Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMIKIRAN SISTEM POLITIK MENURUT IBNU ARABI DAN AL-FARABI

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fikih Siyasah

Dosen Pengampu : Ismail Marzuki, M.A.Hk

Oleh :

Saiful Anwar ( 2002016144 )

Sinta Choiriyah ( 2002016017 )

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan izin-Nya, sehingga
penulis dapat membuat laporan Makalah tentang “PEMIKIRAN SISTEM POLITIK MENURUT
IBNU ARABI DAN AL-FARABI” Dalam kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Walisongo.
2. Bapak Ismail Marzuki, M.A.Hk selaku Dosen Pengampu.
3. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya,
terikasih atas bantuan yang telah di berikan.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki laporan
ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Makalah penulis ini dapat memberikan manfaat
terhadap pembaca.

Semarang, 6 November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Politik merupakan salah satu aktivitas manusia yang terpenting sepanjang
sejarah manusia. Dengan berpolitik, manusia saling mengelola potensi di antara
mereka, saling memahami dalam perbedaan yang ada, saling menjaga peraturan yang
disepakati bersama. Ada yang dipimpin, ada yang memimpin ada yang memerintah dan
ada pula yang diperintah. Semuanya merupakan aktivitas manusia.
Bagi Al-Farabi, politik berperan sebagai etika dan swakarsa yang terkait erat
dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. AlFarabi memulai pemikiran politiknya
tatkala menyinggung asalusul dan kemunculan negara atau kota. Menurutnya, masyarakat
mucul dari keberadaan persatuan di antara individu-individu yang saling
membutuhkan satu sama lain. Tidak seorang pun dapat mencukupi kebutuhannya
sendirisendiri, baik itu kebutuhan primer maupun sekunder.
Pemikiran politik Al-Farabi banyak mendapat pengaruh dari para Filosof Barat,
terutama Plato dan Aristoteles. Penggambaran negara utama yang diterapkan oleh Al-
Farabi sama dengan konsep Plato. Dalam kaitan ini, muncul pertanyaan bagaimana
konsep pemikiran Al-Farabi tentang politik dan negara? bagaimana pengaruh pemikiran
Filsafat Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik dan negara?bagaimana
perbedaan konsep Al-Farabi tentang politik dan negara dengan Filosof Islam lainnya?.
Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
konsep pemikiran Al-Farabi tentang politik dan negara, pengaruh pemikiran Filsafat
Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik dan negara, dan perbedaan
pemikiran Al-Farabi dengan ilmuan lainnya.
Metodologi yang digunakan dalam memahami persoalan ini adalah kajian
studi perpustakaan (Library research) yaitu mengumpulkan data dari buku-
buku dan referensi lain yang relevan dengan masalah yang sedang dibahas. Sedangkan
dalam menganalisis data, digunaka metode induktif dan deduktif.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana biografi Ibnu Arabi ?
2. Bagaimana pemikiran sistem politik menurut Ibnu Arabi ?
3. Bagaimana biografi Ibnu Arabi ?
4. Bagaimana pemikiran sistem politik menurut Ibnu Arabi ?
C. Tujuan Permasalahan.
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Arabi
2. Untuk mengetahui sitem politik menurut Ibnu Arabi
3. Untuk mengetahui biografi Ibnu Arabi
4. Untuk mengetahui sitem politik menurut Ibnu Arabi
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pemikiran sistem politik Ibnu Arabi


A. Biografi Ibnu Arabi
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Abdullah al-Hatimi1 yang kemudian dikenal dengan Ibn ‘Arabi. Bahagian Timur beliau
dikenal dengan nama al-Hatimi dan Ibn ‘Arabi sedangkan di belahan Barat dikenal dengan
Ibn al-‘Arabi. Lain halnya di tanah kelahirannya beliau lebih dikenal dengan panggilan Ibn
Suraqah. Lahir pada tanggal 17 Ramadan tahun 560 H bersamaan dengan 1165 M di daerah
Mursiyah bahagian utara Andalusia, sebuah keluarga keturunan Arab yang termasuk dalam
kabilah Ta’i.2 Ibnu ‘Arabi berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan di
Mercia, Andalusia Tenggara. Ketika ia berumur 8 tahun bersama keluarganya pindah ke
Sevilla, tempat dimana ia mulai belajar Al-qur’an dan fikih. Sevilla adalah pusat sufisme
yang penting di samping sebagai pusat ilmu pengetahuan.3
Keberhasilannya dalam dunia pendidikan mengantarkannya kepada sekretaris
gubernur Sevilla. Pada periode ini Ia menikah dengan wanita yang shalehah (Maryam).
Suasana kehidupan guru-guru sufi dan andil istrinya adalah faktor yang mempercepat ia
menjadi seorang sufi. Ibnu ‘Arabi pada usia 20 tahun memasuki jalan sufi (tarekat) secara
formal. Dalam usianya yang muda itu, sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di
Spanyol dan Afrika Utara, dan ia berkunjung ke Cordova bertemu dengan filosof muslim
Ibnu Rusyd dan tabib dinasti Barbar dari Alomohot.4
Bagaikan minum air laut, semakin diminum semakin haus, barang kali pepatah ini
sesuai ditujukan kepada Ibn ‘Arabi, beliau belum merasa puas dengan ilmu yang dimiliki,
semakin hari semakin merasa kekurangan terhadap ilmu pengetahuan dan semakin hari
semakin kuat keinginannya untuk menimba ilmu pengetahuan lebih dalam lagi. Dalam
fikirannya ilmu pengetahuan merupakan segala-galanya, hal ini yang menyababkan

1
A. Ates, Ibn ‘Arabi dalam The Encylopedioa of Islam. (E. J. Brill, 1986 Leiden. Jld.3), h. 104.
2
R.W. J. Austin, Introduction to Sufis of Andalusia: The Ruh al-Quds and Durrat al-Fakhirah of Ibn ‘Arabi
( London, 1971), h. 21. http://pengkajianpelitahati.wordpress.com, (15 Oktober 2013).
3
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 339
4
Kautsar Azhri Noer, Ibnu Arabi: Wahda Al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 18.
timbulnya satu tekad bagi dirinya untuk mengembara meninggalkan kampung halaman,
mencari anak-anak kunci di berbagai tempat yang akan dipergunakan untuk membuka
gudang-gudang ilmu ilmu pengetahuan. Sebelum memulai pengembaraan, beliau telah
mempersiapkan mental untuk menghadapi onak dan duri serta pahit getirnya sebagai
seorang pengambara. Pendekatan diri beliau kepada sang maha Pencipta semakin diperkuat
dan beliau pun memulai hidup sebagai seorang sufi.
Beliau melakukan perjalanan berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk
memperoleh dan menambah ilmu serta pengalaman lebih banyak lagi dengan tiga tahapan.
Beliau mengakhiri pengembaraannya di Damsik. Di kota ini beliau menghabiskan sisi-sisa
kehidupannya setelah malang melintang mengadakan pengembaraan demi mencari setitik
ilmu yang dapat mengobati kehausan dan memperoleh kepuasan. Pada malam jumat 28
Rabi’ul akhir tahun 638 H beliau dipanggil yang Maha Kuasa kembali menghadap Ilahi
dengan usia 78 tahun. Beliau pergi yang tidak akan kembali lagi meninggalkan semua yang
ada diduni ini. Jasadnya yang sudah membeku, membisu seribu bahasa dimakamkan di
kaki gunung Qasiyun di pekuburan pribadi Qadi Muhyi.5 Meskipun jasadnya telah kembali
keasalnya, mulutnya tidak pernah bicara lagi tangannya telah berhenti menggoreskan tinta,
namun karyanya masih tetap berbicara, semua usaha dan jerih payahnya masih dapat
dinikmati hingga saat ini tetap hidup dihati. Di antara karya-karya Ibnu ‘Arabi yang
masyhur bagi kalangan pemikir- pemikir muslim adalah sebagai berikut: Al-Futhah al-
Makkiyah (penyingkapan-penyingkapan ruhani di Makkah) , Full al-Hikam (permata-
permata hikmah)
B. Pemikiran sistem politik menurut Ibnu Arabi
1. Pembentukan Negara

Mengenai proses terbentuknya sebuah negara atau kota, pemikiran Ibnu Abi Rabi
bertitik tolak pada adanya kecenderungan watak dasar pada diri manusia untuk berkumpul
dan bermasyarakat6. tanpa kebutuhan tersebut. Dan manusia sebagai individu jelas tidak
akan mampu dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut, karena dalam pengadaannya

5
A.E. Affifi, a Mistical Philoshopy of Muhyiddin Ibn ‘Arabi, terj. Syahrir Mawi dan Nandi Rahman, Filsafat
Mistis Ibnu Arabi, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 2.
6
Ibnu Abi Rabi, Suluk al-Malik fi Tadbiri al-Mamalik. (selanjutnya disebut Suluk), h. 103. Munawir
Sjadzali, op. cit., h. 4
dibutuhkan berbagai keahlian ilmu dan keterampilan dari banyak orang. Oleh karena
itu diperlukan adanya kerjasama, dan kerjasama itu sekaligus mendorong untuk hidup
berkelompok dan menetap secara bersama-sama dalam suatu tempat, proses inilah
menurut Ibnu Abi Rabi yang membawa terbentuknya kota dan akhirnya menjadi sebuah
negara.

Perspektif yang berkaitan dengan teori terbentuknya negara yang dikemukakan di


atas, tanpaknya Ibnu Abi Rabi berusaha untuk mengkombinasikan antara teori manusia
sebagai mahluk sosial yang berkembang di kalangan pemikir-pemikir Yunani dengan
keyakinan dan paham keagamaanyang ia yakini. Hal ini terlihat dari pemikiran Ibnu Abi
Rabi bahwa kecenderungan manusia untuk berkumpul itu bukanlah semata-mata sebagai
fitrah manusia yang lepas dari kekuasaan Tuhan sebagaimana yang dipahami oleh pemikir-
pemikir Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Tetapi justru memang telah diciptakan oleh
Tuhan sejak awal menurut kehendak dan aturan-Nya7. Karena tugas manusia sebagai
khalifah dalam memakmurkan bumi ini adalah juga merupakan kehendak Tuhan.

2. Unsur-unsur Negara

Untuk mendirikan sebuah negara menurut Ibnu Abi Rabi, diperlukan beberapa
unsur, diantaranya antara lain: pertama, wilayah, yang di dalamnya harus ada sejumlah
komponen penting, seperti tersedianya air bersih, sumber pangan yang memadai, daerah
yang strategis dengan udara yang bagus, tidak jauh dari tempat pengembalaan atau
perkebunan, posisinya terlindung dari ancaman musuh, terdapatnya tempat shalat dan pasar
di tengah kota, serta dikelilingi oleh sekelompok masyarakat yang bisa menopang
pengembangan masyarakatnya8.

Kedua, Kepala Negara/Raja. Menurut Ibnu Abi Rabi sebuah negara harus memiliki
kepala negara atau raja yang tugas utamanya adalah menyelenggarakan segala urusan
negara dan rakyat, serta melindungi warganya dari gangguan atau bahaya, yang timbul di
antara mereka sendiri, atau yang datang dari luar9.

7
Ibid.,
8
Ibnu Abi Rabi, op. cit., h. 104.
9
Jalal Al-Syarif, Al-Fiqh Al-Siyasi fi Al-Islam, (Mishriyah: Al-Dar al-Jami’ah, 1978 M), h. 216-217.
Khusus kriteria seorang raja, Ibn Abi Rabi’ sebagaimana dikutip Munawir Sadzali
menegmukakan beberapa persyaratan sabagai berikut:

1. Harus anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan
raja sebelumnya.

2. Aspirasi yang luhur.

3. Pandangan yang mantap dan kokoh.

4. Ketahanan dalam menghadapi kesukaran tantangan.

5. Kekayaan yang banyak.

6. Pembantu-pembantu yang setia.10

Ketiga, Rakyat. Dalam menjelaskan, rakyat sebagai salah satu unsur negara,
tanpaknya Ibnu Abi Rabi lebih banyak melihat dari sisi pekerjaan atau fungsinya di tengah-
tengah masyarakat, di samping juga ia melihat dari sisi moral mereka.

Keempat, Keadilan, bagi Ibnu Abi Rabi merupakan unsur terpenting dalam suatu
negara. Ibnu Abi Rabi, mendefinisikan keadilan sebagai penetapan hukum Tuhan di muka
bumi.

Sedangkan dalam pengaplikasiannya, Ibnu Abi Rabi membagi keadilan itu menjadi
tiga bagian, yaitu: pertama, ditegakkan dengan memenuhi hak Allah, seperti dengan
melaksanakan hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul Nya. Kedua, ditegakkan
dengan memenuhi hak sesama manusia, seperti dengan menyampaikan amanah, memberi
kesaksian secara benar dan berbuat baik, ketiga, ditegakkan dengan menunaikan hak-hak
orang yang telah mendahului kita, seperti mengafani, memandikan, membayar hutang-
hutangnya serta mendidik anak-anaknya.

10
Suyitno, dan Syahril jamil, 2014. Konsep Negara Menurut M. Natsir Tinjauan Dalam Pemikiran Politik
Islam. Yogyakarta: Idea Press. hlm. 39.
Kelima, Pemerintahan. Ibnu Abi Rabi juga memberikan penjelasan mengenai
pemerintahan atau administrasi negara. Menurutnya, suatu pemerintahan negara mesti
memerlukan pengelolaan yang baik.

3. Bentuk Pemerintahan

Dari sejumlah macam bentuk pemerintahan sebagaimana dikemukakan oleh


pemikir-pemikir politik, termasuk Aristoteles, bentuk negara yang ideal dan terbaik
menurut Ibnu Abi Rabi sebagaimana yang dikemukakan Munawir Sjadzali, adalah bentuk
pemerintahan Monarki, yaitu sebuah pemerintahan yang berada di bawah pimpinan
seorang raja sebagai penguasa tunggal. Hal ini karena dengan adanya satu pucuk pimpinan,
menurut Ibnu Abi Rabi, akan lebih menjamin adanya stabilitas politik serta akan terhindar
dari kekacauan dan perpecahan sehingga pada gilirannya suatu keadilan, tujuan negara
serta kemaslahatan rakyat bisa terwujud.

Dengan melihat realitas politik yang dialami pada masa pemerintahan Abbasiyah
saat itu, maka tidak salah kalau kecenderungan Ibnu Abi Rabi dalam konteks ini dianggap
oleh sejumlah pemikir politik terpengaruh oleh suasana kerajaan yang saat itu memang
sedang mencapai puncak kejayaannya. Bagi Ibnu Abi Rabi seorang raja adalah orang yang
memiliki segala keutamaan yang serba lebih dari para warga negara. Seorang raja tidak
dapat dianggap sebagai bagian dari warga negara dan tidak harus tunduk kepada hukum
negara sebagaimana warga negara yang lain, justru rajalah yang merupakan sumber
sekaligus pelaksana hukum.

Dari sejumlah pernyataan dan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Rabi
mengenai kekuasaan istimewa raja tersebut, maka otoritas atau dasar kekuasaan seorang
raja menurut Ibnu Abi Rabi adalah mandat dari Tuhan.

Perspektif di atas, dapat dikemukakan bahwa Ibnu Abi Rabi adalah salah seorang
pemikir politik muslim pertama yang telah banyak memberikan kontribusi dalam bidang
politik dan kenegaraan dengan landasan moral-keagamaan. Dan hasil telaah terhadap
pemikiran politiknya, terutama yang berkenaan dengan kekuasaan raja, serta proses
terbentuknya negara, sangat tanpa adanya keterpengaruhan alam pikiran Yunani terutama
Plato serta adanya keterpengaruhan dari peta politik pemerintahan Abbasiyah yang sedang
solid, di samping juga disemanganti oleh akidah Islam yang menjadi keyakinannya. Untuk
itu wajar kalau akhirnya ia berkesimpulan bahwa proses terbentuknya negara adalah karena
adanya kecenderungan watak manusia untuk berkumpul yang memang telah diciptakan
oleh Tuhan sebelumnya. dan bentuk negara yang paling ideal bagi Ibnu Abi Rabi adalah
Monarki serta otoritas dari seorang raja adalah mandat dari Tuhan.

2. Pemikiran sistem politik Al-Farabi


A. Biografi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, demikian nama
lengkapnya, dilahirkan di Utrar (Farab) pada tahun 257 H/870 M, dan meninggal dunia
di Damaskus pada tahun 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal
dengan nama Alpharabius.
Al Farabi terkenal sebagai salah satu tokoh filsuf Islam yang memiliki keahlian
dalam banyak bidang keilmuan, dan memandang filsafat secara utuh, sehingga filsuf
Islam yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, banyak mengambil
dan mengupas sistem filsafatnya. Ia berusaha untuk mengakhiri kontradiksi antara
pemikiran Plato dan Aristoteles melalui risalahnya al-Jam’u Baina Ra’yay al-
Hakimain, Aflathun wa Aristhu. Dalam bidang filsafat, ia digelari dengan al-Mu’allim
al-Tsani (Guru Kedua), sedang yang digelari sebagai al-Mu’allim al-awwal (Guru
Pertama) ialah Aristoteles.
B. Pemikiran sistem politik menurut Al-Farabi
Al-Farabi adalah filsuf Islam yang paling banyak membicarakan masalah
kemasyarakatan, meskipun ia sebenarnya bukan orang yang berkecimpung langsung
dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena ia tidak mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain. Adapun tujuan hidup
bermasyarakat tidaklah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga
untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia
kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga spiritual, tidak saja di dunia ini tetapi di
akhirat nanti. Pendapat al-Farabi ini memperlihatkan pengatuh keyakinan agamanya
sebagai sebagai seorang Islam di samping pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles
yang mengaitkan politik dengan moral, akhlak, atau budi pekerti. Dari kecenderungan
hidup bermasyarakat inilah muncul lahir berbagai kelompok sosial sehingga muncul
kota dan negara. Masalah kemasyarakatan banyak dibicarakannya dalam karya-
karyanya antara lain: al-Siyasah al-Madaniyah (Politik Kekotaan, Politik Kenegaraan)
dan Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota/Negara
Utama).11
1. Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Al Farabi menyatakan, bahwa bagian suatu negeri sangat erat hubungannya satu
sama lain dan saling bekerja sama, laksana anggota badan. Apabila salah satunya sakit,
maka anggota-anggota lainnya akan ikut merasakannya pula. Setiap anggota badan
mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dengan kekuatan dan tingkat kepentingan yang
tidak sama. Keseluruhan anggota tubuh yang beragam ini dipimpin oleh satu anggota
yang paling penting, yaitu hati atau akal. Hati merupakan salah satu anggota badan
yang paling baik dan sempurna.
Demikian juga halnya dengan Negara Utama. Ia mempunyai warga-warga dengan
fungsi dan kemampuan yang tidak sama satu dengan lainnya. Kebahagiaan bagi satu
masyarakat tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali apabila ada pembagian kerja
yang berbeda, sesuai dengan keahlian dan kecakapan anggotanya dengan dijiwai oleh
rasa setia kawan dan kerja sama yang baik. Semua warga negara yang beragam tadi
dipimpin oleh seorang Kepala Negara, seperti halnya hati memimpi seluruh anggota
badan.
Menurut Al Farabi, Kepala Negara Utama (Ra’is al-Madinah al-Fadhilah), itu
haruslah seorang filsuf yang mendapatkan kearifan melalui pikiran dan rasio ataupun
melalui wahyu. Ia haruslah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan memiliki dua
belas sifat atau syarat, yang sebagian telah ada pada pemimpin itu sejak lahir sebagai
watak yang alami atau tabiat yang fitrah. Tetapi, sebagian lainnya masih perlu
ditumbuhkan melalui pendidikan serta latihan yang menyeluruh. Oleh karenanya,
pembinaan dan pembentukan pribadi pemimpin sangat diperlukan.

11
Muhammad Iqbal. (2013). Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia
Kontemporer. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, Cet, ke-2, hal.11
Adapun dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara,12
antara lain: 1) lengkap anggota badannya; 2) baik daya pemahamannya; 3) tinggi
intelektualitasnya dan kuat daya ingatannya; 4) cerdik dan pintar; 5) pandai
mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya; 6) cinta kepada ilmu
pengetahuan; 7) tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani; 8) cinta kejujuran dan
benci kebohongan; 9) berjiwa besar dan berbudi luhur; 10) cinta keadilan dan benci
kezaliman;11) kuat pendirian; dan 12) tidak terikat pada materi dan uang.
2. Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah)
Disampingg negara utama yang dikemukakan al-Farabi di atas terdapat pula empat
macam negara yang rusak, yang bertentangan dengan Negara Utama, yaitu:
1) Negara bodoh (al-Madinah al-Jahilah), yaitu negara yang penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan, dan kebahagiaan ini tidak pernah terlintas dalam hatinya.
Kalaupun diingatkan, mereka tidak mempercayainya. Kebaikan menurut mereka
yaitu badan sehat, harta yang cukup, dapat merasakan kesenangan lahiriah,
sedangkan kebalikan dari hal tersebut adalah kesengsaraan.
2) Negara fasik (al-Madinah al-Fasiqah), yakni negara yang penduduknya mengenal
kebagahagiaan, Tuhan dan akal, seperti penduduk negeri utama. Akan tetapi,
tingkah laku mereka sama dengan tingkah laku negara bodoh. Dengan demikian,
apa yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang mereka ucapkan.
3) Negara sesat (al-Madinah al-Dhallah), yaitu negara yang penduduknya mempunyai
pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal. Meskipun demikian, kepala
negaranya menganggap bahwa dirinya mendapat wahyu, kemudian ia menipu
orang lain dengan ucapan dan tingkah lakunya.
4) Negara yang berubah (al Madinah al-Mutabaddilah) adalah negara yang pada
awalnya mempunyai pikiran yang sama seperti pemikiran penduduk negera utama,
akan tetapi kemudian mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman
yang membawa mereka kepada kerusakan pada pikirannya.
Negara sebagaimana tersebut di atas sebenarnya hanya ada dalam khayalan Al
Farabi, sehingga terlihat bahwa konsepsi-konsepsi politiknya lebih banyak bersifat

12
Ibid., hal. 13
teoretis daripada realistis-pragmatis. Hal ini memang dapat dimaklumi karena ia sendiri
hanyalah seorang ahli pikir yang dalam dan luas
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mengenai proses terbentuknya sebuah negara atau kota, pemikiran Ibnu Abi Rabi
bertitik tolak pada adanya kecenderungan watak dasar pada diri manusia untuk berkumpul
dan bermasyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama, dan kerjasama itu
sekaligus mendorong untuk hidup berkelompok dan menetap secara bersama-sama
dalam suatu tempat, proses inilah menurut Ibnu Abi Rabi yang membawa terbentuknya
kota dan akhirnya menjadi sebuah negara. Khusus kriteria seorang raja, Ibn Abi Rabi’
sebagaimana dikutip Munawir Sadzali menegmukakan beberapa persyaratan yaitu, harus
anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja
sebelumnya, aspirasi yang luhur, pandangan yang mantap dan kokoh, ketahanan dalam
menghadapi kesukaran tantangan, kekayaan yang banyak, pembantu-pembantu yang setia.
Dari sejumlah macam bentuk pemerintahan sebagaimana dikemukakan oleh pemikir-
pemikir politik, termasuk Aristoteles, bentuk negara yang ideal dan terbaik menurut Ibnu
Abi Rabi sebagaimana yang dikemukakan Munawir Sjadzali, adalah bentuk pemerintahan
Monarki, yaitu sebuah pemerintahan yang berada di bawah pimpinan seorang raja sebagai
penguasa tunggal.
Mungkin, konsep yang digagas al-Farabi secara sempurna belum pernah ada dalam
perkembangan peradaban manusia di dunia ini. Namun, pola kehidupan politik yang
digambarkan al-Farabi telah kita temukan-sekali lagi meski tidak sesempurna yang
digambarkannya-pada pemerintahan yang dipimpin Muhammad SAW. Di mana legitimasi
kekuasaan didapat dari Tuhan, dan diterapkan berdasarkan keadilan menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat. Selain itu juga, model pemerintahan yang sekarang ini paling dekat
dengan konsep al-Madinah al-Fadilah al-Farabi dapat kita temui pada konsep Teo-
demokrasi yang kini telah dijalankan di Iran. Dengan konsep wilayatul fakih dan
demokrasi, tujuan kebahagiaan itu hendak diraih.
DAFTAR PUSTAKA

Affifi, A. (1995). Filsafat Mistis Ibnu Arabi. Jakarta: PT.Gaya Media Pratama.

Al-Syarif, J. (1978). Al-Fiqh Al-Siyasi fi Al-Islam. Mishriyah: Al-Dar al-Jami’ah.

As, A. (1996.). Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ates, A. I. (1996.). The Encylopedioa of Islam. E. J. Brill. Leiden: Jld.3.

Austin, R. J. (1971). Introduction to Sufis of Andalusia: The Ruh al-Quds and Durrat al-Fakhirah
of Ibn ‘Arabi . London.

Iqbal, M. (2013). Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Muhammad, A. A. (2010). Filsafat Politik antara Barat dan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Suyitno, d. S. (2014). Konsep Negara Menurut M. Natsir Tinjauan Dalam Pemikiran Politik Islam.
Yogyakarta: Idea Press.

http://pengkajianpelitahati.wordpress.com, (15 Oktober 2013)

Anda mungkin juga menyukai