Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN

RUMAH SAKIT

MATA KULIAH MANAJEMEN TATA RUANG


RUMAH SAKIT

NAMA ANGGOTA :

1. Muhammad Fajar Laksana (10819001)


2. Salsabilla Sevina Izdihar (10819002)
3. Reynaldo Arya Megantara (10819012)

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA


KEDIRI
2021/ 2022
BAB I

PENDAHULUAN

Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 4 Tahun 2018 adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

(Bramantoro, 2017) juga menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan suatu


fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan upaya kesehatan secara
berdayaguna dan berhasil guna pada upaya penyembuhan dan pemulihan yang
terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya
rujukan.

Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehaan profesional yang


pelayanannya disedikan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Pengertian lainnya, rumah sakit adalah gedung tempat merawat orang sakit (Balai
Pustaka, 2001: 967). Rumah sakit juga dapat diartikan sebagai gedung tempat
menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai
masalah kesehatan (Balai Pustaka, 2001: 967). Jadi pengertian rumah sakit adalah
tempat yang menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan untuk orang
sakit dengan berbagai jenis penyakit dan merupakan sebuah institusi perawatan
kesehatan profesional dan terdapat dokter, perawat dan tenaga ahli kesehatan
lainnya.

Pada Pasal 7 ayat (1) Undang undang rumah sakit, rumah sakit harus
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung
pada umumnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi
semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut. Pada
Pasal 17 Undang-Undang Rumah Sakit menegaskan bahwa:
Bagi rumah sakit yang tidak dapat memenuhi persyaratan maka tidak akan
diperpanjang izin operasionalnya, bahkan pemerintah dapat mencabut ijin
oprasional rumah sakit tersebut. Kemudian dijelaskan pada Pasal 27 izin Rumah
Sakit dapat dicabut jika habis masa berlakunya, tidak lagi memenuhi persyaratan
dan standar, terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan, dan atau atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum.

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Rumah Sakit menyampaikan bahwa


bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri
atas: Ruang Rawat Jalan, Ruang rawat inap, Ruang Gawat Darurat, Ruang
Operasi, Ruang Tenaga Kesehatan, Ruang Radiologi, Ruang Laboratorium,
Ruang Sterilisasi, Ruang Farmasi, Ruang Pendidikan dan Latihan, Ruang Kantor
dan Administrasi, Ruang Ibadah, Ruang Tunggu, Ruang Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit, Ruang Menyusui, Ruang Mekanik, Ruang Dapur,
Laundry, Kamar Jenazah, taman, Pengolahan Sampah dan Pelataran Parkir yang
Mencukupi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit

Salah satu bangunan gedung yang menjadi tempat berkumpul banyak orang
adalah rumah sakit. Seperti data yang dihimpun oleh PERSI (Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia), yang menyebutkan bahwa jumlah rumah sakit di
seluruh Indonesia hingga akhir 2018 sebanyak 2.813 unit. Jumlah tersebut terdiri
dari 2.269 rumah sakit umum dan 544 rumah sakit khusus.

Sesuai yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 24


Tahun 2016, adapun persyaratan teknis bangunan rumah sakit meliputi aspek tata
bangunan dan keandalan bangunan. Dijelaskan lebih lanjut, adapun aspek tata
bangunan yang akan diperiksa oleh pengkaji teknis meliputi peruntukan dan
intensitas bangunan, arsitektur bangunan, dan pengendalian dampak lingkungan.
Sedangkan keandalan bangunan gedung yang akan diperiksa di antaranya adalah
aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan sesuai fungsi dari
rumah sakit.

sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 24 Tahun 2016.


Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut:

1. Struktur bangunan rumah sakit harus direncanakan dan dilaksanakan


dengan sebaik mungkin agar kuat, kokoh, dan stabil dalam memikul
beban/kombinasi beban. Selain itu, struktur bangunan rumah sakit
haruslah memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan kelayanan
(serviceability) selama umur bangunan gedung dengan
mempertimbangkan fungsi dari bangunan rumah sakit.
2. Kemampuan memikul beban, baik beban tetap maupun beban
sementara yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur
harus diperhitungkan.
3. Penentuan mengenai jenis, intensitas, dan cara bekerjanya beban
harus sesuai dengan standar teknis yang berlaku.
4. Struktur bangunan rumah sakit harus direncanakan terhadap
pengaruh gempa sesuai dengan standar teknis yang berlaku.
5. Apabila terjadi keruntuhan pada bangunan rumah sakit, kondisi
strukturnya harus memungkinkan pengguna bangunan untuk dapat
mengevakuasi/menyelamatkan diri. Dalam hal ini, bangunan rumah
sakit harus memenuhi persyaratan kemudahan di mana harus
tersedia jalur dan tanda evakuasi bencana.
6. Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan rumah sakit,
harus dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala
sesuai dengan pedoman teknis atau standar yang berlaku.
Pemeriksaan keandalan bangunan ini harus dilakukan atau
didampingi oleh tim ahli yang memiliki sertifikasi atas bidang yang
telah disyaratkan.

B. Persyaratan Umum Bangunan Rumah Sakit

1. Lokasi Rumah Sakit.

1.1. Pemilihan Lokasi.

(1) Aksesibilitas

Untuk jalur transportasi dan komunikasi, lokasi harus


mudah dijangkau oleh masyarakat atau dekat ke jalan raya dan
tersedia infrastruktur dan fasilitas dengan mudah, misalnya tersedia
pedestrian, aksesibel untuk penyandang cacat

(2) Kontur tanah

Kontur tanah mempunyai pengaruh penting pada


perencanaan struktur, dan harus dipilih sebelum perencanaan awal
dapat dimulai. Selain itu kontur tanah juga berpengaruh terhadap
perencanaan sistem drainase, kondisi jalan terhadap tapak
bangunan dan lain-lain.

(3) Fasilitas parkir.

Perancangan dan perencanaan prasarana parkir di rs sangat


penting, karena prasarana parkir dan jalan masuk kendaraan akan
menyita banyak lahan. Perhitungan kebutuhan lahan parkir pada rs
idealnya adalah 1,5 s/d 2 kendaraan/tempat tidur (37,5m2 s/d 50m2
per tempat tidur)1 atau menyesuaikan dengan kondisi sosial
ekonomi daerah setempat. Tempat parkir harus dilengkapi dengan
rambu parkir.

(4) Tersedianya utilitas publik.

Rumah sakit membutuhkan air bersih, pembuangan air


kotor/limbah, listrik, dan jalur telepon. Pengembang harus
membuat utilitas tersebut selalu tersedia.
(5) pengelolaan kesehatan lingkungan

Setiap rs harus dilengkapi dengan persyaratan pengendalian


dampak lingkungan antara lain : ƒ

1) Studi kelayakan dampak lingkungan yang


ditimbulkan oleh rs terhadap lingkungan
disekitarnya, hendaknya dibuat dalam bentuk
implementasi upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL), yang
selanjutnya dilaporkan setiap 6 (enam) bulan
(KEPMENKLH/08/2006). ƒ
2) Fasilitas pengelolaan limbah padat infeksius dan
non–infeksius (sampah domestik). ƒ
3) Fasilitas pengolahan limbah cair (instalasi
pengolahan air limbah (ipal); sewage treatment plan
(stp); hospital waste water treatment plant
(HWWTP)). Untuk limbah cair yang mengandung
logam berat dan radioaktif disimpan dalam
kontainer khusus kemudian dikirim ke tempat
pembuangan limbah khusus daerah setempat yang
telah mendapatkan izin dari pemerintah. ƒ
4) Fasilitas pengelolaan limbah cair ataupun padat dari
instalasi radiologi.
5) Fasilitas pengolahan air bersih (water treatment
plant) yang menjamin keamanan konsumsi air
bersih rumah sakit, terutama pada daerah yang
kesulitan dalam menyediakan air bersih.

(6) bebas dari kebisingan, asap, uap dan gangguan lain. ƒ

Pasien dan petugas membutuhkan udara bersih dan


lingkungan yang tenang. ƒ pemilihan lokasi sebaiknya bebas dari
kebisingan yang tidak semestinya dan polusi atmosfer yang datang
dari berbagai sumber.

(7) master plan dan pengembangannya.

Setiap rumah sakit harus menyusun master plan


pengembangan kedepan. Hal ini sebaiknya dipertimbangkan
apabila ada rencana pembangunan bangunan baru. Review master
plan dilaksanakan setiap 5 tahun.

1.2 massa bangunan.


(1) intensitas antar bangunan gedung di rs harus memperhitungkan
jarak antara massa bangunan dalam rs dengan mempertimbangkan
hal-hal berikut ini :

a. Keselamatan terhadap bahaya kebakaran;


b. Kesehatan termasuk sirkulasi udara dan pencahayaan;
c. Kenyamanan;
d. Keselarasan dan keseimbangan dengan lingkungan;

(2) perencanaan RS harus mengikuti Rencana Tata Bangunan &


Lingkungan (RTBL), yaitu :

a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) ketentuan besarnya


KDB mengikuti peraturan daerah setempat. Misalkan
ketentuan KDB suatu daerah adalah maksimum 60% maka
area yang dapat didirikan bangunan adalah 60% dari luas
total area/ tanah.
b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) ketentuan besarnya
KLB mengikuti peraturan daerah setempat. KLB
menentukan luas total lantai bangunan yang boleh
dibangun. Misalkan ketentuan KLB suatu daerah adalah
maksimum 3 dengan KDB maksimum 60% maka luas total
lantai yang dapat dibangun adalah 3 kali luas total area
area/tanah dengan luas lantai dasar adalah 60%.
c. Koefisien Daerah Hijau (KDH) perbandingan antara luas
area hijau dengan luas persil bangunan gedung negara,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah
setempat tentang bangunan gedung, harus diperhitungkan
dengan mempertimbangkan 1. Daerah resapan air 2. Ruang
terbuka hijau kabupaten/kota untuk bangunan gedung yang
mempunyai KDB kurang dari 40%, harus mempunyai KDH
minimum sebesar 15%.

d. Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Pagar


(GSP) ketentuan besarnya GSB dan GSP harus mengikuti
ketentuan yang diatur dalam RTBL atau peraturan daerah
setempat.
(3) memenuhi persyaratan peraturan daerah setempat (tata kota
yang berlaku).

(4) pengembangan rs pola vertikal dan horizontal penentuan pola


pembangunan rs baik secara vertikal maupun horisontal,
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan kesehatan yang
diinginkan rs (health needs), kebudayaan daerah setempat
(cultures), kondisi alam daerah setempat (climate), lahan yang
tersedia (sites) dan kondisi keuangan manajemen rs (budget).

1.3 zonasi.

Pengkategorian pembagian area atau zonasi rumah sakit


adalah zonasi berdasarkan tingkat risiko terjadinya penularan
penyakit, zonasi berdasarkan privasi dan zonasi berdasarkan
pelayanan.

(1) zonasi berdasarkan tingkat risiko terjadinya penularan penyakit


terdiri dari : ƒ

a. Area dengan risiko rendah, yaitu ruang kesekretariatan dan


administrasi, ruang komputer, ruang pertemuan, ruang
arsip/rekam medis. ƒ
b. Area dengan risiko sedang, yaitu ruang rawat inap non-
penyakit menular, rawat jalan. ƒ
c. Area dengan risiko tinggi, yaitu ruang isolasi, ruang icu/iccu,
laboratorium, pemulasaraan jenazah dan ruang bedah mayat,
ruang radiodiagnostik. ƒ
d. Area dengan risiko sangat tinggi, yaitu ruang bedah, IGD,
ruang bersalin, ruang patolgi.

(2) zonasi berdasarkan privasi kegiatan terdiri dari : ƒ

a. Area publik, yaitu area yang mempunyai akses langsung


dengan lingkungan luar rumah sakit, misalkan poliklinik, igd,
apotek). ƒ
b. Area semi publik, yaitu area yang menerima tidak berhubungan
langsung dengan lingkungan luar rumah sakit, umumnya
merupakan area yang menerima beban kerja dari area publik,
misalnya laboratorium, radiologi, rehabilitasi medik. ƒ
c. Area privat, yaitu area yang dibatasi bagi pengunjung rumah
sakit, umumnya area tertutup, misalnya seperti icu/iccu,
instalasi bedah, instalasi kebidanan dan penyakit kandungan,
ruang rawat inap.

(3) zonasi berdasarkan pelayanan terdiri dari : ƒ

a. Zona pelayanan medik dan perawatan yang terdiri dari :


instalasi rawat jalan (irj), instalasi gawat darurat (igd), instalasi
rawat inap (irna), instalasi perawatan intensif
(icu/iccu/picu/nicu), instalasi bedah, instalasi rehabilitasi medik
(irm), instalasi kebidanan dan penyakit kandungan, unit
hemodialisa, instalasi radioterapi, instalasi kedokteran nuklir,
unit transfusi darah (bank darah). ƒ
b. Zona penunjang dan operasional yang terdiri dari : instalasi
farmasi, instalasi radiodiagnostik, laboratorium, instalasi
diagnostik terpadu (idt), instalasi sterilisasi pusat (;central
sterilization supply dept./cssd), dapur utama, laundri,
pemulasaraan jenazah dan forensik, instalasi sanitasi, instalasi
pemeliharaan sarana (ips). ƒ
c. Zona penunjang umum dan administrasi yang terdiri dari :
bagian kesekretariatan dan akuntansi, bagian rekam medik,
bagian logistik/ gudang, bagian perencanaan dan
pengembangan (renbang), sistem pengawasan internal (spi),
bagian pendidikan dan penelitian (diklit), bagian sumber daya
manusia (sdm), bagian pengadaan, bagian informasi dan
teknologi (it).
1.4 kebutuhan luas lantai.

(1) kebutuhan luas lantai untuk rumah sakit umum ini disarankan +
80 m2 .

(2) sebagai contoh, rumah sakit umum dengan kapasitas 300


tempat tidur, kebutuhan luas lantainya adalah sebesar 80 (m2
/tempat tidur) x 300 tempat tidur = + 24.000 m2 .

2. Perencanaan bangunan rumah sakit.


2.1 prinsip umum.

(1) perlindungan terhadap pasien merupakan hal yang harus


diprioritaskan.

Terlalu banyak lalu lintas akan menggangu pasien,


mengurangi efisiensi pelayanan pasien dan meninggikan risiko
infeksi, khususnya untuk pasien bedah dimana kondisi bersih
sangat penting. Jaminan perlindungan terhadap infeksi merupakan
persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan pelayanan
terhadap pasien.

(2) merencanakan sependek mungkin jalur lalu lintas.

Kondisi ini membantu menjaga kebersihan (aseptic) dan


mengamankan langkah setiap orang, perawat, pasien dan petugas
rumah sakit lainnya. Rs adalah tempat dimana sesuatunya berjalan
cepat, mengingat jiwa pasien taruhannya, oleh karena itu jalur lalu
lintas harus direncanakan seefisien mungkin baik dari segi waktu,
biaya maupun tenaga.

(3) pemisahan aktivitas yang berbeda, pemisahan antara pekerjaan


bersih dan pekerjaan kotor, aktivitas tenang dan bising, perbedaan
tipe layanan pasien, dan tipe berbeda dari lalu lintas di dalam dan
di luar bangunan.

(4) mengontrol aktifitas petugas terhadap pasien serta aktifitas


pengunjung rs yang datang, agar aktifitas pasien dan petugas tidak
terganggu.

Tata letak pos perawat harus mempertimbangkan


kemudahan bagi perawat untuk memonitor dan membantu pasien
yang sedang berlatih di koridor pasien, dan aktifitas pengunjung
saat masuk dan ke luar unit. Bayi harus dilindungi dari
kemungkinan pencurian dan dari kuman penyakit yang dibawa
pengunjung dan petugas rs. Pasien di ruang icu dan ruang bedah
harus dijaga terhadap infeksi.

2.3 prinsip khusus.

(1) pencahayaan dan penghawaan yang nyaman untuk semua


bagian bangunan merupakan faktor yang penting. Ini khususnya
untuk rs yang tidak menggunakan ac.
(2) rs minimal mempunyai 3 akses/pintu masuk/gerbang masuk,
terdiri dari pintu masuk utama, pintu masuk ke unit gawat darurat
dan pintu masuk ke area layanan servis.

(3) pintu masuk untuk service sebaiknya berdekatan dengan dapur


dan daerah penyimpanan persediaan (gudang) yang menerima
barang-barang dalam bentuk curah, dan bila mungkin berdekatan
dengan lif service. Bordes dan timbangan tersedia di daerah itu.
Sampah padat dan sampah lainnya dibuang dari tempat ini, juga
benda-benda yang tidak terpakai. Akses ke kamar mayat sebaiknya
diproteksi terhadap pandangan pasien dan pengunjung untuk alasan
psikologis.

(4) pintu masuk dan lobi disarankan dibuat cukup menarik,


sehingga pasien dan pengantar pasien mudah mengenali pintu
masuk utama.

(5) jendela sebaiknya dilengkapi dengan kawat kasa untuk


mencegah serangga lainnya yang berada di sekitar rs, dan
dilengkapi pengaman.

(6) alur lalu lintas pasien dan petugas rs harus direncanakan


seefisien mungkin.

(7) koridor publik dipisah dengan koridor untuk pasien dan petugas
medik, dimaksudkan untuk mengurangi waktu kemacetan. Bahan-
bahan, material dan pembuangan sampah sebaiknya tidak
memotong pergerakan orang. Rumah sakit perlu dirancang agar
petugas, pasien dan pengunjung mudah orientasinya jika berada di
dalam bangunan.

(8) lebar koridor 2,40 m dengan tinggi langit-kangit minimal 2,40


m. Koridor sebaiknya lurus. Apabila ramp digunakan,
kemiringannya sebaiknya tidak melebihi 1 : 10 ( membuat sudut
maksimal 70 )

(9) alur pasien rawat jalan yang ingin ke laboratorium, radiologi,


farmasi, terapi khusus dan ke pelayanan medis lain, tidak melalui
daerah pasien rawat inap.

(10) alur pasien rawat inap jika ingin ke laboratorium, radiologi


dan bagian lain, harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan.

(11) site plan atau tata letak instalasi-instalasi berdasarkan zoning


dan peruntukan bangunan yang telah direncanakan. Contoh dapat
dilihat pada gambar 2.3.2-d.
A. Sarana Evakuasi
1) Umum. Setiap bangunan RS harus menyediakan sarana
evakuasi bagi orang yang berkebutuhan khusus termasuk
penyandang cacat yang meliputi :
a. sistem peringatan bahaya bagi pengguna,
b. pintu keluar darurat, dan
c. jalur evakuasi yang dapat menjamin pengguna
bangunan RS untuk melakukan evakuasi dari dalam
bangunan RS secara aman apabila terjadi bencana
atau keadaan darurat.
2) Persyaratan Teknis.
a. Untuk persyaratan sarana evakuasi pada bangunan
RS harus dipenuhi standar tata cara perencanaan
sarana evakuasi pada bangunan gedung.
b. Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang
belum mempunyai SNI, dapat digunakan standar
baku dan pedoman teknis yang diberlakukan oleh
instansi yang berwenang.
Jalur Evakuasi

B. Ruang isolasi pasien.

1) Ruang yang mempunyai kekhususan teknis sebagai ruang


perawatan intensif dan memiliki batasan fisik modular per
pasien, dinding serta bukaan pintu dan jendela dengan ruangan
ICU lain.
2) Ruang yang diperuntukkan bagi pasien menderita penyakit yang
menular, pasien yang rentan terkena penularan dari orang lain,
pasien menderita penyakit yang menimbulkan bau (seperti
penyakit tumor, ganggrein, diabetes) dan untuk pasien
menderita penyakit yang mengeluarkan suara dalam ruangan.
3) Pintu dan partisi pada ruang isolasi terbuat dari kaca minimal
setinggi 100 cm dari permukaan lantai agar pasien terlihat dari
pos perawat.
4) Ruang Perawatan Intensif dengan modul kamar individual/
kamar isolasi luas lantainya 16 m2 - 20 m2 per kamar.
C. Persyaratan Bangunan Rumah Sakit

Perancangan sebuah bangunan gedung rawat inap rumah sakit selain


dilihat dari aspek fungsional bangunan sebagai sarana pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan, aspek konstruksi bangunan juga menjadi faktor penting dalam
menghasilkan sebuah ruang yang dapat menunjang kegiatan pelayanan kesehatan,
khususnya fasilitas instalasi rawat inap.

Persyaratan konstruksi bangunan rumah sakit yang perlu diperhatikan


dalam perancangan bangunan yaitu (KEPMENKES RI
No.1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit)

1. Lantai
Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan rata, tidak
licin, warna terang, dan mudah dibersihkan.Untuk lantai yang selalu
kontak dengan air harus mempunyai kemiringan yang cukup ke arah
saluran pembuangan air limbah. Pertemuan lantai dengan dinding harus
berbentuk konus/lengkung agar mudah dibersihkan .
2. Dinding
Permukaan dinding harus kuat, rata, berwarna terang dan menggunakan
cat yang tidak luntur serta tidak menggunakan cat yang mengandung
logam berat.
3. Ventilasi
Dalam perancangan rumah sakit ventilasi bertujuan untuk penghawaan
seluruh bangunan, baik alami maupun buatan. Ventilasi alamiah harus
dapat menjamin aliran udara di dalam kamar/ruang dengan baik, Luas
ventilasi alamiah minimum 15 % dari luas lantai, apabila ventilasi alamiah
tidak dapat menjamin adanya pergantian udara dengan baik, kamar atau
ruang harus dilengkapi dengan penghawaan buatan/mekanis, Penggunaan
ventilasi buatan/mekanis harus disesuaikan dengan peruntukkan ruangan.
4. Langit-langit
Langit-langit harus kuat, berwarna terang, dan mudah dibersihkan.dengan
ketinggian minimal 2,70 meter dari lantai.
5. Fasilitas Pemadam Kebakaran
Bangunan rumah sakit dilengkapi dengan fasilitas pemadam kebakaran
sesuai dengan ketentuan yang berlaku meliputi Hydran dan APAR (Alat
Pemadam Api Ringan).
6. Lalu Lintas Antar Ruangan
a. Pembagian ruangan dan lalu lintas antar ruangan harus didisain
sedemikian rupa dan dilengkapi dengan petunjuk letak ruangan,
sehingga memudahkan hubungan dan komunikasi antar ruangan serta
menghindari risiko terjadinya kecelakaan dan kontaminasi
b. Penggunaan tangga atau elevator dan lift harus dilengkapi dengan
sarana pencegahan kecelakaan seperti alarm suara dan petunjuk
penggunaan yang mudah dipahami oleh pemakainya atau untuk lift 4
(empat) lantai harus dilengkapi ARD (Automatic Rexserve Divide)
yaitu alat yang dapat mencari lantai terdekat bila listrik mati.
c. Dilengkapi dengan pintu darurat yang dapat dijangkau dengan mudah
bila terjadi kebakaran atau kejadian darurat lainnya dan dilengkapi ram
untuk brankar.

C. Persyaratan Teknis Bangunan Ruang Rawat Inap


1. Lokasi.

a) Bangunan rawat inap harus terletak pada lokasi yang tenang, aman dan
nyaman, tetapi tetap memiliki kemudahan aksesibiltas atau pencapaian
dari sarana penunjang rawat inap.
b) Bangunan rawat inap terletak jauh dari tempat-tempat pembuangan
kotoran, dan bising dari mesin/generator.

2. Denah.

a) Persyaratan umum.
1) Pengelompokan ruang berdasarkan kelompok aktivitas yang
sejenis hingga tiap kegiatan tidak bercampur dan tidak
membingungkan pemakai bangunan.
2) Perletakan ruangannya terutama secara keseluruhan perlu adanya
hubungan antar ruang dengan skala prioritas yang diharuskan dekat
dan sangat berhubungan/membutuhkan.
3) Akses pencapaian ke setiap blok/ruangan harus dapat dicapai
dengan mudah.
4) Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci keberhasilan
perancangan, sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat
secara linier/lurus (memanjang)
5) Jumlah kebutuhan ruang harus disesuaikan dengan kebutuhan
jumlah pasien yang akan ditampung.
6) Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ke dalam ruangan.
7) Alur petugas dan pengunjung dipisah.
8) Besaran ruang dan kapasitas ruang harus dapat memenuhi
persyaratan minimal seperti ditunjukkan dalam tabel 1 1

Tabel 1 1

b) Persyaratan khusus.
1) Tipe ruang rawat inap, terdiri dari :
a. Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP).
b. Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1)
c. Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2)
d. Ruang rawat inap 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (kelas
3).
2) Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan (Ruang
Isolasi), seperti :
a. Pasien yang menderita penyakit menular.
b. Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti
penyakit tumor, ganggrein, diabetes, dan sebagainya).
c. Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam
ruangan). Keseluruhan ruang-ruang ini harus terlihat jelas
dalam kebutuhan jumlah dan jenis pasien yang akan dirawat.
c) Pos Perawat (Nurse Station).
Lokasi Pos perawat sebaiknya tidak jauh dari ruang rawat inap
yang dilayaninya, sehingga pengawasan terhadap pasien menjadi lebih
efektif dan efisien.
3. Lantai.
a) Lantai harus kuat dan rata, tidak berongga.
b) Bahan penutup lantai dapat terdiri dari bahan tidak berpori, seperti vinyl
yang rata atau keramik dengan nat yang rapat sehingga debu dari kotoran-
kotoran tidak mengumpul, mudah dibersihkan, tidak mudah terbakar.
c) Pertemuan dinding dengan lantai disarankan melengkung (hospital plint),
agar memudahkan pembersihan dan tidak menjadi tempat sarang debu dan
kotoran.

4. Langit-langit.

Langit-langit harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan
debu/kotoran.

5. Pintu.
a) Pintu masuk ke ruang rawat inap, terdiri dari pintu ganda, masing-masing
dengan lebar 90 cm dan 40 cm. Pada sisi pintu dengan lebar 90 cm,
dilengkapi dengan kaca jendela pengintai (observation glass).
b) Pintu masuk ke kamar mandi umum, minimal lebarnya 85 cm.
c) Pintu masuk ke kamar mandi pasien, untuk setiap kelas, minimal harus ada
1 kamar mandi berukuran lebar 90 cm, diperuntukkan bagi penyandang
cacat.
d) Pintu kamar mandi pasien, harus membuka ke luar kamar mandi.
e) Pintu toilet umum untuk penyandang cacat harus terbuka ke luar.

6. Kamar mandi.
a) Kamar mandi pasien, terdiri dari kloset, shower (pancuran air) dan bak
cuci tangan (wastafel).
b) Khusus untuk kamar mandi bagi penyandang cacat mengikuti pedoman
atau standar teknis yang berlaku.
c) Jumlah kamar mandi untuk penyandang cacat, 1 (satu) buah untuk setiap
kelas.
d) Toilet umum, terdiri dari kloset dan bak cuci tangan (wastafel).
e) Disediakan 1 (satu) toilet umum untuk penyandang cacat di lantai dasar,
dengan persyaratan sebagai berikut :
a. Toilet umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan tampilan
rambu/simbol "penyandang cacat" pada bagian luarnya.
b. Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang
cukup untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.
c. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna kursi roda sekitar (45 ~ 50 cm).
d. Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan
rambat (handrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan
dengan pengguna kursi roda dan penyandang cacat yang lain.
Pegangan disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke atas
untuk membantu pergerakan pengguna kursi roda.
e. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran (shower) dan
perlengkapanperlengkapan seperti tempat sabun dan pengering
tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh
orang yang memiliki keterbatasan keterbatasan fisik dan bisa
dijangkau pengguna kursi roda.
f. Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin. Lantai tidak boleh
menggenangkan air buangan.
g. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan
pengguna kursi roda.
h. Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa
dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.
i. Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada daerah pintu
masuk, disarankan untuk menyediakan tombol bunyi darurat
(emergency sound button) bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang
tidak diharapkan.

7. Jendela.
a) Disarankan menggunakan jendela kaca sorong, yang mudah
pemeliharaannya, dan cukup rapat.
b) Bukaan jendela harus dapat mengoptimalkan terjadinya pertukaran udara
dari dalam ruangan ke luar ruangan.
c) Untuk bangunan rawat inap yang berlantai banyak/bertingkat, bentuk
jendela tidak boleh memungkinkan dilewati pasien untuk meloncat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Rumah sakit adalah tempat yang menyediakan dan memberikan pelayanan


kesehatan untuk orang sakit dengan berbagai jenis penyakit dan merupakan
sebuah institusi perawatan kesehatan profesional dan terdapat dokter, perawat dan
tenaga ahli kesehatan lainnya.

Rumah sakit harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan


teknis bangunan gedung pada umumnya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan persyaratan teknis bangunan rumah sakit, sesuai dengan
fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta
perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat,
anak-anak, dan orang usia lanjut. Bagi rumah sakit yang tidak dapat memenuhi
persyaratan maka tidak akan diperpanjang izin operasionalnya, bahkan pemerintah
dapat mencabut ijin oprasional rumah sakit tersebut. Hal ini guna memudahkan
pemberian pelayanan kepada pasien dan keamanan terhadap pasien serta
karyawan rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai