Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TARIKH TASYRI’

Tasyri’ dalam Konteks Indonesia Setelah Merdeka

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur

Mata kuliah Tarikh Tasyri’

Desen pengampu: Karis L, MSI.

Disusun oleh:

Rafly maulana rachman (2002016128)

Khilda Umul Mutmainah (2002016112)

Muhammad Panji Utomo (1602016098)

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT.,
yang telah mencurahkan segala Taufik, Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tasyri dalam Konteks Indonesia Setelah Merdeka”
ini dengan baik. Salam dan shalawat semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
S.A.W. Beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini ditujukan guna memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Tarikh Tasyri’.
Teriring Ucapan Terima Kasih kepada dosen pengampu yang telah membimbing kami dalam
proses belajar mengajar.
Dalam penyusunan makalah ini, khususnya dari pihak penulis telah berusaha
semaksimal mungkin agar makalah ini tetap menjadi yang terbaik, namun seutuhnya kami
sadari bahwa sebagai manusia biasa penulispun tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik
dari segi teknik penulisan maupun dari segi tata bahasa. Maka dari itu, penulis menerima saran
dan kritikan yang bersifat membangun baik dari pihak dosen maupun dari teman-teman
sekalian.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada
umunya.

Semarang, 6 November
2021

Kelompok 13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ide pembaharuan islam dimulai dengan kesadaran umat islam dari tidur
panjangnya, umat islam kemudian bangkit menjadi suatu kekuatan yang setidaknya
setara dengan kekuatan Barat. Namun pada waktu itu umat islam terpecah belah
menjadi3 kerajaan besar islam, yakni seperti yang sudah dijelaskan dalam makalah
sebelumnya yaitu kerajaan Turki Ustmani, Moghol, dan Safawi, namun ada juga yang
mendirikan kerajaan kecil sendiri dan ada yang tidak termasuk dalam dua kategori
tersebut.
Di Indonesia sendiri mulai bangkit dan semangat kebangsaan puncaknya saat
kemerdekaan bangsa Indonesia. Umat islam melanjutkan proses pengembangan
permasalahan dalam hukum islam yang baru muncul, seiring dengan terbentuknya
masyarakat modern. Dalam fase ini Indonesia disibukkan dengan problematika baru
yang belum terjadi sebelumnya, terutama terkait dengan konstitusionalisme negara,
seperti isu-isu negara islam, hak asasi manusia, hak-hak perempuan dan demokrasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bgaimana latar belakang kondisi sosial budaya Indonesia setelah kemerdekaan?
2. Siapa saja tokoh-tokoh tasyri di Indonesia setelah merdeka?
3. Bagaimana pembaharuan hukumnya setelah Indonesia merdeka?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kondisi Sosial dan Budaya

Budaya adalah objek atau sasaran yang mengacu pada moral, perilaku,
dan instrumen cara hidup masyarakat, karena dalam pengertian yang lebih
terbatas budaya mengacu pada domain kegiatan artistik dan intelektual yang
dapat dimasukan untuk bekerjasama dalam program pemerintahan dan
dimasukan untuk beroperasi dalam bidang manajemen sosial.1 Dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil karya dan pemikiran manusia yang
tidak pernah berhenti diproduksi manusia dari zaman ke zaman, dengan kata
lain kebudayaan adalah bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Berbicara mengenai pentingnya kebudayaan dan negara, Indonesia


yang baru merdeka dan dalam kondisi perang mempertahankan kemerdekaan.
Sampai sekarang sistem pendidikan kolonial tersebut sedikit banyak masih
diterapkan oleh sistem pendidikan kita di era modern ini, tidak heran jika
bangsa kita tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain dalam banyak hal, antara
lain teknologi, industri, pemanfaatan lahan pariwisata dan sebagainya. Hal ini
akhirnya mendapat perhatian dari para pakar pendidikan dan kebudayaan yang
prihatin dengan ketertinggalan bangsa kita saat ini.

Pada tahun 1945 merupakan awal mula bangsa Indonesia merdeka


dimana pada saat itu menjadi momentum kebangkitan bangsa Indonesia setelah
sekian lama dijajah oleh bangsa asing. Dengan kondisi negara yang baru berdiri,
banyak gejolak yang terjadi baik dalam negeri maupun dari luar. Maka dari itu
pemerintah berupaya untuk menstabilkan sistem sosial budaya dari berbagai
aspek, mulai dari aspek pendidikan, teknologi, bahasa, politik, agama,
lingkungan, kesehatan dll.

1
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad Ke-20 Hingga Era-
Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2015), hlm. 29.
Kondisi sosial budaya sesudah proklamasi kemerdekaan, terjadi
perubahan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Semula rakyat
Indonesia adalah masyarakat kolonial dengan diskriminasi ras sebagai ciri
pokoknya. Kemerdekaan telah berhasil menghapus segala bentuk diskriminasi
terhadap seluruh warga negara Indonesia. Pemerintah RI menghapus semua
perbedaan perlakuan berdasarkan ras (warna kulit), keturunan, agama dan
kepercayaan yang dianut warganya.

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia mulai bangkit dari


keterpurukan. Para pejuang berusaha agar Indonesia mendapat kebebasan
dalam pendidikan. Sehingga, pada saat itu banyak sekolah-sekolah yang dibuka
oleh bangsa kolonial, walaupun sekolah tersebut hanya untuk keuntungan
bangsa kolonial. Namun, bangsa Indonesia sedikit demi sedikit tetap tekun
mempelajari IPTEK, mulai dari teknologi persenjataan, transportasi, dan yang
utama komunikasi dan informasi.

B. Tokoh-Tokoh Tasyri’ Indonesia setelah merdeka


1. Hasbi Ash-Shiddieqy: Fikih Indonesia

PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH SHIDDIEQY


lahir di Lhokseumawe pada 10 Maret 1904 dan meninggal di Jakarta pada 9
Desember 1975. Ayahnya Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husien
ibn Muhammad Su’ud.

Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan seorang pemikir kenamaan Indonesia


yang menekuni berbagai disiplin ilmu keislaman. Khusus dalam bidang hukum,
beliau berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai
dengan perkembangan masa dan tempat. Ijtihad merupakan sarana untuk
melahirkan hukum-hukum lewat pemahaman terhadap wahyu dalam rangka
mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Olehnya
itu, beliau melihat pentingnya upaya perumusan kembali fikih yang
berkepribadian Indonesia. Menurut beliau, umat Islam harus dapat menciptakan
hukum fikih yang sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan religi
masyarakat Indonesia.
Rumusan fikih yang dikehendaki Hasbi, tidak harus terikat pada salah
satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan
keadaan masyarakat. Menurut beliau, hukum yang baik adalah yang
mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-
istiadat dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan.2

Puncak dari pemikiran tentang Fikih Indonesia ini terjadi pada tahun
1961, ketika Hasbi memberikan makna dan definisi Fikih Indonesia .ia secara
tegasmengatakan: “Fikih yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang
adalah fikih Hijazi, Misri dan Hindi, yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan
kebiasaan masyarakat Hijaz, Mesir dan India. Dengan demikian, karakteristik
yang khusus dari masyarakat muslim menurutnya dikesampingkan, karena fikih
asing tersebut dipaksakan penerapannya ke dalam komunitas lokal melalui
taqlid”. Hasbi mengamati bahwa hingga tahun 1961 ulama di negeri ini belum
mampu melahirkan fikih yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, salah
satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan emosional yang

begitu kuat (fanatik) terhadap mazhab yang dianut umat Islam.3

2. Hazairin

Nama lengkapnya Prof. Dr. Hazairin. Ia lahir pada tanggal 28 November


1906 di Bukit Tinggi dan merupakan putera tunggal dari pasangan Zakaria
Bahri dengan Aminah. Hazairin adalah mantan Guru Besar Hukum Islam dan
Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Salah satu peran dari hazairin yaitu dalam pembentukan hukum


kewarisan nasional dengan dasar pemikiran dan prinsip-prinsip yang digunakan
adalah

a) Pertama, hukum kewarisan individual bilateral tidak hanya cocok untuk


masyarakat yang beragama Islam saja, namun juga untuk kepentingan
masyarakat yang bukan beragama Islam.

2
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, edisi ke-4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm.531.
3
Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman (Jakarta : Bulan Bintang,1966) , hlm. 43.
b) Kedua , hukum kewarisan bilateral sesuai dengan landasan yang terdapat
dalam Pancasila dan UUD 1945 terutama pasal 27 dan 29. Hukum

Kewarisan Nasional haruslah berjiwakan pada agama,


berperikemanusiaan, berbudi luhur kebangsaan.
c) Ketiga, memberlakukan Hukum Kewarisan Nasional berarti mencabut
hukum kewarisan tertulis zaman kolonial.
d) Keempat, membentuk Hukum Kewarisan Nasional, pada masa itu, sesuai
dengan TAP MPRS/II/1960.4

3. Munawir Syadzali

Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (lahir di Klaten, Jawa Tengah, 7


November 1925 – meninggal di Jakarta pada 23 Juli 2004. Dia merupakan
Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan pada tahun
1983-1993.

Munawir Syadzali merupakan orang yang mempopulerkan kata


reaktualisasi,dimana reaktualisasi itu sendiri berasal dari kata dasar “aktual”
yang mempunyai arti “baru dan sedang menjadi perbincangan umum, nyata dan
sesungguhnya”. Jadi, reaktualisasi berarti penyegaran dan pembaruan nilai-nilai
kehidupan masyarakat. Maka reaktualisasi ajaran Islam berarti penyegaran atau
pembaruan kembali pemahaman dan pengamalan umat Islam atas pedoman atau
petunjuk dalam agama.5

4. Ibrahim Hosen

Ibrahim Hosen adalah salah satu pakar fikih Indonesia yang cukup
terkemuka. Beliau pernah menjabat guru besar Fakultas Syari’ah IAIN
(sekarang UIN) Sayarif Hidayatullah Jakarta.

Dasar pemikiran beliau adalah bahwasanya ketentuan hukum bagi setiap


aktivitas tidak semuanya tercantum secara tegas dalam nash. Maka, perlu ada
ijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan baru, dengan

4
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 19
5
Zulhamdi, PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN TOKOH-TOKOHNYA, Jurnal Ilmiah ISLAM
FUTURA
Vol. 19. No. 2, Desember 2019,hlm.253
berdasarkan pada pedoman dan kaidah-kaidah yang telah diakui dan ditetapkan
dalam Ilmu Ushul Fikih.

Kaitannya dengan upaya ijtihad tersebut, menurut Ibrahim Hosen,


diperlukan beberapa langkah sebagai berikut: 1) memasyaratkan pendapat
bahwa pintu ijtihad masih terbuka 2) menggalakkan pengkajian di dalam bidang
ushul fikih, fikih muqaranah, siyasat syar‟iyat, dan hikmah tasyri‟ 3)
menggalakkan pendapat yang mengatakan bahwa orang tidak harus terikat
dengan salah satu mazhab 4) mengembangkan toleransi dalam bermazhab

dengan mencari pendapat yang paling sesuai dengan kemashlahatan.6

C. Pembaharuan Hukum

Pada saat Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17


Agustus 1945, upaya dalam melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial
sedikit demi sedikit mulai berkurang. Meskipun dalam rangka menghindarkan
kekosongan hukum, hukum warisan kolonial itu masih tetap diberlakukan.7
Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, perihal eksistensi hukum warisan
kolonial yang ada di Indonesia ini berlaku teori receptie exit dari tata hukum
Indonesia merdeka. Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan jiwa
UUD 1945 dan bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga sangat
tidak menguntungkan bagi umat Islam. Di masa awal kemerdekaan, para tokoh
muslim berupaya menempatkan hukum Islam pada kedudukannya semula dan
berjuang agar hukum Islam bisa eksis di wilayah Nusantara.

Lembaga Islam yang penting yang ditangani oleh Departemen Agama


adalah Hukum atau Syari’at. Pada saat itu pengadilan Islam di Indonesia
terbatas pada persoalan hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum
muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh),
wakaf, hibah, dan baitulmal. Keberadaan lembaga peradilan agama di masa
Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial belanda. Setelah
Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi

6
Zulhamdi,…,hlm. 254
7
Imam Syaukani, Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal
81.
administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Pada umumnya tidak ada
perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara prinsipil, selain
usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Selama revolusi fisik yang
patut yang dicermati adalah;

Pertama, keluarnya UU Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan


Nikah, Talak dan Rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu, karena
berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah. Dengan keluarnya UU No.
22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, maka segera
diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan Pendaftaran Nikah, talak
dan Rujuk dari pengadilan agama. Penghulu kepala yang tadinya merangkap
Ketua Pengadilan Agama tidak lagi mencampuri urusan pengadilan dan boleh
sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi kepenghuluan
disamping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani pengadilan agama
saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sebagai penghulu
Kepala. Seluruh biaya tata usaha pengadilan menjadi tanggungan Negara,
sedangkan pegawai-pegawainya panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos

perkara harus disetorkan ke kas Negara.8

Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947


tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu Kabupaten,
dengan kata lain pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai kepala
Pegawai Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu
hakim sebagai ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadhi hakim syari’.

Ketiga, keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah


dinyatakan berlaku, isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan
agama yang telah ada selama ini, tetapi menteri hukum yang menjadi
wewenangnya ditampung dan dimasukkan dipengadilan negeri yang secaara
istimewa diputus oleh dua orang hakim ahli agama disamping hakim yang
beragama Islam sebagai ketua. Kewenangan Pengadilan Agama dimasukkan
dalam pengadilan Umum secara istimewa yang diatur dalam pasal 35 ayat (2),

8
Abdil Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Pres, 2005), hal. 75.
pasal 75 dan pasal 33. Undang-undang ini merupakan aturan yang penting
tentang pengadilan dalam masa pemerintahan RI Yogyakarta. Undang-undang
ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut serta
menyempurnakan ii UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret
1947.

Dari ketentuan diatas, dapat diketahui ternyata tidak ada lingkungan


tersendiri dari peradilan Agama. Dalam pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa
perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus
diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh
Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam,
sebagai Ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang
diangkat oleh presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri
Kehakiman. Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ada suatu bagian yang
memeriksa dan memutus perkara-perkara yang sebelumnya diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Negeri dalam pengadilan tingkat pertama, Pengadilan
Tinggi dalam peradilan tingkat banding dan Mahkamah Agung dalam peradilan
kasasi.

Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal


2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javaassche Courant 1946 No.
32 dan 39 tahun 1948 No. 25 dan 1949 No.29 dan 65 menentukan bahwa
didaerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang
bernama Priesterraad dirubah menjadi penghulu Gerecht. Mungkin berdasarkan
peraturan Darurat Markas Besar Komando Jawqa No. 46/MBKD/49 tentang
pengadilan pemerintah militer, atas kebijaksanaan komandan sub teritorial
comando dibentuk pengadilan agama darurat dibeberapa tempat. Di samping itu
juga dibentuk Majelis Ulama yang bertindak sebagai pengadilan Bandingan
mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang ketika itu sudah pindah di
Surakarta. Itulah sebabnya di Jawa tergabung dengan Mahkamah Islam Tinggi
sebelum agresi militer 1
tahun 1947, setelah perjanjian Reville jumlah pengadilan agama itu 41 buah
pengadilan.9

Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia


memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Berbagai perundingan untuk
memilih dan membentuk Majelis Konstituante pada akhir tahun 1955, yang
dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun, delapan
bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majelis Konstituante dibubarkan
melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting
terkait dengan hukum islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya
yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD
1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu

saja mengangkat dan memperjelas posisi Hukum Islam dalam UUD.10

Dalam Piagam Jakarta, pada prinsip Ketuhanan terdapat “……..dengan


kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dengan
berpegang pada prinsip ini, umat Islam berharap dapat menjalankan syariat
agamanya di dalam Indonesia merdeka. Adapun tujuh kata berikut, (……dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya) mengimplikasikan keterikatan umat Islam dengan hukum Islam.
Akan tetapi, tujuh kata tersebut dihapus setelah terjadi perdebatan antara
anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Akhirnya, pada
waktu proklamasi dengan melalui kompromi dan menjaga keutuhan bangsa,
Piagam Jakarta tidak digunakan. Selanjutnya, rumusannya menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Ketika Presiden Soekarno, menetapkan Dekrit pada 5 Juli
1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta telah menjiwai seluruh rangkaian
batang tubuh (kesatuan) konstitusi UUD 1945. Hal ini menunjukkan bahwa
walaupun ditiadakan jaminan eksplisit pemberlakuan hukum Islam bagi
kehidupan umat Islam, akan tetapi secara implisit, isi dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan satu
rangkaian kesatuan dengan UUD 1945, dapat memungkinkan

9
Abdil Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Pres, 2005), hal. 78.
10
Abd. Basith Junaidy, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hal. 311.
diberlakukannya hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Atas dasar inilah
semangat UUD 1945 menjadi dasar bagi eksistensi hukum di bidang keagamaan
di Indonesia.11

Sebenarnya secara faktual, Peradilan Agama telah lahir sejak tahun


1882, namun dalam mengambil putusan untuk suatu perkara, para hakim
Pengadilan Agama belum memiliki pijakan yang seragam dikarenakan hukum
Islam yang berlaku belum menjadi hukum tertulis dan masih tersebar di
berbagai kitab kuning sehingga terkadang untuk kasus yang sama, ternyata
terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan. Dalam rangka mengisi
kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus suatu perkara,
Departemen Agama Biro Peradilan Agama melalui surat edaran Nomor B/1/735
pada 18 Februari 1958, yang ditujukan kepada Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia untuk dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqh yang
sebagian besar merupakan kitab yang berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i.

Pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas keberadaan Pengadilan


Agama dengan dikeluarkannya UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada tahun 1977 Mahkamah Agung
mengeluarkan peraturan yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama,
yaitu dengan diberikan hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal 29 UUD
1945 diintroduksi satu teori yang dinamakan Receptio a Conttrario Theorie.
Teori itu mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku apabila diterima oleh
hukum Islam, hukum Islam baru berlaku apabila berdasarkan al-qur’an (hukum

adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.12

Untuk memperbaiki kekurangan Pengadilan Agama untuk menegakkan


hukum islam Islam berlaku secara yurdis formal, 8 Desember 1988 Presiden

11
Jurnal Ilmiah Al- Syir’ah Vol.15 No.1 Tahun 2017, Institut Agama Islam Negeri (IAIN Manado), Eksistensi
Hukum Islam Di Indonesia (Analisis Kontribusi dan Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan
Republik Indonesia) oleh Dahlia Haliah Ma’u, hal.21-22.
12
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 46.
RI menyampaikan RUUPA kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui
menjadi UU menggantikan semua peraturan yang tidak sesuai dengan UUD
1945 UUPK No. 14 tahun 1970. Setelah melalui perdebatan yang cukup
panjang, 14 Desember 1989 RUUPA disetujui menjadi UU, yang mengatur
secara khusus pengadilan agama di Indonesia, kemudian dikenal dengan UU
No.7 tahun 1989. Dengan UU ini semakin mantap kedudukan Pengadilan
Agama sebagai satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam
rangka menegakkan Hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama
Islam,mengenai perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang
telah mejadi hukum positif.

Para pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang
lebih komprehensif agar hukum Islam tetap eksis dan dapat digunakan untuk
menyelesaikan segala masalah di masa yang akan datang. Dalam kaitan ini
prinsip yang harus dilaksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan
keadilan dan kemanfaatan.13 Dalam rangka inilah, sekitar tahun 1985 muncul
gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan
kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung
dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini didukung
banyak pihak.

Pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga


terbitlah SKS (Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. Dasar
hukum keberadaan Kompilasi Hukum di Indonesia adalah intruksi Presiden No.
1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada Menteri Agama RI yang mana
Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan.14 Kelahiran UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
sebenarnya dapat dinyatakan sebagai upaya kompilasi, meskipun pada saat itu
namanya tetap undang-undang. Karena UU memiliki daya mengikat dan
bersifat memaksa pada subyek serta objek hukumnya, berbeda dengan

13
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal 178.
14
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal
12.
kompilasi yang sesuai dengan karakternya. Yang mana hanyalah menjadi
pedoman saja, relatif tidak mengikat.

Menurut Ahmad Rofiq, ada empat produk pemikiran hukum Islam yang
telah berkembang di indonesia yaitu; fiqh, fatwa ulama (hakim), keputusan

pengadilan, dan perundang-undangan.15 Sebagai ijma’ ulama indonesia,


Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para
hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial
kompilasi tersebut dalam sepanjang sejarahnya, telah menjadi hukum positif
yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula yang
dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang
terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah dicoba
diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Dalam konteks ini, sebenarnya
terjadi perubahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi
terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga tidak banyak
berubah selama hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya
sekarang.

15
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal 25.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Latar belakang kondisi sosial budaya sesudah proklamasi kemerdekaan,


ialah terjadi perubahan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Awalnya rakyat Indonesia adalah masyarakat kolonial dengan diskriminasi ras
sebagai ciri pokoknya. Kemerdekaan telah berhasil menghapus segala bentuk
diskriminasi terhadap seluruh warga negara Indonesia. Pemerintah RI
menghapus semua perbedaan perlakuan berdasarkan ras, keturunan, agama dan
kepercayaan yang dianut warganya. Indonesia bangkit dari keterpurukan,
adanya kebebasan pendidikan, serta bangsa Indonesia sedikit demi sedikit tetap
tekun mempelajari IPTEK.

Tokoh Tasyri’ Indonesia setelah kemerdekaan diantaranya yaitu Hasbi


Ash Shiddieqy, Hazairin, Munawir Syadzali, dan Ibrahim Hosen. Tokoh-tokoh
ini memiliki peran penting dalam tasyri’ setelah Indonesia merdeka. Hasbi Ash
Shiddieqy dikenal dengan gagasannya terkait Fikih Indonesia, Hazairin dengan
perannya dalam pembentukan hukum kewarisan nasional, Munawir Syadzali
ialah seseorang yang mempopulerkan reaktualisasi, sedangkan Ibrahim Hosen
dengan dasar pemikiran bahwa ketentuan hukum tidak semuanya tercantum
dengan tegas dalam nash serta dibutuhkan ijtihad dalam menghadapi persoalan-
persoalan baru sesuai pedoman dan kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh.

Saat Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus


1945, upaya dalam melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial sedikit
demi sedikit mulai berkurang. Pengadilan Islam di Indonesia terbatas pada
persoalan hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas
pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan
baitul mal. Pada 5 Juli 1959, keluarlah Dekrit Presiden yang mana secara
implisit, isi dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta
menjiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945,
dapat memungkinkan diberlakukannya hukum Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Atas dasar inilah semangat UUD 1945 menjadi dasar bagi
eksistensi hukum di bidang keagamaan di Indonesia.

Para pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang
lebih komprehensif agar hukum Islam dapat digunakan untuk menyelesaikan
segala masalah di masa yang akan datang. Sekitar tahun 1985 muncul gagasan
untuk membuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Dasar hukum
keberadaan Kompilasi Hukum di Indonesia adalah intruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada Menteri Agama RI yang mana
Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan. Menurut Ahmad Rofiq, ada empat produk pemikiran hukum Islam
yang telah berkembang di indonesia yaitu; fiqh, fatwa ulama (hakim),
keputusan pengadilan, dan perundang-undangan. Sebagai ijma’ ulama
indonesia, Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi
pedoman bagi para hakim dan masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan.2007.Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Abdil Halim.2005. Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Pres.

Ahmad Rofiq.1998.Hukum Islam di Indonesia,Jakarta : Raja Grafindo Persada

Amrullah Ahmad.1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,Jakarta : Gema
Insani Press.

Dahlan,Abdul Azis.1996. Ensiklopedi Hukum Islam, edisi ke-4 Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve.

Hasbi Ash-Shiddieqy.1966. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman Jakarta :


Bulan Bintang.

Hazairin.1982. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas.

Imam Syaukani. 2006. Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Jurnal Ilmiah Al- Syir’ah Vol.15 No.1. 2017. Institut Agama Islam Negeri (IAIN Manado),
Eksistensi Hukum Islam Di Indonesia (Analisis Kontribusi dan Pembaruan Hukum Islam Pra
dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia) oleh Dahlia Haliah Ma’u.

od Jones.2015. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad


Ke-20 Hingga Era-Reformasi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Ramulyo, Mohd. Idris.2004. Asas-Asas Hukum Islam,Jakarta: Sinar Grafika.

Zulhamdi.2019. Pembaharuan hukum islam di indonesia dan tokoh-tokohnya, Jurnal Ilmiah


Islam Futura.

Anda mungkin juga menyukai