Kelompok 15 - Kasus Hambalang

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 3

KASUS PROYEK HAMBALANG

Proyek Hambalang dimulai tahun 2010 dengan anggaran Rp 2,5 Triliun yang
ditunjukan untuk pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga
Nasional (P3ON) di Hambalang, Bogor. Bangunan tersebut memiliki luas lebih dari 312m2
yang ditargetkan selesai Desember 2012. Rencana fasilitas yang disediakan, mulai dari saran
Latihan, komplek prasarana olahraga yang terintegrasi, sekolah, laboratorium, asrama, venue
olahraga, dan prasarana pendukung lainnya. Proyek ini memiliki Kerja Sama Operasional
(KSO) dengan PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya. Harapannya, proyek ini akan digunakan
sebagai tempat pelaksanaan olimpiade tahun 2032.

Proyek Hambalang terhenti akibat adanya dugaan tindakan koupsi yang menyeret
berbagai nama pejabat, seperti Andi Malarangeng (eks Menpora), Teuku Bagus Mokhamad
Noor (eks Direktur Operasional PT Adhi Karya), dan Anas Urbaningrum (eks Ketua Umum
Partai Demokrat). Pada 1 Agustus 2011, KPK mulai menyelidiki kasus poyek Hambalang.
Kasus tersebut mulai terungkap yang berawal dari tertangkapnya Muhammad Nazaruddin (eks
Bendahara Umum Partai Demokrat) atas kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games di
Jakabaring, Palembang dan memberikan kesaksian atas berbagai aktifitas korupsi pada proyek
Hambalang. Temuan dana korupsi pun ditemukan atas pernyataan Nazaruddin tentang PT
Dutasari Citalaras yang merupakan sub-kontraktor PT Adhi Karya yang berperan sebagi
penampung fee proyek Hambalang untuk dialokasikan ke Menpora Andi Malarangeng. Pada 8
Februari 2012, Nazaruddin menyatakan bahwa ada uang Rp 100 Miliar yang dibagikan untuk
pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat sejumlah Rp 50 Miliar, dan sisanya
dibagikan kepada anggota Komisi X DPR RI, seperti Angelina Sondakh termasuk Menpora
Andi Malarangeng. Pada 9 Maret 2012, Anas membantah pernyataan Nazaruddin, Anas pun
berkata tegas "Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas”. Selain
diduga terjadi tindakan korupsi, terdapat penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Dedi
Kusdinar sebagai pejabat pembuat komitmen proyek (Kepala Biro Keuangan dan
Rumahtangga Kemenpora) yang akhirnya dijadikan tersangka pada 5 Juli 2012.

Anas Urbaningrum menerima gratifikasi sebagai hadiah berupa uang dan barang
dengan perannya dalam proyek Hambalang. Dalam kasus penerimaan gratifikasi ini, Anas
didakwa melanggar pasar 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Anas pun terindikasi melakukan tindakan pencucian uang dari hasil
korupsinya. Uang sejumlah 20,8 M digunakan untuk membeli lahan dan bangunan di Jl. Teluk
Semangka dan Jl. Selat Makassar, Duren Sawit, Jakarta Timur, dua bidang tanah di Jalan DI
Panjaitan, Jogokaryan, Yogyakarta, dan dua bidang lahan di Panggung Harjo, Sewon, Bantul,
Yogyakarta. Untuk lahan dan bangunan yang berlokasi di DIY Yogyakarta dibeli melalui
mertua Anas, yaitu Attabik Ali dan diatasnamakan mertuanya. Uang yang digunakan untuk
pembelian lahan tersebut diperoleh dari fee Anas dalam mengurus sejumlah proyek BUMN
ditambah sisa dana pemenangan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Padahal penghasilan
Anas secara formal hanya berasal dari gaji dan tunjangan sebagai anggota DPR sejak Oktober
2009 - Agustus 2010. Anas pun didakwa melakukan pencucian uang lainnya senilai Rp3 Miliar
yang berasal dai kas Grup Permai mengurus izin usaha pertambangan atas nama PT Arina Kota
Jaya dengan lahan seluas 5.000-10.000 hektar di Kutai Timur. Atas hal tersebut sudah diduga
terdapat Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman pidana Pasal 3 dan atau Pasal 4 UU
No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, atau
Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 UU No.15 tahun 202 tentang Pencucian Uang, Pasal 55
ayat 1 ke -1 KUHP.

Seluruh pejabat yang terlibat, dikenakan sanksi atas perbuatan yang melanggar hukum.
Kerugian yang dialami negara sedikitnya Rp 463 Miliar. Anas Urbaningrum dikenakan pasal
berlapis terkait gratifikasi, korupsi, dan pencucian uang. Anas dihukum 8 tahun penjara yang
sebelumnya 14 tahun penjara, denda Rp 300 juta atau diganti dengan 3 bulan kurungan penjara.
Terdapat hukuman tambahan yaitu membayar uang pengganti sejumlah Rp 57,592 Miliar dan
pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menjalani hukuman.

Nazaruddin yang divonis atas kasus proyek Hambalang selama 4 tahun 10 bulan
penjara, terbukti menerima suap Rp 4,5 Miliar, namun hukuman Nazaruddin diperberat oleh
MA menjadi 7 tahun penjara. Lalu, Andi Malarangeng yang terbukti memperkaya diri sendiri
dan orang lain dalam kasus korupsi proyek Hambalang dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp
200 juta atau diganti 2 bulan kurungan penjara. Choel Malarangeng ikut terlibat karena setiap
uang korupsi yang diserahkan ke Andi melalui adiknya tersebut. Sehingga, Choel divonis 3
tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta atau diganti 3 bulan kurungan penjara.

Angelina Sondakh, salah satu pelaku kasus proyek Hambalang, menerima uang suap
berkaitan anggaran atas program yang dijalankan sejumlah US$ 2.000 dari Kemenpora.
Angelina divonis 10 tahun penjara ditambah dengan denda Rp 500 juta atau diganti 6 bulan
kurungan penjara. Selain itu, ada eks Direktur PT Adhi Karya, Teuku Bagus yang dihukum 4
tahun penjara dan denda Rp 150 juta atau diganti 3 bulan kurungan penjara.

Teori Fraud Triangle, terdapat tiga komponen yaitu Pressure, Opportunities, dan
Rationalization. Pada kasus Hambalang, dapat dianalisis, sebagai berikut :

1. Pressure

Terdapat tekanan atau motivasi yang dirasakan Anas Urbaningrum yang mengikuti
pemilihan Ketuua Partai Demokrat dan memiliki keinginan untuk mendapatkan posisi
tersebut, yang akhirnya menjadi motivasi Anas dalam melakukan korupsi dengan
menggunaakan uang untuk proyek Hambalang.

2. Opportunities

Pelaku yang merasa menjadi orang yang dipercaya dan mengetahui setiap
kelemahan dari perusahaan dan terdapat kesempatan untuk melakukan kecurangan. Pada
kasus ini, proyek Hambalang dengan ide pembuatan P3ON sudah direncanakan sejak
2003-2004. Setelah terpilih daerah yang akan digunakan pendirian bangunan tersebut di
Hambalang, masih terdapat kesulitan mengenai sertifikat tanah. Namun, setelah berganti
kepemimpinan yaitu Andi Malarangeng sebagai Menpora, seluruh kegiatan yang
dilakukan telah diatur oleh Anas Urbaningrum dengan melakukan penyuapan berbagai
pihak yang berkepentingan. Selain itu, Uang yang diterima untuk anggaran pendirian
P3ON digunakan Anas untuk pembelian berbagai lahan dan bangunan di Jakarta Timur
dan Yogyakarta, agar tersamarkan, paatransaksi pembelian lahan bangungan di
Yogyakarta, menggunakan atas nama mertuanya, yaitu Attabik Ali.

3. Rationalization

Anas Urbaningrum yang memberikan alasan masuk akal seperti untuk kepentingan
partai, lalu Andi Malarangeng yang memberikan keleluasanaan untuk adiknya Choel
Malarangeng untuk menggunakan fasilitas Kemenpora dan berhubungan dengan pejabat
lainnya, sehingga ikut terlibat dalam pengurusan P3ON. Akibatnya, anggaran proyek
Hambalang sangat melambung dari Rp 125 Miliar menjadi Rp 2,5 Triliun, sehingga negara
mengalami keugian sedikitnya Rp 463 Miliar.

Anda mungkin juga menyukai