Anda di halaman 1dari 5

KU INGIN MEMAKAIKAN MAHKOTA DI KEPALA MU

s
bungsu
ebut saja Addin, nama lengkapnya adalah Shalahuddin Al Ayyubi, dia adalah anak

perjalanan
dari empat bersaudara, semua saudaranya adalah laki-laki dan sudah menempuh
hidupnya masing-masing, ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang masih
kuliah sedangakan ia masih duduk di bangku sekolah, kalau di jawa empat bersaudara disebut
dengan istilah sekawan. Addin hidup di lingkungan metropolitan, dia lahir di Jakarta dengan
persilangan antara sunda dan jawa, ibunya adalah adalah orang sunda yang berasal dari
Sumedang kemudian pindah ke Jakarta, sedangkan ayahnya orang Jawa berasal dari Malang.
Addin tmubuh dalam keluarga yang religius, ayahnya bekerja di percetakan beliau adalah tipe
orang yang rajin sholat ke masjid walau banyak pekerjaan dunia yang menghampiri, sedangkan
ibunya adalah seorang guru, ibunya adalah orang yang sangat rajin membaca Al Quran dalam
segala keadaan, dan yang pertama kali mengajarkan Al Quran kepada Addin adalah ibu.
Kala itu selepas menunaikan sholat maghrib ayahnya memberi nasihat kepada Addin
“Addin, ayah tidak banyak berharap kepada anak-anak ayah, ayah hanya ingin Addin bisa
menghafal al Al Quran serta mengamalkan beserta isinya, ayah sudah tua dan ingin sekali
memiliki anak yang penghafal Al Quran, jadikanlah ayah dan ibumu ini keluarga Allah”
ya, hampir setiap sehabis sholat Addin selalu mendapat nasihat yang sama, begitu besar harapan
kedua orang tuanya kepadanya agar kelak Addin bisa menjadi penghafal Al Quran dan
bermanfaat bagi sekitarnya. Tak lupa juga sang ayah dan ibu selalu menanamkan ke hatinya agar
mencintai Al Quran, selalu membacanya, dan menghayati kandungannya.
Addin yang selalu mendapat nasihat yang berulang-ulang, kata-kata ayahnya sampai masuk ke
dalam alam bawah sadarnya, menjadi tekat yang kuat, mimipi yang menjulang tinggi merobek
pintu-pintu semesta, dengan mantap dalam hatinya dia bertekad ingin menjadi penghafal Al
Quran.
“Aku akan menjadikan ayah dan ibu sebagai keluarga Allah”
gumamnya dalam mantapnya keyakinan.
Demi mewujudkan mimpinya Addin dan kedua orang tuanya, maka orang tuanya memasukkan
Addin semenjak SD ke pesantren tahfidzul Quran yang berada di Karawang, dari situ Addin
mulai menghafal al Al Quran dengan didamping oleh para musyrif yang sudah hafal Al Quran 30
juz yang sangat membantu Addin dalam menghafal Al Quran. Namun jalan untuk mewujudkan
mimpi tak selamanya mulus.
Addin adalah anak paling kecil dibanding teman-temanya di pesantren itu, maka tak luput pula
ejekan-ejekan dan hinaan terlontar dari mulut teman-temannya karna tubuhnya yang kecil, tapi
Addin berusaha untuk tetap maju, mendiamkan segala bentuk ejekan teman-temanya. Pernah
suatu ketika Addin sedang menghafal al Al Quran, tiba-tiba dia diganggu oleh temanya dan
Addin mengacuhkan hal tersebut, temannya yang merasa diacukan marah dan memukul Addin
yang membuat Addin menangsis. Tapi Addin memiliki tipikal orang sabar, Addin juga sadar dia
gak mungkin bisa membalas perbuatan mereka karena dia sadar akan postur tubuhnya, Addin
hanya bisa berdoa semoga temanya bisa menjadi anak yang baik.
Sejak SD Addin memiliki hobi menggambar dan menulis, maka dikala ia sedang diganggu
merasa sedih, ia memeilih untuk menyendiri dan menggambar apa yang ada di benaknya, akan
tetepi setelah tahu menggambar makhluk hidup dilarang maka ia membatasi hanya menggambar
alam-alam saja. Maka dikala ia suntuk ia akan mengambar jika sudah hilang ia akan kembali
menghafal
“Para penghafal al Al Quran pada hari kiamat kelak akan memakaian jubah kemulian dan
mahkota kepada kedua orang tuanya” kala itu salah seorang ustadz menyampaikan dari
penjelasan sebuah hadits.
Dengan perasaan yang membara, Addin ingin membalas semua kebaikan kedua orang tuannya,
dan menurutnya hal yang bisa dan menyamai kebaikan kedua orang tuanya adalah jubah dan
mahkota yang akan diberikan di akhirat kelak, dan yang hanya bisa melakukan hal tersebut
adalah para penghafal Al Quran.
Keinginan yang menggebu memenuhi relung jiwa seorang Addin menambah semangat dalam
menghafal Al Al Quran, hari berganti hari, bulan berganti, satu juz terlewati, dua juz, tiga juz,
hingga sepuluh juz. Setelah sampai di sepuluh juz Addin melaksanakan ujian sepuluh juz sekali
duduk. Alhamdulillah hasil yang memuaskan tak ada kesalahan yang fatal dilakukan oleh Addin,
dalam hatinya
“ayah, ibu, aku sudah sepertiga perjalanan untuk menaruh mahkota di kepala kalian” sambil
terharu.
Masa SD terlewati dengan keberhasilan Addin mendapatkan sepuluh juz hafalan, tak terkira
bangganya ayah dan ibunya, ketika Addin pulang ke rumah langsung di peluk erat oleh ayah dan
ibunya, berduannya bergumam “ya Allah aku meridhoi anakku, jagalah dia, sertakanlah ia
dalam keadaan apapaun”.
Tapi ada sesuatu yang disembunyikan oleh kedua orang tuanya Addin, mereka tidak akan
memberitahu Addin akan hal itu, sesutau yang sangat menyakitkan jika didengar oleh telinga dan
sangat mengiris hati, karna ayah sudah merasakannya. IBU SAKIT.
Addin yang sekarang menginjak jenjang pendidikan selanjutnya yaitu SMP selalu taat dan patuh
kepada orang tuanya, dan keduannya ingin memondokkan Addin Kembali di pondok tahfidz
tingkat lebih tinggi, dan Addin sangat senang akan hal itu, tanpa pikir panjang langsung
mengiyakan tawaran ayah dan ibu walaupun lokasinya begitu jauh, di Cirebon, dan Addin belum
mengetahui tentang ibu.
Maka dengan diantar oleh ayah, Addin pergi ke Cirebon menggunakan bis, diperjalan ayah tak
berehenti-berhenti selalau menasehati Addin agar selalu ingat Allah dalam keadaan apapau,
karna Addin sudah besar dan jauh dari orang tua, satu-satunya pelindung Addin adalah Allah,
“bahkan…” kata ayah kala itu, “sebelum Addin sadar bahwa Allah melindungi Addin, Allah
sudah selalu melindungi Addin, karna Addin adalah seorang penghafal Al Al Quran”.
Addin terdiam dan meresapi nasihat dari ayah dia akan selalu mengingat akan hal itu.
Resmi sudah Addin menjadi santri di pondok tahfidz itu, setelah tes dan hal-hal yang lain yang
Addin telah lakukan. Setelah semua selesai ayah pun pamit untuk pulang, dengan berat hati yang
diringankan dengan tujuan hanya untuk Allah, ayah pamit memeluk Addin erat, sangat erat, sang
ayah menyembunyikan air matanya kala itu.
Hari berlalau berganti bulan, penyakit yang diderita ibu semakin parah, ibu selalu bilang ke ayah
bahwa ia sangat kangen Addin, tapi tidak membolehkan ayah untuk memberitahu Addin, ibu
tidak mau mengganggu Addin yang lagi fokus menuntut ilmu dan menghafal Al Quran di sana,
ayah hanya bisa menuruti ibu yang ayah juga sebenarnya kangen dan tidak mau mengganggu
Addin.
Addin kala itu sudah hampir menyelesaikan hafalannya. Di malam yang sunyi tiba-tiba salah
satu ustadz memanggilnya, ternyata Addin mendapat telpon dari ayahnya.
“assalamulaikum”ayah memulainya,
“waalaikumussalam, ayah, ibu apa akabar?” jawab Addin, dengan spontan Addin langsung
menanyakan kabar ayah dan ibu sebelum ditanya akan kabarnya terlebih dulu.
“Alhamdulillah kabar ayah sama ibu baik” ayah menutupinya, “Addin mau nelpon sama…”,
“mau” tanpa ragu “Addin mau nelpon sama ibu”,
ayah pun memberi telpon kepada ibu
“asaalamualaikum, nak apa kabar” berebeda dengan ayah, ibu langsung menyambung
salamnya dengan menanyakan kabar, Addin kedahuluan sama ibu,
“baik bu, ibu apa kabar?” Addin bertanya,
“Alhamdulillah nak” jawab ibu
Obrolan akan kekangenan ibu dan ayah, dan Addin kepada mereka berlangsung lama tak lupa
Addin memberi tahu bahwa sebentar lagi dia akan menyelesaikan hafalanaya, dan pada akhirnya
ibu dan ayah menutup dengan nasihat yang selalu aku simpan erat dalam hati, yang selalu di
ulang-ulang oleh ayah
“selalu ingat Allah, hafalakan Al Al Quran dan amalkan, jadilah manusia yang bermanfaat”
terkhir ibu berkata”ibu dan ayah sayang Addin, masalah sebesar apapun Addin masih punya
Allah, terus fokus terus dalam menghafal Al Quran ya. Jangan lupa murajaahnya.”
Ibu menutup telpon dan bergumam dalam hatinya “ya Allah aku meridhoi anakku, lindungilah
anakku” sambil berlinang air mata.
Namun pada akhirnya sakit yang diderita ibu kian parah hingga akhirnya di bawa ke rumah sakit,
ayah membuat keputusan yaitu membawa Addin pulang dan memberi tahu kepada saudara-
saudaranya akan kondisi ibu, semua keluarga Addin berkumpul dan mendampingi ibu,
bergantian berjaga di rumah sakit, siang malam bergantian. Addin anak paling bungsu yang tidak
tahu-menahui ibunya sudah sakit separah itu menangis tanpa suara, berlinang air matanya, dari
mulutnya hanya terucap doa-doa untuk kesembuhan ibunya.
Namun pencipta semesta sangat mencintai ibu dan ingin berjumpa, dalam kondisi yang kritis ibu
memanggil anak-anaknya, menatap satu perstu anaknya berlinang air mata dan berkata
“ya Allah aku sangat menyayangi anak-anakku, aku ridha, maka lindungilah anakku, permudah
dan batulah mereka dalam segala urusannya”
posisi Addin yang kala itu di samping kanan ibu menangis sambil berkata
“ibu,…ibu jangan kemana-mana dulu, ibu Addin sebebntar lagi hafal al Al Quran, ibu sebentar
lagi Addin bisa memakaikan ibu sama ayah mahkota dan baju kemuliaan, ibu jangan pergi dulu,
sebentar lagi aja ibu, Addin mohon”
Ayah dan saudara-saudaranya Addin yang berada disekitar ibu tak bisa menahan air mata
mereka, semua menangis tak dapat berucap, ibu langsung mengelus kepala Addin
“Addin jadilah anak yang soleh, ibu akan tunggu mahkota dari Addin, tapi sepertinya ibu tidak
bisa menunggu di sini, ibu yakin Addin kuat, ibu sayang Addin, jangan tinggalkan al Al Quran
sampai akhir hayat Addin ya”
Setelah itu ibu memeluk Addin dan semua anak-anaknya, dalam suasana itu ibu tersenyum dan
di akhir hayatnya dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Tak ada yang berucap, semua
menangis tersengguk, Addin memeluk umi. Mungkin ini adalah ujian terberat baginya dalam
perjalanan menghafal al Al Quran, namun wafatnya sang ibunda tidak membuat Addin
kehilangan semangat, bermula dari situ walau sangat sedih ditinggal sang ibu semangatnya tak
pernah layu. ia berguama di atas pusara ibunya
“ku ingin meletakkan mahkota di kepalamu, tunggulah aku ibu, aku sayang ibu”.
Addin tahu apa yang mesti dilakukan, dia melangkah dengan pasti menuju itu.

Anda mungkin juga menyukai