MAKALAH Pancasila Dan Kewarganegaraan
MAKALAH Pancasila Dan Kewarganegaraan
DOSEN PENGAMPU :
MARLIAN ARIF NASUTION, M.Pem.I
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah dan juga untuk khalayak
ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga
bermanfaat.Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan
semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka
dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari
semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaran yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
i
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1 Defenisi, Tujuan dan Ciri-Ciri Konstitusi .................................................3
2.2 Perubahan Konstitusi .................................................................................5
2.3 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan..................................................7
2.4 Hubungan Antara Negara dan Konstitusi ..................................................8
BAB III.................................................................................................................... 9
PENUTUP ............................................................................................................... 9
3.1 Kesimpulan ................................................................................................9
3.2 Saran ..........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
d. Bagaimankah Hubungan Antara Negara Dan Konstitusi?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1 Lubis, M. Solly, Asas-asas Hukum Tata Negara, Bandung, Alumni, 1982, hlm 40.
3
Konstitusi pada umumnya bersifat kondifaksi yaitu sebuah dokumen yang
berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara,
namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya
berupa dokumen tertulis (formal). Namun menurut para ahli ilmu hukum maupun
ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara,
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi.
Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang menopang berdirinya
suatu negara. Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written
Constitution) dan konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan
seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-
undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat
kebiasaan.
Pada umumnya hukum bertujuan untuk mengadakan tata tertib untuk
keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan
yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan
karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-
Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama deengan hukum, namun tujuan
dari konstitusi lebih terkait dengan:
a) Berbagai lembaga-lembaga kenegaraan dengan wewenang dan tugasnya
masing-masing.
b) Hubungan antar lembaga negara.
c) Hubungan antar lembaga negara (pemerintah) dengan warga negara (rakyat).
d) Adanya jaminan atas hak asasi manusia.
e) Hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan jaman.
Semakin banyak pasal-pasal yang terdapat di dalam suatu konstitusi tidak
menjamin bahwa konstitusi tersebut baik. Di dalam praktekna, banyak negara yang
memiliki lembaga-lembaga yang tidak tercantum di dalam konstitusi namun
memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan lembaga-lembaga yang terdapat
di dalam konstitusi. Bahkan terdapat hak-hak asasi manusia yang diatur diluar
konstitusi mendapat perlindungan lebih baik dibandingkan dengan yang diatur di
dalam konstitusi. Dengan demikian banyak negara yang memiliki aturan-aturan
4
tertulis di luar konstitusi yang memiliki kekuatan yang sama denga pasal-pasal yang
terdapat pada konstitusi.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan
atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara.
Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi
konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka
raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut
oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada
di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur¬nya. Karena itu, di lingkungan
negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu
konstitusi.” Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer
(President Executive and Parliamentary Executive Constitution)”, oleh Sri
Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) tidak termasuk kedalam
golongan konstitusi Pemerintahan Presidensial maupun pemerintahan Parlementer
. Hal ini dikarenakan di dalam tubuh UUD 45 mengndung ciri-ciri pemerintahan
presidensial dan ciri-ciri pemerintahan parlementer. Oleh sebab itu menurut Sri
Soemantri di Indonesia menganut sistem konstitusi campuran.2
5
Negara yang sistem hukumnya demokratis akan menciptakan kehidupan
demokratis dalam segala bidang kehidupan. Demokratisasi hukum ditentukan oleh
strategi pembangunan hukum yang dianut oleh suatu negara. Dari perspektif sejarah
dikenal dua macam strategi pembangunan hukum yang menonjol dan berpengaruh.
Kedua strategi pembangunan hukum yang dimaksud adalah:
a. Strategi pembangunan hukum “ortodoks”, melahirkan tipe hukum “represif”.
Tipe hukum ini pada dasarnya melihat hukum sebagai alat kekuasaan agar
dapat mempertahankan status quo, berusaha meminimalisasi arus tuntutan
perubahan, termasuk upaya membentengi arus tuntutan perubahan dari public
yang cenderung dianggap dapat mengganggu lestarinya kekuasaan.
b. Strategi pembangunan hukum responsif, penekanannya adalah hukum sebagai
legitimasi keinginan atau nilai-niali yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Ciriciri pembangunan hukum responsive adalah masyarakat
berperan, negara tidak dominan.
Jika dicermati, pada proses transisi politik antara rezim orde baru menuju
reformasi, ada upaya perubahan strategi pembangunan antar kedua rezim. Pada
rezim orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto selama 32 Tahun, pemerintah
orde baru memilih menggunakan strategi pembangunan hukum represif dimana
peran masyarakat begitu diminimalisir dengan tujuan untuk terus melanggengkan
kekuasaan. Sementara itu, era reformasi mencoba merubah strategi pembangunan
menuju hukum responsif dimana perubahan konstitusi diarahkan untuk lebih
menimbulkan partisipasi masyarakat dan swasta, bersama pemerintah untuk
kemudian membentuk segitiga integrasi sebagai stakeholder untuk mewujudkan
ideal demokrasi yang sebenarnya. Maka dari itu, perubahan konstitusi menjadi
suatu hal yang vital dalam masa transisi politik sehingga teknis perubahannya
menjadi hal yang layak diangkat mengingat transisi yang terjadi pada era reformasi
merupakan salah satu bentuk transisi luar biasa.
Dikaitkan dengan proses reformasi, penggantian rezim tentunya membawa
semangat baru terhadap strategi pembentukan hukum, namun Pancasila sebagai
grundnorm tetap dipakai sebagai norma tertinggi dalam pembentukan hukum
positif di Indonesia, singkatnya, kerusakan yang terjadi dalam piramida pada era
Orde Baru adalah pada tingkatan konstitusi yakni Undang-undang Dasar Negara
6
Republik Indonesia Tahun 1945. Merujuk pada piramida Kelsen, maka tidak ada
keharusan untuk melakukan penggantian sistem hukum secara keseluruhan
mengingat grundnorm yang digunakan masih tetap sama, namun adanya
pembaruanpembaruan, upaya penegakan hukum otonom menuju hukum responsif
untuk mencegah kembali terjadinya otoritarianisme lewat sistem yang represif
mengharuskan perubahan pada beberapa titik tertentu dalam konstitusi, namun
tidak semuanya, karena Pancasila masih menjadi sumber.
3 Jadidah, Fikrotul. 2020. “Perubahan Konstitusi Dalam Transisi Orde Baru Menuju Reformasi Di
Indonesia”, Jurnal Ilmiah Mandala Education, Vol. 6 No. 1.
7
(1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundangundangan
dimana hierarkhinya adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bertitik tolak dari teori hierarkhi Kelsen, diketahui bahwa Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 nyatanya bukan merupakan norma
tertinggi, masih berada satu level dibawah norma dasar, yakni Pancasila. Pancasila
sebagai norma dasar, norma tertinggi, dan sumber segala hukum dapat dilihat dalam
Pasal 2 Undangundang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Namun, pertentangan kemudian muncul lewat pernyataan
Kelsen yang menyatakan bahwa berdasarkan hierarkhinya, sumber hukum tertinggi
yang mendasari lahirnya suatu peraturan perundang-undangan dalam suatu negara
menurut Kelsen adalah norma dasar ini bersifat presupposed, atau ditetapkan oleh
masyarakat terlebih dahulu.
2.4 Hubungan Antara Negara dan Konstitusi
Berhubungan sangat erat, konstitusi lahir merupakan usaha untuk
melaksanakan dasar negara. Dasar negara memuat norma-norma ideal, yang
penjabarannya dirumuskan dalam pasal-pasal oleh UUD (Konstitusi) Merupakan
satu kesatuan utuh, dimana dalam Pembukaan UUD 45 tercantum dasar negara
Pancasila, melaksanakan konstitusi pada dasarnya juga melaksanakan dasar
Negara.4
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang
lazim disebut Undang Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.
Politik hukum nasional setiap negara dapat dibentuk, ditentukan oleh faktor-
faktor, yaitu apa yang menjadi cita-cita suatu negara, rakyat atau tergantung pada
kehendak pembentuk hukum, tradisi atau teoritisi latar belakang tradisi dan realita
sosial setiap negara, realita hukum dan pengembangan hukum nasional dan realita
dunia Internasional. Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia telah
terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasar periode sistem
politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang
otoriter. Perubahan konstitusi pada proses transisi politik di Indonesia yang
merupakan salah satu agenda dari era reformasi ditandai dengan amandemen
pertama hingga keempat terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3.2 Saran
Untuk berlangsungnya proses pembelajaran yang lancar, efesien, dan efektif
dalam hal Pancasila dan Kewarganegaraan khususnya dalam hal pembahasan
Konstitusi maka diperlukan kajian lebih mendalam lagi bagi para pembaca.
9
DAFTAR PUSTAKA
10