Anda di halaman 1dari 3

PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

NAMA :Khhoitil Aswadi


NIM :211136
MATA KULIAH :Akhlak Annahdiyah
SEMESTER/KELAS :Semester 1 / 1A3
DOSEN PENGAMPU :Malik Zainal muttakin,S.IP,M.AG.
1. Ahlussunnah wal jama‟ah merupakan mayoritas umat Islam dalam setiap masa.
Seperti yang diindikasikan oleh jawaban Imam Malik RA (w. 179/795) ketika ditanya
tentang Ahlus-sunnah wal jama‟ah, “Mereka yang tidak punya sebutan tertentu: bukan
jahmi, bukan qadari, dan juga bukan rafidli”9. Dengan demikian, mereka adalah
mayoritas umat Islam yang pemahaman agamanya diwarisi dari generasi sebelumnya
dengan silsilah sanad yang sampai pada Nabi SAW dan para Sahabat RA, bukan mereka
yang membuat pandangan atau cara berpikir yang tidak dikenal oleh generasi
sebelumnya, yang membuat mereka terpencil dari sebagian besar umat Islam. Menurut
Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya Ziyadah at-Ta’liqat,
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
‫أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي ملسو هيلع هللا ىلص والخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد‬
‫اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون و المالكيون والحنبليون‬
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli
fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan
sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat.
2. Di antara ayat-ayat mutasyabihat yang tidak boleh kita pahami makna zhahirnya
adalah firman Allah dalam QS. Thaha: 5 ini. Para ulama Salaf tidak banyak menggeluti
pentakwilan ayat ini dengan menentukan makna tertentu baginya. Mereka hanya
mengatakan bahwa makna “istawa” dalam ayat tersebut adalah makna yang sesuai bagi
keagungan Allah, dengan meyakini kesucian-Nya dari menyerupai sifat-sifat makhluk.
Para ulama Salaf sepakat dalam menafikan sifat-sifat benda dari Allah. Adapun riwayat
yang menyatakan bahwa al-Imam Malik suatu ketika ditanya tentang makna istawa, lalu
beliau berkata: “al-Istiwa‟ Ma‟lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak
benar. Riwayat yang benar dari al-Imam Malik tentang ini adalah riwayat yang telah
disebutkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma‟ Wa ash-Shifat dari jalur sanad
Abdullah ibn Wahb dan Yahya ibn Yahya, sebagai berikut:
”Telah mengkabarkan kepada kami Abu Abdillah, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku
Ahmad ibn Muhammad ibn Isma‟il ibn Mahran, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku
ayahku (Muhammad ibn Isma‟il), berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu al-Rabi‟
ibn Akhi Risydin ibn Sa‟ad, berkata: Aku telah mendengar Abdullah ibn Wahb berkata:
Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya
berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman „Ala al-‟arsy istawa, bagaimanakah istawa-
Nya?”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Saat itu al-Imam Malik mengeluarkan keringat
dingin sambil menunduk karena marah atas pertanyaan tersebut, lalu ia mengangkat
kepala sambil berkata: ”ar-Rahman „Ala al-arsy Istawa, sebagaima Dia mensifati diri-Nya
demikian, tidak boleh dikatakan baginya bagaimana, karena pertanyaan bagaimana bagi-
Nya dihilangkan (Artinya mustahil, karena “bagaimana” hanya untuk mempertanyakan
sifat benda), engkau adalah seorang yang berpemahaman buruk dan seorang ahli bid‟ah,
keluarkanlah orang ini!”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Maka saat itu juga orang
tersebut dikeluarkan -dari majelis Al-Imam Malik-” (Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma‟ Wa
ash-Shifat, h. 408).
3. Ungkapan al-Imâm Ahmad ini memberikan pemahaman bahwa makna Istawâ yang
merupakan sifat Allah bukan dalam pengertian apapun dari segala yang terlintas dalam
benak manusia. Artinya, Istawâ di sini bukan dalam makna duduk, bertempat,
bersemayam, membayangi di atas Arsy, atau makna dari sifat-sifat makhluk lainnya. Hal
ini berbeda dengan kaum Musyabbihah yang mengartikan Istawâ dengan makna duduk
atau bertempat. Pernyataan al-Imâm Ahmad di atas adalah sebagai bukti bahwa beliau
seorang ahli tauhid dan ahli tanzîh, mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk. Dengan
demikian al-Imâm Ahmad terbebas dari segala tuduhantuduhan bohong yang

2021
PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

dipropagandakan kaum Musyabbihah bahwa beliau adalah seorang yang sejalan dengan
segala keyakinan tasybîh mereka. Benar, madzhab Hanbali banyak dirasuki oleh faham-
faham tasybîh dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, namun al-Imâm Ahmad
sendiri terbebas dari aqidah para perusak tersebut.
4. Khawarij adalah sekte yang terbentuk di periode awal setelah wafatnya Nabi dan
memberi banyak pengaruh terhadap gerakan ekstremisme Islam. Keberadaan mereka
dianggap sempat mengubah potret ajaran Islam yang penuh welas asih menjadi wajah
yang intoleran dan penuh kebencian terhadap sesame. Aliran Qadariyah meyakini bahwa
manusia memiliki kekuasaan penuh atas perbuatannya sendiri. Adapun paham aliran
Jabariyah berada di kutub sebaliknya. Dalam paham Jabariyah, pendapat Qadariyah yang
menyatakan manusia memiliki kehendak yang bebas dan daya buat menentukan
nasibnya sendiri, sudah melenceng dari ajaran Islam. Menjawab kemunculan Qadariyah,
paham ini hadir menjadi aliran tersendiri.
5. Perbedaan antara Sunnah dengan bid'ah. Sunnah adalah perbuatan dan ucapan nabi
Muhammad shalallahu alaihi wassalam.Sedangkan bid'ah adalah segala perbuatan dalam
urusan agama yang tidak ada contoh nya dari nabi dan juga contoh dari para sahabatnya.
6. Isti‟anah berarti permintaan bantuan atau pertolongan. Sedangkan dalam Kamus al-
Qur‟an isti‟anah memiliki arti meminta bantuan, pertolongan dan pendukung. Istighosah
bermakna meminta pertolongan. Secara istilah, istighosah diartikan sebagai meminta
pertolongan ketika keadaan sukar dan sulitserta dalam keadaan yang bahaya
7. tawassul termasuk salah satu cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap allah
swt,jadi,yang menjadi sasaran atau tjuan asli yang sebenarnya dalam bertawasuul kepada
allah,sedangkan tawassuli hanya sekedar perantata untuk taqrrub dan mendekatkan diri
kepda allah.
8. Telah diriwayatkan oleh al-Imaam al-Bukhari rahimahullah, bahwasanya Abu Hurairah
radhiyallaah „anhu berkata: Bersabda Rasulullaah shollallaah „alaih wa sallam: Alloh
Ta‟aala berfirman: “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu
bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr),
maka Aku akan mengingat dia pada diri-Ku (Sirr), apabila dia mengingat-Ku dalam
jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok
yang jauh lebih baik dari kelompok mereka.”Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah
berkomentar: “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara
jahr.”

9. Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Hakim dengan lafadz dari abu Hurairah: telah
bersabda Rasulullah Shollallaah „alaih wa sallam: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-
malaikat Sayyarah yang mencari majlis dzikir di bumi, maka apabila mereka menemukan
majlis dzikir, mereka saling mengelilingi dengan sayap-sayap mereka hingga mencapai
langit, maka Allah berfirman: Dari mana kalian? Mereka menjawab: Kami telah
mendatangi hamba-Mu yang bertasbih, bertakbir, bertahmid, bertahlil, memohon kepada
Engkau, meminta perlindungan-Mu. Maka Allah berfirman: Apa yang kalian pinta? (dan
Allah-lah yang lebih mengetahui apa-apa tentang mereka), mereka menjawab: Kami
memohon Surga kepada Engkau. Allah berfirman: Apakah kalian sudah pernah melihat
Surga?. Mereka menjawab: Tidak, Wahai Rabb. Allah berfirman: Bagaimana seandainya
mereka pernah melihatnya?, kemudian Allah berfirman: Terhadap apa kalian meminta
perlindungan-Ku? Sedangkan Allah Maha Mengetahui perihal mereka. Mereka menjawab:
(Kami memohon perlindungan-Mu) dari api neraka. Kemudian Allah berfirman: Apakah
kalian pernah melihatnya?. Mereka menjawab: Tidak. Selanjutnya Allah berfirman:
Bagaimana seandainya kalau mereka pernah melihatnya?. Kemudian Allah berfirman:
Saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka, dan Aku perkenankan
permintaan mereka, dan Aku beri perlindungan terhadap mereka atas apa-apa yang
mereka minta perlindungan-Ku. Mereka berkata: Wahai Rabb kami, sesungguhnya
didalamnya (majlis dzikir) terdapat seorang hamba penuh dosa yang duduk didalamnya
dan dia bukanlah bagian dari mereka (yang berdzikir), maka Allah berfirman: Dan dia

2021
PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

termasuk ke dalam orang-orang yang Aku ampuni, karena kaum itu adalah kaum yang
tidak mencelakakan orang-orang yang duduk bersama mereka.

10. Umar berkata: "Ya Allah, sesungguhnya apabila kami dalam keadaan musim kemarau,
kami tawasul dengan Nabi SAW kami, maka Engkau memberikan hujan untuk kami.
Sekarang kami tawasul dengan paman Nabi kami, maka berikanlah hujan untuk kami."
(HR. BUkhari) Selain tabarruk dengan meminta didoakan orang saleh, Hanif menuliskan
diperbolehkannya tabarruk dengan menziarahi kubur ulama atau orang saleh. Ziarah
kubur sendiri tidak dilarang Islam, jika tujuan berziarah adalah hal baik. Misalnya, untuk
mengingat mati sehingga meningkatkan ketakwaan dan mendoakan ahli kubur.

2021

Anda mungkin juga menyukai