Anda di halaman 1dari 13

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Pariwisata


Istilah pariwisata (tourism) baru mancul di masyarakat di masyarakat
kira-kira pada abad ke-18, khususnya sesudah Revolusi Industri di Inggris.
Istilah pariwisata berasal dari dilaksanakannya kegiatan wisata (tour), yaitu
suatu aktivitas perubahan tempat tinggal sementara dari seseorang, di luar
tempat tinggal sehari-hari dengan suatu alasan apa pun selain melakukan
kegiatan yang bisa menghasilkan upah atau gaji (Muljadi, 2012).
Pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ketempat lain bersifat
sementara, dilakukan perorangan atau kelompok, sebagai usaha mencari
keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan dalam
dimensi sosial budaya, alam, dan ilmu (Kodhyat dalam Kurniansah, 2014).
Pariwisata adalah suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar
yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam
suatu negara itu sendiri atau di luar negeri (meliputi pendiaman orangorang
dari daerah lain) untuk mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda
dengan apa yang dialaminya dimana ia memperoleh pekerjaan tetap (Wahab
dalam Kurniansah, 2014).
Pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan
mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu,
memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan
tugas, dan lain-lain. Defenisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari
suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan
maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian
dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya,
alam dan ilmu. Suatu perjalanan akan dianggap sebagai perjalanan wisata
bila memenuhi tiga persyaratan yang diperlukan, yaitu bersifat sementara,

10
11

bersifat sukarela (Voluntary) dalam arti tidak terjadi karena paksaan, dan
tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah (Spillane dalam Siallagan,
2011).
2.2. Pengertian Objek Wisata
Mengemukakan pengertian obyek wisata adalah segala sesuatu yang
memilik keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran
atau tujuan kunjungan wisatawan (Ridwan, 2012).
Objek wisata adalah perwujudan daripada ciptaan manusia, tata hidup,
seni budaya, serta sejarah bangsa, dan tempat atau keadaan alam yang
mempunyai daya tarik untuk dikujungi wisatawan (Fandeli dalam Asriandy,
2016).
Obyek wisata atau tempat wisata adalah sebuah tempat rekreasi atau
tempat berwisata. Obyek wisata dapat berupa obyek wisata alam seperti
gunung, danau, sungai, panatai, laut, atau berupa obyek wisata bangunan
seperti museum, benteng, situs peninggalan sejarah, dan lain-lain (Pendit
dalam any safary, 2016)
Menurut UU RI No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, dinyatakan
bahwa obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi
sasaran wisata baik itu pembangunan obyek dan daya tarik wisata, yang
dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola dan membuat obyek-
obyek baru sebagai obyek dan daya tarik wisata.
Dalam undang-undang di atas, yang termasuk obyek dan daya tarik
wisata terdiri dari :
1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
berwujud keadaan alam serta flora dan fauna, seperti :
pemandangan alam, panorama indah, hutan rimba dengan
tumbuhan hutan tropis serta binatang binatang langka.
2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud
museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya,
12

pertanian (wisata agro), wisata tirta (air), wisata petualangan,


taman rekreasi, dan tempat hiburan lainnya.
3. Sasaran wisata minat khusus, seperti : berburu, mendaki gunung,
gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras,
tempat-tempat ibadah, tempat-tempat ziarah, dan lain-lain.
4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata,
termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-
usaha yang terkait di bidang tersebut.
Obyek Wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata
yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke
tempat tersebut. Menurut SK. MENPARPOSTEL No.: KM. 98 / PW.102 /
MPPT-87, Obyek Wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang
memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga
mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang
dikunjungi wisatawan. Obyek wisata dapat berupa wisata alam
seperti gunung, danau, sungai, pantai, laut, atau berupa objek bangunan
seperti museum, benteng, situs peninggalan sejarah, dan lain-lain.

2.3. Definisi Wisata Budaya


Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Herskovits
dan Malinowski (dalam id.wikipedia.org) mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut
sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
13

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan


yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

2.4. Pengertian Museum


Museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari
keuntungan, melayani masyarakat, terbuka untuk umum, memperoleh,
merawat, menghubungkan serta memamerkan artefak-artefak sesuatu
(perihal) jati diri manusia & lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan
serta rekreasi (International Council of Museum (ICOM)).
Museum merupakan sarana untuk mengembangkan budaya dan
peradaban manusia, museum juga sebagai tempat penyimpanan, merawat
dan memamerkan benda-benda warisan budaya bangsa, tempat pemberian
informasi dan bimbingan informatif kultural kepada peserta didik. Dengan
kata lain bahwa museum dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan
keperibadian bangsa, ketahanan nasional, serta wawasan nusantara (Buku
Panduan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, 2013).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) museum merupakan
gedung yg digunakan sbg tempat untuk pameran tetap benda-benda yg patut
mendapat perhatian umum, spt peninggalan sejarah, seni, dan ilmu; tempat
menyimpan barang kuno.
Museum tidak hanya sekadar menjadi tempat untuk mendidik
masyarakat, tetapi menjadi tempat pembelajaran, yang termasuk di
dalamnya tempat di mana pengunjung dapat memperoleh pengalaman
(Ambrose dan Paine dalam Dian, 2011).
Museum tidak lagi ingin disebut sebagai ’gudang’ tempat menyimpan
barang barang antik seperti anggapan masyarakat pada umumnya, tetapi
museum berusaha untuk menjadi tempat dimana pengunjung dapat
14

merasakan suatu suasana dan pengalaman yang berbeda, yang hanya akan
mereka dapatkan jika mereka berkunjung ke museum. Perubahan ini
membuat peran museum berkembang menjadi tempat preservasi, penelitian
dan komunikasi, yang tujuannya untuk menyampaikan misi edukasi
sekaligus rekreasi kepada masyarakat (Weil dalam Dian, 2011; Hooper-
Greenhill dalam Dian, 2011).

2.5. Definisi dan Konsep Edukasi Museum


Menurut Brüninghaus dan Knubel dalam Widadi (2010) edukasi
museum secara nyata bertujuan untuk memperkenalkan pengetahuan dan
budaya melalui program edukasi dan eksibisi. Oleh karena itu, perlu adanya
komitmen yang jelas terhadap edukasi museum yakni pendidikan harus
dianggap sebagai tujuan utama dari kebijakan museum. Dengan demikian,
setiap tindakan museum haruslah bertujuan untuk melayani masyarakat dan
pendidikannya.
Pendapat ini juga sesuai dengan pernyataan Edson dan Dean dalam
Widadi (2010) bahwa setiap museum mempunyai tanggung jawab
pelayanan dalam bidang pendidikan kepada masyarakat.
Bila berbicara mengenai edukasi di museum, maka tidak dapat
dipisahkan dari teori yang mendasarinya. Hein dalam bukunya yang
berjudul Learning in the Museum menjelaskan bahwa teori edukasi terdiri
atas teori belajar (learning theories) dan teori pengetahuan (theories of
knowledge) (Hein dalam Dian, 2011).
Ada dua pandangan yang saling berlawanan dalam teori pengetahuan,
yang pertama berpendapat bahwa pengetahuan itu berada di luar atau
terpisah dari diri si pelajar, pandangan ini disebut dengan realisme.
Sementara itu, lawan dari realisme, yaitu idealisme menyatakan bahwa
pengetahuan itu berada dalam pikiran dan dibangun oleh si pelajar (Hein
dalam Dian, 2011; Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011).
15

Dua pendapat tersebut dapat digambarkan dalam sebuah kontinum


sebagai berikut:

Pengatahuan
Pengetahuan berada dalam
berada terpisah pikiran,
Teori Pengetahuan
dari pelajar dibangun oleh
(realisme) pelajar
(idealism)
Gambar 2.1 Teori Pengetahuan
Sumber: Hein dalam Sulistyowati, 2011

Selanjutnya, teori belajar yang mendasari pemikiran mengenai


bagaimana seseorang belajar juga terdiri atas dua pandangan yang berbeda.
Pandangan yang pertama berasumsi bahwa belajar terdiri atas asimilasi
incremental dari berbagai informasi, fakta dan pengalaman, hingga akhirnya
menghasilkan pengetahuan (behaviorisme). Sementara itu, menurut
konstruktivisme, belajar terdiri atas seleksi dan organisasi data yang relevan
dari pengalaman, dalam hal ini mereka meyakini bahwa orang belajar
dengan membentuk pengetahuannya (Hein dalam Dian, 2011; Hooper-
Greenhill dalam Dian, 2011). Seperti teori pengetahuan, teori belajar ini
juga dapat ditampilkan dalam kontinum seperti berikut:

Belajar secara
Belajar dengan
incremental
Teori Belajar membangun makna
ditambahkan
(konstruktivisme)
sedikit demi
sedikit
(behavioursme)

Gambar 2.2 Teori Belajar


Sumber: Hein dalam Sulistyowati, 2011

Oleh Hooper-Greenhil, dua pendekatan pada teori pengetahuan dan


teori belajar ini dapat mendukung interpretasi peran dari pengajar. Jika kita
berpikir bahwa pengetahuan berada di luar diri orang yang belajar, dan
proses belajar tersebut menjadi bagian dari pengetahuan, maka tugas bagi
pengajar adalah untuk mengirimkan pengetahuan itu kepada orang yang
16

belajar. Orang yang belajar dianggap sebagai ‘botol kosong yang harus
diisi’, pasif dan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan oleh
pengajar. Sementara jika kita berpikir bahwa pengetahuan dihasilkan oleh
orang yang sudah memiliki pengetahuan tersebut, dan prosesnya sebagai
aktivitas pikiran dengan kerangka sosial budaya, maka peran pengajar
adalah sebagai fasilitator (Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011). Dalam
pandangan konstruktivis, peran edukator di museum adalah untuk
memfasilitasi cara belajar aktif lewat penanganan objek dan diskusi, yang
dihubungkan dengan pengalaman konkret. Dalam konteks edukasi di
museum, dengan didasarkan pada paradigma konstruktivis, museum atau
edukator dapat bertindak sebagai fasilitator. Walaupun demikian, pihak
museum dapat menggunakan cara didaktik sebagai aspek lain dalam
hubungannya dengan publiknya (Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011).
Kontribusi unik yang diberikan oleh museum dalam fungsi edukasi
adalah menyediakan kesempatan bagi pengunjung untuk belajar langsung
dari obyek, menstimulasi rasa keingintahuan dan ketertarikan mereka,
mengenalkan cara belajar dengan menggunakan indera dan persepsi melalui
pengalaman hands-on, serta mendukung belajar secara independen (Beer
dalam Kukuh Pamuji 2011). Untuk memenuhi tanggung jawabnya itu,
museum harus meningkatkan perannya sebagai sumber pembelajaran yang
dapat digunakan oleh seluruh komponen masyarakat atau kelompok-
kelompok khusus yang harus dilayaninya (Edson dan Dean dalam Kukuh,
2011).
Konsep Kebijakan Edukasi di Museum, Menurut Bruninghaus dan
Knubel dalam Zahir Widadi (2010) didalam menentukan kebijakan edukasi
museum terdapat empat tujuan utama yang perlu diperhatikan yakni sebagai
berikut:
1. Edukasi dan Koleksi
Edukasi museum harus mempertimbangkan hubungan antara
edukasi dengan benda benda koleksi. Apakah koleksi museum
terdiri dari artefak atau spesimen sejarah alam, benda benda teknik
17

atau bahan bahan arsip. Selanjutnya museum harus bekerja


bersama dengan karyawan ahli dalam bidang tersebut untuk
mengembangkan tujuan edukasi secara relevan. Dengan demikian
setelah tujuan ditetapkan, museum dapat merancang program-
program edukasi di museum untuk pemahaman aspek kuratorial
dan pengetahuan dari benda benda koleksi museum tersebut.
2. Edukasi dan Warisan Budaya
Dalam membuat kebijakan, museum harus menggabungkan
edukasi dan pekerjaan kuratorial, bagaiman cara menampilkan
koleksi dan membuat keterangan koleksi di museum, terutama bagi
museum yang berhubungan dengan komunitas yang memiliki
pengetahuan tentang tradisi lokal dan budaya daerah. Sering orang
mengabaikan sejarah dan tradisi budaya mereka sendiri, karena itu
museum adalah salah satu tempat yang tepat untuk
mempromosikan dan mendorong kesadaran akan warisan budaya.
3. Mengelola dan Mengembangkan Edukasi Museum
Edukasi museum memerlukan komitmen dari sebuah institusi
pendidikan dan sosial yang harus mampu mempekerjakan
karyawan spesialis edukasi. Pengajar sebaiknya memiliki
kualifikasi tingkat pascasarjana dengan pengalaman di berbagai
bidang. Banyak museum mempekerjakan subject matter dicipline
untuk bekerja pada bidang Arkeologi, Biologi, Sejarah, Fisika, atau
studi dibidang pendidikan. Selain itu, pelatihan museologi mutlak
diperlukan melalui program pendidikan formal maupun non formal
melalui training di museum. Hal yang sama dijelaskan oleh
Ambrosse dan Paine dalam Zahir Widadi (2010), penyampaian
edukasi museum memerlukan spesialis edukasi yakni karyawan
museum dengan memiliki pelatihan psikologi mengajar dan
banyak pengalaman untuk menyajikan pelajaran yang mudah
dimengerti oleh pengunjung umum. Dalam proses pembelajaran di
museum para pengajar harus mengembangkan jaringan untuk
18

bekerja sama dengan masyarakat setempat, seperti yang


dikemukakan oleh Bruninghaus dan Knubel, yaitu:
“Therefore the museum educator must be a leader or
manager as well as a true team player. Networks
inside and outside the museum are essential for the
educator’s work. They can help with the orientation
towards the public, and they may be a source of new
alliances and thus broaden the educator’s
professional horizon and thus the service provided”.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa dalam mengelola dan


mengembangkan edukasi museum harus membangun jaringan di
dalam dan diluar museum untuk kepentingan proses pembelajaran.
Kerja sama ini dapat membantu orientasi pelayanan museum
terhadap masyarakat dan juga kelompok masyarakat ini dapat
menjadi sumber sumber pendidikan baru. Dengan demikian
hubungan ini dapat memperluas cakrawala dan memfasilitasi
pemecahan masalah pengajar di museum.
4. Edukasi Museum dan Masyarakat
Museum sebagai lembaga untuk kepentingan umum yang
berada ditengah-tengah masyarakat lokal, nasional atau
internasional Para pengajar berhubungan dengan masyarakat
melalui pengetahuan. Pengajar edukasi museum memiliki peranan
penting dalam menentukan kebijakan, program pembelajaran dan
tujuan museum. Selain itu, masyarakat ini mampu memberikan
kontribusi penting mengenai informasi tentang kemampuan
intelektual dan kesenangan dari kelompok pengunjung, sehingga
masyarakat menjadi bagian dari tim pengajar. Dengan demikian
semua pengunjung seharusnya tidak lagi dianggap sebagai hanya
"konsumen" budaya atau pengetahuan, tetapi sebagai mitra dalam
proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Davis dalam Zahir Widadi, bahwa museum
juga berperan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan
yang meliputi peran serta perorangan sebagai tokoh, kelompok
19

komunitas, dan organisasi kemasyarakatan yang terkumpul sebagai


kelompok masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kebijakan
museum yang telah dijelaskan tersebut di atas maka langkah
selanjutnya museum dapat menentukan prinsip dan prioritas
kebijakan untuk menentukan program edukasi di museum.

2.6. Definisi dan Isi Komunikasi


Menurut Bovee dalam Sayuti (2013), komunikasi didefinisikan sebagai
suatu proses mengirim pesan dan menerima pesan, dan dikatakan efektif
pengiriman pesan itu apabila pesan tersebut dapat dimengerti dan
menstimulasi tindakan atau mendorong penerima pesan atau orang lain
untuk bertindak sesuai dengan pesan tersebut.
Sedangkan Robbins dalam Sayuti (2013) mengatakan komunikasi
sebagai proses pemindahan data dan memahami makna yang
dimaksudkannya.
Jadi dapat dipahami secara umum bahwa komunikasi merupakan
perpindahan suatu informasi atau data dari satu pihak ke pihak yang lain.
Dalam penyampaian edukasi yang terdapat pada museum diperlukan
komunikasi yang tepat dalam menyapaikan edukasi tersebut agar sampai ke
masyarakat. Dalam hal ini perlu diperhatikan pula isi dan kandungan dari
komunikasi tersebut.
Menurut Cangara dalam Safitri (2012) Isi komunikasi merupakan suatu
informasi bergerak dari komunikan (pengirim pesan) kepada komunikan
(penerima pesan) dalam suatu organisasi. Isi komunikasi dapat berupa ilmu
pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda.

2.7. Dimensi Komunikasi


Terdapat dua dimensi komunikasi berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Sayuti (2013) yaitu Komunikasi Verbal (Verbal Communication) dan
Komunikasi Non Verbal (Non Verbal Communication).
20

2.7.1 Komunikasi Verbal (Verbal Communication)


Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan dalam
bentuk kata-kata lisan maupun tulisan. Adapun isi dari komunikasi
berdasarkan teori yang dinyatakan Cangara dalam safitri (2012)
antara lain ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau
propaganda.
a. Ilmu pengetahuan
Dalam komunikasinya ketika menyampaikan ilmu
pengetahuan, perlu diketahui ilmu pengetahuan yang dapat
disampaikan, cara penyampaian ilmu pengetahuan tersebut,
Hambatan atau kendala yang dihadapi dalam menyampaikan
ilmu pengetahuan, Rencana cara penyampaian pengetahuan
yang belum terealisasikan, Kerjasama dengan lembaga atau
instansi untuk penyampaian ilmu pengetahuan, Harapan setelah
penyampaian ilmu pengetahuan.
b. Hiburan
Hiburan dalam hal ini merupakan kegiatan hiburan yang
pernah dilaksanakan, kemudian kegiatan hiburan haruslah
memiliki target sasaran peserta, memastikan kegiatan hiburan
tersebut dapat membantu komunikasi Museum dengan
Pengunjung, melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi
dalam menjalankan kegiatan, dan memiliki harapan setelah
melaksanakan kegiatan.
c. Informasi
Dalam hal ini untuk menjaga kelancaran kegiatan dan
aktivitas penyampaian edukasi diperlukan adanya information
center, kemudian tersedianya informasi mengenai Museum, dan
memuliki harapan setelah menyampaikan informasi kepada
pengunjung.
d. Nasehat atau propaganda
21

Nasehat atau propaganda dalm hal ini merupakan ajakan


dalam kebaikan yang hendak disampaikan Museum Sultan
Mahmud Badaruddin II, dengan demikian Museum haruslah
memiliki nasehat atau propaganda yang akan disampaikan
kepada pengunjung, serta memiliki media penyalur nasehat atau
propaganda.

2.7.2 Komunikasi Non Verbal (Non Verbal Communication)


Komunikasi non verbal adalah komunikasi tanpa kata-kata yang
berupa isyarat/simbol, gerakan tubuh dan ekspresi wajah (Body
Language and Gestures).

2.8. Penelitian Terdahulu


Beragam penelitian telah dilakukan berkenaan dengan penyampaian
edukasi objek wisata Museum, diantaranya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti Judul Penelitian Jenis Penelitian Hasil Penelitian
Hasil penelitian
Dian Strategi Edukasi Kualitatif berupa saran dan
Sulistyowati Museum dan Deskriptif yang masukan bagi
(2011) Pemasarannya: Studi didukung Data Museum Sejarah
Kasus Museum Kuantitatif Jakarta bahwa dalam
Sejarah Jakarta pembentukan strategi
museum, harus
mempertimbangkan
antara keinginan dan
kebutuhan pengunjung
dengan tujuan utama
museum, yaitu untuk
menyampakan misi
edukasinya kepada
masyarakat. Dengan
demikian, Museum
Sejarah Jakarta
diharapkan dapat
22

menjadi tempat untuk


memperoleh
pengetahuan dan
pengalaman sekaligus
rekreasi yang
menjangkau seluruh
lapisan masyarakat.
Teknik Hasil penelitian ini
Umi Hartati Museum Lampung pengumpulan menunjukkan bahwa
(2016) Sebagai Media data yang sebelum pelaksanaan
Pembelajaran digunakan pembelajaran dimulai
Sejarah adalah guru terlebih dahulu
wawancara, menentukan SK & KD
observasi dan merancang metode,
dokumen. membuat RPP,
Setelah data menyiapkan media
terkumpul, data dan membuat
akan divalidasi pertanyaan.
dengan cara
trianggulasi.
Teknik analisis
data yang
digunakan
adalah model
interaktif.

Zahir Peran Edukasi Penelitian ini Hasil dari penelitian


Widadi Museum (Studi merupakan ini
(2010) Kasus Museum penelitian yang mengidentifikasikan
Batik Di bersifat bahwa edukasi dan
Pekalongan) Deskriptif eksibisi museum Batik
dengan Pekalongan masih
pendekatan bersifat tradisional
kualitatif

Anda mungkin juga menyukai