Anda di halaman 1dari 10

IBADAH DAN SYUKUR

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

GURU: NUR AFIFAH, S.Pdi

KELOMPOK 1:

ANISA MUNTAZAH

REFRAKHASEWI

NOVANUL HIDAYAH

INDRA

LYANDI

M. HAMDI

SMAN 1 PENDALIAN IV KOTO

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


A. Pengertian dan Hakikat Ibadah
Firman Allah mengenai ibadah antara lain ada pada surat Adz – Dzariyat ayat 56 yang
artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”
Ibadah berasal dari bahasa Arab yaitu ‘ibadah, yang artinya menyembah atau
menghamba. Sedangkan secara terminologi adalah penghambaan seorang manusia kepada
Allah swt untuk dapat mendekatkan diri kepada-Nya sebagai realisasi dari pelaksanaan tugas
hidup selaku makhluk yang diciptakan Allah.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan
yang diizinkan Allah swt, dan yang khusus ialah apa yang ditetapkan Allah swt akan
perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
Ja’far Subhani ketika membahas batasan esensi ibadah mengemukakan bahwa ibadah
ialah tunduk meyakini uluhiyah (ke-Tuhanan) yang disembah, rububiyah, dan kemerdekaan-
Nya dalam berbuat. Nurcholis Madjid ketika menjelaskan pengertian ibadah ia
mengemukakan bahwa ibadah dalam pengertian yang lebih khusus sebagaimana umumnya
dipahami dalam masyarakat yaitu menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas
bersifat keagamaan. Dari sudut ini, kadang-kadang juga digunakan istilah ‘ubudiyah yang
pengertiannya mirip dengan kata-kata ritus atau ritual dalam pembahasan ilmu-ilmu sosial.
Ibadah itu banyak sekali macamnya. Secara umum ibadah dapat dibagi kepada dua
macam, yaitu :
a.       Ibadah makhdhah atau ibadah khusus. . Ibadah mahdhah adalah ibadah yang
berhubungan langsung kepada Allah swt yang telah ditentukan macamnya, tata cara, syarat
dan rukunnya oleh Allah swt dalam Alquran atau melalui sunnah Rasul dalam haditsnya.
Dalam ibadah mahdhah tidak boleh ada tambahan atau pengurangan dari perintah atau contoh
yang telah ditentukan. Melakukan yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Rasulullah
saw. adalah bid’ah, sedangkan bid’ah dalam ibadah itu ditolak.
b.      Ibadah ghair mahdhah atau yang bersifat umum. Ibadah ghair mahdhah atau ibadah
yang bersifat umum adalah ibadah yang jenis dan macamnya tidak ditentukan, baik oleh
Alquran maupu al-Sunnah. Ibadah ghair mahdhah ini umumnya berkaitan dengan segala
kegiatan manusia yang memberikan manfaat bagi kemanusiaan atau yang biasa
disebut mu’amalah yang jenis dan macamnya tidak dirinci satu persatu.
2.      Kewajiban Ibadah Bagi Manusia
Beribadah kepada Allah swt. Berarti memusatkan penyembahan kepada-Nya semata-
mata, tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri kecuali kepada-Nya saja. Dengan kata
lain, semua kegiatan manusia, baik yang bersifat ‘ubudiah maupun yang bersegi mu’amalah
adalah dikerjakan dalam rangka penyembahan kepada Allah swt. Dan mencari keridlaa-Nya.
Allah berfirman dalam Q.S Al – Bayyinah ayat 5 yang artinya :
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus”
3.      Fungsi Ibadah
Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan menempati posisi sebagai ciptaan, dan
Tuhan sebagai Pencipta. Dalam bahasa agama Islam Tuhan disebut al-Khaliq atau pencipta
dan selain Allah swt adalah makhluk yang tercipta. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya
keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada Penciptanya.
Manusia yang berfungsi sebagai khalifah dan berstatus sebagai hamba (‘abd)
merupakan perpaduan tugas dan tanggungjawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat
dengan kreatif dan amaliyah yang selalu berpihak kepada nilai-nilai kebenaran. Karena itu
hidup seorang muslim akan dipenuhi dengan amaliah, kerja keras yang tiada henti. Bekerja
keras bagi seorang muslim adalah bentuk amal shaleh. Kekhalifahan adalah realisasi dari
pengabdiannya kepada Allah swt yang menciptakannya.
4.      Macam-Macam Ibadah
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah
(takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati,
lisan dan badan. Ada juga yang mengatakan bahwa ibadah itu dibagi menjadi tiga macam,
yaitu:
a.       Ibadah Mahdlah
Ibadah yang dilakukan hanya berhubungan dengan Allah saja (Hablum Minallah) dan
bertujuan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Contoh : Ibadah Shalat.
b.      Ibadah Ghair Mahdlah
Ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga
menyangkut hubungan sesama makhluk. Contoh : Zakat
c.       Ibadah Wajhain
Ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu Mahdlah dan Ghair Mahdlah. Contoh:
Nikah.

5.      Syarat-Syarat Ibadah
Dalam melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Alquran dan Al-Sunnah. Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar
dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat :
a.       Ikhlas karena Allah Semata
Syarat pertama merupakan konsekuensi dari syahadat Laa Ilaaha Illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepadaNya.
b.      Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia
menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau
ibadah yang diada-adakan.

6.      Sifat dan Ciri-Ciri Ibadah


Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fiqih menyebutkan beberapa sifat yang
menjadi ciri-ciri ibadah yang benar, yaitu :
a.       Bebas dari perantara; dalam beribadah kepada Allah swt, seorang muslim tidak
memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah swt.
b.      Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus; secara umum ajaran Islam tidak
mengharuskan penganutnya untuk melakukan ibadah pada tempat-tempat khusus, kecuali
ibadah Haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai tempat ibadah.
c.       Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah swt senantiasa menghendaki
kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan.
7.      Hikmah Ibadah
a.       Ibadah membawa seseorang untuk memenuhi perintah Allah, bersyukur atas nikmat
yang diberikan dan melaksanakan hak sesama manusia.
b.      Ibadah merupakan pengujian terhadap manusia dalam menyembah Allah swt.
c.       Ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati manusia (al-Ghazali).
d.      Ibadah dapat menyembuhkan badan yang sakit, contoh: gerakan solat.
e.       Ibadah mensucikan jiwa dan mengangkatnya ke derajat tinggi menuju kesempurnaan
manusiawi.
f.       Ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridloan Allah yang merupakan jalan
masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

B.     BENTUK – BENTUK PERIBADATAN


1.      Shalat : Sendi dan Induk Ibadah
a.         Pengertian Sholat
Shalat menurut Bahasa berarti “doa” atau “rahmat”. Pengertian ini diambil
berdasarkan firman Allah dalam Q. S At – Taubah ayat 103 yang artinya :
“Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Sedangkan menurut istilah syara’ shalat berarti perbuatan khusus seorang muslim
yang berisi bacaan – bacaan dan gerakan – gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam dengan memenuhi syarat – syarat tertentu.
Shalat merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan Allah Subhanahu Wata’ala
kepada setiap muslim lima kali dalam sehari semalam dalam waktu – waktu yang telah
ditentukan. Dalam shalat itu, ia berdiri dengan menghadapkan mukanya dimana saja ia
berada ke arah kiblat. Fungsi Shalat
Shalat merupakan suatu media komunikasi antara hamba dengan Khaliknya, dengan
cara menghadapkan diri dan hati kepada-Nya. Apabila shalat itu dilakukan dengan khusyu
dan kontinyu, maka ia akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan
memelihara jiwa serta memupuk pertumbuhan kesadaran.
Semakin banyak shalat dilakukan dengan penuh kesadaran, sebanyak itu pula rohani
dan jasmani manusia dilatih berhadapan dengan Dzat Yang Maha Suci, dan efeknya akan
membawa kepada kesucian rohani dan jasmani. Kesucian rohani dan jasmani akan
memancarkan akhlak yang mulia, sikap hidup yang dinamis yang penuh dengan amal shaleh,
dan dapat terhindar dari perbuatan dosa dan kejahatan.
Dengan kata lain bahwa melakukan shalat yang lima waktu dengan penuh kesadaran
dan rasa khusyu akan berdampak positif terhadap perilaku manusia, dan dapat mengakibatkan
manusia terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Dan hal ini sesuai dengan apa yang telah
dijelaskan Allah Subhanahu Wata’ala dalam salah satu firman-Nya :
“Dan tegakkanlah shalat, karena shalat itu dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan
mungkar” (Q. S Al – Ankabut : 45)
Ditinjau dari segi kedisiplinan, shalat juga merupakan pendidikan positif yang dapat
menjadikan manusia dan masyarakat menjadi hidup teratur. Dengan melaksanakan shalat
sebanyak lima kali sehari semalam, seorang muslim tentu akan menjadi seorang yang selalu
memperhatikan perjalanan masa dan selalu sadar tentang peredaran waktu.
Kesadaran terhadap waktu akan membawa hidup yang teratur dan penuh manfaat.
Sebaliknya, orang yang tidak pernah memperhatikan waktu, maka sudah pasti hidupnya tidak
akan teratur dan kurang bermanfaat. Oleh karena itu Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-
Quran surah Al – ‘Ashr memperingatkan bahwa manusia akan rugi hidupnya, manakala lalai
terhadap waktu dan tidak memelihara disiplin waktu.
Kelelahan jasmani karena kerja, keletihan otak akibat kesibukan- kesibukan pikiran
duniawi yang dilakukan dari pagi hingga sore hari senantiasa mendapat penyegaran rohani
dengan jalan melakukan shalat. Dan kalau kita perhatikan, umumnya orang – orang yang
mendapat gangguan jiwa adalah akibat tegangan emosi dan bertumpuknya fikiran – fikiran
yang serba ruwet dan tak terpecahkan. Penyakit yang namanya neurosis (gangguan –
gangguan badan disebabkan penyakit syaraf) juga bersumber dari hilangnya keseimbangan
dalam jiwa manusia.
Dengan shalat InsyaAllah, akan menjadi obat penawar paling mujarab bagi kesehatan
jiwa, rohani dan fisik manusia, karena shalat merupakan salah satu bentuk komunikasi
manusia kepada Allah agar manusia selalu ingat kepada-Nya. Dan dengan ingat kepada Allah
itulah yang akan menenangkan pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana dijelaskan Allah
dalam firmannya :
“Orang – orang yang beriman, hari mereka jadi tenteram karena mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Q. S Ar – Ra’d : 28)
Adapun kebalikan dari itu, Al Quran menyatakan bahwa meninggalkan sholat itu
sebagai tanda tenggelamnya seorang manusia dalam hawa nafsu dan sebagai jalan
kejatuhannya ke dalam jurang kecelakaan dan kesesatan. Dan merupakan sebab daripada
sebab kekalnya kelak di dalam api neraka. Allah berfirman :
“Maka datanglah sesudah mereka itu suatu kaum yang menyia – nyiakan sholat serta
memperturutkan hawa nafsunya. Mereka itu kelak akan dilemparkan ke dalam api neraka”
Selain itu, shalat juga dapat menjadi sarana sebagai pembinaan umat, khususnya dalam
shalat berjamaah. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah menjelaskan bahwa “Shalat
berjamaah itu lebih utama dua puluh tujuh kali lipat daripada shalat sendirian” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Bahkan shalat berjamaah itu diwajibkan melaksanakannya sekali dalam satu minggu
yaitu pada waktu shalat Jum’at. Melalui shalat berjamaah ini, Islam mendidik pemeluk –
pemeluknya bergaul, bermasyarakat, mempertebal ikatan ukhuwah Islamiyah.
Shalat mendidik manusia menumbuhkan solidaritas yang kuat dan ajaran persamaan
antar manusia. Anggota – anggota jama’ah duduk dalam satu barisan. Yang miskin
berdampingan dengan yang kaya dan rakyat biasa bersamaan dengan pembesar – pembesar.
Semuanya melakukan gerakan- gerakan yang serupa dan seirama. Mereka sujud dan ruku
dengan disiplin dalam satu komando “Allahu Akbar” dari imam.

2.      Shaum : Ibadah yang melibatkan hawa nafsu


a.         Pengertian dan ketentuan shaum
Shaum menurut bahasa artinya menahan diri dari segala sesuatu, seperti menahan
tidur, menahan berbicara dan juga menahan makan. Sedangkan secara istilah, shaum adalah
menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, bersetubuh, dan
juga dari hawa nafsu yang dapat mengurangi nilai puasa tersebut seperti berkata dan berbuat
yang keji dan kotor mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat dan
syarat – syarat tertentu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al – Quran surat Al –
Baqarah ayat 187 yang artinya :
“Makan dan minumlah kalian   hingga kelihatan benang yang putih dari benang yang hitam
yaitu fajar”
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Dari Ibnu
Umar: Saya mendengar Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: Apabila
malam datang dan siang lenyap dan matahari terbenam, sesungguhnya telah datang waktu
berbuka bagi orang yang puasa” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Shaum di  bulan Ramadhan merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh kaum muslimin selama satu bulan dalam satu tahun yang ketentuannya telah dijelaskan
oleh Allah dalam Al – Quran surat Al – Baqarah ayat 183 :
“Wahai orang – orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”
Di dalam ayat tersebut terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan maslaah
shaum, yaitu bahwa shaum merupakan suatu keharusan bagi orang yang beriman untuk
melaksanakannya selama satu bulan dalam satu tahun. Namun bagi orang- orang tertentu,
seperti dalam keadaan sakit, sehingga kalau dia melaksanakan puasa akan mengalami suatu
kepayahan dan bahkan sakitnya bisa bertambah parah, maka boleh berbuka atau tidak
berpuasa dengan ketentuan harus mengganti pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan.
Berikutnya dalam ayat itu terdapat pula perkataan yang menjelaskan “atau berada
dalam perjalanan” yang berarti memberi suatu kelonggaran untuk berbuka bagi orang yang
berada dalam perjalanan. Adapun setelah dia sampai ke tempat tujuannya dan perjalanannya
telah berhenti, maka wajib baginya berpuasa kembali kendatipun dia bukan di negerinya
sendiri.
Begitu juga sebagian dari kemudahan di dalam berpuasa itu ialah bahwasanya Allah
telah membolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan kepada orang – orang yang sehat yang
menetap yang sukar baginya berpuasa dan akan memayahkan mereka bahkan mungkin akan
menimbulkan bahaya kepada mereka, seperti orang yang sudah tua, wanita hamil dan
menyusui. Karena orang – orang seperti itu dipandang tidak akan lagi menemukan hari – hari
dimana mereka dapat mengqadha puasanya, maka Allah pun telah mencukupkan bagi mereka
itu untuk memberi makan seorang miskin setiap hari sesuai dengan jumlah puasa yang
ditinggalkannya.

b.        Nilai Shaum (Puasa)
Perintah Allah tentang puasa itu dimulai dengan seruan “ Wahai orang – orang yang
beriman” dan diakhiri dengan “agar kamu bertaqwa dan dengan perkataan “supaya kamu
bersyukur”
Seruan Allah itu menunjukkan prioritas keimanan sebagai asas kebaikan dan sumber
keutamaan. Dan pada akhirnya seruan itu menyebutkan taqwa yang merupakan roh keimanan
serta rahasia kemenangan. Hal ini menjadi petunjuk yang kuat dan pemberian keterangan
yang jelas bahwa puasa yang dikehendaki Allah itu bukanlah semata – mata menahan diri
dair makan dan minum, tetapi adalah menahan diri dari segala yang menodai keimanan dan
yang tidak sesuai dengan keutamaan taqwa serta pengawasan diri.
Dan dalam hadits yang lain dijelaskan pula “Bukanlah puasa itu hanya sekedar
menahan makan dan minum saja, tetapi puasa itu ialah menahan diri dari perkataan yang
sia – sia dan perbuatan kotor”
Apabila seseorang melakukan puasa dengan menaati ketentuan sebagaimana diatas,
maka barulah akan tercapai apa yang menjadi tujuan dari puasa itu sendiri sebagaimana yang
kita pahami dari firma-Nya yang telah dijelaskan diatas yaitu untuk membentuk manusia
yang bertaqwa.
Untuk dapat tercapainya derajat taqwa itu, maka bagi orang yang melaksanakan puasa
dikenakan ketentuan – ketentuan yang berupa anjuran dan larangan yang harus ditaatinya
seperti tidak boleh melakukan perbuatan dan perkataan yang keji.

3.      Zakat: Wujud Ibadah Sosial


a.         Pengertian Zakat
Zakat secara bahasa berasal dari kata “zaka” yang berarti mensucikan. Secara
istilah syara’, Sayid Sabiq mengartikan zakat sebagai nama atau sebutan dari sesuatu hak
Allah swt yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Sedangkan menurut Sulaiman
Rasyid, zakat yaitu kadar harta tertetu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya
dengan beberapa syarat. Jadi zakat ialah sebagian kekayaan yang diambil dari milik
seseorang yang punya dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya sesuai dengan
ketentuan.
Bagi orang yang mengeluarkannya (muzakki), zakat memiliki fungsi sebagai wujud
dari ketaatan atas perintah Allah swt dan sekaligus merupakan cara pembersihan dan
pensucian harta yang dimilikinya, serta merupakan wujud kepedulian sosial dari orang yang
mampu kepada orang yang lemah.
Zakat lebih diarahkan pada penyantunan kaum dhu’afa yang secara langsung
diberikan dalam bentuk bahan konsumtif atau dengan cara diarahkan pada kegiatan produktif
guna peningkatan kemampuan golongan ekonomi lemah sehingga mereka dapat keluar dari
kemiskinan.
b.        Fungsi Zakat
Zakat memiliki fungsi yang besar, baik bagi muzakki, mustahiq maupun bagi
msyarakat muslim pada umunya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa untuk suka
berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya
menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebihan.
Bagi mustahiq, zakat memberikan harapan adanya perubahan nasib dan sekaligus
menghilangkan sifat iri, dengki, dan suudzdzan terhadap orang-orang kaya. Dengan
demikian, jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin dapat dihilangkan.
Zakat itu hukumnya wajib atas orang kaya yang mempunyai harta lebih daripada apa
yang dihajatkannya serta hajat kaum keluarga yang wajib dibiayainya, diambilkan dari harta
bendanya yang berupa uang atau nilai barang-barang perniagaannya, seperti ternak dan hasil
panen sawah dan ladang menurut ukuran yang telah diketahui oleh kaum muslimin yang
hasilnya dapat menutupi hajat orang-orang fakir miskin serta kepentingan umum dan tidak
akan mencekik leher orang-orang yang mempunyai harta benda tersebut.
Zakat merupakan ibadah yang bersifat materi dari ummat untuk ummat, khususnya
dari yang mampu kepada yang tidak mampu, karena zakat merupakan pembelanjaan sebagian
harta orang-orang kaya kepada fakir miskin.

4.      Haji : Puncak Ibadah dan Pengorbanan lahir & batin


a.       Haji : Makna dan Tujuan
Haji secara Bahasa artinya menyengaja sesuatu. Sedangkan secara istilah syara’ yang
dimaksud haji itu ialah menyengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan beberapa amal
ibadah dengan syarat-syarat tertentu.
Haji merupakan suatu ibadah yang sudah dikenal sejak zaman sebelum nabi
Muahmmad saw, yang menuntut dari orang yang melaksanakannya supaya dikerjakan
dengan hati, badan dan hartanya yang berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya.
Haji ini wajib dikerjakan oleh orang muslim yang sanggup melakukannya di masa-
masa tertentu dan tempat-tempat yang tertentu pula, yang harus dilakukan atas dasar karena
Allah swt dan semata-mata mengarap ridha Allah swt. Dan ibadat haji itu dimulai dengan niat
haji karena Allah swt, dilakukan dengan penuh keikhlasan dengan tanpa memakai pakaian
yang berjahit, dan barang-barang mewah. Dalam ibadah haji, tidak ada perbedaan antara kaya
dan miskin, antara pejabat dan rakyat biasa.
Ibadah haji pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. yang disuruh membangun
Baitullah di Mekkah agar supaya orang-orang thawaf di sekelilingnya dan menyebut nama
Allah swt sewaktu mengerjakannya. Nabi Ibrahim a.s. kemudian melaksanakan perintah
Allah swt, dan membangun Baitullah, dan mengajak manusia untuk melakukan haji ke sana
dan disuruhnya pula anak cucunya untuk bertempat tinggal di tempat itu. Sejak itu, orang-
orang Arab pun berdatangan mengunjungi Baitullah yang telah dibina oleh Nabi Ibrahim a.s.
itu untuk melakukan ibadah haji, menyembah Allah swt menurut apa yang telah
ditentukannya.

B. Hakikat Syukur

1. Pengertian Syukur

Kata syukur yang dikutip oleh Ida Fitri Shobihah dalam Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia, berasal dari bahasa arab dengan kata dasar “syakara” yang artinya berterima kasih,
bentuk masdar dari kalimat ini adalah syukr, syukraan yang artinya rasa terima kasih.1
Syukur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terima kasih kepada
Allah swt, dan untunglah (meyatakan perasaan lega, senang dan sebagainya).2 Secara bahasa
syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang dilakukan kepadanya.
Syukur adalah kebalikan dari kufur.3 Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat,
sedangkan hakikat ke-kufur-an adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara
lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.

Hakikat Syukur Imam Ghazali menjelaskan bahwa syukur tersusun atas tiga perkara, yakni:

1. Ilmu, yaitu pengetahuan tentang nikmat dan pemberinya, serta meyakini bahwa
semua nikmat berasal dari Allah swt dan yang lain hanya sebagai perantara untuk
sampainya nikmat, sehingga akan selalu memuji Allah swt dan tidak akan muncul
keinginan memuji yang lain. Sedangkan gerak lidah dalam memuji-Nya hanya
sebagai tanda keyakinan.
2. Hal (kondisi spiritual), yaitu karena pengetahuan dan keyakinan tadi melahirkan
jiwa yang tentram. Membuatnya senantiasa senang dan mencintai yang memberi
nikmat, dalam bentuk ketundukan, kepatuhan. Men-syukur-i nikmat bukan hanya
dengan menyenangi nikmat tersebut melainkan juga dengan mencintai yang
memberi nikmat yaitu Allah swt.
3. Amal perbuatan, ini berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan, yaitu hati
yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan rasa
syukur dengan pujian kepada Allah swt dan anggota badan yang menggunakan
nikmat-nikmat Allah swt dengan melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi
larangan-Nya.

C. Konsep Dasar Syukur dalam Al-Qur’an dan Hadits

Surat al-Baqarah ayat 152

Artinya: ”Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-
Ku, dan janganlah kamu ingkar kepadaKu.”13 Pada ayat ini, mengandung perintah untuk
mengingat Allah swt melalui dzikir, hamdalah, tasbih dan membaca al-Qur’an dengan penuh

Hadits Riwayat Muslim Artinya: “Lihatlah orang yang dibawah kalian dan janganlah melihat
orang yang di atas kalian, sebab hal itu akan mendidik kalian untuk tidak meremehkan
nikmat Allah swt”. (HR. Muslim)

4. Manfaat Syukur

Manfaat syukur itu kembali pada orang yang ber-syukur, kebaikan yang ada kembali
pada mereka yang ber-syukur, sebagaimana dalam surat An-Naml ayat 40.18 Sayyid Quthb
yang dikutip oleh Ahmad Yani, menyatakan empat manfaat ber-syukur, yakni: 19 a.
Menyucikan Jiwa Ber-syukur dapat menjaga kesucian jiwa, sebab menjadikan orang dekat
dan terhindar dari sifat buruk, seperti sombong atas apa yang diperolehnya. b. Mendorong
jiwa untuk beramal saleh Ber-syukur yang harus ditunjukkan dengan amal saleh membuat
seseorang selalu terdorong untuk memanfaatkan apa yang diperolehnya untuk berbagi
kebaikan. Semakin banyak kenikmatan yang diperoleh semakin banyak pula amal saleh yang
dilakukan. c. Menjadikan orang lain ridha

5. Cara-Cara Menyatakan Syukur

a. Ber-tasbih

b. Ber-dzikir Ber-dzikir merupakan sebagian dari cara ber-syukur. Abdullah bin Salam
menyatakan bahwa nabi Musa as pernah bertanya pada Allah swt: “Ya Allah, syukur
manakah yang patut dilakukan untuk Mu? Maka Allah berfirman: ‘Bukankah lidahmu
senantiasa basah karena ber-dzikir kepadaKu?”.

c. Ucapan Hamdalah dan Istighfar

d. Berdoa Rasulullah saw bersabda: “Doa yang paling utama ialah La ilaha illallah,
sedangkan dzikir yang paling utama adalah Alhamdulillah”.

e. Melalui anggota badan Aura Husna menjelaskan bahwa cara-cara yang dapat dilakukan
untuk ber-syukur meliputi tiga hal: 32 a. Hati Merasa puas atau senang terhadap apa yang
menjadi ketetapan Allah swt. Menyadari dengan sepenuh hati bahwa semua nikmat,
kesenangan, dan segala sesuatu yang diperoleh semata-mata karena kemurahan dari Allah
swt. Hati yang ber-syukur akan melahirkan jiwa yang qana’ah.

Anda mungkin juga menyukai