Anda di halaman 1dari 9

PARTISIPASI POLITIK DALAM NEGARA PERSPEKTIF FILSAFAT POLITIK

JUERGEN HABERMAS

HERMAN BAU RUA

Denyut Demokrasi Semakin Terasa

Pasca lengsernya Orde Baru, denyut jantung demokrasi Indonesia kembali berdetak.
Demokrasi yang selama itu dipasung, terlepas belenggunya dan kembali bergeliat. Kebebasan yang
selama itu dibendung, meluap-luap, mengalir ke berbagai alur kehidupan. Pun kehidupan politik
ditandai oleh menyeruaknya kebebasan. Partai-partai politik dan LSM bertumbuh bak kembang
desember, pun pers boleh bebas berkoar tanpa kuatir akan dibredel. Dari sini lalu memunculkan
ledakan partisipasi politik. Ini merupakan konsekuensi logis pengekangan partisipasi politik yang
berlebihan selama Orde Baru berkuasa. Ledakan partisipasi politik terjadi dalam bentuknya yang
beragam. Pada tataran massa akar rumput, ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk
huru hara, kekerasan massa, dan amuk. Pada tataran elit pertarungan memperebutkan kuasa
semakin sengit hingga kekuasaan tak ubahnya seperti komoditi langka diperebutkan.

Kehidupan demokrasi mewujudkan dalam kebebasan mendirikan partai politik, pemilihan


presiden dan wakil presiden secara langsung, bahkan sekarang sedang berlangsung pemilihan kepala
daerah (Pilkada) secara langsung pula. Dengan adanya sistem pemilihan langsung, demokrasi
dirasakan benar-benar sebagai pemerintah dari, untuk dan oleh rakyat. Ketika “musim” pemilu atau
pemilihan kepala daerah bergulir rakyat benar-benar terbenam dalam euforia pesta demokrasi.
Perbincangan mengenai siapa paket calon pemimpin yang dijagokan, “dibedah” dari berbagai sudut
pandang, tergiang tidak hanya dalam forum resmi tetapi juga di lorong-lorong, di atas kendaraan, di
warung, di pasar-pasar. Sepertinya rakyat menikmati sekali pertarungan politik jagoannya. Namun
setelah pemimpin baru terpilih, rakyat seolah menarik diri. Aroma politik yang hangat pun menguap
seperti pelangi meluruh usai gerimis. Dan mereka merasa nyaman lantaran telah mendelegasikan
suara mereka kepada pemimpin terpilih. Selebihnya tergantung keputusan dan kebijakan dari
pemimpin. Di samping itu, pihak yang menang tertawa renyah menikmati sedap pesta kemenangan,
sedangkan mereka yang kalah akan was-was, harap-harap cemas karena akan dipinggirkan dalam
bergulirnya roda pemerintahan yang baru. Inilah potret politik sekarang.

Di dalam era reformasi, negara telah kehilangan kekuasaan dominatif politisnya atas
keseluruhan dimensi kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut terjadi karena negara tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber dan pusat legitimasi kekuasaan. Negara bukan satu-satunya kekuatan
yang memutuskan keputusan publik. Keputusan itu perlu dimurnikan dalam “arena diskursus” yang
rasional, bebas dominasi dan intervensi. Dalam pandangan Habermas, masyarakat modern adalah
masyarakat plural, akar-akar konflik dan solusi atasnya haruslah mengacu kepada beberapa
kelompok dan subkelompok, masing-masing dari mereka memiliki pengertian diri dan nilai yang
berbeda, serta beberapa asumsi-asumsi yang dianut bersama di dalam kelompoknya masing-
masing.1

1
Reza Antonius . Negara Hukum Locke, Rousseau, Habermas. Yogykarta: Kanisius. 2007. Hal. 139.
Tetapi di tengah semerbaknya aroma demokrasi, muncul pertanyaan-pertanyan kritis:
Apakah partsipasi rakyat telah betul-betul mewujud dalam konfigurasi politik real Indonesia?
Ataukah partisipasi itu hanya menjadi komoditas politik paling laris di kalangan elit politik? Apakah
memang betul-betul telah terbentuk ruang publik untuk membentuk diskursus bersama? Lantas
peran rakyat di mana? Apakah partisipasi langsung dalam penentuan pemimpin negara atau
pemimpin daerah sudah sepenuhnya mengindikasikan bahwa kita telah berdemokrasi? Ataukah
yang terjadi adalah demokrasi semu (psudeo-democracy) karena acapkali yang menentukan
kebijakan dalam negeri ini melulu para elite?

Politik Riil dan Filsafat Politik

Apa itu politik? Secara umum ada dua interpretasi atas term politik yang bertentangan satu
sama lain.2 Tafsiran pertama melihat politik sebagai sebuah konflik karena politik berhubungan
dengan kekuasaan, di mana sekelompok orang atau individu memegang kekuasaan yang cenderung
mendominasi sehingga menimbulkan perlawananan dari kelompok individu lainnya. Di sini politik
sama dengan mempertahankan kepentingan kelompok tertentu dan berpotensi konfliktual.
Sedangkan tafsiran kedua melihat politik sebagai upaya menciptakan ketertiban dan keadilan, di
mana kekuasaan ada untuk menjamin suatu model hidup yang damai dan adil dan diarahkan
sepenuhnya untuk mencapai kesejahteraan material dan spiritual semua warga negara.

Kelihatan tafsiran pertama mendominasi pemikiran modern, di mana term politik dipahami
sebatas kekuasaan, regulasi, dan hukum. Dalam arti yang sempit seperti ini, politik hanya menjadi
milik kaum elit politik. Sementara itu sebagian besar masyarakat dianggap sebagai massa
mengambang dan hanya diberi kesempatan untuk menggunakan hak politiknya (berpartisipasi)
sekali dalam lima tahun dalam pemilu. Hal ini semakin menyolok semenjak sistem pemilihan
langsung bergulir.

Dari dua macam tafsiran di atas, politik pertama, sebagai “kue” yang persediaannya amat
terbatas, padahal banyak yang membutuhkan. Oleh karena itu kekuasaan haruslah diperebutkan.
Tindakan merebut itulah yang menjadi pemandangan lumrah dalam kancah politik Indonesia,
melalui pilpres, pilkada, pildes dan “pil” lainnya. Pandangan seperti ini mengindentikkan politik
dengan praktik kotor, penipuan. Sedangkan tafsiran kedua mengetengahkan satu pemahaman yang
luas, satu arti dasariah politik yang amat mulia. Politik sebagai seni menjalankan pemerintahan demi
kesejahteraan orang banyak. Dengan demikian aktivitas politik bukan pertama-tama karena kodrat
manusia sebagai makhluk sosial, tetapi sesuatu yang diusahakan. Seperti yang dikatakan oleh
Hannah Arendt, politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia. Mengabadikan diri
merupakan seni yang dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena membangun
jasa dan prestasi membangun kehidupan bersama. 3 Maka sebenarnya anggapan bahwa politik
indentik dengan praktik-praktik kotor sama sekali bertentangan dengan hakekat politik. Politik in se
adalah sesuatu yang baik dan mulia bahkan perlu. Sedangkan yang kotor adalah manusia pelaku
politik.

2
Yosef Keladu Koten. Partisipasi Politik Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles. Maumere:
Penerbit Ledalero. Hal. 4.
3
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas. 2003. Hal. 2.
Apapun pemahaman tentang politik, politik riil adalah pertarungan kekuatan 4. Sementara
politik sebagai seni lebih banyak menghiasi wacana filosfis dan etika. Filsafat dan etika politik masih
dianggap dunia ideal yang mencerminkan realitas politik yang keras itu. Berbicara politik dalam
tataran normatif seperti memberi kesan naif. Meskipun politik riil adalah pertarungan kekuatan
masih ada peluang bagi wacana normatif sebab betapa pun kerasnya dunia politik masih ada
kerinduan akan keteraturan dan kedamaian. Di sanalah terletak celah bagi filsafat politik yang
berupaya membangun konsep-konsep yang membuat politik dipahami secara lebih mendalam. 5
Filafat politik lebih refleksif, sintesis, dan menyeluruh sehingga menuntut pengambilan jarak untuk
tetap kritis terhadap realitas politik. Ia memaparkan pernyataan normatif yang terkait dengan politik
yang baik dan adil. Walaupun sebagai satu refleksi filosifis ideal, kritis dan normatif, filsafat politik
tetap berpijak pada kenyataan riil yang ada. Apa yang ada coba direfleksikan kembali, dalam
kerangka prinsip umum dengan metode pembenaran yang mudah dipahami. Inilah yang diusahakan
Habermas dalam filsafat politiknya. Bahwa dalam situasi kemanusiaan yang plural dalam budaya,
gaya hidup, nilai maupun norma, filsafat politik mencoba mendasari penalaran manusia dalam
kerangka komunikatif atau dialogis 6 yang dinamakan diskursus dalam ruang publik yang setara dan
bebas dari intervensi kekusaan dan pasar.

Partisipasi Politik

Semenjak zaman Yunani klasik, Aristoteles telah memberi pendasaran tentang hakekat
manusia sebagai makhluk politik.7 Manusia pada dasarnya adalah makhluk politik. Doktrin
terkenalnya dirumuskan dalam apa yang disebut zoon politikon. Doktrin ini didasarkan pada
kehidupan manusia Yunani yang berada di dalam polis (Negara kota). Manusia adalah makhluk
politik dan memiliki kodrat untuk hidup bersama demi satu tujuan yakni kesejahteraan bersama
bukan semata demi menghindari isolasi. Di sini, warga negara polis menghubungkan dirinya dengan
warga negara lain, dengan komunitas di mana ia hidup, dan dengan pelaksaan kekuasaan di
komunitas tersebut. Manusia secara alamiah cocok bagi kehidupan polis dan dapat mengembangkan
potensi secara penuh hanya dengan hidup dalam komunitas politis dan moral dengan yang lain.
Sejak awal manusia memiliki dorongan politis yang menggerakkan mereka ke arah kehidupan
bersama yang melampaui keluarga. Pandangan ini menegaskan aspek dasariah manusia sebagai
makhluk sosial.

Berdasarkan pandangan di atas tampak bahwa terbentuknya negara merupakan


perealisasian hakekat manusia sebagai makhluk politik. Adalah alamiah manusia hidup di dalam
polis. Namun demikian manusia tidaklah sama seperti binatang, seperti lebah yang hidup sosialnya
juga tinggi. Namun ke-sosial-an apapun lebah, mereka didorong oleh insting semata. Lebah
Sedangkan manusia jelas berbeda dengan lebah. Manusia adalah makluk politik pertama-tama
karena ia makhluk yang rasional (bintang yang berakal budi). Berkat akal budinya manusia
mempunyai kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai alternatif, menentukan tujuan
bersama, memilih sarana yang tetap untuk mencapai tujuan tersebt, dan secara bersama terlibat
aktif dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. 8 Di sinilah titik tolak pentingnya
partisipasi politik setiap warga negara.
4
Ibid. Hal. 1.
5
Ibid. Hal. 3.
6
Ibid. Hal. 9-10.
7
Yosef Keladu Koten. Op. Cit. Hal. 156-162.
8
Ibid. 163
Jurgen Habermas adalah seorang filsuf kontemporer yang mempunyai minat besar pada
persoalan partisipasi politik. Bertolak dari Teori Tindak komunikatif-nya, Habermas, berada pada
posisi kedua, bahwa politik bukan memfokuskan diri pada perebutan kekuasaan melainkan
berkomunikasi dan berwawancara secara rasional. Betolak dari teori diskurusnya, Habermas
menegaskan bahwa sebuah kekuasaan tidak hanya dilegitimasikan tetapi juga harus dan rasionalkan.
Dalam konteks masyarakat plural dewasa ini, sebuah kebijakan, hukum, sebelum diberlakukan harus
dilemparkan kepada publik untuk dimurnikan dalam sebuah diskursus yang bebas dari kebohongan
dan manipulasi, yang bebas dan kritis.

Pandangan Habermas semakin menguatkan pendekatan demokrasi deliberatif yang cocok


dengan konteks masyarakat yang majemuk. Pendekatan demokrasi deliberatif menganggap
demokrasi sebagai deliberasi (deliberatio=menimbang) atau musyawarah bersama tentang
persoalan-persoalan yang berkaitan langsung dengan hidup dan tindakan bersama. 9 Itu berarti
sebuah keputusan harusnya merupakan keputusan bersama yang melibatkan semua orang yang
akan terkena dampak dari keputusan tersebut. Partisipasi politik diartikan sebagai keikutsertaan
warga negara dalam proses politik. Warga negara terlibat aktif dalam kehidupan negara bukan hanya
sebatas terlibat dalam pemilu tetapi dalam pembuatan hukum dan kebijakan politis yang dicapai
dengan membangun diskursus. Inilah yang diusahakan oleh Jurgen Habermas dalam pandangannya
tentang politik.

Sekilas Tentang Habermas dan Pemikiran Filosofisnya

Juergen Habermas (1929) adalah filsuf kontemporer yang paling terkenal di Jerman dan juga
menghiasi panggung filsafat internasional. Habermas bertolak dari Teori Kritis 10 Masyarakat Max
Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Ia hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang
dicetuskan dengan maksud yang praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh kedua
punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk menganalisa keadaan masyarakat.

Ia meneruskan proyek teori kritis dengan paradigma baru yakni paradigma komunikasi. 11
Komunikasi adalah titik tolak Habermas. Teori kritis yang terus menautkan ilmu dan praksis
dilampaui bukan hanya kerja (seperti para pendahulu) tetapi komunikasi. Komunikasi membuka
pemahaman dan kesadaran rasional. Karena praksis yang yang dilandasi kesadaran rasional, maka
rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukan alam melalui kerja, melainkan
interaksisubjektif yang menggunakan bahasa sehari-hari. Bila komunikasi ditiadakan dan kerja
diutamakan seperti apa yang dikatakan Marx, maka partisipasi politik mewujud dalam rupa
kekerasan dan bahkan revolusi. Namun pandangan Habermas secara tegas menolak penggunaan
kekerasan dalam menyalurkan aspirasi kepada negara.

9
Ibid. Hal. 1-3
10
Teori Tindak Komunikatif (Teori Kritis) mengambil sikap baik terhadap ilmu-ilmu sosial dewasa ini maupun
kenyataan sosial yang dilukiskan. Ia kritis terhadap masyarakat maju sejauh mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan
kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu, melainkan membenanmkan diri ke dalam sebuah
pertumbuhan kompleksitas yang tak terkendali...Ia juga kritis terhadap pendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan
paradoks rasinalisasi kemasyarakatan karena pendekatan itu membuat sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka
hanya dari satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal-usul historis bidang objek mereka. (Habermas dalam
Budi Hadirman, Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. 2009. Hal. 11.)

11
Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. 2009. Hal. 17.
Bagi Habermas, ketika seseorang berhubungan dengan dunia kehidupan, maka dia
mengalami salah satu dari tiga relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu di dunia objektif (sebagai
totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar). Kedua, dengan sesuatu di
dunia sosial (sebagai totalitas hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim/sah). Ketiga,
dengan sesuatu di dunia subjektif (sebagai totalitas pengalaman yang akses ke dalamnya hanya
dimiliki si pembicara dan yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak).

Ucapan komunikatif selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia. Tindakan
komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan
bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar
menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat
mereka memahami definisi situasi bersama. Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan
sesuatu di dunia namun merelatifkan ucapan mereka berdasarkan kesempatan aktor lain untuk
menguji validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada pengakuan intersubjektif atas
klaim validitas yang dikemukan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakala pendengar
menerima kebenaran pernyataan namun pada saat yang sama juga meragukan kejujuran pembicara
atau kesesuaian ucapannya dengan norma.

Tindakan komunikatif Habermas memiliki dua aspek, aspek teleologis yang terdapat pada
perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek
komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi dan tercapainya kesepakatan. Dalam
tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi
situasi bersama. Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika
upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka
pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri, karena konsensus adalah syarat bagi
tercapainya tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang
lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan
ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karena itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa
terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan
yang didefinisikan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak
tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana
tindakan secara salah (resiko kegagalan).

Dengan paradigma komunikasi Habermas mencita-citakan satu masyarakat yang


komunikatif. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi
atau kekerasan, melainkan lewat argumentasi. Lewat argumentasi orang-orang yang berbeda
pemahaman boleh mendapatkan kesepakatan akan kebenaran teoritis dan bertindak secara tepat.

Demokrasi Deliberatif dan Partisipasi Warga Negara

Deliberasi memiliki arti dasar sebagai “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam


istilah politik adalah “musyawarah”. Pemakaian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi
konsep demokrasi. Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis,
formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur. Dunia politik yang sudah
semakin plural tidak lagi dapt dimengerti sebagai perlombaan kekuasaan. Bagi Habermas, dunia
politik yang melingkupi seluruh kehidupan sosial merupakan komunikasi demi mencapai
kesepakatan lewat jalan rasional.

Paham demokrasi deliberatif menitikberatkan pertimbangan-pertimbangan bagi keputusan


publik melalui proses diskursus publik. Artinya semua bentuk keputusan hanya sah jika keputusan itu
sudah melalui proses pertimbangan yang bersifat publik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
nantinya terkena dampak dari putusan itu. 12 Dasar dari demokrasi ini adalah ketika landasan
legitimasi kekuasaan, hukum dan ketulusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (rakyat)
tidak lagi diperoleh dari tradisi agama tertentu, tetapi dari konsensus rasional antara pihak-pihak
yang terkait dalam negara tersebut. Totalitas negara kini digantikan dengan komunikasi politis yang
disebut sebagai diskurus. Perlu adanya diskursus demi pencapain pengertian bersama. Konsensus
menjadi tujuan dari semua komunikasi, baik dalam ruang privat maupun dalam ruang publik dalam
masyarakat. Dengan demikian, politik sama sekali tidak dipisahkan dari komunikasi politis dalam
ruang publik yang deliberatif....diskursus publik dimaksud adalah gerakan di berbagai bidang sosial-
politis kultural yang mampu meningkatkan partisipasi demokratis masyarakat sipil yang setara dan
adil dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan politis. Dengan demikian demokrasi deliberatif
hendak membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi warga negara.

Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan


mayoritas. Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang
yang memegang mandat. Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi
masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal
atau kebijakan-kebijakan politik. Jika politik tertuju pada pengaturan nasib masyarakat maka
kekuasaan politik yang rasional juga menuntut keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.
Artinya politik betul-betul cermin aspirasi rakyat. 13

Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik

Demokrasi membutuhkan partisipasi aktif dari rakyat. Seperti yang telah dikatakan di atas
bahwa partisipasi yang aktif tidak hanya direduksi pada penggunaan hak pilih pada setiap kali pemilu
atau pilkada berlangsung. Ruang ini bersifat “publik” karena pembiracaraan yang ada dalam ruang
publik bukan soal hal-hal pribadi tetapi menyangkut kepentingan umum. Ruang publik politis
merupakan corong penyuara bagi permasalahan yang harus diproses secara politis. Untuk itu ruang
publik adalah sistem peringatan dengan sensor peka.

Partisipasi ini dapat disalurkan melalui diskursus kritis dan bebas yang berada dalam ruang
publik. Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.
Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga
negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka
secara diskursif. Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Ruang publik adalah
tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang
12
Reza Antonius. Op. Cit. Hal. 202.
13
F. Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisisus. 2009. Hal. 150.
publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan
argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik bukan hanya sekedar fisik,
maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu
sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah ,
bebas dari dominasi pasar atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua
orang. Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan
mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.

Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga


membangun ruang publik, pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi
sukarela, dst), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst), keprivatan (wilayah
perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).
Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang
publik di tengah-tengah masyarakat. Kita tidak dapat membatasi ruang publik, ruang publik ada
dimana saja. Di mana ada masyarakat yang duduk berkumpul bersama dan berdiskusi tentang tema-
tema yang relevan, maka di situ hadir ruang publik. Selain itu, ruang publik tidak terikat dengan
kepentingan-kepentingan pasar maupun politik. Oleh karena itu, ruang publik tidak terbatas. Semua
wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan untuk membentuk opini publik dapat disebut ruang
publik.14

Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi publik yang
kritislah yang merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Ruang publik dapat bersifat politis
sejauh diskusi publik berkaitan dengan berbagai hal mengenai praktik negara. Namun ruang publik
yang sejatinya bebas dan kritis dapat kehilangan daya kritisnya karena ruang itu terkadang menjadi
medan perjuangan kepentingan-kepentingan. Misalnya DPR sebagai perealisasian kehendak rakyat
dan tentunya bersifat publik justru disimpangkan dengan perjuangan kepentingan pribadi, partai
atau golongan tertentu. Atau pula media massa yang menjadi ruang publik yang amat mumpuni bisa
ditunggangi oleh para kapitalis atau elit politik tertentu. Ruang publik seperti ini kehilangan fungsi
kritisnya karena tak mampu menangambil jarak dari pengaruh kekuasaan dan pasar (uang). Maka
usaha mencerahi kekuasaan dengan pandangan yang rasional akhirnya tunduk pada kehendak
(nafsu) yang irasional. Namun demikian Habermas tetap optimis bahwa selalu ada wilayah yang
mungkin dalam proses mencerahi politik dan proses ini belum selesai.

Simpulan

Politik riil adalah sebuah rimba raya pertarungan kuasa dan uang, walaupun demikian filsafat
politik prespektif Habermas tetap berakar kokoh sebagai ungkapan tangungjawab politik.
Tanggungjawab ini diungkapkan secara menawan oleh Hannah Arendt bahwa tiadanya pemikiran

14
Ibid. Hal. 151.
merupakan bentuk kejahatan atau awal dehumanisasi 15. Berpikir bersama mengkiritisi kenyataan
yang timpang merupakan tanda kemanusiaan bagi satu dunia yang manusiawi. Pemikiran yang
refleksif akan memperkaya politik. Sedangkan lemahnya refleksi akan mempermiskin politik.

Dengan adanya pola pikir pragmatisme yang mengutamakan hasil dan serba instan orang
malas berpikir atau berpikir secara monokausal (searah). Misalnya ketika rakyat berteriak kelaparan,
pemerintah getol memberi bantuan makanan pokok, sementara itu mengabaikan persoalan
mengapa rakyat terus menderita kelaparan setiap tahun? Atau ketika terjadi banyak tauran,
pemerintah setiap tahun terus menambah jumlah polisi untuk mengamankan situasi, padahal
mereka tidak berpikir untuk menyediakan tempat bagi ekspresi diri seperti lapangan kerja, arena
bermain seperti lapangan bola. Terjadinya banyak tauran bukan karena kekurangan polisi tetapi
kekurangan ruang ekspresi diri. Maka benar apa yang dikatakan bahwa kelaparan bukan karena
kekurangan makanan tetapi kekurangan demokrasi. Di sinilah letak filsafat politik termasuk filsafat
politik ala Habermas yang memberi pendasaran dan pola pikir yang lebih menyentuh akar persoalan.
Maka mengikuti apa yang dikatakan Socrates kita boleh berkata, sesungguhnya politik yang tidak
direfleksikan sebenarnya politik yang tak layak dijalani. Filsafat politik tetap relevan demi
menentukan isi normatif bagaimana berpolitik secara santun.

Kenyataan yang ada pada proses pemilihan umum, apakah menunjukkan bahwa masyarakat
sudah terlibat aktif dalam politik? Masyarakat mendelegasikan suara dan haknya pada wakil rakyat
yang diplihnya dengan sadar. Namun dalam politik riil hal ini mustahil. Justru dalam kenyataan
konkret politik uang makin menggurita. Politik uang adalah sebutan untuk jual beli kehendak.
Setelah dibeli tuntas oleh yang menjadi calon, dan setelah terpilih, rakyat cenderung menarik diri,
dan penguasa mengklaim diri telah membeli lunas suara rakyat. Banyak ketimpangan dalam praktik
politik, banyak aturan yang tidak adil perlu dicerahi dalam satu diskursus yang sehat, dalam arti jujur,
bebas dan kritis. Namun demikian usaha seperti ini sepertinya masih menjadi “kata kerja” terus
menjadi di Indonesia khususnya masyarakat NTT.

Pandangan Habermas mensyaratkan tingkat komunikasi masyarakat yang tinggi kritis.


Bagaimana hal itu diterapkan dalam konteks NTT yang masih miskin partisipasi politik dan
masyarakat dan pemerintah masih tetap anti terhadap kritik? Bagaimana dengan masyarakat yang
masih berkutat dengan urusan “makan” dan “minum”?

Barangkali pandangan Habermas terlalu ideal dan “mengada-ada” lantaran hampir tidak ada
ruang publik yang sehat. Ide ini kiranya dalam konteks NTT masih bersifat normatif, artinya menjadi
salah satu patokan untuk bergelut dalam dunia politik dalam rangka menciptakan budaya politik 16
yang santun, baik dan bersih. Dengan begitu cita-cita demokrasi sebagai pemerintah dari rakyat oleh
rakyat untuk rakyat benar-benar terwujud, bukannya demokrasi semu: bagi segelintir orang saja,
atau masih berbau keluarga, kenalanan, dll.

Daftar Bacaan

15
Ibid. Hal. 11
16
Budaya politik menekankan aspek normatif, kaidah politik dan terutama pembinaan nilai dan perwujudan cita-
cita seperti kesejahteraan umum, keadilan, dan keharuman bangsa. Budaya politik juga dimaksudkan sebagai yang
mengarahkan dan membentuk tata hidup dan etos bangsa (Haryatmoko. Op. Cit. Hal. 2.)
Antonius, Reza. Negara Hukum Locke, Rousseau, Habermas. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Hardiman, F. Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif- Ilmu, Masyarakat, politik dan


Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas. 2003.

Keladu, Josef Koten. Partisipasi Politik-Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aritoteles.
Maumere: Penerbit Ledalero. 2010.

Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi Vs Politik Martabat Manusia? Maumere: Penerbit
Ledalero. 2011.

Anda mungkin juga menyukai