Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis
1. Ginjal
a. Pengertian Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ bersimpai yang terletak di area
retroperitoneum. Sebuah arteri renalis dan vena renalis keluar dari setiap ginjal
di daerah hilus. Sekitar 25% curah jantung mengalir ke ginjal. Darah difiltrasi
di ginjal untuk membersihkan zat-zat sisa terutama urea dan senyawa yang
mengandung nitrogen dan mengatur elektrolit ekstravaskular dan volume
intravaskular. Karena aliran darah ginjal berjalan dari korteks ke medula dan
karena medula memiliki aliran darah yang relatif kecil dibandingkan dengan
aktivitas metaboliknya yang tinggi, tekanan oksigen normal di medula lebih
rendah daripada di bagian-bagian ginjal lainnya. Hal ini menyebabkan medula
rentan terhadap cedera iskemik. (McPhee dan Ganong, 2012)
Ginjal merupakan organ yang berpasangan dan setiap ginjal memiliki
berat kurang lebih 125g, panjang ginjal kira-kira 12 cm, terletak pada posisi
disebelah lateral vertebra torakalis bawah. Organ ini terbungkus oleh jaringan
ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula renalis. Ginjal terbagi menjadi 2 bagian
eksternal yang disebut korteks dan bagian internal yang dikenal sebagai medula
(Cahyaningsih, 2011)
Organ utama sistem perkemihan adalah ginjal yang memproses plasma
darah dan mengeluarkan buangan dalam bentuk urine melalui organ
perkemihan yang meliputi ureter, kandung kemih, dan uretra. Produk buangan
terbentuk dari metabolisme nitrogen (protein makanan) dan pemecahan otot
(protein tubuh). Produk buangan yang mengandung nitrogen, seperti ureum
dan kreatinin dapat dideteksi di dalam darah dan cairan tubuh lain. Fungsi
utama ginjal yang lain meliputi mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit (khususnya natrium dan kalium), keseimbangan asam-basa,
pengaturan tekanan darah dan produksi hormon serta enzim. (Price dan Wilson,
2006)

6
7

Sumber : hedisasrawan.blogspot.com/2013/03/bagian-bagian-ginjal
Gambar 2.1 Struktur Ginjal
b. Fungsi Ginjal
1) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksik atau racun
2) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan
3) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
4) Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh
5) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein, ureum, kreatinin
dan amoniak.
6) Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit
7) Pengaturan konsentrasi osmoralitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit
8) Pengaturan tekanan arteri
9) Sekresi hormon dan glukoneogenesis. (Manaba, 2016)
c. Filtrasi, Reabsorpsi dan Sekresi
1) Filtrasi glomerulus
Filtrasi glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma yang
masuk ke kapiler glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke ruang
interstisium dan dari sini ke dalam kapsula bowman. Pada ginjal yang sehat, sel
darah merah atau protein plasma hampir tidak ada yang mengalami filtrasi.
Proses filtrasi menembus glomerulus serupa dengan yang terjadi pada proses
filtrasi di seluruh kapiler lain. Kapiler glomerulus ginjal sangat permeabel
terhadap air dan zat-zat terlarut yang berukuran kecil. (Corwin, 2001)
8

2) Reabsorpsi ginjal
Reabsorpsi adalah proses kedua yang dilakukan oleh ginjal untuk
menentukan konsentrasi suatu bahan yang difiltrasi dari plasma. Reabsorpsi
mengacu kepada pergerakan aktif (memerlukan energi dan selalu diperantarai
oleh pembawa) atau pasif (melalui difusi) suatu bahan yang disaring di
glomerulus kembali ke kapiler peritubulus. Reabsorpsi dapat total (misal
glukosa) atau parsial ( misal natrium, urea, klorida dan air). (Corwin, 2001)
Reabsorpsi protein plasma hanya sedikit sekali yang difiltrasi menembus
glomerulus. Protein yang difiltrasi akan secara aktif direabsorpsi di tubulus
proksimalis. Karena Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) juga tinggi, maka
walaupun hanya sedikit molekul protein plasma, misalnya albumin, yang
difiltrasi, namun pengeluaran protein harian akan tinggi apabila tidak dilakukan
reabsorpsi. Sebagian kecil protein difiltrasi di glomerulus tidak direabsorpsi.
Protein-protein tersebut diuraikan oleh sel-sel tubulus dan diekskresikan di
urin. (Corwin, 2001)
3) Sekresi
Sekelompok bahan lain ditambahkan ke filtrat urin dari kapiler
peritubulus melalui proses sekresi. Melalui proses reabsorpsi dan sekresi inilah
nefron memanipulasi komposisi dan volume filtrat urin awal untuk
menghasilkan urin akhir. (Corwin, 2001)
d. Manifestasi Perubahan Fungsi Ginjal
Manifestasi utama perubahan fungsi ginjal adalah efeknya pada ekskresi
urea dan pada pemeliharaan keseimbangan asam-basa, Na+, K+, dan air.
Kegagalan mengekskresikan urea secara adekuat, yang bermanifestasi sebagai
peningkatan progresif nitrogen urea darah (blood urea nitrogen, BUN) dan
kreatinin serum, menyebabkan uremia. Uremia adalah sindrom klinis berupa
nyeri kepala, muntah, dispnea, insomnia dan delirium yang berkembang
menjadi kejang dan koma, mungkin akibat penimbunan satu atau lebih toksin
yang belum diketahui. Toksin ini mungkin secara normal dibentuk di tubuh dan
diekskresikan di urin, atau mungkin terbentuk suatu zat baru akibat perubahan
metabolisme pada gagal ginjal. Tanpa mekanisme pembersihan oleh ginjal
yang memadai, ingesti Na+, K+, air atau asam dalam jumlah berlebihan akan
9

menyebabkan gangguan elektrolit, volume dan asam-basa yang dapat


mengancam nyawa. Selain itu, kelebihan ingesti Na+ pada pasien gagal ginjal
menyebabkan ekspansi volume intravaskuler, disertai penyulit hipertensi dan
gagal jantung kongestif, sementara kelebihan ingesti air menyebabkan edema
perifer. (McPhee dan Ganong, 2012)
e. Gambaran klinis penyakit ginjal
1) Sindrom nefritik akut merupakan sindrom glomerulus dengan ciri utama
hematuria (sel darah merah dalam urin) akut yang biasanya makroskopik,
proteinuria ringan sampai sedang dan juga hipertensi. Penyakit ini merupakan
gambaran klasik glomerulonefritis pascastreptokokus akut.
2) Sindrom nefrotik ditandai oleh proteinuria berat (lebih dari 3,5 gram/hari),
hipoalbuminemia, edema berat, hiperlipidemia dan lipiduria (lemak dalam
urine)
3) Hematuria atau proteinuria asimtomatik, atau kombinasi keduanya, biasanya
merupakan manifestasi kelainan glomerulus ringan atau samar.
4) Gagal Ginjal akut didominasi oleh oligouria atau anuria (berkurang atau tidak
adanya urin), disertai azotemia yang baru timbul. Keadaan ini dapat terjadi
akibat cedera glomerulus, interstisium, atau vaskular ginjal, atau nekrosis
tubulus akut.
5) Gagal ginjal kronik yang ditandai oleh gejala dan tanda uremia yang
berkepanjangan, adalah hasil akhir dari semua penyakit parenkim ginjal kronik.
6) Gangguan tubulus ginjal didominasi oleh poliuria (kelebihan pembentukan
urin), nokturia dan ganggun elektrolit. Gangguan ini terjadi akibat penyakit
yang secara langsung mengenai struktur tubulus atau gangguan pada fungsi
spesifik tubulus. Yang disebutkan terakhir dapat bersifat herediter atau didapat.
7) Infeksi saluran kemih ditandai oleh bakteriuria dan piuria (bakteri dan leukosit
dalam darah). Infeksi mungkin simtomatik atau asimtomatik dan mungkin
mengenai ginjal (pielonefritis) atau hanya kandung kemih (sistitis).
8) Nefrolitiasis (batu ginjal) bermanifestasi sebagai kolik renal, hematuria dan
pembentukan batu berulang.
9) Obstruksi saluran kemih dan tumor ginjal membentuk lesi anatomik spesifik
dengan manifestasi klinis bervariasi. (Robbins dan Cotran, 2010)
10

2. Gagal Ginjal Kronik (GGK)


a. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik (GGK) terjadi ketika ginjal tidak mampu
mengangkut sampah metabolik tubuh. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi
di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan
menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta
asam basa (Suharyanto dan Madjid, 2009). Gagal ginjal kronik mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Setiati, 2014).
Gagal ginjal kronik merupakan akibat terminal destruksi jaringan dan
kehilangan fungsi ginjal yang berlangsung berangsur-angsur. Keadaan ini
dapat pula terjadi karena penyakit yang progresif cepat disertai permulaan
mendadak yang menghancurkan nefron dan menyebabkan kerusakan ginjal
yang ireversibel. Beberapa gejala baru timbul sesudah fungsi filtrasi
glomerulus yang tersisa kurang dari 25%. Parenkim normal kemudian
memburuk secara progresif dan gejala semakin berat ketika fungsi ginjal
menurun. Sindrom ini akan membawa kematian jika tidak ditangani dengan
baik, namun terapi dengan dialisis atau transplantasi ginjal dapat
mempertahankan kehidupan pasien. (Robbins dan Cotran, 2010)
b. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik
1) Gastrointestinal
2) Kardiovaskular
3) Respirasi, seperti edema paru
4) Neuromuskular, seperti gangguan tidur, sakit kepala, bingung dan koma.
5) Metabolik/endokrin, seperti inti glukosa dan hiperlipidemia.
6) Cairan-elektrolit, seperti gangguan asam basa, kehilangan sodium, asidosis,
hiperkalemia dan hipokalsemia.
7) Dermatologi, seperti pucat, hiperpigmentasi dan uremia.
8) Hematologi, seperti anemia, defek kualitas platelet dan perdarahan meningkat.
9) Penurunan serum kalsium, bikarbonat dan protein (albumin).
(Suharyanto dan Madjid, 2009)
11

Banyak pasien dengan GGK mengalami sindrom nefrotik, yang ditandai


hilangnya sejumlah besar protein plasma ke dalam urine. Pada beberapa
keadaan, hal ini terjadi tanpa adanya kelainan utama lain pada fungsi ginjal,
namun lebih sering berkaitan dengan gagal ginjal derajat apapun (Guyton dan
Hall, 2014). Pasien sindrom nefrotik seringkali kehilangan 5 hingga 15 gram
protein setiap 24 jam (Price dan Wilson, 2006). Keadaan ini disebut
hipoalbuminemia yaitu kadar albumin plasma kurang dari 3 g/dL (Robbins dan
Cotran, 2010). Hipoalbuminemia disebabkan karena penurunan sintesis
albumin dalam tubuh, uremia dan proteinuria. Asupan makanan dan status
nutrisi dapat mempengaruhi kadar albumin serum pada pasien GGK sebab
sintesis albumin berhubungan erat dengan asupan asam amino ke liver. Pasien
GGK mengalami sistem gastrointestinal akibat inflamasi mukosa. Hal ini dapat
menyebabkan pasien kekurangan nutrisi. Akibat adanya peningkatan
penggunaan asam amino untuk membuat sitokin-sitokin dan zat-zat
proinflamasi lainnya. Selain itu, inflamasi juga dapat menekan sintesis
albumin. (Chang, 2009)
Semakin menurunnya fungsi ginjal, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya dieksresikan ke dalam urin tertimbun di dalam darah.
Terjadinya uremia dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh salah satunya
mengganggu kerja liver. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
gejala semakin berat (Aziz dkk, 2010). Liver tidak mampu mengimbangi
hilangnya albumin dan kadar albumin pada sirkulasi menurun menyebabkan
edema (Robbins dan Cotran, 2010). Edema pada organ tertentu dapat
menyebabkan kekhawatiran, seperti edema paru dan edema serebral. Pada
edema paru cairan akan mengisi alveoli dan mengurangi volume paru yang
efektif untuk pernafasan sehingga dapat menyebabkan gangguan pernafasan
yang dapat berujung dengan kematian. Begitupun edema serebral yang
merupakan kejadian yang menakutkan karena dapat terjadi penekanan otak dan
hernia jaringan otak yang dapat menyebabkan kerusakan ireversibel dan fatal.
(Underwood, 1999) Pada kondisi GGK, glomerulus menjadi lebih permeabel,
peningkatan permeabilitas ini akibat perubahan struktur atau fisikokimia
memungkinkan protein lolos dari plasma ke dalam filtrat glomerulus, hal ini
12

disebut proteinuria. Pada proteinuria yang berlangsung lama atau berat,


albumin serum cenderung menurun sehingga terjadi hipoalbuminemia.
(Robbins dan Cotran, 2010)
c. Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Umumnya gagal ginjal kronis disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik
difus dan menahun. Namun, hampir semua nefropati bilateral dan progresif
akan berakhir dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal,
seperti nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan
berakhir dengan gagal ginjal kronik. Penyebab penyakit gagal ginjal stadium
akhir baru-baru ini, diabetes melitus dan hipertensi bertanggung jawab
terhadap proporsi penyakit gagal ginjal stadium akhir yang paling besar,
terhitung secara berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus.
Glomerulonefritis adalah penyebab tersering ketiga yaitu 17%. Pielonefritis
kronik atau nefropati refluks dan penyakit ginjal polikistik yaitu 3,4%. (Aziz
dkk, 2010)
1) Diabetes Melitus
Bila mengalami diabetes berarti tubuh tidak bisa optimal dalam hal
merubah makanan menjadi energi yang dibutuhkan sehingga kadar gula darah
dapat meningkat. Kondisi gula darah yang meningkat berkepanjangan dapat
merusak pembuluh darah dan ginjal. Bila sudah meningkat, dapat
menimbulkan gejala-gejala seperti:
a) Rasa haus meningkat
b) Penglihatan kabur
c) Sering berkemih
d) Berat badan menurun tanpa alasan yang jelas
e) Luka yang lama sembuh
f) Merasa lapar
g) Lemah. (Mahdiana, 2011)
Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi
di ginjal pada diabetes melitus. Glomeruloskelrosis adalah lesi yang paling
khas dan dapat terjadi secara difus atau nodular. Riwayat perjalanan nefropati
diabetikum dibagi menjadi lima stadium, yaitu:
13

a) Stadium 1, atau fase perubahan fungsional dini, ditandai dengan hipertrofi


dan hiperfiltrasi ginjal. Sering terjadi peningkatan laju filtrasi glomerulus
hingga 40% diatas normal dan pembesaran glomerulus dengan daerah
permukaan yang meningkat.
b) Stadium 2, atau fase perubahan struktural dini, ditandai dengan penebalan
membran basalis kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit
bahan matriks mesangial. Penumpukan matrik dapat mengenai lumen kapiler
glomerulus, namun laju filtrasi glomerulus biasanya tetap dalam kisaran
normal.
c) Stadium 3 nefropati diabetik mengacu pada fase nefropati insipien. Tanda
khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap (ekskresi albumin
urine antara 30 hingga 300 mg/24 jam). Kadar laju filtrasi glomerulus normal
hingga tinggi dan terjadi peningkatan tekanan darah.
d) Stadium 4, atau fase nefropati diabetik klinis ditandai dengan proteinuria
yang positif dengan carik celup dan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
yang progresif.
e) Stadium 5, atau fase kegagalan atau insufiensi ginjal progresif, ditandai
dengan azotemia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum) yang
disebabkan oleh penurunan laju filtrasi glomerulus yang cepat. (Price dan
Wilson, 2006)
2) Hipertensi
Tekanan darah merupakan tekanan yang ditimbulkan oleh darah yang
mengalir dalam pembuluh darah arteri. Tekanan yang tinggi ini bila
berlangsung terus-menerus dapat merusak atau mengganggu pembuluh-
pembuluh darah kecil dalam ginjal yang lama kelamaan dapat mengganggu
kemampuan ginjal untuk menyaring darah. (Mahdiana, 2011)
Hipertensi dapat menyebabkan nefrosklerosis benigna. Gangguan ini
merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh
darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil, biasanya simetris, dan mempunyai
permukaan yang berlubang-lubang dan bergranula. Penyumbatan akan
menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh
nefron rusak. (Price dan Wilson, 2006)
14

3) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis timbul akibat adanya peradangan yang merusak bagian
ginjal yang menyaring darah (glomerulus) sehingga glomerulus ini tidak bisa
lagi menyaring zat-zat yang sudah tidak terpakai oleh tubuh dan cairan yang
berlebihan kedalam aliran darah untuk membentuk cairan urine. (Mahdiana,
2011)
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria
atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi
seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi
gagal ginjal kronik. (Price dan Wilson, 2006)
4) Pielonefritis kronik atau nefropati refluks dan penyakit ginjal polikistik
Pielonefritis kronik merupakan cidera ginjal progresif yang menunjukkan
pembentukan jaringan parut parenkimal yang disebabkan oleh infeksi berulang
atau infeksi yang menetap pada ginjal. Kerusakan ginjal diakibatkan oleh
refluks urin terinfeksi ke dalam ureter yang kemudian masuk ke dalam
parenkim ginjal. Pada penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista
multipel, bilateral, dan berekpansi yang lambat laun menggangu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal dapat
membesar dan terisi oleh kelompok kista-kista yang menyerupai anggur. (Price
dan Wilson, 2006)
d. Patogenesis Gagal Ginjal Kronik
Patogenesis gagal ginjal akut sangat berbeda dari patogenesis gagal ginjal
kronik. Cedera ginjal akut menyebabkan kematian dan terlepasnya sel-sel
epitel tubulus, yang sering diikuti oleh regenerasi sel tersebut, cedera kronik
menyebabkan hilangnya nefron secara ireversibel. Akibatnya, nefron yang
tersisa menerima beban kerja yang lebih besar dan bermanifestasi sebagai
peningkatan tekanan filtrasi glomerulus dan hiperfiltrasi. Oleh sebab-sebab
yang belum jelas, hiperfiltrasi kompensatorik ini, yang dapat dianggap sebagai
suatu bentuk “hipertensi” di tingkat nefron, memicu fibrosis dan pembentukan
jaringan parut (sklerosis glomerulus). Akibatnya, laju destruksi dan penyusutan
nefron meningkat sehingga perkembangan menjadi uremia, yaitu kompleks
15

gejala dan tanda yang terjadi jika fungsi ginjal yang tersisa menjadi kurang
memadai dan bertambah cepat. (McPhee dan Ganong, 2012)
Karena cadangan fungsional ginjal yang sangat besar, hingga 50% nefron
dapat lenyap tanpa timbulnya tanda-tanda gangguan fungsional dalam jangka
pendek. Hal ini merupakan alasan mengapa orang dengan dua ginjal sehat
dapat mendonasikan satu ginjal mereka untuk transplantasi. Jika Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) terus berkurang sehingga tersisa hanya 20% kapasitas ginjal
semula, azotemia (peningkatan kadar darah produk-produk yang secara normal
diekskresikan oleh ginjal) akan terjadi. Bagaimanapun, pasien mungkin akan
asimtomatik karena tercapainya keadaan keseimbangan baru saat kadar
produk-produk tersebut dalam darah belum cukup tinggi untuk menimbulkan
toksisitas yang nyata. Selain itu, karena pasien dengan tingkat LFG seperti ini
tidak memiliki cadangan fungsional yang memadai, mereka mudah mengalami
uremia jika mendapat stres tambahan atau mengalami keadaan katabolik yang
disertai oleh peningkatan pertukaran/pergantian produk-produk yang
mengandung nitrogen disertai penurunan LFG. (McPhee dan Ganong, 2012)
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam dan
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal
yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi
klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang
sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi dan sekresinya serta mengalami
hipertrofi. Seiring makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang
tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut
ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari sirkulasi kematian ini tampaknya
berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan
reabsorpsi protein. Seiring dengan penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi
pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal mungkin berkurang.
Pelepasan renin mungkin meningkat, bersama dengan kelebihan beban cairan,
dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi mempercepat gagal ginjal, mungkin
dengan meningkatkan filtrasi (dan dengan demikian tuntutan untuk reabsorpsi)
protrein-protein plasma. (Corwin, 2001)
16

e. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik


Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang
dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(140−umur) x berat badan(kg)
LFG (ml/mnt/1.73m²) = mg
72 x kreatinin serum ( )
dl

*) pada perempuan dikalikan 0.85


Table 2.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik atas dasar derajat penyakit
Derajat Pejelasan LFG (ml/mnt/1.73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat berat 15 – 29
5 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis
(Cahyaningsih, 2011)
f. Tes Fungsi Ginjal
1) Pemeriksaan Kreatinin
Pemeriksaan kreatinin serum berguna untuk mengevaluasi fungsi
glomerulus yang hasilnya lebih spesifik daripada ureum. Peningkatan dalam
serum tidak dipengaruhi oleh diet dan masukan cairan. Perbandingan normal
antara ureum dan kreatinin adalah 10:1. Nilai rasio yang lebih tinggi menjadi
petunjuk adanya gangguan prerenal (Sutedjo, 2007). Kreatinin serum
merupakan indeks LFG yang lebih cermat daripada ureum karena kecepatan
produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot yang sedikit sekali
mengalami perubahan. (Price dan Wilson, 2006)
2) Tes pemekatan dan pengenceran
Pengukuran berat jenis urin sesudah pembatasan air merupakan cara
pengukuran yang sensitif untuk mengetahui kemampuan tubulus ginjal dalam
mengabsrorpsi air dan menghasilkan urin yang pekat. Fungsi ginjal dianggap
normal bila berat jenis spesimen urin pagi hari sebesar 1,025 atau lebih
sedangkan tes pengenceran dilakukan dengan menyuruh pasien minum satu
liter air dalam jangka waktu 30 menit. Tes pengenceran urin ini kurang sensitif
dibandingkan tes pemekatan karena banyak faktor non spesifik lain yang ikut
berpengaruh. (Price dan Wilson, 2006)
17

3) Pemeriksaan Ureum
Pemeriksaan fungsi glomerulus, namun konsentrasi nitrogen/urea dalam
darah bukan untuk mengukur fungsi glomerulus yang ideal, karena
peningkatannya dalam darah dipengaruhi oleh banyak faktor diluar ginjal.
(Sutedjo, 2007)
4) Pemeriksaan Proteinuria
Pemeriksaan proteinuria dapat dilakukan untuk tes fungsi ginjal karena
ketika ginjal mengalami kerusakan dapat menunjukkan adanya protein dalam
urin. (Kee, 2014)
5) Pemeriksaan albumin
Ginjal yang sehat menghilangkan bahan ampas dari darah tetapi protein
tetap ditinggalkan. Ginjal yang rusak dapat gagal memisahkan protein darah
yang disebut albumin dari bahan ampas. Pada awal, hanya sedikit albumin
mungkin bocor sampai ke air seni, yang menandakan fungsi ginjal memburuk.
Bila tes laboratorium kita menunjukkan tingkat protein yang tinggi, sebaiknya
dilakukan tes ulang 1-2 minggu kemudian. Penuruan kadar albumin dapat
menyebabkan gangguan-gangguan ginjal. (Kee, 2014)
g. Terapi Pengganti Ginjal
1) Hemodialisis
Hemodialisis merupakan terapi untuk pasien gagal ginjal tahap akhir.
Metode ini menggantikan kinerja yang biasanya dijalankan ginjal, yaitu
pembersihan dari sisa metabolisme, zat toksik dan pengeluaran timbunan air
dalam tubuh. (Setiati, 2014)
2) Dialisis Peritoneal
Dialisis Peritoneal merupakan salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penanganan gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik menggunakan membran
peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah
dapat difiltrasi. (Setiati, 2014)
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi Ginjal merupakan terapi pengganti ginjal yang melibatkan
pencangkokan ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang yang
membutuhkan. Transplantasi ginjal menjadi terapi pilihan untuk sebagian besar
18

pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Transplantasi ginjal menjadi pilihan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. (Setiati, 2014)
3. Hemodialisis
a. Pengertian Hemodialisis
Sebagian besar pasien GGK mengalami kematian akibat komplikasi
kardiovaskular, hanya sebagian kecil yang mencapai tahap terminal yang
memerlukan pengobatan pengganti ginjal. Hemodialisis masih merupakan
terapi pengganti ginjal utama disamping peritoneal dialisis dan transplantasi
ginjal. (Setiati, 2014)
Hemodialisis merupakan terapi untuk pasien gagal ginjal tahap akhir.
Metode ini menggantikan kinerja yang biasanya dijalankan ginjal, yaitu
pembersihan dari sisa metabolisme, zat toksik dan pengeluaran timbunan air
dalam tubuh. Pilihan terapi lainnya adalah transplantasi ginjal. Dokter ahli
nefrologi akan menganjurkan pasien menjalani cuci darah jika kerusakan ginjal
sudah pada stadium akhir atau stadium lima, yaitu ketika kemampuan ginjal
membersihkan darah sudah sangat rendah (10%), akibatnya sisa metabolisme
cairan dan pelbagai elektrolit menumpuk sehingga kondisi darah menjadi asam
(asidosis) yang menimbulkan keluhan sesak nafas, batuk-batuk, lemas, mual
dan penurunan kadar hemoglobin (anemia). (Agoes dkk, 2013)
Pada pasien GGK, jika fungsi ginjal tidak normal dan terdapat
proteinuria, maka follow up pasien tiap 1-2 tahun diperlukan (Sudoyo dkk,
2007). Terapi pengganti ginjal atau hemodialisis dilakukan seumur hidup atau
jangka panjang secara teratur sebanyak 2-3 kali perminggu atau lebih. (Setiati,
2014)
b. Prinsip Hemodialisis
Hemodialasis merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi.
Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membran semipermeabel
berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul. Laju difusi terbesar
terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini adalah mekanisme
utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatinin, elektrolit dan
untuk penambahan serum bikarbonat. Laju difusi sebanding dengan suhu
larutan dan berbanding terbalik dengan viskositas dan ukuran molekul yang
19

dibuang (molekul besar akan terdifusi dengan lambat). Dengan meningkatkan


aliran darah yang melalui dialiser, akan meningkatkan klirens dari zat terlarut
dengan berat molekul rendah (seperti urea, kreatinin, elektrolit) dengan
mempertahankan gradien konsentrasi yang tinggi. Zat terlarut yang terikat
protein tidak dapat dibuang melalui difusi karena protein yang terikat tidak
dapat melalui membran. Hanya zat terlarut yang tidak terikat protein yang
dapat melalui membran atau terdialisis. (Setiati, 2014)
Ultrafiltasi adalah aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang terjadi akibat
adanya perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Ultrafiltasi
terjadi sebagai akibat dari perbedaan tekanan positif pada kompartemen darah
dengan tekanan negatif yang terbentuk dalam kompartemen dialisat yang
dihasilkan oleh pompa dialisat atau transmembran pressure (TMP). Nilai
ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan/gradien tekanan per satuan waktu.
Karakteristik membran menentukan tingkat filtrasi, membran high flux
mempunyai permukaan kontak yang lebih tipis dan memiliki pori-pori yang
besar sehingga mempunyai tahanan yang rendah untuk filtrasi. Permeabilitas
membran diukur dengan koefisien ultrafiltrasi dengan mL/ mmHg/ jam dengan
kisaran antara 2-50 mL/mmHg/jam. (Setiati, 2014)
Setiap membran memiliki batas berat molekul yang menentukan molekul
terbesar yang dapat melewati membran. Berat molekul diukur dalam Dalton
(Da). Dializer dapat dipilih dengan batas berat molekul yang bervariasi mulai
3000 Da sampai lebih dari 15000 Da. (Cahyaningsih, 2011)
Table 2.2 Berat Molekul
Molekul Berat Molekul (Da)
Albumin 66000
Calsium 40
Kreatinin 113
Nitric Oxide 62
Phosphorus 94,9
Urea 60
Air 18
Zinc 65,3
(Cahyaningsih, 2011)
20

c. Dialisat
Dialisat adalah cairan yang berfungsi untuk membantu pengeluarkan zat
sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin dan kelebihan elektrolit seperti
natrium dan kalium dari dalam darah pasien. Dialisat dapat menggantikan
substansi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti kalsium dan bikarbonat yang
membantu menjaga keseimbangan PH tubuh. Selama Tindakan dialisis, darah
pasien berada di satu sisi membran di dalam kompartemen darah. Dialisat
berada pada sisi yang lain pada kompartemen dialisat. Dialisat dan darah tidak
akan bercampur kecuali apabila terjadi kebocoran atau kerusakan pada
membran. Darah pasien yang menjalani hemodialisis mempunyai konsentrasi
produk zat sisa metabolisme yang tinggi serta mengalami kelebihan cairan.
Dialisat dibuat untuk mencapai kadar solut yang diinginkan dan dibutuhkan
pasien. Osmolalitas atau konsentrasi partikel solut dari dialisat harus semirip
mungkin dengan darah untuk menjaga agar tidak terlalu banyak cairan yang
bergerak melewati membran. (Cahyaningsih, 2011)
Table 2.3 Komposisi Cairan Dialisat
Komponen Plasma Cairan terdialisis Plasma Ureum
Normal
Elektrolit (mEq/L)

Na+ 142 133 142


K+ 5 1,0 7
Ca+ 3 3,0 2
Mg++ 1,5 1,5 1,5
Cl- 107 105 107
HCO3- 24 35,7 14
Lactate- 1,2 1,2 1,2
HPO4- 3 0 9
Urate- 0,3 0 2
Sulfate- 0,5 0 3
Nonelektrolit
Glukosa 100 125 100
Urea 26 0 200
Kreatinin 1 0 6
(Guyton & Hall, 2014)
21

d. Proses Hemodialisis

Sumber : Guyton & Hall, 2014


Gambar 2.2 Proses hemodialisis
Darah mengalir melalui terus-menerus di antara dua membran selafon
tipis, di luar membran terdapat cairan dialisis. Selafon cukup berpori untuk
memungkinkan komponen plasma, kecuali protein plasma, berdifusi dengan
dua arah dari plasma ke dalam cairan dialisis atau dari cairan dialisis kembali
ke dalam plasma. Jika konsentrasi zat lebih besar dalam plasma dari pada
dalam cairan dialisis, akan ada suatu transfer neto (net transfer) zat dari plasma
ke dalam cairan dialisis. Kecepatan pergerakan zat terlarut melalui membran
dialisis bergantung pada:
1) Gradien konsentrasi zat terlarut antara dua cairan
2) Permeabilitas membran untuk zat terlarut
3) Luas permukaan membran
22

4) Batas berat molekul


5) Lamanya darah dan cairan berkontak dengan membran. (Guyton & Hall,
2014)
Jadi, kecepatan maksimal transfer zat terlarut mula-mula terjadi bila
gradien konsentrasi maksimum (ketika dialisis dimulai) dan melambat begitu
gradien konsentrasi hilang. Dalam sistem pengaliran, seperti hemodialisis yang
menyebabkan darah dan cairan dialisis mengalir melalui ginjal buatan,
kehilangan gradien konsentrasi dapat diperkecil dan difusi zat terlarut melintasi
membran dapat dioptimalkan dengan meningkatkan kecepatan aliran darah,
cairan dialisis atau keduanya. Pada ginjal buatan yang berfungsi normal, darah
mengalir secara terus-menerus atau secara intermiten kembali ke dalam vena.
Jumlah total darah dalam ginjal buatan pada satu saat biasanya kurang dari
500ml, kecepatan aliran mungkin beberapa ratus ml per menit, dan luas
permukaan total difusi antara 0,6 dan 2,5 m2. Untuk mencegah pembekuan
darah dalam ginjal buatan, sejumlah kecil antikoagulan heparin dimasukan ke
dalam darah saat darah memasuki ginjal buatan. Selain difusi zat terlarut,
transfer zat terlarut dan air dalam jumlah besar dapat dihasilkan dengan
memberi tekanan hidrostati untuk mendorong cairan dan zat terlarut melintasi
membran dialisis, filtrasi semacam ini disebut bulk flow. (Guyton dan Hall,
2014)
4. Albumin
a. Pengertian Albumin
Albumin merupakan komponen protein yang membentuk lebih dari
separuh protein plasma. Albumin ini dapat meningkatkan tekanan osmotik
(tekanan onkotik), yang penting untuk mempertahankan cairan vaskular.
Penurunan albumin akan menyebabkan cairan berpindah dari pembuluh
vaskular menuju ke jaringan-jaringan, menyebabkan edema. (Kee, 2014)
Nilai-nilai rujukan albumin:
1) Dewasa: 3,5-5,0 g/dL; 52% sampai 68% dari protein total
2) Anak-anak: Bayi Baru lahir: 2,9-5,4 g/dL; Bayi: 4,4-5,4 g/dL; Anak: 4,0-5,8
g/dL (Kee, 2014).
23

Fungsi utama albumin adalah membentuk tekanan osmotik koloid di


dalam plasma, yang akan mencegah hilangnya plasma dari kapiler. Albumin
terdiri dari rantai polipetida tunggal dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri
dari 585 asam amino. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju
sintesis, laju degradasi dan distribusi antara kompartemen intravaskular dan
ekstravaskular. Cadangan total albumin sehat 70 kg dimana 42% berada di
kompartemen plasma dan sisanya dalam kompartemen ekstravaskular. Sintesis
albumin hanya terjadi di hepar dengan kecepatan pembentukan 12-25
gram/hari.Pada keadaan normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi
albumin. (Guyton dan Hall, 2014)
Pada pasien yang menderita malnutrisi berat dengan permulaan pelahan-
lahan, maka kadar albumin plasma bisa rendah tanpa terdapat
edema:sebaliknya, ‘edema kelaparan’ dapat timbul dengan kadar albumin
plasma yang normal walau bisa terdapat kelebihan masukan cairan. Pada
hipoalbuminemia terdapat peningkatan sintesa dan mungkin kelambatan
metabolisme lipid. Albumin bertanggung jawab bagi pengangkutan
kebanyakan bilirubin dan kalsium yang terikat protein (tak terionisasi) di dalam
plasma. Albumin mengikat zat warna yang dimasukan ke dalam sirkulasi dan
banyak obat-obatan, metabolit pengstabilisasi atas sistem koloid. (Baron, 2015)
Kadar albumin dalam darah sangat dipengaruhi oleh status gizi pasien
gagal ginjal kronik yang telah menjalani hemodialisis. Dimana fungsi albumin
adalah sebagai cadangan asam amino yang bersirkulasi. Dalam kapasitas
sebagai simpanan asam amino maka albumin merupakan indikator status gizi.
Asupan gizi pada pasien gagal ginjal kronik adalah diit protein rendah,
sedangkan pasien gagal ginjal kronik yang telah melakukan hemodialisis
diitnya tinggi protein/normal protein. Dosis lama hemodialisis juga
merupakann faktor yang berpengaruh terhadap status albumin. (Mahdiana,
2011)
b. Peningkatan albumin
Peningkatan konsentrasi albumin ditemukan pada penyakit, hanya bila
terjadi kehilangan air plasma yang dapat disebabkan oleh stasis lokal.
Kemudian konsentrasi komponen yang terikat albumin seperti kalsium juga
24

meningkat. Biasnya disertai hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas


plasma. Tetapi pada banyak kelainan yang menyebabkan hemokonsentrasi
misalnya luka bakar, maka protein maupun air hilang dari tubuh. Dalam
keadaan ini, konsentrasi albumin plasma tergantung atas perbandingan jumlah
air dan protein yang telah hilang atau diganti. (Baron, 2015)
c. Penurunan albumin
Penyebab penurunan albumin plasma yang mungkin adalah masukan
protein yang rendah, pencernaan atau absorpsi protein yang tak adekuat,
peningkatan kehilangan protein dan hemodilusi. Penuruan masukan protein tak
segera menurunkan albumin plasma; protein jaringan terdeplesi sebelum kadar
protein plasma menurun dan penurunan konsentrasi albumin plasma tiap 10 g/l
menunjukan deplesi sekitar 30 g protein jaringan. Kehilangan albumin ke
dalam edema atau asites dari plasma tidak dengan sendirinya merubah
kandungan albumin tubuh total. (Baron, 2015)
d. Pemeriksaan Albumin
Pemeriksaan albumin serum adalah pemeriksaan untuk menentukan
albumin dalam darah (serum). Pemeriksaan albumin tidak memerlukan
persiapan awal bagi pasien, oleh sebab itu tidak ada pembatasan makanan dan
minuman. Albumin digunakan pada penentuan rasio albumin/globulin (A/G)
guna mengetahui adanya disfungsi fraksi dua protein albumin dan globulin.
Penentuan rasio A/G didapatkan dengan cara albumin dibagi dengan globulin
dengan nilai rujukan lebih dari 1,0. Peningkatan nilai rasio tidak memiliki nilai
klinis, tetapi penurunan nilai rasio sebagai penanda penyakit hati dan ginjal
(Nugraha dan Badrawi, 2018). Ada beberapa metode dalam pemeriksaan
albumin, yaitu:
1) Metode BCG (bromcresol green)
Pemeriksaan albumin dengan menggunakan metode BCG merupakan
metode yang direkomendasikan WHO/IFCC. Prinsip pemeriksaan albumin
metode BCG adalah dalam larutan buffer pada pH 4,2 bromcresol green
mengikat albumin untuk membentuk senyawa berwarna yang dapat diserap,
yang diukur pada panjang gelombang 630nm, sebanding dengan konsentrasi
albumin dalam serum. (Nugraha dan Badrawi, 2018)
25

Reaksi pemeriksaan albumin:


pH 4,2
Albumin + BCG Kompleks Albumin-BCG (biru hijau)
2) Metode Biuret
Pemeriksaan albumin dengan menggunakan metode Biuret merupakan
metode lain dalam menentukan kadar albumin. Prinsip pemeriksaan albumin
metode Biuret adalah globulin diendapkan dengan natrium sulfit dan albumin
dalam filtrat ditentukan dengan metode Biuret pada penentuan protein total.
(Kurniawan, 2015)
3) Metode Elektroforesis
Pemeriksaan albumin dengan menggunakan metode elektroforesis
merupakan metode lain dalam menentukan kadar albumin. Prinsip pemeriksaan
albumin metode elektroforesis adalah pada medium penunjang padat seperti
agarosa atau selulosa asetat, zona protein yang secara elektroforesis bermigrasi
paling anoda (yaitu ke arah kutub positif) melewati albumin terutama terdiri
dari protein tunggal yang terdapat dalam serum. (Sacher dan McPherson, 2004)
5. Hubungan albumin dengan gagal ginjal kronik
Albumin dalam peredaran darah merupakan penentu utama tekanan
osmotik plasma darah. Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan
protein, sintesis albumin dihati dan kehilangan protein melalui urin.
Hipoalbuminemia adalah menurunnya kadar albumin dalam darah sebagai
akibat peningkatan pengeluaran albumin terjadi pada penyakit ginjal yang
disertai proteinuria menyebabkan pergeesaran cairan dari ruang intravaskular
ke ruang ekstravaskular. Pada penyakit gagal ginjal kronik hipoalbuminemia
disebabkan oleh protein massif dengan akibat penurunan tekanan osmotik
plasma. Untuk mempertahankan tekanan osmotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin hati akan tetapi tidak berhasil menghalangi
timbulnya hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat
peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus, biasanya ketika
terjadi hipoalbuminemia akan menimbulkan edema (Sacher dan McPherson,
2004).
26

B. Hipotesis Penelitian
Ho: Tidak ada korelasi lama menjalani hemodialisis terhadap kadar albumin
pada pasien gagal ginjal kronik
Ha: Ada korelasi lama menjalani hemodialisis terhadap kadar albumin pada
pasien gagal ginjal kronik

C. Variabel Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat


Lama menjalani Kadar albumin
Hemodialisis

Anda mungkin juga menyukai