Anda di halaman 1dari 12

LITERASI DALAM DIMENSI ISLAM

Herman R, S.Pd., M.Pd.


Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah

ABSTRAK
Kajian ini mengulas literasi dari dimensi sejarah Islam yang dimulai sejak proses
penciptaan manusia pertama. Kajian ini juga menyinggung sejarah literasi pada
zaman klasik. Untuk memperoleh hasil yang kuat terhadap literasi dan dimensi
Islam, ulasan dilakukan dengan pendekatan terhadap teks, terutama ayat-ayat
Alquran yang menjadi pedoman hidup umat Islam. Hasil kajian menunjukkan
bahwa literasi dalam dimensi Islam dibagi menjadi dua: (1) literasi ketuhanan, (2)
literasi kenabian. Keduanya menjadi sunnah sekaligus titah bagi setiap manusia
sebagai khalifah di muka bumi.

Kata kunci: literasi, dimensi islam

ABSTRAC
This study reviews the literacy of the dimensions of Islamic history that began in
the first human development process. This study also touches on the history of
literacy in classical times. For a strong harvest against Islamic literacy and
dimensions, the review is done with an approach to the historical text, the verse of
the Qur'anic verse that guides the life of Muslims. The results of the study show
that the literacy in the Islamic dimension is divided into two: (1) godhead literacy,
(2) prophetic literacy. Attitude to be a sunnah as well as a decree for every human
being as a khalifah on earth.

Keyword: literacy, dimensions of Islam

PENDAHULUAN
WAHYU Allah Swt. yang pertama sekali diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. adalah iqra’ yang artinya ‘bacalah’. Perintah “membaca” merupakan pondasi

1
ilmu pengetahuan. Perintah tersebut bukan hanya untuk Muhammad Saw. sebagai
nabi, tetapi juga buat semua umat manusia. Hanya saja, dipilih Muhammad Saw.
yang menerima titah tersebut karena ia merupakan penghulu umat. Mulanya
memang Muhammad Saw. memberikan jawaban “Saya tidak bisa membaca”, tetapi
atas tindak-ajar yang diberikan oleh malaikat Jibril, akhirnya Muhammad Saw.
paham bahwa membaca bukan hanya berdimensi terhadap sesuatu yang ditulis,
tetapi juga terhadap sesuatu yang dilihat. Oleh karena itu, Jibril melanjutkan wahyu
Allah tersebut dengan ucapan “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan.”
Kalimat “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”
merupakan pondasi dasar ilmu pengetahuan. Bahwa segala sesuatu yang hendak
dimulai mestilah dengan menyebut nama Tuhan. Oleh karena itu, baca-tulis
menjadi dimensi awal literasi yang merupakan literasi kenabian. Disebut literasi
kenabian karena perintah “membaca” atau “bacalah” pertama sekali dititahkan
kepada nabi. Jauh sebelum perintah membaca tersebut dititahkan kepada
Muhammad Saw., manusia pertama Adam as. juga mendapatkan titah yang sama.
Dalam Alquran Surah Albaqarah ayat 31-33 dikisahkan tentang proses penciptaan
Adam sekaligus titah literasi pertama dari Allah kepada Adam as. sebagai manusia
yang paling mulia. Titah literasi tersebut adalah membaca (menyebutkan) nama-
nama benda. Mulanya titah literasi itu dibebankan kepada para malaikat. Namun,
para malaikat yang notabene tidak pernah ingkar pada Allah Swt. ternyata tidak
mampu membaca nama-nama benda tersebut. Terlebih lagi iblis, tentu ia tidak tahu
sama sekali nama-nama benda dimaksud. Akan tetapi, Nabi Adam as. yang baru
saja tercipa dari tanah liat mampu menyebut nama-nama benda yang diinginkan
Allah swt secara lancara. Dengan demikian, Nabi Adam telah membaca apa yang
tampak di hadapannya ketika itu. Hal ini bermakna bahwa Adam sebagai manusia
sekaligus nabi pertama telah melakukan tindakan literasi sebagai pondasi ilmu
pengetahuan.
Hal yang sama juga pernah dialami nabi-nabi lain, seperti Nabi Musa as.
yang diajarkan membaca kondisi alam melalui Nabi Khaidir, Nabi Yusuf as. yang
diberikan ilmu pengetahuan membaca bahkan menakwil mimpi-mimpi, Nabi Isa

2
as. diberikan kemampuan membaca dan menyembuhkan segala macam penyakit,
Nabi Sulaiman as. yang mampu membaca bahasa binatang. Demikian pula Nabi
Nuh as., bukan hanya melakukan tindakan literasi untuk dirinya dengan membaca
perintah Allah untuk membuat sebuah kapal besar, tetapi Nuh as. juga mengajarkan
literasi kepada hewan. Pascabanjir bandang, Nuh as. memerintahkan seekor burung
dara membaca alam. Si burung mematuk daun hijau lalu melaporkannya kepada
Nuh as. Artinya, membaca adalah literasi yang diberikan kepada para nabi sebagai
iktibar bagi setiap umat.
Literasi tidak hanya terkait dengan membaca, baik membaca alam maupun
membaca teks. Literasi juga terkait dengan tulis menulis. Setiap wahyu dan hadis,
manakala tidak ditulis, tentu manusia zaman sekarang tidak pernah tahu apa yang
difirmankan Allah Swt. kepada nabi dan apa yang disabdakan nabi kepada para
sahabat. Oleh karena itu, jika membaca menjadi titah literasi Tuhan kepada para
nabi, menulis adalah titah literasi nabi kepada setiap umat. Sudah sewajarnya,
manusia yang mengaku sebagai umat nabi menjunjung tinggi titah literasi tersebut.
oleh karena itu, artikel ini mencoba mengangkat keutaman literasi, terutama
kepentingan tulis menulis sebagai literasi kenabian bagi setiap umat.

LANDASAN TEORI
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) edisi V mencantumkan dua pengertian
literasi, (1) kemampuan menulis dan membaca; (2) pengetahuan atau keterampilan
dalam bidang atau aktivitas tertentu. Dalam arti lain, KBBI edisi V juga
menyebutkan bahwa literasi terkait penggunaan huruf untuk merepresentasikan
bunyi atau kata. Dapat dipahami bahwa literasi erat kaitannya dengan kemampuan
dan kegiatan tulis-baca. Jika merujuk pada kata literer dan literator dalam KBBI,
kegiatan tulis-baca tersebut lebih dititikberatkan pada sastra. Akan tetapi, para
linguis Indonesia sepakat bahwa makna literasi tidaklah sesempit itu, bukan hanya
terkait keterampilan menulis dan membaca, melainkan juga angka-angka. Hal ini
seperti disimpulkan oleh Education Development Center (EDC) bahwa literasi
mencakup kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi yang dimiliki
dalam hidupnya, termasuk skil menguasai angka-angka.

3
Kata literasi yang ada dalam bahasa Indonesia merupakan upaya penafsiran
kata literacy dari istilah asing. Pada dasarnya, literasi dalam istilah yang sederhana
merupakan “melek aksara” atau “keberaksaraan”. Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, istilah literasi lebih dan semain populer dibanding
istilah “keberaksaraan”. Literasi seakan sudah menjadi roh ilmu pengetahuan, baik
dalam lingkungan formal maupun nonformal.
Dapat disimpulkan bahwa literasi berkaitan dengan mengenal huruf dan
angka, membaca aksara dan simbol. Dengan demikian, literasi mencakup semua
disiplin ilmu, baik eksakta, sosial, humaniora, dan disiplin ilmu lainnya. Oleh
karena itu, beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan Nasional mencoba
mencanangkan budaya literasi di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia dengan
menerapkan kewajiban membaca buku minimal 15 menit sebelum memulai
pembelajaran (Ekoharsono, 2016).
Menurut Djoko Sunaryo dalam wikipendidikan, konsep literasi mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Pada mulanya, literasi hanya dipahami agar
tidak buta huruf, kemudian literasi semakin luas dalam hal memaknai segala
informasi yang tertuang dalam media tulis. Oleh karena itu, kegiatan literasi selama
ini selalu berkaitan dengan “membaca” dan “menulis”. Dalam perkembangannya,
literasi mulai dipahami sebagai komunikasi sosial dalam masyarakat. Di sinilah
literasi mulai dianggap sebagai kemahiran berwacana. Sejalan dengan itu,
UNESCO yang menggelar Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa
literasi berikaitan dengan bahasa, pengetahuan, dan budaya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dikenal
pula istilah literasi sains yang dipopulerkan oleh Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD) dengan menjalankan Programme for
International Student Assessment (PISA) sejak tahun 2000, dilanjutkan tahun 2003,
2006, 2009, 2012. Pada tahun 2015 PISA mendefiniskan literasi sains sebagai “The
ability to engage with science-related issues, and with the ideas of science, as a
reflective citizen (OECD, 2016).
Sejalan dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah dengan mengartikan kemampuan

4
berliterasi sebagai kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu
secara cerdas melalui berbagai kegiatan, antara lain membaca, melihat, menyimak,
menulis, dan berbicara. Dengan demikian, literasi mencakup segala aspek
sebagaimana diklasifikasikan oleh Programme for International Student Assesment
(PISA) dengan koordinasi OECD: (1) literasi keilmu-alaman (scientifical literacy);
(2) keberaksaraan matematis (matematical literacy); (3) literasi membaca (reading
literacy). Masih menurut penelitian PISA sebagaimana tercantum dalam situs
badan bahasa kemdikbud, budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat
rendah. Tahun 2012, budaya literasi Indonesia mendudukui peringkat terendah
kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Adapun Vietnam masuk ke dalam 20
besar. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan literasi di Indonesia masih sangat
tidak memuaskan.

HASIL KAJIAN
Kajian ini menunjukkan bahwa literasi sudah ada sejak proses penciptaan manusia
yang pertama, Adam as. Sebagaimana dinukilkan dalam Alquran, setelah wujud
Adam as. diciptakan dari tanah, Allah meniupkan roh ke dalam wujud Adam
tersebut. Setelah Adam menjadi sempurna dengan kalimah “kun fayakun”, Allah
menunjukkan kelebihan Adam sebagai manusia kepada para malaikat yang
“membentuk” wujud Adam. Hal ini dilakukan Allah karena malaikat sebelumnya
bertanya dengan kesan “protes” mengapa Allah menciptakan manusia, sedangkan
manusia itu kelak akan menjadi makhluk yang ingkar. Untuk menunjukkan bahwa
manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh malaikat atau makhluk lain,
Allah meminta Adam untuk menyebutkan satu per satu nama hewan kala itu.
Permintaan menyebutkan nama-nama hewan ini mulanya dititahkan kepada para
malaikat. Namun, tidak satu pun malaikat mampu menjawabnya. Setelah itu, Allah
meminta Adam menyebutkan satu per satu nama hewan tersebut, mulai hewan yang
berjalan sampai yang melata, mulai yang meloncat sampai yang terbang. Adam
kemudian menyebutkan nama-nama hewan tersebut dengan sempurna. Hal ini
tergambar dengan jelas dalam Alquran Surah al-Baqarah ayat 31-33:

5
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!“
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama
benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui
apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?“

Ayat tersebut menunjukkan bahwa budaya literasi sudah datang dari Allah
sejak proses penciptaan manusia pertama. Apa yang dilakukan Adam as. bahwa ia
mampu menyebutkan satu per satu nama-nama hewat tersebut merupakan tindakan
literasi. Manusia sebagai makhluk yang mampu membaca, memahami, menulis dan
berbicara, sudah tentu literasi menjadi budaya manusia, bukan makhluk lain.
Dengan demikian, literasi dalam perspektif Islam merupakan pondasi dasar literasi
di alam ini, karena literasi dalam dimensi Islam sudah dimulai sejak proses
penciptaan manusia pertama.

Literasi Aksara
Literasi sebagai kegiatan baca tulis dan mengenal tanda dalam perspektif umum
seudah dimulai sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno. Dalam banyak literatur
disebutkan bahwa sebelum manusia mengenal aksara, bahasa tulis terlebih dahulu
dilakukan dengan simbol. Setiap manusia yang hidup di zaman itu terbiasa
membaca simbol-simbol, misalkan, simbol pada dinding-dinding. Setiap simbol
tersebut mengandung makna (bahasa). Hal ini sejalan dengan salah satu sifat bahasa
yaitu bahasa sebagai simbol dan bahasa sebagai tanda.
Pada zaman Perunggu, bangsa Sumeria sudah mulai menciptakan aksara.
Aksara tersebut diberi nama cuneiform. Hal ini menandakan bahwa dunia literasi
sudah mengalami kemajuan. Bangsa-bangsa yang hidup di zaman pasca-klasik
sudah mulai membuat huruf, meskipun aksara tersebut hanya dikenal oleh bangsa
mereka, belum merata ke seluruh dunia. Bangsa Mesir, misalnya, mereka

6
menciptakan aksara tersendiri yang disebut aksaran hieroglif (3200 SM). Oleh
karena itu, terjadi perbedaan pendapat mengenai perkebangan aksara tulis dalam
dimensi sejarah literasi, apakah di Mesir atau di Cina. Kebimbangan ini karena pada
masa tersebut bangsa Cina sudah menciptakan naskah Olmec.
Pada masa pemerintahan Julius Caesar, tersebut pula papan pengumuman
acta diurna. Papan tersebut digunakan oleh kerajaan sebagai media penyampaian
pesan dari kerajaan kepada seluruh warga. Setiap informasi yang diperoleh dari
pengawal dibawa ke dalam rapat istana. Hasil rapat ditulis ke atas papan acta
diurna. Papan itu kemudian dibawa oleh pengawal istana keliling pelosook agar
seluruh warga mengetahui keputusan dan kebijakan kerajaan.
Apa yang sudah dilakukan oleh Julius Caesar merupakan budaya literasi
dalam hal mencari informasi, mewacanakannya, menuliskannya, lalu menyebarkan
kepada kahalayak agar dibaca dan dipahami oleh seluruh warga. Hal ini
menunjukkan bahwa budaya literasi sudah ada sejak zaman Romawi Kuno,
tentunya dengan menggunakan aksara Romawi.
Perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi telah mengubah cara
pandang budaya literasi. Jika dulu orang menulis dengan batu, tulang, besi, dan
sejenisnya, perkembangan ilmu pengetahuan membuat orang mengenal tinta dan
pena. Perkembangan aksara dari Romawi kepada bentuk alfabet juga telah
berkontribusi pada budaya literasi dalam bentuk akasara alfabet. Sejak ditemukan
mesin cetak oleh Guttenberg (1450 M), kegiatan literasi tulis pun sudah mulai
menggunakan mesin dan kertas. Pada saat ini, kegiatan literasi media sudah
digalakkan.
Dalam perkembangan berikutnya, lahirlah sebuah sekolah urusan jurnalistik
pada tahun 1912 di Amerika Utara. Sekolah dengan nama Columbia Scholl of
Jurnalizm itu digagas oleh Joseph Pulitzer. Dari sekolah inilah kegiatan literasi
menyebar dalam bentuk yang lebih luas dan umum. Aturan-aturan penulisan pun
mulai bermunculan sehingga literasi mulai menemukan teknik dan metode.

Literasi dalam Alquran

7
Literasi dalam dimensi Alquran tidak lepas dari wahyu pertama yang diturunkan
Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Sejak turunnya wahyu pertama yakni
Surah Al’alaq, gerakan literasi dalam sejarah Islam sudah dimulai. Perintah
“membaca” yang disampaikan oleh Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril
menunjukkan bahwa literasi adalah perintah langsung dari Allah Swt. kepada
Rasulullah sekaligus menjadi iktibar bagi sekalian umat.
Kendati jawaban Muhammad Saw. pertama sekali adalah “aku tidak bisa
membaca”, perintah iqra’ oleh malaikat cukup menggambarkan titah literasi dari
Allah Swt. Betapa titah tersebut diperkuat dengan bunyi “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (Q.S. al-‘Alaq:1). Hal ini
memperjelas tentang perintah terhadap segala sesuatu harus dimulai dengan literasi
menyebut nama Allah Swt.
Ayat keempat dari Surah al-‘Alaq menyebutkan bahwa pendidikan literasi
diawali dengan nama Tuhan yang mengajarkan manusia dengan perantaraan qalam.
Qalam atau kalam dalam pengertian KBBI adalah perkataan, terutama dinisbatkan
sebagai perkataan Allah Swt. Adapun qalam yang dimaksudkan dalam Alquran
berarti “pena”. Dengan demikian, selain titah membaca, manusia juga
diperintahkan untuk menulis (menggunakan pena). Hal ini dipertegas oleh Allah
Swt. dalam Surah Nun (Surah ke-68). Qalam diambil sebagai nama salah satu surah
dalam Alquran yang ayat pertamanya berbunyi “Nun, demi qalam dan apa yang
mereka tulis.” (Q.S. al-Qalam: 1).
Surah dan ayat ini mempertegas tentang kepentingan literasi daam hal
“tulis” dan “baca”. Surat al-‘Ala’ menjadi pondasi dasar segala disiplin ilmu dunia
akhirat. Bahwa semua dan segal sesuatu harus dimulai dengan membaca nama
Tuhan yang Maha Menciptakan. Di sinilah kekuatan literasi ketuhanan yang
menjadi perintah sekaligus kewajiban bagi setiap umat manusia.
Selain perkara iqra’ yang menjadi pondasi dasar dari segala bidang
keilmuan, Alquran juga menyebutkan beberapa kisah nabi yang mengalami atau
mendapatkan titah literasi. Bisa dipastikan bahwa semua nabi dan rasul
mendapatkan kemampuan literasi yang lebih. Nabi dan rasul mampu membaca
tentang Tuhan. Misalkan saja kisah nabi Ibrahim tatkala mencari Tuhan. Ia melihat

8
matahari, disangkanya Tuhan. Namun, ketika matahari itu terbenam, tahulah
Ibrahim bahwa Tuhan tidak mungkin tenggelam. Demikian pula ketika ia melihat
bulan dan bintang, tatkala semua redup, maka tidak mungkin Tuhan bisa redup. Apa
yang dilakukan oleh Ibrahim as. ini sebenarnya adalah tindakan literasi terhadap
semesta, literasi ketuhanan.
Demikian pula beberapa nabi dan rasul lainnya, semua mengalami langsung
titah literasi. Beberapa rasul yang punya pengalaman kuat terhadap literasi antara
lain (1) Nabi Musa as, (2) Nabi Nuh as., (3) Nabi Yusuf as., (4) Nabi Sulaiman, (5)
Nabi Isa as. Selain itu, tentu saja termasuk Nabi Muhammad Saw. yang mengalami
langsung titah literasi saat menerima wahyu pertama. Hal ini semua termaktub
dalam Alquran. Pengalaman Nabi Musa yang mendapatkan ilham literasi terhadap
semesta bersamaan dengan kisah Nabi Khidir. Ketika itu, Musa mencoba membaca
tingkah laku Khidir yang merusak kapal anak yatim, membunuh seorang anak keci,
dan memperbaiki sebuah bangunan tanpa upah (Q.S. Al-Kahfi: 65-82). Pengalaman
literasi Nuh as. dapat dilihat pada kisah banjir raya pertama. Nuh bukan hanya
membaca tanda-tanda banjir akan datang, tetapi ia juga mengajarkan literasi kepada
burung dara saat banjir sudah surut. Kisah Nuh dinukil Alquran dalam surah Nuh.
Selanjutnya, pengalaman literasi Nabi Yusuf dalam membaca dan menakwil mimpi
ternukil dalam Alquran pada surah Yusuf. Demikian halnya pengalaman literasi
Sulaiman yang mampu mendengar dan berbicara bahasa hewan, termaktub dalam
surah an-Naml ayat 18. Adapun kisah literasi Nabi Isa as. merupakan kemampuan
membaca berbagai macam jenis penyakit.

Literasi Kenabian
Jika literasi ketuhanan berkaitan dengan titah literasi dari Tuhan, literasi kenabian
dapat dipahami sebagai perintah Nabi Muhammad Saw. terhadap literasi. Perintah
tersebut disampaikan kepada seluruh sahabat dan menjadi contoh bagi setiap umat
manusia. Perintah literasi dimaksud berkaitan dengan menulis dan membaca.
Budaya literasi menulis di zaman nabi dimulai dengan kisah
pendokumentasian firman dan hadis. Sebagaimana diketahui, ada kekhawatiran
bahwa wahyu dan sabda yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada para

9
sahabat tidak akan sempurna ketika disampaikan kepada sahabat yang lain.
Kekhawatiran inilah yang membuat Muhammad Saw. meminta para sahabat
menuliskan setiap firman dan hadis yang dibacakan oleh Muhammad Saw.
Keresahan tersebut muncul tatkala Muhammad meminta setoran hapalan terhadap
ayat-ayat Allah dari para sahabat. Ada ketidakseragaman dalam memberikan
setoran hapalan sehingga setiap wahyu dan sabda harus dituliskan.
Sejarah penulisan ayat dan hadis mulanya dilakukan para sahabat di atas
batu-batu, tulang belulang, kulit kayu, pelana, dan daun lontar. Hal ini karean pada
masa itu belum ditemukan kertas dan mesin cetak. Para penulis di zaman nabi antara
lain Zaid bin Tsabid, Ubai bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Muawiyah, Abu Bakar,
Umar, Usman, dan Ali.
Ketika Nabi Muhammad Saw. sudah wafat, tradisi penulisan ayat dan hadis
dilanjutkan sesuai zaman kekhalifahan. Masa kekhalifahan Abu Bakar, Zaid bin
Tsabid masih tetap dipilih sebagai ketua tim pengumpul ayat dan hadis yang
berserakan pada daun dan tulang belulang. Ayat-ayat yang dikumpulkan tersebut
dijilid menjadi satu yang disebut “suhuf”.
Masa kekhalifahan Usman bin Affan, ketua editor pengumpul dan penulisan
ulang ayat dan hadis masih dipercayakan kepada Zaid bin Tsabid. Masa ini,
penulisan ayat dan hadis mulai diupayakan dengan seragama, ejaan yang dianggap
bisa dipahami oleh masyarakat Arab secara luas. Untuk memperoleh keseragaman
terhadap dialek bahasa Arab yang umum, Said bin al’Ash dipercaya sebagai
pendikte, sedangkan Zaid bin Tsabid tetap sebagai penulis sekaligus editor. Ayat-
ayat yang sudah dikumpulkan menjadi satu jilid tersebut diberi nama Mushaf
Ustmani. Meskipun upaya penyeragaman tulisan ini sudah dilakukan, tetapi masih
menggunakan huruf Arab gundul (tanpa baris) sehingga kemungkinan perbedaan
bunyi masih tetap terbuka lebar. Oleh karena itu, pada masa kekhalifahan Ali bin
Abithalib, mushaf tersebut mulai dibubuhi baris dan tanda sehingga proses
pembacaannya pun menjadi seragam. Abul Ashwad dipercayakan sebagai orang
yang membubuhi tanda huruf dan baris.
Mencermati titah menulis sebagai literasi kenabian, kiranya menulis
menjadi titah bagi setiap umat Nabi Muhammad Saw. Hal ini tentu saja seiring

10
dengan perintah membaca dari Allah Swt.. yang disampaikan kepada Rasulullah
Saw. melalui perantaran Malaikat Jibril. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa membaca adalah perintah langsung dari Allah Swt. dan menulis adalah
perintah langsung dari Muhammad Saw. Artinya, sebagai hamba Allah, setia
manusia senantiasa memiliki kewajiban membaca, bukan hanya aksara, termasuk
juga membaca semesta. Di samping itu, setiap manusia juga memiliki kewajiban
menulis sebagai literasi dakwah yang dititahkan langsung oleh Muhammad Saw.
melalui para sahabat.

Simpulan
Literasi adalah sebuah titah dari Tuhan dan nabi. Literasi yang menjadi titah Tuhan
dapat didefinisikan sebagai literasi ketuhanan. Literasi ketuhanan berkaitan dengan
perintah membaca, baik membaca aksara, angka, maupun membaca semesta.
Literasi yang menjadi titah nabi adalah menulis yang dapat didefinisikan sebagai
literasi kenabian. Menulis sebagai budaya literasi dapat menjadi saranan dakwah
bagi setiap manusia yang mengemban tugas sebagia khalifah di muka bumi.
Dalam sejarahnya, literasi sudah ada sejak masa penciptaan manusia
pertama, Adam as. Ketika itu, Adam diminta menyebutkan satu per satu nama
hewan, baik yang berjalan maupun yang terbang, yang melata maupun yang
melompat. Literasi selanjutnya dipertegas oleh Alquran dengan turunnya wahyu
pertama, Surah al-‘Ala’ ayat 1-5.
Dalam dimensi Islam, literasi sebagai kemampuan membaca, menulis, dan
mengembangkan wacana dipertegas dalam kisah para nabi dan rasul. Semua nabi
dan rasul diberikan kemampuan literasi di luar kemampuan manusia biasa.
Selanjutnya, literasi menulis dititahkan oleh Nabi Muhammad Saw. kepada para
sahabat yang menjadi iktibar bagi setiap manusia berikutnya bahwa literasi adalah
sunnah sekaligus titah.
Akhirnya, titah literasi dipertegas oleh Allah Swt. dalam surah al-Kahfi ayat
109 yang berbunyi, “Jika sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-
kalimat Tuhan, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.”

11
DAFTAR PUSTAKA

Asyhari, Ardian. 2017. Literasi Sains Berbasis Nilai-nilai Islam dan Budaya
Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika Al-BiRuNi, vol. 06 (1) tahun
2017.

Badan Bahasa Kemdikbud. 2016. Gerakan Literasi Bangsa untuk Membentuk


Budaya Literasi (daring). http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/ (diakses pada
Oktober 2017).

Ekoharsono. 2016. Budaya Literasi di Indonesia. (daring).


Ekoharsonowordpress.com (diakses, 6 Oktober 2017).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia


edisi V (daring) https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/literasi (diakses 2 Oktober
2017).

OECD. 2016. PISA 2015 Assessment and Analytical Framework: Science,


Reading, Mathematic and Financial Literacy. Paris: OECD Publishing.
doi:10.1787/9789264255425-en.

Sunaryo, Djoko. 2017. Sejarah Perkembangan Makna dan Arti Literasi (daring).
http://www.wikipendidikan.com/2017/03/literasi.html (diakses pada 8
Oktober 2017).

12

Anda mungkin juga menyukai