Anda di halaman 1dari 16

1.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Mulawarman
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia, rahmat, serta
kemudahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Qira’at Al-Qur’an”.
Penyusunan makalah ini guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an yang diampu oleh
Ibu Rabiatul Adawiyah,Lc., M.A..
Penyusun menyadari jika makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan
pengetahuan serta pengalaman penyusun. Oleh karenanya, kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun selalu penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Penyusun berharap semoga
makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi para pembacanya. Penyusun mohon maaf apabila ada
kata-kata yang kurang berkenan di dalam makalah ini dan akhir kata, penyusun ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Samarinda, 26 Oktober 2021

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………...….…1

Daftar Isi………………………………………………………………………………...2

BAB I………………………………………………………………………………….…3

PENDAHULUAN……………………………………………………………….………3

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….……..3


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..…4
1.3 Tujuan Pembahasan ……………………………………………………………..4

BAB II …………………………………………………………………….………..……5

PEMBAHASAN…………………………………………………………………....……5

2.1. Pengertian Qiraat….………………………………...…….………….


……….…5
2.2. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat…………………….…….
…..…6
2.3. Sebab-sebab Perbedaan Qiraat……………………...…………………….
….....8
2.4. Macam-macam Qiraat……………………………………..……………...
…......8
2.5. Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Istinbath
Penetapan (Hukum)…………………………….
………………………………………..........9
BAB III …………………………………………………………………………………13

PENUTUP………………………………………………………………………………13

3.1. Kesimpulan………………………….……..……………………………….....13

3.2. Saran……………………………………………………………………...……13

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..13

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an merupakan salah satu sumber hukum


Islam yang keasliannya dapat dipertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu
Allah baik dari segi lafadz maupun makna. Selain itu seluruh ayat dalam Al-Qur’an
dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir baik hafalan maupun tulisan. Al-
Qur’an tidak terlepas dari aspek qira’at, karena pengertian Al-Qur’an itu sendiri
secara lughat (bahasa) berarti ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’.

Qira’at Al-Qur’an disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada


para sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada para tabi’in. Demikian
seterusnya dari generasi ke generasi. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa
proses kodifikasi al-Qur’an pada masa khalifah Usman berada pada titik kritis
kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira’at
yang satu dengan aliran qira’at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling
mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Usman telah meluas, orang-
orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang
lancarnya komunikasi intelektual diantara mereka. Adanya pengklaiman qiraatnya
paling benar dan qiraat orang lain salah merambah dimana-mana. Hal ini
menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.Situasi demikian sangat
mencemaskan Khalifah Usman. Untuk itu ia mengundang para sahabat terkemuka
untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf yang ditulis pada
masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang disimpan di rumah Hafsah disalin kembali
menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke berbagai kota, untuk
dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu terjadi perselisihan sistem
qira’at.

Sementara itu, Khalifah Usman memerintahkan untuk membakar mushaf


yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi pada masanya yang dikenal dengan
nama Mushaf Imam. Kebijakan khalifah Usman ini di satu sisi merugikan karena
menyeragamkan qiraat yakni dengan lisan Quraish (dialek orang-orang Quraish),
namun disisi lain lebih menguntungkan yakni umat Islam bersatu kembali setelah
terjadi saling menyerang dan menyalahkan antara satu dengan yang lain.

3
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dituliskan masalah yang ada,
yaitu :

a. Apa yang dimaksud dengan Qira’at Al-Qur’an?


b. Apa latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
c. Apa sebab-sebab perbedaan Qira’at?
d. Apa saja macam-macam Qira’at?
e. Apa urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam istinbath
penetapan (hukum)?

1.3. Tujuan Pembahasan

a. Untuk mengetahui pengetian Qira’at Al-Qur’an


b. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at
c. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan Qira’at
d. Untuk mengetahui macam-macam Qira’at
e. Untuk mengetahui urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam
istinbath penetapan (hukum)

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Qira’at


Istilah qira’at berasal dari bahasa Arab ‫راءات‬55‫ ق‬jamak (plural) dari ‫راءاة‬55‫ ق‬, secara
etimologi merupakan akar kata (masdar) dari ‫رأ‬55‫ ق‬yang berarti membaca. Sedangkan,
menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah satu mazhab pengucapan Qur’an yang dipilih
oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab
lainnya. Dalam kajian Ilmu Tafsir, qira’at berarti: “Suatu aliran dalam melafalkan Al-
Qur’an yang dipelopori oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dari pembacaan imam-
imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan
qira’at tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya disepakati”.
Az-Zarqani mendefinsikan qira’at dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang
dianut oleh seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-
Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya. Menurut Ibn al-Jazari
merumuskan bahwa qira’at ialah Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-
kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada
penukilnya. Sedangkan menurut al-Qasthalani ialah Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal
yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf,
I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
Menurut az-Zarkasyi, Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-
Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,
seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya. Sedangkan
Ibnu al-Jazari menjelaskan bahwa Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara
melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya
kepada penukilnya.
Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang
sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal
dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas,
maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu:
1) Qira’at berkaitan dengan cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah
seorang imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2) Cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung
kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.

5
Syaikh Abdul Fath al-Qadhy berkata bahwa qira’at adalah ilmu tentang tatacara
pengucapan kalimat-kalimat (ayat-ayat) Qur’aniyah. Sedangkan, Ibn al-Jaziri
menegaskan bahwa qira’at ialah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al-Qur’an dan
perbedaannya, dan tidak menyatakan qira’at sebagai suatu aliran dan tidak pula
menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dalam sanad yan dilaluinya.

2.2. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat

1. Latar Belakang Historis


Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini,
yaitu:
Suatu ketika Umar bin Khathtab membaca Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa
perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah SAW. Maka beliau menjawab
dengan sabdanya, yang artinya :
“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam
tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,”
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu
pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di
berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti
qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari
guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang
empat belas.
Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu
Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transpormasi
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada
akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.
Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang
benar dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at, mengembangkan
wajah-wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang
dan yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang
mereka utamakan.

2. Latar Belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)


Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula
dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau
diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus
Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri.

6
Hal itulah yang mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk
perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :
a) Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat,
misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli”
(artinya kikir), disini
dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca “Bil Bakhli”,
dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi “Bil Bukhli”.
b) Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya
pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak
perjalanan kami”. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id”
karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca “ba’ada” yang berarti kedudukannya
menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh.
c) Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya,
sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat
259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami
menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya
(kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf (Za’) diganti dengan huruf
(ra’) sehingga berubah bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d) Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya
tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya
“……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan”. Dalam ayat tersebut terdapat
bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-
bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e) Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya
pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”.
f) Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah
dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-
benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at
sakrat al-haqq bin al-maut”. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan
kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah
sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
g) Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam
surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa
menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan
sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.

3. Penyebab Perbedaan Qira’at


Sebab-sebab munculnya beberapa Qira’at yang berbeda adalah:

7
a) Perbedaan Qira’at Nabi, artinya dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya,
Nabi memakai beberapa versi Qira’at.
b) Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai Qira’at yang berlaku di kalangan kaum
muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-
kata di dalam Al-Qur’an.
Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”.
Padahal ia menghendaki “hatta hin”.
Ada riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi Qira’at yang ada atau
perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
c) Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya Al-
Qur’an.
d) Perbedaan syakh, harakah atau huruf.
Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222:
Kata yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”.
Jika dibaca Qira’at pertama, maka berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-
istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu).
Sedangkan Qira’at kedua berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu)
sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”

2.3. Sebab-sebab Perbedaan Qiraat

1. Perbedaan Qiraat Nabi dalam mengajarkan Al Qur’an


Contoh : َ‫فَاَل تَ ْعلَ ُم نَ ْفسٌ َما أُ ْخفِ َي لَهُ ْم ِم ْن قُ َّر ِة أَ ْعي ٍُن َج َزا ًء بِ َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬
Seseorang tidak akan dapat mengetahui banyaknya nikmat besar yang Allah sediakan dan
simpan untuk mereka, yang dapat menyedapkan pandangan mereka, sebagai balasan atas
ketaatan dan perbuatan yang mereka lakukan.
2. Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan umat Islam
waktu itu.misalnya ketika orang Hudzail membaca “Atta bin” didepan Rasul padahal yang
dimaksudkan “Hatta bin” orang asadi membaca “tiswaddu wujuh” padahal taswaddu
wujuh dan rasul mendiamkan.
3. adanya riwayat dari sahabat menyangkut berbagai versi qiraat yang ada
4. Adanya lahjah (dialek) kebangsaan di kalangan bangsa Arab
2.4. Macam-macam Qiraat

a) Macam-macam qiraat dilihat dari segi kuantitas


1) Qiraah sab’ah (qira’ah tujuh)

8
Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh.
Mereka itu adalah : Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin Abdurrahman
bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullah al-Yashibi (q. 118 H), Abu ‘Amar (w. 154 H),
Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188 H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.

2) Qiraat Asyrah (qira’at sepuluh)


Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di
atas ditambah tiga qiraat sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin
al-Qa’qa al- Makhzumi al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin
Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w.
229 H)
3) Qiraat Arba’at Asyarh (qira’at empat belas)
Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang
telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-
Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-
Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad
bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).
b) Macam-macam qiraat dilihat dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat
dikelompokkan dalam lima bagian, yaitu:

1) Qiraat Mutawatir
Yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir
sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.Umumnya, qiraat yang
ada masuk dalam bagian ini.
2) Qiraat Masyhur
Yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan
Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur
berbeda- beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut,
sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam
kitab-kitab qiraat.
3) Qiraat Ahad
Yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani
dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca
sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.
4) Qiraat Syadz (menyimpang),
Yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih.Telah banyak kitab yang ditulis untuk
jenis qiraat ini.
5) Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani
6) As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam
Yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan
pada bacaan dengan tujuan penafsiran.Umpamanya qiraat Abi Waqqash.

9
2.5. Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Istinbath Penetapan
(Hukum)
1. Urgensi mempelajari Qira’at

a. Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama, misalnya


berdasarkan surat AnNsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud
dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut adalah saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa [4] : 12) Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin
Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah
disepakati.
b. Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah
[5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa memerdekakan abid.
Tambahan kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat para ulama antara lain
AsSyafi’iy yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang
melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk alternatif kifaratnya.
c. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam surat Al-
Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya dengan

(sementara dalam mushaf utsmani tertulis yang artinya dapat difahami bahwa
seorang suami tidak boleh melakukan hubungan sebelum istrinya bersuci dan
mandi).
d. Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua bacaan mengenai
ayat itu, yaitu membaca

Perbedaan qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang


berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin
sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-Qariah [10] ayat 5, Allah
berfirman:

Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:

10
2. Pengaruh Qira’at dalam istinbath penetapan (hukum)

Berbagai riwayat hadits Nabi saw. diterangkan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam
tujuh huruf (al-ahruf al-sab’ah).24 Hadits-hadits Nabi saw. tentang al-ahruf al-sab’ah
menjadi pemicu adanya perbedaan pendapat di antara para ahli yang melahirkan
interpretasi tentang adanya perbedaan qira’at al- Qur’an. Bervariasinya qira’at yang
sahih ini mengandung banyak faedah antara lain; menunjukkan betapa terpeliharanya
dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan, walaupun mempunyai
sekian banyak bacaan yang berbeda-beda. Begitu pula meringankan umat Islam dan
memudahkan mereka membaca al-Qur’an dan sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an
dari segi kepadatan makna (ijaznya), karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum
syara’ tertentu tanpa pengulangan.
Dari penjelasan di atas dengan beberapa contoh bacaan al-Qur’an dengan beberapa
versi meliputi perbedaan dalam pengucapan harakat, huruf, dan bentuk kata. Susunan
kalimat dan penambahan maupun pengurangan kata, maka didasarkan pengamatan
terhadap beberapa sumber yang ada, ternyata ada perbedaan qira’at tersebut tidak
selamanya menimbulkan pengubahan arti yang dikandungnya. Karena perbedaan
bacaan tidak selamanya membawa dampak pada arti kata yang dikandungnya.
Demikian pula halnya dengan masalah hukum yang dikandungnya. Jadi adakalanya
berpengaruh terhadap perbedaan hukum dan adakalanya tidak berpengaruh terhadap
perbedaan hukum yang diintinbatkan. 1. Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap
istinbath hukum.
Contoh firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 222 yang berarti : ”Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah
menjauhkan diri dari wanita itu waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
Ayat di atas adalah larangan Allah terhadap suami untuk berhubungan intim
dengan istrinya yang sementara haid. Dalam ayat tersebut di atas terdapat perbedaan
bacaan pada lafaz yathhurna ( ‫ )نرھطی‬dengan bacaan takhfif yakni disukun huruf tho (‫ط‬
) dhamma , lalu ( ‫ ) نرھطی‬Hamz ah, al-Kissa’i dan ‘Ashim membacanya yaththaharna (
‫ ) اھ‬huruf ha (‫ )اھ‬dan (‫) ط‬serta menasab kedua huruf tesebut ( ‫ ) اھ‬dan (‫( ) ط‬bertasydid
huruf tho ). Sedangkan , Ibn Kathir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir menurut riwayat
Hafsah membacanya seperti yang tertulis dalam teks tersebut.27 Perbedaan bacaan dari
ayat di atas menimbulkan perbedaan hukum yang dikandungnya. Bacaan pertama
dengan bacaan takhfif lafaz ( ‫ )نرھطی‬bahwa seorang suami haram hukumnya untuk
berhubungan intim dengan istrinya dalam keadaaan haid sampai berhenti haidnya dan
mandi. Pandangan ini diperpegangi oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad.

11
Bacaan kedua dengan tasydid lafaz (‫)نرھطی‬. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa
yang dimaksud dari ayat di atas adalah larangan kepada suami untuk berhubungan
intim sampai istrinya suci, artinya berhenti darah haid. Dengan demikian, suami
diperbolehkan untuk berhubungan intim dengan istrinya karena telah berhenti haid,
meskipun belum mandi.28 Jika dua qira’at berbeda makna, tetapi tidak jelas kontradiksi
antara keduanya, sedangkan keduanya mengacu kepada hakikat yang sama, maka
kedua qira’at itu saling melengkapi.29 Perbedaan kedua qira’at tidak kontradiksi dari
segi makna, keduanya termasuk qira’at sahih. Perbedaan yang ditimbulkan terhadap
perbedaan istinbath hukum di sini hanya perbedaan dari wajib mandi setelah berhenti
haid dan boleh saja sebelum mandi jika sudah berhenti haid. Dengan demikian
mencermati perbedaan pandangan ulama memberi kesan kedua pandangan yang
berbeda itu dapat dikompromikan yakni bahwa suami haram menggauli istrinya yang
sedang haid sampai berhenti dari haidnya

12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Istilah qira’at berasal dari bahasa Arab ‫راءات‬55‫ ق‬jamak (plural) dari ‫راءاة‬55‫ ق‬, secara
etimologi merupakan akar kata (masdar) dari ‫رأ‬55‫ ق‬yang berarti membaca. Sedangkan,
menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah satu mazhab pengucapan Qur’an yang dipilih
oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab
lainnya. Dalam kajian Ilmu Tafsir, qira’at berarti: “Suatu aliran dalam melafalkan Al-
Qur’an yang dipelopori oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dari pembacaan imam-
imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan
qira’at tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya disepakati”.
3.2. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak, yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi
kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari
bahasan makalah yang telah di jelaskan.

Demikian makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan para pembaca dan penulis. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan
dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, kurang dimengerti, dan lugas. Karena
kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan., dan kami juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

13
Daftar Pustaka
http://belajarulumulquran.blogspot.com/2018/02/latar-belakang-timbulnya-perbedaan.html?m=1

https://www.kangdidik.com/2018/02/pengertian-qiraat-al-quran-dan.html?m=1

14
15

Anda mungkin juga menyukai