Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak


atas penghsilan yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang
atau badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap
perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk
membayar pajak. Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran (cash
disbursment) tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga
biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya
sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkan Pada hakekatnya perpajakan
di Indonesia di tetapkan berdasarkan undang-undang, hal ini merupakan
pencerminan bagian dari pelaksanaan tonggak demokrasi dalam hidup berbangsa
dan bernegara.
Dalam hubungan ini merupakan suatu realita negara yang merdeka dan
berdaulat. Sesuai perjalanan sejarah perpajakan nasional di Indonesia, tak dapat
dipungkiri bahwa dalam penyusunan kerangka acuan perubahan undang-undang
dan peraturan perpajakan sebagian besar bersumber dari sistem perpajakan
warisan kolonial penjajah, terutama ketika negara Republik Indonesia baru
terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini perubahan tersebut telah banyak
mengalami perubahan yang bersumber dari sistem perpajakan negara lain. Dalam
teori ekonomi klasik yang kini masih relevan diterapkan di berbagai negara
menyebutkan bahwa : “salah satu sumber penerimaan negara ialah dari sektor
pajak.” Pernyataan ini tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945
pasal 23 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut : “segala pajak dipungut
berdasarkan undang-undang demi kepentingan negara dan ditunjukan
kesejahteraan rakyat”.
Pajak adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah didalam mencapai
tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak
langsung dari masyarakat, untuk itu diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat
akan kewajiban pajaknya karena pajak yang dikumpul digunakan untuk
kepentingan dan membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial dan
ekonomi masyarakat. Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak
macamnya. Salah satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan
yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba usahannya
baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban wajib
pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu
proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan.
Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah
satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan
kepada sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba usahannya baik dalam
negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban wajib pajak
khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu
proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Dalam
rangka menyukseskan pembangunan nasional, peranan penerimaan pajak sangat
penting dan mempunyai kedudukan yang strategis. Tidak mungkin pemerintah
dapat mengerakkan roda pemerintahan dan pembangunan nasional tanpa adanya
dukungan dana, terutama yang bersumber dari penerimaan pajak. Oleh sebab itu
setiap tahun penerimaan pajak senantiasa diupayakan untuk terus meningkat. Ada
tiga unsur yang menentukan penerimaan pajak, yakni undang-undang perpajakan
yang tepat, kepatuhan serta kesadaran dari Wajib Pajak dan aparat perpajakan
yang cakap dan bersih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN

Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi


atau perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak. Ditinjau dari segi sejarahnya, pajak sudah
ada sejak jaman dahulu kala yang saat itu pemberiannya sukarela dari rakyat
kepada rajanya. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara
cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan
yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau
penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa
berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang,
kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk
keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan
atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya
untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena
kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami
perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak
Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib
Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
Tahun Pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian Tahun
Pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam Tahun
Pajak.
B. SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK

Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan


yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak
adalah :
1. a. Orang Pribadi
b. Warisan yang belum belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. badan, terdiri atas perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif,
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Perusahaan luar negeri yang bergerak dalam kegiatan ekonomi suatu


negara, dalam hal ini negara Indonesia. Subjek pajak dapat pula dibedakan yaitu
subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Selanjutnya dapat
dijelaskan bahwa subjek pajak dalam negeri adalah wajib pajak membuat SPT
sementara subjek pajak luar negeri tidak wajib membuat SPT.

Subjek Pajak Dapat Dibedakan Menjadi :

1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :


a. Subjek pajak orang pribadi, yaitu :
1) Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus
berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
2) Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai nilai bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek pajak badan, yaitu :
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintahan yang memenuhi kriteria :
1) Pembentukkannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan,
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintahan pusat atau
pemerintah daerah, dan
4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
c. Subjek pajak warisan, yaitu :
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
2. Subjek pajak luar negeri yang terdiri dari :

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
panghasilan dari Indonesia tidak dari menjalakan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila
telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi wajib
pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak
luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi wajib pajak
karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia atau yang melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan
lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif.
Perbedaan wajib pajak dalam dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain
adalah :

Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri


 Dikenakan pajak atas penghasilan  Dikenakan pajak hanya atas
baik yang diterima atau diperoleh penghasilan yang berasal dari
dari Indonesia dan dari luar sumber penghasilan di Indonesia
indonesia.  Dikenakan pajak berdasarkan
 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
penghasilan netto.  Tarif pajak yang digunakan adalah
 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal
tarif umum (tariff UU PPh pasal 17) 26)
 Wajib menyampaikan SPT  Tidak wajib menyampaikan SPT.

Kewajiban Pajak Subjektif


Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya
sebagai subjek pajak dalam negeri maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini
diberikan table mulai dan berakhirnya pajak subjektif.
Kewajiban pajak subjektif

MULAI BERAKHIR

Subjektif pajak dalam negeri orang Subjektif pajak dalam negeri orang
pribadi: pribadi:
 Saat dilahirkan  Saat meninggal
 Saat berada di indonesia atau  Saat meninggalkan indonesia untuk
bertempat tinggal di indonesia selama-lamanya

Subjektif pajak dalam negeri badan: Subjektif pajak dalam negeri badan:
 Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak
kedudukan di indonesia bertempat kedudukan di indonesia
MULAI BERAKHIR

Subjek  pajak luar negeri melalui BUT: Subjek  pajak luar negeri melalui
 Saat menjalankan usaha atau BUT:
melakukan kegiatan melalui BUT di  Saat tidak lagi menjalankan usaha
indonesia atau melakukan kegiatan melalui
BUT di indonesia.

Subjek pajal luar negeri tidak melalui Subjek pajal luar negeri tidak
BUT: melalui BUT:
 Saat menerima atau memperoleh  Saat tidak lagi menerima atau
penghasilan dari indonesia memperoleh penghasilan dari
indonesia

Warisan belum terbagi: Warisan belum terbagi:


 Saat timbulnya warisan yang belum  Saat warisan telah selesai dibagikan
terbagi

Tidak Termasuk Subjek Pajak


Yang tidak termasuk subjek pajak adalah :
1. Kantor perwakilan Negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :
a. Bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
b. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasiinternasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan menteri
keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana
telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional, sebagai mana dimaksud dalam
keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember
1994 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
a. Bukan warga Negara Indonesai.
b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.
C. OBJEK PAJAK

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan


kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapar dipakai untuk
konsumsi atau utnuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. Pergantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
grafitasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pegambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali, yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagai atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
penegmbalian utang;
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib


pajak, Penghasilan tersebut dapat dikelompokan menjadi:

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas,


seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga,
dividen, royalty, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan
sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke
dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
a. Keuntungan karena pembebanan utang.
b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
d. Hadiah undian.

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, yang menjadi Objek Pajak hanya
penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :

1. a. Bantuan atau sumbangan,


Termasuk zakat yang diterima oleh badan zamil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbanan keagamaan yang sifatnya wajib
pajak bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah
b. Harta hibahan
Yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikian atau
penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham.
4. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa
6. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia dengan syarat :
• Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
• Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling
rendah 25% Dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha
aktif diluar kepemilikan Saham tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pensiun
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif.
10. Penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan
usaha dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.
12. Laba lebih yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu.
D. DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG
PENGHASILAN KENA PAJAK

Dasar pengenaan Pajak


Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang
menjadi dasar pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk
wajib pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Yang perlu diingat besarnya penghasilan kena pajak  untuk wajib pajak pada
badan dihitung sebesar penghasilan netto

Penghasilan kena pajak (WP badan )    = penghasilan netto

Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari pengfhasilan netto –
PTKP

Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = penghasilan netto - PTKP

Cara menghitung penghasilan kena pajak

Penghitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak didalam


negeri dan badan usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto
Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan pembukuan,
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan
barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca
dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir pembukuan
Untuk WP badan besar penghasilan kena pajak = penghasilan netto yaitu
penghasilan bruto dikurangi PPH .
Penaghasilan Kena pajak ( WP badan)
= Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh-PTKP
Untuk WP Orang Pribadi  besar penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan
netto dikurangi dengan PTKP

Penghasilan Kena pajak ( WP orang pribadi)


= Penghasilan Netto-PTKP
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh

Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan , menagih , dan memelihara penghasilan termasuk:

1. Biaya secara langsung dan tidak langsung


2. Penyusutan atas pengeluaran
3. Iuran kepada dana pensiun yang telah didahkan oleh menteri keuangan
4. Kerugian karna penjualan
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian pengembangan perusahaan yang dilakukan di indonesia
7. Biaya beasiswa,magang, pelatihan
8. Piutang yang nyata
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang sudah
diatur dengan peraturan pemerintah
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
11. Biaya pembangunan insprastruktur sosial
12. Sumbangan fasilitas pendidikan
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya( min 5 th)

Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam
negeri dan usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
1. Pembagian laba
2. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi
3. Pembentukan atau pemupukan dana cabang kecuali
4. Cadangan piutang
5. Cadangan untuk usaha asuransi
6. Cadangan penjaminan
7. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
8. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
9. Cadangan biaya penutypan dan pemeliharaan tempat
10. Premi asuransi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
11. Penggantian atau imbalan
12. Jumlah yang melebihi kewajaran sebagai imbalan yang dibayarkan kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
13. Harta yang dihibahkan
14. Pajak penghasilan
15. Biaya yang dibebankan
16. Gaji
17. Sanksi administrasi
18. Biaya pengeluaran yang dikenakan PPH yang bersifat final dan bukan objek
PPH
19. Biaya-biaya pengeluaran yang digunakan penghitungan penghasilan netto

Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan norma


penghitungan penghasilan Netto

Apabila dalam menghitung Penghasilan Kena Pajaknya Wajib Pajak


menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, besarnya penghasilan neto
adalah sama besarnya dengan besarnya (persentase) Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto
pekerjaan bebas setahun. Pedoman untuk menentukan penghasilan neto, dibuat
dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Wajib Pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Predaran bruto kurang dari Rp.4.800.000.000,00 Per tahun
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun
buku
3. Menyelenggarakan pencatatan
Contoh penghitungan pajak yang terutang (NPPN)

Berikut ini adalah contoh penghitungan pajak yang terutang dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Wajib Pajak Anto kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 2 orang
anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta. Misalnya besarnya
persentase norma untuk dokter di Jakarta 50%

Penerimaan bruto praktik dokter di rumah di Jakarta setahun Rp500.000.000.00


Penghasilan neto dihitung sebagai berikut:

Sebagai seorang dokter: 50% x Rp500.000.000,00 Rp250.000.000,00


Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) Rp 67.500.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 182.500.000,00

Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak


Sampai dengan Rp.50.0000.000,00 5%
Di atas Rp 50.0000.000,00 sampai dengan Rp
15%
250.0000.000,00
Diatas 250.0000.000,00 sampai dengan Rp. 500.0000.000,00 25 %
Diatas Rp. 500.0000.000,00 30%

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)


Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah ;

Contoh penghitungan PTKP :


1. Pak Riza sudah menikah dengan mempuyai seorang anak. PTKP Riza
adalah :
PTKP setahun :
Untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000,00
Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00
Tambahan 1 anak Rp 4.500.000,00
Jumlah Rp 63 .000.000,00
TARIF PAJAK dalam UU PPh Pasal 17
1. Wajib pajak orang pribadi dalam negri
Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajip pajak orang
pribadi dalam negri adalah sebagai berikut

Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak


Sampai dengan Rp.50.0000.000,00 5%
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00 15%
Diatas 250.000.000,00 sampai dengan Rp. 500.000.000,00 25 %
Diatas Rp. 500.000.000,00 30%

2. Wajib pajak badan usaha dalam negri dan bentuk usaha tetap
Sementara itu tarif pajak yang di terapkan untuk  penghasilan kena
pajak  untuk wajib pajak badan dalam negri dan bentuk usaha tetap  Adalah
sebesar 28 % . tarif pajak yang di terapkan untuk  penghasilan kena pajak  untuk
wajib pajak badan dalam negri mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 diturunkan
menjadi 25 %
Wajib pajak badan dalam negri berbentuk perseroan terbuka yang
paling sedikit 40 % dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan
di bursa efek di indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya
memperoleh tarif sebesar 5 %
Wajib pajak badan dalam negri dengan peredarfan bruto sampai
dengan Rp.500.000.000,00 mendapat fasilitas  pengurangan tarif 50 % yang
dikenakan atas penghasilan kenapajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp.4.800.000.000,00.
Cara menghitung pajak

Pajak penghasilan (Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap)
setahun dihitung dengan cara mengalikan penghasilan kena pajak dengan tariff
pajak sebagaimana diatur UU PPh pasal 17:

Rumus menghitung wajib pajak badan


Pajak penghasilan ( wajib pajak badan)
= penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
= penghasilan netto x tarif pasal 17
= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) x tarif pasal 17

Rumus menghitung wp orang pribadi


Pajak penghasilan ( WP orang pribadi)
= penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
= penghasilan netto – PTKP ) x tarif pasal 17
= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) -PTKP x tarif pasal 17

Catatan:
untuk keperluan menghitung PPh yangn terutang pada akhir tahun, penghasilan
kena pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh.
Contoh:
1. Gunawan pada tahun 2010 mempunyai PKP sebesar Rp.241.850.600,00
besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar atau terutang oleh gunawan
adalah:
Penghasilan kena pajak Rp.241.850.600,00
(dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh)
Pajak penghasilan yang harus dibayar : Rp.2.500.000,00
5% x Rp.  50.000.000,00 Rp.28.777.500,00
15% x Rp. 191.850.000,00 Rp. 31.277.500,00

2. Peredaran Bruto PT. Makmur dalam tahun pajak 2015 sebesar Rp.
4.500.0000.000 dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp. 500.000.000.
penghitungan pajak yang terhutang :
Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut
dikenai tarif sebesar 50% dari tarif pajak penghasilan badan yang berlaku karena
jumlah peredaran bruto PT. Makmur tidak melebihi Rp 4.800.000.000

Pajak penghasilan yang terutang:


(50% x 25%) x Rp 500.000.000 = Rp. 62.500.000

3. Peredaran bruto PT. Jaya dalam tahun 2015 sebesar Rp. 30.000.000.000 dengan
penghasilan kena pajak sebesar Rp. 3.000.000.000. penghitungan hasil pajak
penghasilan yang terutang:
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas :
( Rp 4.800.000.000 : Penghasilan Bruto ) x PKP
(Rp. 4.800.000.000 : Rp. 30.000.000.000) x Rp. 3.000.000.000 = Rp. 480.000.000
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas:
Rp 3.000.000.000 – Rp. 480.000.000 = Rp. 2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 25%) x Rp. 480.000.000 =Rp. 60.000.000
- 25% x Rp 2.520.000.000 =Rp. 630.000.000(+)
Jumlah pajak penghasilan yang terutang =Rp. 690.000.000
PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN YANG
BERSIFAT FINAL
Pemotongan atau pemungutan PPh tetap dilaporkan dalam surat
pemberitahuan ( SPT ), hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan
penghasilan lainnya.

CARA MELUNASI PAJAK


Cara melunasi pajak ada 2 cara:
1. Pelunasan pajak tahun berjalan,yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang
meliputi:
a. Pembayaran sendiri oleh WP ( PPh pasal 25 ) untuk setiap masa pajak.
b. Pembayaran pajak melalui pemotongan / pemungutan pihak ketiga berupa
kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak yang terutang
selama tahun pajak, yaitu:
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan (PPh
pasal 21)
 Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau
lainnya(PPh pasal 22)
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan dharta oleh
orang lain,jasa, hadiah , dan penghargaan ( PPh pasal 23)
 Pelunasan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri ( PPh pasal
24)
 Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas WP luar negeri ( PPh
pasal 26)
 Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-
tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya(PPh pasal 4 ayat (2) untuk
PPh 4 ayat (2)ntidak dapat dikredit.
2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun.
pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
a. Menbayar pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung sendiri jumlah
pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurangi dengan jumlah
kredit pajak tahun yang bersangkutan.
b. Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau
surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak, apabila
terdapat bukti bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang


pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu
Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu
dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

B. Saran
Kami selalu berharap bagisemua pihak yang berwenang dalam
pemungutan pajak agar pajak yang didapat dari pemungutan wajib pajak tersebut
harus bisa dipertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat sangat
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

 Mardiasmo. 2019, Perpajakan Edisi Revisi 2019, Andi, Yogyakarta


 Anastasia Diana, dan Lilis Setiawati, 2009, Perpajakan Indonesia, Andi,
Yogyakarta.
 Ikatan Akuntan Indonesia, 1999. Standar Akuntansi Keuangan. PSAK No.
17, Cetakan Keempat, Buku Satu, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
 Lumbantoruan, Shopar, 2005, Akuntansi Pajak, Gramedia Widiasarana.
Jakarta Muljono, Djoko 2009, TAX PLANNING-Menyiasati Pajak dengan
Bijak.Yogyakarta : ANDI.
 Munawir S. 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Liberty, Yogyakarta.
 Pohan, CA 2011, Optimazing Corporate Tax Management, Bumi Aksara,
Jakarta
 Resmi, Sitti 2009, Perpajakan : Teori dan Kasus, Jakarta : Salemba
Empat.
 Suandy, Erly, 2006, Perpajakan, Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta.
 Rahayu, Siti Kurnia 2009, Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta
Soemahamidjadja Soeparman, “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”. (2002:5)
 Suandy, 2003, Perencanaan Pajak, Edisi Kedua, Salemba Empat, Jakarta
 http://forever2705.wordpress.com/2008/08/11/pengertian-pajak-
penghasilan/www.google.com.

Anda mungkin juga menyukai