JUERGEN HABERMAS
Pasca lengsernya Orde Baru, denyut jantung demokrasi Indonesia kembali berdetak.
Demokrasi yang selama itu dipasung, terlepas belenggunya dan kembali bergeliat. Kebebasan yang
selama itu dibendung, meluap-luap, mengalir ke berbagai alur kehidupan. Pun kehidupan politik
ditandai oleh menyeruaknya kebebasan. Partai-partai politik dan LSM bertumbuh bak kembang
desember, pun pers boleh bebas berkoar tanpa kuatir akan dibredel. Dari sini lalu memunculkan
ledakan partisipasi politik. Ini merupakan konsekuensi logis pengekangan partisipasi politik yang
berlebihan selama Orde Baru berkuasa. Ledakan partisipasi politik terjadi dalam bentuknya yang
beragam. Pada tataran massa akar rumput, ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk
huru hara, kekerasan massa, dan amuk. Pada tataran elit pertarungan memperebutkan kuasa
semakin sengit hingga kekuasaan tak ubahnya seperti komoditi langka diperebutkan.
Di dalam era reformasi, negara telah kehilangan kekuasaan dominatif politisnya atas
keseluruhan dimensi kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut terjadi karena negara tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber dan pusat legitimasi kekuasaan. Negara bukan satu-satunya kekuatan
yang memutuskan keputusan publik. Keputusan itu perlu dimurnikan dalam “arena diskursus” yang
rasional, bebas dominasi dan intervensi. Dalam pandangan Habermas, masyarakat modern adalah
masyarakat plural, akar-akar konflik dan solusi atasnya haruslah mengacu kepada beberapa
kelompok dan subkelompok, masing-masing dari mereka memiliki pengertian diri dan nilai yang
berbeda, serta beberapa asumsi-asumsi yang dianut bersama di dalam kelompoknya masing-
masing.1
1
Reza Antonius . Negara Hukum Locke, Rousseau, Habermas. Yogykarta: Kanisius. 2007. Hal. 139.
Tetapi di tengah semerbaknya aroma demokrasi, muncul pertanyaan-pertanyan kritis:
Apakah partsipasi rakyat telah betul-betul mewujud dalam konfigurasi politik real Indonesia?
Ataukah partisipasi itu hanya menjadi komoditas politik paling laris di kalangan elit politik? Apakah
memang betul-betul telah terbentuk ruang publik untuk membentuk diskursus bersama? Lantas
peran rakyat di mana? Apakah partisipasi langsung dalam penentuan pemimpin negara atau
pemimpin daerah sudah sepenuhnya mengindikasikan bahwa kita telah berdemokrasi? Ataukah
yang terjadi adalah demokrasi semu (psudeo-democracy) karena acapkali yang menentukan
kebijakan dalam negeri ini melulu para elite?
Apa itu politik? Secara umum ada dua interpretasi atas term politik yang bertentangan satu
sama lain.2 Tafsiran pertama melihat politik sebagai sebuah konflik karena politik berhubungan
dengan kekuasaan, di mana sekelompok orang atau individu memegang kekuasaan yang cenderung
mendominasi sehingga menimbulkan perlawananan dari kelompok individu lainnya. Di sini politik
sama dengan mempertahankan kepentingan kelompok tertentu dan berpotensi konfliktual.
Sedangkan tafsiran kedua melihat politik sebagai upaya menciptakan ketertiban dan keadilan, di
mana kekuasaan ada untuk menjamin suatu model hidup yang damai dan adil dan diarahkan
sepenuhnya untuk mencapai kesejahteraan material dan spiritual semua warga negara.
Kelihatan tafsiran pertama mendominasi pemikiran modern, di mana term politik dipahami
sebatas kekuasaan, regulasi, dan hukum. Dalam arti yang sempit seperti ini, politik hanya menjadi
milik kaum elit politik. Sementara itu sebagian besar masyarakat dianggap sebagai massa
mengambang dan hanya diberi kesempatan untuk menggunakan hak politiknya (berpartisipasi)
sekali dalam lima tahun dalam pemilu. Hal ini semakin menyolok semenjak sistem pemilihan
langsung bergulir.
Dari dua macam tafsiran di atas, politik pertama, sebagai “kue” yang persediaannya amat
terbatas, padahal banyak yang membutuhkan. Oleh karena itu kekuasaan haruslah diperebutkan.
Tindakan merebut itulah yang menjadi pemandangan lumrah dalam kancah politik Indonesia,
melalui pilpres, pilkada, pildes dan “pil” lainnya. Pandangan seperti ini mengindentikkan politik
dengan praktik kotor, penipuan. Sedangkan tafsiran kedua mengetengahkan satu pemahaman yang
luas, satu arti dasariah politik yang amat mulia. Politik sebagai seni menjalankan pemerintahan demi
kesejahteraan orang banyak. Dengan demikian aktivitas politik bukan pertama-tama karena kodrat
manusia sebagai makhluk sosial, tetapi sesuatu yang diusahakan. Seperti yang dikatakan oleh
Hannah Arendt, politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia. Mengabadikan diri
merupakan seni yang dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena membangun
jasa dan prestasi membangun kehidupan bersama. 3 Maka sebenarnya anggapan bahwa politik
indentik dengan praktik-praktik kotor sama sekali bertentangan dengan hakekat politik. Politik in se
adalah sesuatu yang baik dan mulia bahkan perlu. Sedangkan yang kotor adalah manusia pelaku
politik.
2
Yosef Keladu Koten. Partisipasi Politik Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles. Maumere:
Penerbit Ledalero. Hal. 4.
3
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas. 2003. Hal. 2.
Apapun pemahaman tentang politik, politik riil adalah pertarungan kekuatan 4. Sementara
politik sebagai seni lebih banyak menghiasi wacana filosfis dan etika. Filsafat dan etika politik masih
dianggap dunia ideal yang mencerminkan realitas politik yang keras itu. Berbicara politik dalam
tataran normatif seperti memberi kesan naif. Meskipun politik riil adalah pertarungan kekuatan
masih ada peluang bagi wacana normatif sebab betapa pun kerasnya dunia politik masih ada
kerinduan akan keteraturan dan kedamaian. Di sanalah terletak celah bagi filsafat politik yang
berupaya membangun konsep-konsep yang membuat politik dipahami secara lebih mendalam. 5
Filafat politik lebih refleksif, sintesis, dan menyeluruh sehingga menuntut pengambilan jarak untuk
tetap kritis terhadap realitas politik. Ia memaparkan pernyataan normatif yang terkait dengan politik
yang baik dan adil. Walaupun sebagai satu refleksi filosifis ideal, kritis dan normatif, filsafat politik
tetap berpijak pada kenyataan riil yang ada. Apa yang ada coba direfleksikan kembali, dalam
kerangka prinsip umum dengan metode pembenaran yang mudah dipahami. Inilah yang diusahakan
Habermas dalam filsafat politiknya. Bahwa dalam situasi kemanusiaan yang plural dalam budaya,
gaya hidup, nilai maupun norma, filsafat politik mencoba mendasari penalaran manusia dalam
kerangka komunikatif atau dialogis 6 yang dinamakan diskursus dalam ruang publik yang setara dan
bebas dari intervensi kekusaan dan pasar.
Partisipasi Politik
Semenjak zaman Yunani klasik, Aristoteles telah memberi pendasaran tentang hakekat
manusia sebagai makhluk politik.7 Manusia pada dasarnya adalah makhluk politik. Doktrin
terkenalnya dirumuskan dalam apa yang disebut zoon politikon. Doktrin ini didasarkan pada
kehidupan manusia Yunani yang berada di dalam polis (Negara kota). Manusia adalah makhluk
politik dan memiliki kodrat untuk hidup bersama demi satu tujuan yakni kesejahteraan bersama
bukan semata demi menghindari isolasi. Di sini, warga negara polis menghubungkan dirinya dengan
warga negara lain, dengan komunitas di mana ia hidup, dan dengan pelaksaan kekuasaan di
komunitas tersebut. Manusia secara alamiah cocok bagi kehidupan polis dan dapat mengembangkan
potensi secara penuh hanya dengan hidup dalam komunitas politis dan moral dengan yang lain.
Sejak awal manusia memiliki dorongan politis yang menggerakkan mereka ke arah kehidupan
bersama yang melampaui keluarga. Pandangan ini menegaskan aspek dasariah manusia sebagai
makhluk sosial.
Juergen Habermas (1929) adalah filsuf kontemporer yang paling terkenal di Jerman dan juga
menghiasi panggung filsafat internasional. Habermas bertolak dari Teori Kritis 10 Masyarakat Max
Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Ia hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang
dicetuskan dengan maksud yang praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh kedua
punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk menganalisa keadaan masyarakat.
Ia meneruskan proyek teori kritis dengan paradigma baru yakni paradigma komunikasi. 11
Komunikasi adalah titik tolak Habermas. Teori kritis yang terus menautkan ilmu dan praksis
dilampaui bukan hanya kerja (seperti para pendahulu) tetapi komunikasi. Komunikasi membuka
pemahaman dan kesadaran rasional. Karena praksis yang yang dilandasi kesadaran rasional, maka
rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukan alam melalui kerja, melainkan
interaksisubjektif yang menggunakan bahasa sehari-hari. Bila komunikasi ditiadakan dan kerja
diutamakan seperti apa yang dikatakan Marx, maka partisipasi politik mewujud dalam rupa
kekerasan dan bahkan revolusi. Namun pandangan Habermas secara tegas menolak penggunaan
kekerasan dalam menyalurkan aspirasi kepada negara.
9
Ibid. Hal. 1-3
10
Teori Tindak Komunikatif (Teori Kritis) mengambil sikap baik terhadap ilmu-ilmu sosial dewasa ini maupun
kenyataan sosial yang dilukiskan. Ia kritis terhadap masyarakat maju sejauh mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan
kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu, melainkan membenanmkan diri ke dalam sebuah
pertumbuhan kompleksitas yang tak terkendali...Ia juga kritis terhadap pendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan
paradoks rasinalisasi kemasyarakatan karena pendekatan itu membuat sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka
hanya dari satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal-usul historis bidang objek mereka. (Habermas dalam
Budi Hadirman, Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. 2009. Hal. 11.)
11
Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. 2009. Hal. 17.
Bagi Habermas, ketika seseorang berhubungan dengan dunia kehidupan, maka dia
mengalami salah satu dari tiga relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu di dunia objektif (sebagai
totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar). Kedua, dengan sesuatu di
dunia sosial (sebagai totalitas hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim/sah). Ketiga,
dengan sesuatu di dunia subjektif (sebagai totalitas pengalaman yang akses ke dalamnya hanya
dimiliki si pembicara dan yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak).
Ucapan komunikatif selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia. Tindakan
komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan
bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar
menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat
mereka memahami definisi situasi bersama. Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan
sesuatu di dunia namun merelatifkan ucapan mereka berdasarkan kesempatan aktor lain untuk
menguji validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada pengakuan intersubjektif atas
klaim validitas yang dikemukan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakala pendengar
menerima kebenaran pernyataan namun pada saat yang sama juga meragukan kejujuran pembicara
atau kesesuaian ucapannya dengan norma.
Tindakan komunikatif Habermas memiliki dua aspek, aspek teleologis yang terdapat pada
perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek
komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi dan tercapainya kesepakatan. Dalam
tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi
situasi bersama. Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika
upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka
pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri, karena konsensus adalah syarat bagi
tercapainya tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang
lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan
ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karena itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa
terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan
yang didefinisikan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak
tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana
tindakan secara salah (resiko kegagalan).
Demokrasi membutuhkan partisipasi aktif dari rakyat. Seperti yang telah dikatakan di atas
bahwa partisipasi yang aktif tidak hanya direduksi pada penggunaan hak pilih pada setiap kali pemilu
atau pilkada berlangsung. Ruang ini bersifat “publik” karena pembiracaraan yang ada dalam ruang
publik bukan soal hal-hal pribadi tetapi menyangkut kepentingan umum. Ruang publik politis
merupakan corong penyuara bagi permasalahan yang harus diproses secara politis. Untuk itu ruang
publik adalah sistem peringatan dengan sensor peka.
Partisipasi ini dapat disalurkan melalui diskursus kritis dan bebas yang berada dalam ruang
publik. Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.
Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga
negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka
secara diskursif. Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Ruang publik adalah
tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang
12
Reza Antonius. Op. Cit. Hal. 202.
13
F. Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisisus. 2009. Hal. 150.
publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan
argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik bukan hanya sekedar fisik,
maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu
sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah ,
bebas dari dominasi pasar atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua
orang. Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan
mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.
Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi publik yang
kritislah yang merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Ruang publik dapat bersifat politis
sejauh diskusi publik berkaitan dengan berbagai hal mengenai praktik negara. Namun ruang publik
yang sejatinya bebas dan kritis dapat kehilangan daya kritisnya karena ruang itu terkadang menjadi
medan perjuangan kepentingan-kepentingan. Misalnya DPR sebagai perealisasian kehendak rakyat
dan tentunya bersifat publik justru disimpangkan dengan perjuangan kepentingan pribadi, partai
atau golongan tertentu. Atau pula media massa yang menjadi ruang publik yang amat mumpuni bisa
ditunggangi oleh para kapitalis atau elit politik tertentu. Ruang publik seperti ini kehilangan fungsi
kritisnya karena tak mampu menangambil jarak dari pengaruh kekuasaan dan pasar (uang). Maka
usaha mencerahi kekuasaan dengan pandangan yang rasional akhirnya tunduk pada kehendak
(nafsu) yang irasional. Namun demikian Habermas tetap optimis bahwa selalu ada wilayah yang
mungkin dalam proses mencerahi politik dan proses ini belum selesai.
Simpulan
Politik riil adalah sebuah rimba raya pertarungan kuasa dan uang, walaupun demikian filsafat
politik prespektif Habermas tetap berakar kokoh sebagai ungkapan tangungjawab politik.
Tanggungjawab ini diungkapkan secara menawan oleh Hannah Arendt bahwa tiadanya pemikiran
14
Ibid. Hal. 151.
merupakan bentuk kejahatan atau awal dehumanisasi 15. Berpikir bersama mengkiritisi kenyataan
yang timpang merupakan tanda kemanusiaan bagi satu dunia yang manusiawi. Pemikiran yang
refleksif akan memperkaya politik. Sedangkan lemahnya refleksi akan mempermiskin politik.
Dengan adanya pola pikir pragmatisme yang mengutamakan hasil dan serba instan orang
malas berpikir atau berpikir secara monokausal (searah). Misalnya ketika rakyat berteriak kelaparan,
pemerintah getol memberi bantuan makanan pokok, sementara itu mengabaikan persoalan
mengapa rakyat terus menderita kelaparan setiap tahun? Atau ketika terjadi banyak tauran,
pemerintah setiap tahun terus menambah jumlah polisi untuk mengamankan situasi, padahal
mereka tidak berpikir untuk menyediakan tempat bagi ekspresi diri seperti lapangan kerja, arena
bermain seperti lapangan bola. Terjadinya banyak tauran bukan karena kekurangan polisi tetapi
kekurangan ruang ekspresi diri. Maka benar apa yang dikatakan bahwa kelaparan bukan karena
kekurangan makanan tetapi kekurangan demokrasi. Di sinilah letak filsafat politik termasuk filsafat
politik ala Habermas yang memberi pendasaran dan pola pikir yang lebih menyentuh akar persoalan.
Maka mengikuti apa yang dikatakan Socrates kita boleh berkata, sesungguhnya politik yang tidak
direfleksikan sebenarnya politik yang tak layak dijalani. Filsafat politik tetap relevan demi
menentukan isi normatif bagaimana berpolitik secara santun.
Kenyataan yang ada pada proses pemilihan umum, apakah menunjukkan bahwa masyarakat
sudah terlibat aktif dalam politik? Masyarakat mendelegasikan suara dan haknya pada wakil rakyat
yang diplihnya dengan sadar. Namun dalam politik riil hal ini mustahil. Justru dalam kenyataan
konkret politik uang makin menggurita. Politik uang adalah sebutan untuk jual beli kehendak.
Setelah dibeli tuntas oleh yang menjadi calon, dan setelah terpilih, rakyat cenderung menarik diri,
dan penguasa mengklaim diri telah membeli lunas suara rakyat. Banyak ketimpangan dalam praktik
politik, banyak aturan yang tidak adil perlu dicerahi dalam satu diskursus yang sehat, dalam arti jujur,
bebas dan kritis. Namun demikian usaha seperti ini sepertinya masih menjadi “kata kerja” terus
menjadi di Indonesia khususnya masyarakat NTT.
Barangkali pandangan Habermas terlalu ideal dan “mengada-ada” lantaran hampir tidak ada
ruang publik yang sehat. Ide ini kiranya dalam konteks NTT masih bersifat normatif, artinya menjadi
salah satu patokan untuk bergelut dalam dunia politik dalam rangka menciptakan budaya politik 16
yang santun, baik dan bersih. Dengan begitu cita-cita demokrasi sebagai pemerintah dari rakyat oleh
rakyat untuk rakyat benar-benar terwujud, bukannya demokrasi semu: bagi segelintir orang saja,
atau masih berbau keluarga, kenalanan, dll.
Daftar Bacaan
15
Ibid. Hal. 11
16
Budaya politik menekankan aspek normatif, kaidah politik dan terutama pembinaan nilai dan perwujudan cita-
cita seperti kesejahteraan umum, keadilan, dan keharuman bangsa. Budaya politik juga dimaksudkan sebagai yang
mengarahkan dan membentuk tata hidup dan etos bangsa (Haryatmoko. Op. Cit. Hal. 2.)
Antonius, Reza. Negara Hukum Locke, Rousseau, Habermas. Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Keladu, Josef Koten. Partisipasi Politik-Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aritoteles.
Maumere: Penerbit Ledalero. 2010.
Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi Vs Politik Martabat Manusia? Maumere: Penerbit
Ledalero. 2011.