Anda di halaman 1dari 13

Nama: Rani Yulia Sakinah

NPM: 201846500764
Kelas: R6H
Tanggal: May 5, 2021
Mata Kuliah: Etika dan Akhlak
Dosen: Enny Nurcahyawati, Dr., S.Pd.I., M.A., M.M.

1. Hampir semua negara merespons masalah narkotika dengan cara kriminalisasi.


Hanya beberapa negara yang melakukan dekriminalisasi. Mengapa demikian?

Merespon Masalah narkotika dengan cara kriminalisasi karena perbuatan


menyalahgunakan narkotika yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Ancaman
pidana 2 bagi penyalahgunaan narkotika dianggap dapat menekan dampak buruk
kesehatan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika dan mempermudah beban
aparat penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum terhadap penyalahguna
narkotika karena mereka dimasukkan ke Lapas. inalisasi. Perbuatan penyalahgunaan
narkotika sampai saat ini masih tidak disukai oleh masyarakat secara umum, karena
penyalahgunaan narkotika menyebabkan kecanduan yang merusak kesehatan
pelakunya. Namun, jika dikaji dari kriteria biaya pelaksanaan, dapat dikatakan bahwa
pemidanaan bagi penyalahguna narkotika menghabiskan biaya yang sangat banyak,
namun tidak juga mampu mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-2-II-P3DI-Januari-
2019-222.pdf

Di beberapa negara melakukan dekriminalisasi karena di beberapa negara


contohnya di negara Amerika khususnya di Washington DC menganalisa
Dekriminalisasi merupakan jalan yang baik, karena pendekatan ini akan mengurangi
bahaya penyalahgunaan narkoba sekaligus meningkatkan keselamatan dan
kesehatan masyarakat. Dan tingkat kriminalitas pengguna dan pecandu itu turun
drastis sampai 90 persen karena pemerintah mendekriminalisasi para pengguna dan
pecandu. Dengan adanya dekriminalisasi akhirnya akses kesehatan jadi terbuka
karena pengguna dan pecandu tidak takut untuk datang ke tempat pusat rehabilitasi.
Karena akses kesehatannya dibuka pidananya dijauhkan sehingga orang yang
menggunakan atau pecandu tidak akan takut untuk melapor. Titik balik dari logika ini
sebenarnya mengganti pendekatan kriminal, mengganti pendekatan pidana kepada
pendekatan kesehatan, merubah seluruh struktur pemidanaan menjadi pendekatan
kesehatan. Pendekatan pidana dengan memenjarakan pengguna narkotika tidak
akan berhasil untuk mengurangi atau menghilangkan persoalan narkoba di
indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tidak tercapainya tujuan untuk pencegahan
terhadap kasus narkotika. Dan di Portugal negara yang memberlakukan
dekriminalisasi ini mendapatkan hasil yang cukup mengagetkan dari dugaan awal
hubungan antara polisi dan masyarakat. Sejak dekriminalisasi, Polisi Portugal lebih
berfokus pada pengungkapan peredaran gelap narkotika level atas tanpa harus
memikirkan kriminalisasi pengguna narkotika. Ketakutan awal bahwa dekriminalisasi
akan mempersuit peran penggungkapan kasus ternyata tidak terbukti, tanpa adanya
kriminalisasi dan ketakutan akan dijerat hukum, pengguna narkotika justru menjadi
mitra paling efektif dari kepolisian Portugal.

Dekriminalisasi memberikan dampak positif terkait kinerja Kepolisian


dan aparat penegak hukum. Dengan adanya dekriminalisasi, maka sumber
daya yang dimiliki negara dalam tubuh aparat penegak hukum akan lebih
banyak tersalurkan dalam kasus-kasus yang lebih penting, berat dan serius.
Aparat penegak hukum tidak lagi disibukkan dengan penyelesaikan perkara
skala kecil seperti pengguna narkotika yang menumpuk tiap tahunnya.
Dekriminalisasi juga akan membuka ruang kepercayaan publik pada aparat
penegak hukum, memperbaiki hubungan mutual antara aparat penegak
hukum dengan masyarakat khususnya pengguna narkotika. Dikutip dari
website. Dalam melakukan Kriminalisasi pun ada beberapa kriteria yang harus
diperhatikan diantaranya, Pertama apakahah perbuatan tersebut itu disukai atau
dibenci masyarakat, Kedua apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan
hasil yang akan dicapai, Ketiga apakah kriminalisasi akan makin menambah
berat beban aparat penegak hukum, dan Terakhir apakah perbuatan itu
menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga merupakan
bahaya bagi keseluruhan masyarakat (Salman Luthan, 2009:11-12). Jadi
seseorang tidak bisa sembarangan melakukan suatu kriminalisasi tanpa dasar
yang jelas.
Terkait mengapa ada beberapa negara yang melakukan dekriminalisasi.
Karena hal tersebut membuat masalah baru di dalam lapas, contohnya di
Indonesia sendiri. Kriminalisasi atas penyalahgunaan narkotika dalam ketentuan
Pasal 111 dan Pas al 112 UU Narkotika menimbulkan permasalahan baru, yaitu
over-crowded hampir di seluruh Lapas Indonesia. Menurut Dirjen
Pemasyarakatan, Sri Puguh menambahkan dekriminalisasi penyalahgunaan
narkotika dapat menjadi salah satu solusi bagi permasalahan over-crowded
Lapas di Indonesia. Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa beberapa negara
melakukan dekriminalisasi, karena belum mempunyai sarana dan prasarana
lapas yang memadai, tempat penahanan bagi orang yang mengkonsumsi
narkoba.
Dari segi terminologi, kriminalisasi dipahami sebagai tindakan atau
penetapan penguasa mengenai perbuatanperbuatan tertentu yang oleh
masyarakat atau golongangolongan masyarakat dianggap melakukan tindakan
pidana atau membuat suatu tindakan menjadi perbuatan kriminal.
Sumber : https://icjr.or.id/penanganan-dan-dekriminalisasi-pengguna-
narkotika-dalam-revisi-uu-narkotika/

2. Ada yang berpendapat, masalah narkotika tidak akan seperti sekarang jika
sejak awal dibebaskan. Dengan dibebaskan, harga pasar narkotika rendah dan
tidak menjadi komoditi yang dicari-cari. Gaya hidup khas pengguna juga tidak
terbentuk. Setujukah?
Tidak setuju,jika narkotika sejak awal dibebaskan terjadi banyak sekali
penurunan ekonomi dan penurunan kualitas SDM. Masyarakat pun kinerjanya
semakin memburuk. Jika di tinjau dari laporan ekonomi dari beberapa negara
menunjukann penyalahgunaan narkoba mempengaruhi inflasi, cost benefit,
lapangan pekerjaan dan produktifitas, iklim investasi dan kondisi keuangan
terpengaruhi baik secara positif maupun negative. Sementara di beberapa
negara penyalahgunaan dan perdagangab gelap narkoba mengakibatkan
penurunan produktifitas kerja. Selain konsekuensi ekonomi, penyalahgunaan
dan perdagangan gelap narkoba juga mengakibatkan dampak sosial. Dampak
sosial dapat diukur dari aspek Kesehatan dan Pendidikan, lingkungan serta
keluarga dan komunitas. Umumnya aspek sosial merupakan dampak dari
penyalahgunaan narkoba yang lebih sering dibicarakan dan dikaji oleh banyak
kalangan. Berdasarkan dimensi Kesehatan pengggunaan narkoba, khususnya
generasi muda, menimbulkan masalah baru yang menyangkut bidang penyakit
baru-baru, khususnya infeksi saluran nafas bawah. Pecandu narkotika dengan
suntikan mempunyai resiko yang sama. Berdasarkan dimensi sosial dan
Pendidikan, dampak penyalahgunaan narkoba antara lain adalah prestasi
sekolah merosot (96%), hubungan keluarga memburuk (93%), perkelahian dan
tindak kekerasan (65%) dan kecelakaan lalu lintas (58,7%). Bagaimanapun
narkoba ialah obat atau zat yang dapat merugikan seseorang dan dapat
mengancam kesehatan tubuh pengguna jika disalah gunakan. Narkotika tidak
boleh digunakan di luar kepentingan medis dan hanya dapat digunakan oleh
dokter atau pakar kesehatan yang telah resmi dengan dosis yang tepat. Hal ini
sudah diperjelas dalam Pasal 7 UU No. 35. Kebanyak yang terjadi adalah
penyalahguna atau pecandu narkotika menggunakannya di luar kepentingan,
bahkan terkadang melebihi dosis yang dapat diterima oleh tubuh sehingga
menyebabkan overdosis. Penyalahgunaan narkotika ini dapat menyebabkan
rusaknya masyarakat, bangsa, dan negara. Pihak-pihak yang menyalahgunakan
narkotika menurut UU No. 35 Tahun 2009 terdiri dari pecandu narkotika yang
diatur dalam Pasal 1 angka 13 dan penyalah guna yang diatur dalam Pasal 1
angka 15. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Penyalahguna adalah orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu
peningkatan secara terus menerus usaha – usaha di bidang pengobatan dan
pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Meskipun narkotika sangat
bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan sesuai dengan standar
pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan
menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat
khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar
bagi kehidupan dan niali-nilai 4 budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
melemahkan ketahanan nasional. Peningkatan pengendalian dan pengawasan
sebagai upaya penanggulangan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada
umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan
dilakukan secara bersama – sama yaitu berupa jaringan yang dilakukan oleh
sindikat clandestine yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat rahasia.
Kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan
modus operandi yang modern dan teknologi canggih, termasuk pengamanan
hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika
tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat
manusia. Peredaran obat terlarang narkotika masih tetap marak, bahkan
akhirakhir ini kejahatan penyalahgunaan narkotika semakin meningkat yang
tadinya hanya sebagai daerah transit bagi barang – barang terlarang tersebut,
belakangan ini telah dijadikan daerah tujuan operasi peredaran narkotika oleh
jaringan penegdar narkotika internasional.Sumber:
file:///Users/ressa/Documents/LPD_Orpha_Analisis%20Dampak%20Sosial-p.pdf

3. Rehabilitasi penderita narkotika berlangsung tidak optimal mengingat masih


kuatnya budaya punitif di masyarakat. Setujukah dengan pendapat itu?
Setuju, karena para kriminalisasi narkoba memperburuk keadaaan yang
mengakibatkan pengucilan sosial bagi pengguna narkotika, karena itu
banyaknya masyarakat yang mencari konspirasi dengan menghukum
seseorang yang kekuasaanya sederajar atau lebih rendah.
Rehabiltasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik
fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial
bekas pecandu dapat dilakukan di Rumah Sakit yang telah ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan, dan dengan adanya pembinaan dan pengobatan dari Rumah sakit
tersebut, diharapkan korban dapat diterima kembali oleh masyarakat dan dapat
berprilaku lebih baik dari pada sebelumnya. 2. Narkotika adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, Pasal 1 ayat
10 mengenai Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan zat adiktif lainnya, adalah lembaga yang melaksanakan
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan Napza baik milik pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, tetapi para penggunaan narkotika yang
menggunakan kembali narkotika biasanya terjadi karena beberapa faktor yaitu
keluarga tidak mendukung korban untuk sembuh secara penuh, kebanyakan
keluarga malu dengan apa yang telah diperbuat oleh korban dan
membiarkannya saja tanpa memperhatikannya kembali, tidak hanya itu faktor
lingkungan juga terkadang tidak dapat menerima korban kembali ke dalam
masyarakat karena pengguna narkotika mempunyai stigma buruk, padahal
dalam pengertian rehabilitasi sosial adalah agar dapat kembali melaksanakan
fungsi sosialnya di dalam kehidupan masyarakat.
BerdasarkanUndang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah mempunyai kewenangan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial
menurut ketentuan menjadi dua kewenangan yang berbeda, yaitu Pemerintah
pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan rehabilitasi sosial bekas korban
penyalahgunaan napza, Daerah Provinsi mempunyai kewenangan untuk
melakukan rehabilitasi sosial bukan/tidak termasuk bekas korban
penyalahgunaan napza, dan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan
untuk melakukan rehabilitasi sosial bukan/tidak termasuk bekas korban
penyalahgunaan napza. 2. Berdasarkan hasil penulisan bahwa pelaksanaan
rehabilitasi yang dilakukan tidak sesuai dengan mengacu pada Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika, dan zat
Adiktif lainnya, yang dalam Pasal 1 nomor 10 menyatakan lembaga yang
melaksanakan Rehabilitasi Sosial korban penyalahgunaan Napza baik milik
Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya masih belum efektif, karena masih terdapat korban yang setelah
direhabilitasi kembali menggunakan narkotika karena pengaruh lingkungan dan
keluarga yang tidak mendukung kesembuhan korban penyalahguna. Kebijakan
punitif ini membuat banyak anak pengguna narkotika di Indonesia terpaksa harus
menjalani proses hukum, termasuk didalamnya proses pengekangan kebebasan
seperti penahanan. Proses ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikis. Padahal, berdasarkan
Konvensi Hak Anak bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup anak
merupakan salah satu prinsip dasar yang menentukan pemenuhan hak- hak
anak lainnya. (Michael 2016:425). Sehingga budaya punitif ini harus disudahi.
Melepaskan diri dari kecanduan NAPZA atau narkoba bukanlah perkara
mudah. Pasien harus memantapkan niat dan memperkuat usaha dalam
memperoleh hasil yang diinginkan. Terbuka dengan keluarga dan kerabat sangat
dianjurkan guna mempermudah proses penanganan yang akan dilakukan.

Penanganan kecanduan akibat penyalahgunaan NAPZA pada dasarnya


dapat berbeda pada tiap orang, tergantung kondisi dan NAPZA yang
disalahgunakan. Perilaku ini harus segera mendapatkan penanganan. Jika tidak,
dapat membahayakan kesehatan bahkan berpotensi menyebabkan kematian.

wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan Pasal 55 ayat
(1) menentukan bahwa “Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial. Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial diatur dalam
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang
Standar Rehabilitasi Sosial korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif lainnya. Pasal 1 nomor 10 yaitu Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, adalah
lembaga yang melaksanakan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA
baik milik Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Sumber : http://e-journal.uajy.ac.id/10743/1/JurnalHK10714.pdf

4. Tingginya penambahan narkotika jenis baru golongan 3 salahsatunya


disebabkan mudahnya seseorang mengakses prekursor. Setuju?
Setuju, karena semakin beragamnya narkotika semakin banyak seseorang
mudah untuk mengakses ,maka butu pengawasan yang lebih ketat. Indonesia
sudah berkomitmen untuk melakukan pengawasan importasi dan peredaran
bahan kimia yang merupakan prekursor NP, dengan tetap berusaha menjaga
kebutuhan industri legal atas prekursor itu sendiri. Dalam rangka pengawasan,
preskursor NP telah diatur dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan PP No. 44 Tahun 2010 tentang Prekursor. Tujuan pengaturan
prekursor sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009
dan PP No. 44 Tahun 2010 adalah: a. melindungi masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan Prekursor Narkotika; b. mencegah dan memberantas
peredaran gelap Prekursor Narkotika; c. mencegah terjadinya kebocoran dan
penyimpangan Prekursor Narkotika; dan d. menjamin ketersediaan Prekursor
untuk industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga pengawasan oleh penegak hukum terkait
dengan prekursor NP diarahkan pada: a. terpenuhinya Prekursor untuk
kepentingan industri farmasi dan non farmasi; b. terpenuhinya Prekursor untuk
kepentingan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
pelayanan kesehatan; c. pencegahan terjadinya penyimpangan dan kebocoran
Prekursor; d. perlindungan kepada masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Prekursor; dan e. pemberantasan peredaran gelap Prekursor. Dalam PP 44
tahun 2010 petugas pengawasan diberi kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan setempat dan/atau mengambil contoh Prekursor pada sarana
produksi, penyaluran, penyimpanan dan peredaran; memeriksa surat/dokumen
yang berkaitan dengan Prekursor; dan melakukan pengamanan terhadap
Prekursor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Kebutuhan prekursor untuk industri legal harus tetap dijaga
ketersediaannya. Untuk itu pengadaan Prekursor NP dilakukan melalui produksi
dan impor. Pengaturan impor prekursor NP diatur oleh Kementerian Kesehatan
(untuk Prekursor farmasi) dan Kementerian Perdagangan (untuk prekursor non
farmasi). Prekursor NP yang dibatasi impor sampai dengan saat ini berjumlah
23 jenis yang digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II
sesuai dengan Konvensi PBB 1988. Tabel I merupakan kelompok bahan kimia
prekursor NP yang sering digunakan dalam produksi NP secara gelap dan
pengawasannya lebih ketat.
Tumbuh suburnya produksi illegal narkotika, psikotropika dan zat
adiktif (napza) di Indonesia tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan
prekursor. Prekursor merupakan bahan kimia (chemical substance) yang
digunakan untuk memproduksi napza yang berdasarkan sifatnya dikategorikan
sebagai berikut:
 Prekursor bahan baku yakni bahan dasar untuk pembuatan narkotika-
psikotropika yang dengan sedikit modifikasi melalui beberapa reaksi kimia
dapat menjadi narkotika atau psikotropika (prekursor bahan baku
misalnya efedrin, pseudoefedrin, fenilpropanolamin/norefedrin)
 Prekursor reagensia merupakan bahan kimia pereaksi yang digunakan
untuk mengubah struktur molekul prekursor bahan baku menjadi narkotika
dan psikotropika;
 Pelarut (solvent) yakni bahan yang ditambahkan untuk melarutkan atau
memurnikan zat yang dihasilkan.
Prekursor merupakan bahan kimia yang secara luas digunakan oleh
berbagai industri baik skala besar maupun usaha skala kecil untuk berbagai
keperluan seperti industri farmasi, kosmetika, makanan, tekstil, cat, termasuk
pula proses vulkanisir ban.
Penggunaan prekursor dapat diumpamakan seperti pisau bermata
dua. Pada satu sisi, ketersediaan prekursor untuk kepentingan industri dalam
negeri harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan perekonomian negara,
namun disisi lain penyimpangan penggunaan prekursor oleh pelaku kejahatan
guna memproduksi narkotika dan psikotropika illegal harus dicegah. Secara
resmi, terdapat 23 jenis prekursor yang diawasi oleh pemerintah Indonesia. 23
prekursor tersebut dikategorikan dalam 2 kelompok (tabel 1 dan 2) berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.35.02771 tanggal 4 September 2002 tentang pemantauan dan
Pengawasan Prekursor. Badan POM melakukan pengawasan terhadap jenis
prekursor. Badan POM melakukan pengawasan terhadap jenis prekursor yang
digunakan untuk kepentingan farmasi antara lain: ephedrine, pseudoephedrine,
norephedrin, ergometrine, dan ergotamine, sedangkan jenis prekursor lainnya
diawasi oleh instansi terkait lainnya.
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/172/Prekursor-dibalik-peredaran-
gelap-narkotika-dan-psikotropika.html

5. Drug abuse tidak terkait dengan gaya hidup. Terkait pandangan itu, anda
setuju?
Tidak Setuju, Penyalahgunaan obat terlarang ini berdapak kergantungan
obat, yang menurut WHO digambarkan sebagai suatu kondisi intoksikassi yang
di periodic atau kronis, yang dihasikan oleh pemakaian obat tersebut (natural
ataupun sintetis) secara berulang. Ciri-ciri nya meliputi:
1) Munculnya keinginan atau kebutuhan yang kuat untuk
mendapatkan terus obat terlarang tersebut dengan segala cara
2) Kecenderungan untuk meningkatkan dosis
3) Umumnya secara psikis tergantung pada efek obat
4) Efek dari obat merusak diri sendiri dan masyarakat
Ada 3 komponen yang harus diperhatikan dalam kasusu penyalahgunaan
obat terlarang ini, yaitu pengguna (User), penyalah guna (Abusre), dan pecandu
(Addict). Dalam kasus ini narkoba seperti heroin, morfin, dan kokain, biasanya
jenis itu dipassarkan secara ilegal (gelap). (Purwatiningsih, 2001, pp. 37–38)
faktor penyebab remaja menggunakan narkoba adalah faktor lingkungan
yang tidak berperan dengan baik, meliputi; keluarga yang tidak sehat, kondisi
sekolah yang tidak baik dan kondisi masyarakat lingkungan sosial yang rawan.
1) Keluarga
Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan lingkungan
pertama dan utama bagi setiap remaja, sejak ia lahir sampai datang
masanya ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri.
Menurut Sarlito W. Sarwono bahwa sebagai lingkungan primer,
hubungan manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi adalah
di lingkungan keluarga. Fungsi dan peran keluarga menjadi sangat
dominan dalam membangun hubungan antar anggota keluarga,
terutama antara orang tua dan remaja serta angota keluarga lainnya.
Kesalahan dan kegagalan orang tua dalam memainkan peran sebagai
tokoh sentral di lingkungan keluarga, dapat menimbulkan
ketidakharmonisan pola hubungan dalam pergaulan antar anggota
keluarga, sehingga berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku
negatif dalam diri remaja, seperti pemakaian narkoba.
2) Sekolah
Sekolah adalah lingkungan pendidikan yang sekunder. ekolah
merupakan lingkungan pendidikan yang memiliki andil besar dalam
pembentukan jiwa dan perilaku remaja setelah keluarga. Sekolah
diharapkan dapat menjadi tempat membina para remaja, dengan
memberikan norma-norma dan nilai-nilai yang diharapkan oleh
keluarga dan masyarakat. Namun dalam kenyataannya banyak fungsi
sekolah yang tidak dapat dilaksanakan, terutama peran guru dalam
memberikan proses belajar mengajar yang dianggap belum
memuaskan apa yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat.
Masih banyak guru yang baru berperan sebagai tenaga pengajar,
belum sebagai tenaga pendidik yang profesional. Kondisi sekolah yang
semacam ini, dapat memberi peluang terjadinya perilaku menyimpang
di kalangan para remaja, sehingga tidak sedikit siswa dalam usia
remaja ini yang terjerumus ke dalam perbuatan yang merugikan diri
mereka sendiri, keluarga dan masyarakat, seperti mengkonsumsi
narkoba.
3) Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lingkungan ketiga, adalah lingkungan yang
terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan.
Terutama dengan maju pesatnya teknologi komunikasi masa, maka
hampir-hampir tidak ada batas-batas geografis, etnis, politis maupun
sosial antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sutari Iman
Barnadib menegaskan bahwa lingkungan masyarakat bukan
merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab,
melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan
tata nilai di dalamnya terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan
kadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa anak baik
dalam bentuk positif maupun negatif.
Dalam masyarakat global seperti sekarang ini, kejadian di
beberapa belahan dunia dapat dilihat dan diikuti secara langsung oleh
masyarakat pada satu wilaya. Kondisi masyarakat semacam ini
dijelaskan oleh Sarlito W. Sarwono, bahwa hampir-hampir tidak ada
batas wilayah dalam masyarakat yang berkembang saat ini. Waktu
breakdance digandrungi remaja di Amerika Serikat, di lapangan parkir
timur Senayan Jakarta, setiap malam minggu ada pameran
keterampilan ber breakdance yang merupakan acara spontanitas dari
remaja-remaja Jakarta. Tetapi yang lebih menakjubkan lagi budaya
breakdance ini juga menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Demikian
pula busana wanita Timur Tengah makin lama makin makin banyak
dipakai wanita dan remaja puti Indonesia. Keberadaan anak perlu
mendapatkan perhatian, dalam perkembangannya ke arah dewasa,
terkadang melakukan perbuatan yang lepas kontrol, mereka
melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dapat merugikan
orang lain atau merugikan dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai