banyak orang mempunyai pengetahuan, maka
semakin berkuasalah dia. Entah kekuasaan itu merupakan suatu berkah atau
justru malapetakan bagi umat manusia. Bila mana terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu kesalahan dari
ilmu itu sendiri karena ilmu itu hanya sebagai alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagian hidup dan juga sifat dari ilmu adalah netral. Ilmu tidak
mengenal baik ataupun buruk tergantung dengan si pengguna ilmu tersebut
dalam menggunakannya.

Agar lebih mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu
itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal,
yaitu:
1. Filsafat itu adalah sebuah kumpulan teori yang digunakan untuk
memahami dan mereaksikan dunia pemikiran. Dalam hidup kita biasanya
pada saat akan ikut membentuk dunia atau menentang suatu sistem dalam
suatu bidang seperti sistem ekonomi dll. Kita harus mempelajari
bagaimana sistem itu berjalan dan bagaimana penerapannya setelah
diterapkan dsb. Karena pada zaman sekarang ini, kita tidak bisa
mengeluarkan pendapat atau menyangkal pendapat tanpa adaya suatu
bukti atau bahkan kita tidak mengetahui sistemnya orang-orang tidak akan
percaya. Jadi jika kita mengetahui suatu sistem yang akan disangkal kita
bisa berpendapat atau menyangkal pendapat dengan bukti yang sudah
teruji dan masuk akal. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat
ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Dalam hal ini, semua teori ajarannya
diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Meskipun
diterima kebenarannya, tidak semua orang menjalankan semua teori
tersebut karena setiap teori pasti memiliki sesuatu hal yang sama ataupun
bertentangan dengan teori yang lain. Seperti halnya agama, filsafat ilmu
sebagai pandangan hidup pun igunakan sebagai pedoman atau petunjuk
bagi umat manusia. Bedanya jika agama dipisahkan oleh nama agama itu
sendiri.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini
kita banyak menghadapi masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap
keluar dari pintu itu kaki kita tersandung maka dapat diasumsikan bahwa
batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih mudah bila masalah-
masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Apabila cara
yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Idzam, Fautanu. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta:Referensi.

Kattsoff, Louis O.. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:Tiara Wacana Jogja.

Latief, Mukhtar.2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu.


Jakarta:PRENADAMEDIA GROUP.

Palmquist, Stephen. 2000. The Tree of Philosophy. Hong Kong:Philopsychy


Press.

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung:Pustaka Setia.

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor:PT.PENERBIT IPB PRESS.

Suriasumantri, Jujun S., 1987, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

Thoyibi, M. 1999. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya.


Surakarta:Muhammadiyah University Press.

Wahana, Paulus. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:Pustaka Diamond.

Purnama, Heri. 2003. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta:PT.RINEKA CIPTA.

Wattimena, Reza A.A. 2016. Tentang Manusia dariPikiran, Pemahaman, sampai


dengan Perdamaian Dunia. Yogyakarta:Maharsa.

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://journal.uin-
alauddin.ac.id

http://www.geocities.ws

http://eprints.umsida.ac.id

http://file.upi.edu

Anda mungkin juga menyukai