Oleh :
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah agama Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di lingkungan
umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara tajam yang sulit untuk
diperdamaikan, apalagi untuk dipersatukan.Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang
tidak bisa dirubah lagi, dan sudah menjadi ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-
kitab agama, terutama dalam kitab-kitab ushuluddin.Barang siapa yang membaca kitab-kitab
ushuluddin akan menjumpa didalamnya perkataan-perkataan: Syiah, Khawarij,Qodariah,
Jabariah, Sunny (Ahlussunnah Wal Jamaaah), Asy-Ariah, Maturidiah, dan lain-lain.
1.3 Tujuan
1. Dapat memahami dan menjelaskan apa Pengertian Aliran Syia’ah, Khowarij,
Murji’ah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.
2. Dapat memahami dan menjelaskan latar belakang kemunculan Aliran Syia’ah,
Khowarij, Murji’ah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.
3. Dapat mengetahui tokoh-tokoh Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyyah, dan
Qadariyyah.
4. Dapat memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah,
Jabariyyah, dan Qadariyyah.
BAB 2
PEMBAHASAN
Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi
Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan
umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti
pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-
Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar
termasuk golongannya (Nuh)1.
Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa
yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad
saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin
‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu
sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya2.
B. Sejarah Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya
Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan
Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu
1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-
4, hlm. 5.
2
Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, hlm. 343.
3
Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah,
1988), hlm. 34-35.
muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut
kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya
perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak
Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa
tahkîm atau arbitrasi4.
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau
khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah
tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi
Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut
Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi
Muhammad saw5.
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah
bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara
pasukan Mu’awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di
antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang
membangkang6.
C. Tokoh-Tokoh Syi’ah
4
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 5
5
Ibid., hlm. 5.
6
Ibid., hlm. 5.
Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh
dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara
langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu,
tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas
al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut
Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap
orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah7.
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang
tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai
salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol.
D. Ajaran-ajaran Syi’ah
a. Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat.
Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada
keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk
pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad
saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim.
b. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan,
Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam
Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer11.
c. Al-Badâ’. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu
mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya
dengan peraturan atau keputusan baru12.
d. Asyura. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram
yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk
memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di
tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61
H di Karbala, Irak13.
9
Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait / Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara
lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli
Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar
komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah
Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan
pada kaum Ahlul bait / Syi’ah Indonesia. Selengkapnya lihat http://www.ijabi.org/ijabi.html;
http://www.ijabi.org/pimpinan.html
10
Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu
beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam
Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru
Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni.
11
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 10.
12
Ibid., hlm. 11.
13
Ibid., hlm. 11.
e. Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah
Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang
melanjutkan misi atau risalah Nabi14.
f. ‘Ishmah. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk
Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk
perbuatan salah atau lupa15.
g. Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan
datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan
menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu
disebut Imam Mahdi16.
h. Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari kata
marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata
wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau
kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam.
Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para
fuqaha17
i. Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau
kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali
sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba
Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan
kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya
Imam Mahdi18.
j. Taqiyah. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan
jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya19.
k. Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut
pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali
suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt20.
l. Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang
artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya.
14
Ibid., hlm. 11.
15
Ibid., hlm. 11.
16
Ibid., hlm. 12.
17
Ibid., hlm. 12.
18
Ibid., hlm. 13.
19
Ibid., hlm. 13.
20
Ibid., hlm. 13.
Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya
melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang21.
E. Sekte-sekte Syi’ah
21
Ibid., hlm. 13.
22
Ibid., hlm. 6.
23
Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj.
Muchtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), cet. ke-1, hlm. 575.
A. Pengertian Khowarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya
yang keluar . Dinamai demikian karena kelompok ini adalah orang-orang yang
keluar dari barisan Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra sebagai protes
terhadap Imam Sayyidina Ali ra yang menyetujui perdamaian dengan
mengadakan arbitrase dengan muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian khawarij adalah aliran (firqah) yang keluar dari jamaah
(almufaraqah li al-jamaah) disebabkan ada perselisihan pendapat yang
bertentangan dengan prinsip yang mereka yakini kebenarannya. Selain nama
khawarij, ada beberapa nama lagi yang dinisbatkan kepada kelompok aliran
ini, antara lain al-muhakkimah, syurah, haruriyah dan al-mariqah.
Adanya sebutan (nama) yang variatif bagi aliran khawarij itu didasarkan
kepada slogan-slogan yang diproklamirkan aliran ini, atau berdasarkan markas
dan pusat perkembangan serta penyebaran aliran ini, bahkan ada yang
berdasarkan kecaman dari yang tidak sefaham dengan aliran ini.
Aliran ini muncul saat terjadinya perselisihan antara Muawiyah bin Abu
Sufyan dengan Ali bin Abi Tholib dalam perang shiffin tahun 37 H. kedua
kelompok yang bertikai akhirnya sepakat mengadakan perundingan dan
sepakat kembali ke Kitabullah. Dalam perundingan itu terjadilah
pengelabuhan yang dilakukan Amr bin Ash (perwakilan Muawiyah) terhadap
Abu Musa al-Asy’ari (perwakilan Ali). Kejadian ini menimbulkan kejadian
krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan sekelompok muslim yang
kebanyakan dari Bani Tamim. Mereka menyatakan “La Hukma Illallah”. Para
kelompok tersebut kemudian membaiat Abdullah bin Wahb Ar Rosiby 26.
Mereka menyebut dirinya dengan sebutan Syurah (golongan yang bersedia
mengorbankan dirinya demi mendapatkan keridloan Allah).
26
Lathief Rousydiy, Op.Cit., hlm. 249.
c. Hausarah Al-Asadi
d. Quraib bin Maruah
e. Nafi’ bin Al-Azraq
f. ’Abdullah bin Basyir
g. Abu Bakr Al-Baghdadi (Diduga sejak 2014)27.
D. Ajaran-ajaran Khowarij
a. Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
b. Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara
Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dan pelaku
arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi
kafir.
c. Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi
Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy.Jadi, seorang
muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu
memimpin dengan benar28.
E. Sekte-sekte Aliran Khowarij
a. Muhakkimah
Abdullah ibn Wahhab Al-Rasyibi pemimpin sekte Al-
Muhakkimat. Beliau adalah tokoh utama dari 12.000 orang yang keluar
dari barisan Ali r.a. dan menjadikan Haruriah sebagai basis pergerakan.
Di desa itu, Abdullah bersama kroninya mendirikan “khilafah baru”
dengan pemimpinnya Abdulllah sendiri29
b. Azariqah
Aliran ini dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq yang berasal dari
Bani Hanifah. Mereka merupakan pendukung terkuat mazhab
Khawarij yang paling banyak anggotanya dan paling terkemuka di
antara semua aliran yang mazhab ini. Nafi’ meninggal karena terbunuh
dalam peperangan, kemudian kedudukannya digantikan oleh Nafi’ ibn
‘Abdullah dan Qothri ibn al-Fuja’ah30
27
https://id.wikipedia.org/wiki/Khawarij, diakses 21 Agustus 2015
28
https://id.wikipedia.org/wiki/Khawarij, diakses 21 Agustus 2015
29
Imam Muhammad abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, Terjemahan Abd. Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib dari tarikh al-Madzahib al-Islamuyyah, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 78-80
30
Ibid., hlm. 78-80.
c. Najdah
Sekte Najdat yang merupakan pecahan dari sekte Azariqoh.
Pemimpin dari aliran ini adalah Najdah ibn ‘Uwaimir yang berasal dari
Bani Hudzaifah. Aliran ini tidak sependapat dengan aliran Azariqah
tentang kafirnya orang Khawarij yang tidak mau turut berperang dan
bolehnya membunuh anak-anak, sebagaimana mereka juga tidak
sependapat tentang status Ahl Dzimmah. Menurut aliran Azariqah
mereka tidak boleh diperangi karena menghormati perjanjian mereka,
sementara para pengikut aliran Najdah mengatakan mereka halal untuk
diperangi31
d. Shafriyyah
Penganut aliran ini adalah pengikut Ziyad ibn al-Ashfar.
Pandangan mereka lebih lunak daripada pandangan aliran Azariqah,
tetapi lebih ekstrim dibandingkan dengan aliran Khawarij lainnya.
Mengenai pelaku dosa besar, mereka tidak sependapat dengan aliran
Azariqah yang memandang pelakunya menjadi musyrik dan kekal di
dalam neraka.
Mereka berpendapat bahwa kaum Muslimin tidak boleh
diperangi, wilayah orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka
bukan wilayah perang, tidak boleh melecehkan wanita dan anak-anak,
serta tidak boleh memerangi seseorang kecuali tentara pemerintah32.
e. ‘Ajaridah
Diantara pendapat mereka adalah boleh mengangkat seseorang
pemimpin jika diketahui bahwa orang tersebut adalh penganut
Khawarij yang bertakwa walaupun ia tidak turut berperang. Hijrah dari
wilayah penganut paham yang berlainan bukan kewajiban, melainkan
31
Ibid., hlm. 80-81
32
Ibid., hlm. 81-82.
suatu tindakan terpuji. Harta orang lainb tidak boleh dikuasai
sewenang-wenang, dan hanya boleh merampas harta orang yang
berlainan paham jika orang tersebut diperangi, sedangkan lawan tidak
boleh diperangi kecuali jika mereka menyerang kelompok ‘Ajaridah.
Dan aliran ini juga terpecah kedalam kelompok-kelompok yang lebih
kecil33.
f. Ibadiyyah
Beberapa pendapat mereka yang menonjol adalah:
Orang Islam yang berbeda paham dengan mereka bukan orang
musyrik, tetapi juga bukan orang Mu’min.
Haram memerangi orang yang tidak sepaham dengan aliran
Ibadhiyyah, dan wilayah mereka adalah wilayah tauhid dan
Islam, kecuali wilayah pasukan tentara pemerintah.
Harta rampasan dari kaum Muslimin yang menjadi lawan
mereka haram diambil, kecuali kuda, senjata dan perlengkapan
peranng lainnya, sedangkan emas dan perak harus dikebalikan.
Orang yang berbeda pendapat dengan Ibadhiyyah dapat
menjadi saksi dalam suatu perkara, boleh menikahi mereka,
serta saling mewarisi antara merekadan penganut Khawarij
lainnya tetap berlaku34.
Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang berarti
“Kembali” dan yang dimaksud adalah golongan atau aliran yang berpendapat
33
Ibid., hlm. 82.
34
Ibid., hlm. 83-84.
bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada Allah
SWT.
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan
ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang
kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak
meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali
dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang
Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi
menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali
lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah
yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan
yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-
sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai
dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak
mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang
lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan
Tuhan.
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara
yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya
atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution
menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan35.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian
pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh
Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M36.
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian
memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha
Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan
dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain
adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Latar belakang lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu
Zahra menuturkan bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan .
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum
agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi
oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup
mereka.
Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan
udara yang panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya
39
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm.
33.
pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering
dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya
udara.
a. Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seorang yang
paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran
Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta‟ala (Allah SWT Tuhan Maha
Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat
yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hayat) dan mengetahui
(„alim), karena penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan
Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin
terjadi.
b. Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845
M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-
Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki
kebaikan dan kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudharat.
c. Dhirariyah
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin
tersebut sepakat meniadakan sifat-sifat Tuhan dan keduanya juga
berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam
pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ajiz (lemah).
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran Syiah adalah Aliran yang mendukung Ali bin Abi Tholib dan
ahli bait nya sebagai pemimpin yang sah.
Aliran Khowarij adalah aliran yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Tholib karena mereka tidak puas dengan tahkim yang dilakukan Ali.
Mereka berpendapat bahwa Ali telah melakukan dosa besar.
Aliran Murji’ah adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa
konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada Allah
SWT. Aliran ini berpendapat Iman adalah cukup dengan mengakui dan
percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja.
Aliran Qodariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa manusia
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
bAliran Jabariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar
Allah. Jadi manusia tidak punya wewenang dan kehendak untuk
berbuat sendiri, mereka percaya bahwa semua tingkah lakunya telah
ditentukan Allah.erasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan
DAFTAR PUSTAKA