Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN,

KERAJAAN GOWA TALLO, DAN KESULTANAN


TERNATE

Anggota Kelompok :
1. Fiki Falahunal Ulya
2. Intan Nur Jannah
3. Melani Ni’matul Laila
4. Wahyu Istiqomah
5. Zulfatul Ulya

MADRASAH ALIYAH NEGERI KOTA TEGAL


TAHUN PELAJARAN 2021/2022
PENGERTIAN KERAJAAN
Kerajaan merupakan salah satu sistem pemerintahan yang dijalankan
berdasarkan sistem kekeluargaan yang dimana sistem pemerintahan ini
merupakan sistem pemerintahan yang sah yang didasarkan dengan agama.

1. KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


Islam pertama kali masuk di Kalimantan adalah di daerah Utara tepatnya
di daerah Brunei sekitar pada tahun 1500 M. setelah raja Brunei
memeluk Islam (sekitar 1520), maka Brunei menjadi pusat penyiaran
agama Islam sehingga Islam sampai ke Philipina.
Pusat penyebaran Islam yang lain adalah di Kalimantan barat di dekat
muara Sambas. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan XVI dibawa oleh
orang-orang dari johor.
Adapun masuknya islam di Kalimantan Selatan terjadi sekitar 1550 atas
pengaruh dari Jawa. Dikatakan bahwa raja-raja di Kalimantan Selatan
memeluk agama islam setelah mendapat bantuan dari Sultan Demak.
Daerah timur Kalimantan terdapat kerajaan Bugis yang mendapat
pengaruh Islam sekitar tahun 1620 M. Islam masuk ke daerah ini melalui
jalan perkawinan orang-orang Arab dengan putri-putri raja daerah ini.

A. AWAL MULA KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


Pada awal abad XVI, islamm masuk ke kalimantan selatan, yaitu di
Kerajaan Daha (Banjar) yang waktu itu beragama Hindu. Berkat
bantuan dari Sultan Demak, trenggono (1521-1546) raja Daha dan
rakyatnya memeluk islam, sehingga berdirilah kerajaan islam banjar
dengan raja pertamanya yaitu Pangeran Samudra yang bergelar
pangeran Suryanullah atau Suriansah. Setelah naik tahta, daerah-
daerah sekitarnya mengakui kekuasaannya yakni daerah Batangla,
Sukaciana, Sambas, dan Sambangan. Kemudian setelah itu di
Kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575 Tunggang Parangan
mengislamkan raja Mahkota. Sejak baginda msuk islam, terjadilah
islamisasi di Kutai dan sekitarnya. Setelah itu, penyebaran islam lebih
jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan oleh putranya dan para
penggantinya meneruskan dakwah sampai di daerah-daerah yang
lebih dalam.
B. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
1. Kesultanan Pasir (1516)
Dilansir dari website Pemerintah Daerah Kabupatan Paser,
Kesultanan Pasir sebelumnya bernama Kerajaan Sadurengas yang
dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) bernama Putri Di Dalam
Petung. Wilayahnya meliputi Kabupaten Pasir, Kabupaten
Penajam Paser Utara, dan sebagian Provinsi Kalimantan Selatan.
Islamisasi di Kerajaan Pasir dilakukan melalui perdagangan dan
perkawinan. Salah satunya yaitu perkawinan antara Putri Di Dalam
Petung dengan Abu Masyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama
islam dari kesultanan demak).
2. Kesultanan Banjar
Dalam buku Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar karya
Sahriansyah (2015:3-5), Pangeran Samudra merupakan raja
pertama Kesultanan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah dan
merupakan raja pertama yang masuk Islam. Sebelumnya Pangeran
Samudra dibantu oleh Kerajaan Demak hingga berhasil
memperoleh kemenangan atas Kerajaan Negara Daha. Wilayah
Kesultanan Banjar meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan
yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara Margasari), Gagelang
(Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Pada
awal abad ke-16 Kesultanan banjar bertindak sebagai wakil
Kesultanan Demak di Kalimantan.
3. Kesultanan Kotawaringin (1679)
Dilansir melalui website Pemerintah Kabupaten Kotawaringin
Barat, Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan dari Kesultanan
Banjar. Pada masa kepemimpinan Sultan Mustainbillah, ia
memberikan daerah kekuasaan baru untuk putranya, Pangeran
Adipati Antakusuma. Keraton Kesultanan dibangun pertama kali di
Kotawaringin Lama dengan nama Astana Alnusari. Selanjutnya
pada tahun 1814 Keraton Kesultanan dipindahkan ke Pangkalan
Bun sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan Keraton
Kuning atau Indra Kencana.
4. Kerajaan Pagatan (1750)
Raja pertama Kerajaan Pagatan yakni La Pangewa yang digelari
Kapiten laut pulo (Pulau laut) oleh Sultan Banjar. Kerajaan Pagatan
yang dahulunya diserah-kuasakan oleh Sultan Banjar meliputi
sebuah wilayah yang cukup luas. Namun setelah sistem
pemerintahan kerajaan Pagatan dihapuskan oleh Belanda,
menjadikan wilayahnya semakin mengecil. Bahkah dewasa ini,
Pagatan tak lebih dari sebuah wilayah setingkat desa yang menjadi
ibukota kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Kota Baru, propinsi
Kalimantan Selatan. Demikian yang tercantum dalam jurnal
Strategi Budaya Orang Bugis Pagatan dalam Menjaga Identitas
Kebugisan di Tengah Situasi Masyarakat Multikultur.
5. Kesultanan Sambas (1671)
Dalam website Kemendikbud, sekitar tahun 1671, Raden Sulaiman
mendirikan Kesultanan Sambas. Raden Sulaiman juga merupakan
sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan
Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas
berada di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk
Madung.
6. Kesultanan Kutai Kartanegara (1575)
Kutai Kartanegara mulai menjadi kerajaan Islam sejak 1575
dengan Aji Raja Mahkota Mulia Alam sebagai sultan pertamanya.
Sebelumnya kerajaan ini menganut ajaran Hindu. Berdasarkan
website Dinas Pariwisata Pemkab Kutai Kartanegara, pada masa
kejayaannya, Kesultanan Kutai Kartanegara memiliki beberapa
wilayah otonom yakni Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten
Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, Kota
Bontang, Kota Samarinda, dan Kecamatan Penajam.
7. Kesultanan Berau (1400)
Dilansir melalui website Pemerintah Kabupaten Berau, kesultanan
Berau didirikan sekitar abad ke-14. Raja pertama yang
memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden
Surya Nata Kesuma. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati.
Belanda berhasil memecah belah Kerajaan Berau dengan politik
adu domba, sehingga kerajaan terpecah menjadi dua yakni
Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur. Ajaran
agama Islam masuk ke Berau dibawa oleh Imam Sambuayan
dengan pusat penyebarannya di sekitar Sukan.
8. Kesultanan Sambaliung (1810)
Kesultanan Sambaliung merupakan pecahan dari Kesultanan
Berau. Sultan pertama di Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam
yang bergelar Alimuddin.
9. Kesultanan Gunung Tabur (1820)
Sama dengan Kesultanan Sambaliung, Kesultanan Tabur juga
merupakan pecahan dari Kesultanan Berau. Sultan Muhammad
Zainal Abidin merupakan sultan pertama dari Kesultanan Gunung
Tabur.
10. Kesultanan Pontianak (1771)
Menurut jurnal Jejak Sejarah Kesultanan Pontianak karya Firmanto
(2012), kesultanan Pontianak dikenal dengan nama Kesultanan
Qadriah, karena didirikan oleh dinasti Al-Qadrie. Pendiri
kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Pada tahun
1768 Abdurrahman Al-Qadrie menikahi putri Raja Banjar bernama
Syarifah Anum atau Ratu Syahranum dan memperoleh gelar
Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Pernikahan ini
dimaksudkan untuk memperkuat aliansi politik antara kerajaan
Banjar dan Mempawah. Istana Kesultanan Pontianak berada di
kawasan tepi Sungai Kapuas yang tidak jauh dari muara Sungai
Landak.
C. PENINGGALAN KERAJAAN ISLAM DIKALIMANTAN
Salah satu peninggalan islam di Kalimantan adalah Masjid Sultan
Suriansyah. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan
Suriansyah pada tahun 1526-1550. Nama masjid ini diambil dari raja
pertama kerajaan Banjar yaitu Sultan Suriansyah yang memiliki nama
asli Pangeran Samudera.
2. Kerajaan Goa Tallo
A. AWAL MULA KERAJAAN GOA TALLO
Secara garis besar, sejarah Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi
Selatan terbagi dalam dua zaman, yaitu masa sebelum memeluk
Islam dan masa setelah memeluk Islam. Setelah menjadi kerajaan
bercorak Islam, label kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan
Gowa-Tallo. Gowa-Tallo semula adalah satu kerajaan, yakni
Kerajaan Gowa, yang kemudian sempat terpecah menjadi dua
dengan hadirnya Kerajaan Tallo. Hal itu terjadi pada perjalanan
abad ke-15 Masehi usai era kepemimpinan Tonatangka Lopi
(1420-1445). Dua pangeran putra Tonatangka Lopi, yakni Batara
Gowa dan Karaeng Loe ri Sero berebut takhta sehingga terjadilah
perang saudara. Dikutip dari tulisan William P. Cummings bertajuk
"Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of
Sultan Alauddin (1593-1639)" dalam Journal of Southeast Asian
Studies (2007), Batara Gowa mengalahkan sang adik. Karaeng Loe
kemudian turun ke muara Sungai Tallo dan mendirikan kerajaan
baru bernama Tallo. Dua kerajaan kembar ini berpolemik selama
bertahun-tahun. Hingga akhirnya, setelah tahun 1565, Gowa dan
Tallo bersatu dengan kesepakatan rua Karaeng se’re ata atau "dua
raja, seorang hamba". Setelah bersatu kembali, kerajaan ini
disebut Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar. M.C.
Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008),
mengungkapkan, ada sistem pembagian kekuasaan, yaitu raja
berasal dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana
menterinya berasal dari garis Tallo.
B. GOA TALLO PADA MASA ISLAM
Kerajaan Gowa pada masa sebelum masuknya Islam dimulai sejak
era kepemimpinan penguasa pertama, Tumanurung, sampai
dengan Tonipasulu (berkuasa hingga tahun 1593). Sedangkan
pemerintahan Gowa-Tallo setelah masuknya Islam dimulai sejak
era I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-1639) yang melanjutkan
takhta Tonipasulu. Mangarangi memeluk agama Islam dan
menjadi pemimpin dengan gelar Sultan Alauddin I. Sejak saat itu,
label kerajaan pun berubah menjadi Kesultanan Gowa-Tallo.
Masuknya pengaruh Islam ke Gowa sempat memantik polemik di
kalangan etnis Makassar dan Bugis. Kesultanan Gowa saat
mengajak kerajaan-kerajaan tetangga seperti Bone, Sopeng, dan
Wajo untuk menerima Islam, namun ditolak. Penolakan tersebut
menyebabkan Gowa menyerang Bone dan menaklukkannya.
Dikutip dari Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi
Selatan (1998) karya Mattulada, setelah proses pengislaman ini,
terciptalah ketentraman di kalangan kerajaan-kerajaan di tanah
Bugis.
C. Sultan Hassanuddin dan Perjanjian Bungaya
Kesultanan Gowa mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin
oleh Sultan Hasanuddin atau yang dijuluki sebagai Ayam Jantan
dari Timur. Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa
Abad XVI sampai Abad XVII (2005) mengungkapkan, Sultan
Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16, atau Sultan Gowa ke-3 sejak
kerajaan ini mulai memeluk Islam. Saat Sultan Hasanuddin
memimpin, Kesultanan Gowa-Tallo mencapai puncak kejayaan,
termasuk berhasil menguasai jalur perdagangan di Nusantara
bagian timur. Ketika VOC dari Belanda mulai berusaha
menancapkan pengaruhnya di Makassar, terjadilah serangkaian
perang pertanda perlawanan dari Kesultanan Gowa-Tallo di
bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Peperangan pun melibatkan
antara Kesultanan Gowa melawan VOC yang dibantu dengan
Bone. Perang ini pun berakhir dengan digelarnya Perjanjian
Bongaya pada 1667. Dikutip dari buku Sejarah Maritim Indonesia
(2006) karya Agus Supangat dan kawan-kawan, banyak pasal yang
merugikan Gowa dalam isi Perjanjian Bongaya dan terpaksa harus
diterima Sultan Hasanuddin. Perjanjian Bongaya ini sekaligus
menjadi awal dari keruntuhan Kesultanan Gowa-Tallo yang
kemudian benar-benar terjadi setelah Sultan Hasanuddin wafat
pada 12 Juni 1670.
D. PENINGGALAN KESULTANAN GOA TALLO
 Istana Balla Lompoa terletak Kabupaten Gowa
 Istana Tamalate terletak di Kabupaten Gowa
 Masjid Katangka terletak di Kabupaten Gowa
 Benteng Somba Opu terletak di Kabupaten Gowa
 Benteng Fort Rotterdam yang tetletak di Makassar
E. PARA PEMIMPIN KESULTANAN GOWA
1. Sultan Alauddin I(1593-1639)
2. Sultan Malikussaid (1639-1653)
3. Sultan Hasanuddin (1653-1669)
4. Sultan Amir Hamzah (1669-1674)
5. Sultan Muhammad Ali (1674-1677)

3. KESULTANAN TERNATE
A. AWAL MULA KERAJAAN TERNATE
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi yaitu salah satu
dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Nodaku dan adalah salah satu kerajaan
Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun
1257. Kesultanan Ternate berperan penting di kawasan timur Nusantara selang
zaman ke-13 sampai zaman ke-17. Kesultanan Ternate menikmati
kegemilangan di paruh zaman ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan
kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup
wilayah Nodaku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan
kepulauan Filipina sampai sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal zaman ke-13. Penduduk Ternate
awal adalah warga eksodus dari Halmahera. Awal mulanya di Ternate terdapat
4 kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang momole (kepala
marga). Merekalah yang pertama–tama menyelenggarakan hubungan dengan
para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah.
Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab,
Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena kegiatan perdagangan yang semakin
ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas
prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona dipersiapkan musyawarah untuk
membentuk suatu organisasi yang semakin kuat dan mengangkat seorang
pemimpin tunggal sebagai raja.
Semakin akbar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang
semakin suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah
pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate mengembang dari
sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi
kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya
Maluku.
B. KEDATANGAN ISLAM DI KERAJAAN TERNATE

Putera Sultan Ternate bersama seorang controleur dan seorang warga


Belanda di sekitar tahun 1900. Tak mempunyai sumber yang jelas
mengenai kapan awal kedatangan Islam di Nodaku Utara khususnya
Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate
masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya
pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja
awal Ternate sudah memakai nama bernuansa Islam namun kepastian
mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan.
Hanya mampu ditentukan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi
memeluk Islam pertengahan zaman ke-15.

Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 yaitu raja


pertama yang dikenal memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan
pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum yaitu puteranya, Zainal Abidin
(1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin yaitu
meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan sultan, Islam
diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan
membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan
para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian disertai kerajaan lain di
Nodaku secara total, nyaris tanpa perubahan. Dia juga mendirikan
madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah
memperdalam segala sesuatu yang diajarkan Islam dengan berguru pada
Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa
(Sultan Cengkih).

C. KEDATANGAN PORTUGAL DI TERNATE

Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di


Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan,
Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang
bukan semata–mata untuk dagangan melainkan untuk menguasai
perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku. Untuk itu
terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate.
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang
masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran
Taruwese, adinda almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri
Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore
dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran
Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Debu Hayat (kelak Sultan
Debu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta
untuk dirinya sendiri.

Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba


keduanya sampai pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila
didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal.
Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan
dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat
kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki sukses membujuk dewan
kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi
ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, dia difitnah
dan dibuang ke Goa, India. Di sana dia dipaksa Portugal untuk
menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan
Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu tidak diterima
mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).

D. KEJATUHAN KERAJAAN TERNAT


Pengawal Sultan Ternate pada tahun 1910-an. Semakin lama
cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat.
Sepanjang zaman ke-17, setidaknya mempunyai 4 pemberontakan yang
dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga
rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan
besar–besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Nodaku atau yang
semakin dikenal sebagai Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat
mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh adipati
Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Hitu
dan Makassar menggempur bermacam posisi Belanda di Nodaku
Tengah. Salahakan Luhu kemudian sukses ditangkap dan dieksekusi mati
bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu
dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi
sampai 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan
di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan
Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan
diasumsikan cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan
berkomplot untuk menurunkan sultan. Tiga di selang pemberontak yang
utama yaitu trio pangeran Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi
yaitu seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate,
Pangeran Majira yaitu adipati Ambon sementara Pangeran Kalamata
yaitu adinda sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin
pemberontakan di Nodaku Tengah sementara Pangeran Kalamata
bergabung dengan raja Gowa Sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka
bahkan sempat sukses menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan
mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), namun berkat bantuan
Belanda posisi Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun
pemberontakan Saidi dkk sukses dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa
secara kejam sampai mati sementara Pangeran Majira dan Kalamata
menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang semakin dikenal dengan nama
Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda
yang semena-mena. Dia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk
Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda
oleh bermacam perjanjian yang dihasilkan para pendahulunya. Dia kalah
dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori
terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate
sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa
Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan
Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari
cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu
diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara
diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman
Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah
kekuasaannya, berasal di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin
Tomagola namun gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan
Kapita Banau sukses menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak
prajurit Belanda yang tewas termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan
markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer
serta persenjataan yang semakin lengkap dimiliki Belanda perlawanan
tersebut sukses dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi
hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat
dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan
pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan
Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari kedudukan sultan dan seluruh
hartanya disita, dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal
disana tahun 1927.
Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah kedudukan
sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan hukum
budaya dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul
hasrat pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate
namun niat itu urung diterapkan karena khawatir akan reaksi keras yang
bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari
pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan
Ternate masih tetap bertahan walaupun hanya sebatas simbol hukum
budaya istiadat. Kedudukan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini
dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang
dinobatkan tahun 1986.

Anda mungkin juga menyukai