Anda di halaman 1dari 5

5.

Hak Mengajukan Eksepsi

Pengertian Eksepsi

Pengertian eksepsi atau exception adalah:

_ Tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak tununjukan terhadap

“materi pokok”surat dakwaan,

_ tetapi keberatan atau pembelaan di tujukan terhadap cacat “formal”yang melekat kepada
surat dakwaan .

Dalam system Cmmon Law terdapat beberapa istilah hukum (legal term) yang saling dapat di petukarkan
(interchangable) antara yang satu dengan yang lain,seperti : exeption atau plead ataupun objection. Dia
merupakan action atau “upaya “ untuk membela diri terdakwa tentang adanya cacat formal yang
melekat pada perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

Dalam pasal 156 ayat (1) KUHP,Definisi eksepsi tidak di rumuskan secara jelas.

Istilah yang di gunakan adalah “keberatan “. Kepada terdakwa atau penasihat hukumya “diberi hak”
untuk mengajukan “keberatan “. Pengertian kebertan yang disebut dalam pasal ini,lebih dekat
pengertianya dengan objection dalam sistem common law,yang berarti perkara yang di ajukan terhadap
terdakwa mengandung tertib acara improper (tidak tepat ) atau illegal (tidak sah).

Saaat Mengajukan Eksepsi

Jika di perhatikan pasal 156 ayat (1),pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan
“formal” oleh terdakwa atau penasehat hukum adalah “hak” dengan ketentuan:

Prinsipnya harus di ajukan pada sidang “pertama” ,

Yakni “sesaat” atau “setelah “ penuntut umum membaca surat dakwaan,

apabila pengajuaan di lakukan di luar tenggang yang di sebutkan, eksepsi tidak perlu di tanggapi
penuntut umum dan pengadilan Negeri,kecuali mengenai eksepsi kewenagan mengadili yang di sebut
dalm pasal 156 ayat (7). Prinsip ini disimpulkan dari ketentuan pasal 156 ayat (2) yang menegaskan: Jika
hakim menerima keberatan terdakwa atau penasehat hukum maka perkara tidak di periksa lebih lanjut.
Berarti proses pengajuan keberatan berada antara tahap membaca suart dakwaan. Pemeriksaan materi
pokok perkara di hentikan apa bila keberatan di terima. Sebaliknya pemeriksaan materi pokok perkara di
teruskan langsung apabila keberatan di tolak.

Dengan demikian,cukup alasan untuk menyimpulkan eksepsi tidak lagi dapat di ajukan apabila proses
sudah memasuki pemeriksaan materi pokok perkara sebagaimana yang di dakwakan dalam surat
dakwaan.
Klasifikasi Eksepsi

Pasal 156 ayat (1) menyebut berbagai jenis keberatan atau eksepsi yang dapat di ajukan terdakwa atau
penasehat hukumya . Namun dalam eksepsi yang di kemukakan dalam uraian ini tidak terbatas pada
bentuk atau jenis eksepsi yang di sebut pasal 156 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi meliputi berbagai jenis
yang di kenal dalam perundang-undangan lain maupun dalam praktek peradilan

a Eksepsi Kewenangan Mengadili

disebut “eksepsi tak berwenang” mengadili atau exception of incompetency (exception van
onbevoegheid),dalam arti pengadilan yang di limpahi perkara tidak berwenang mengadili ,yang di
klasifikasi debagai berikut :

(1) Tidak berwenang secara “ Absolut”.


Munculnya persoalan kewenagan absolut mengadili (absolute competence), sebagai akibat
pasal10 undang undang No. 14/1970 yang telah menetapkan dan membagi “yurisdiksi
subtantik” untuk setiap lingkungan peradilan pada satu segi,dan pada segi lain di sebut faktor
pembentukan jenis peradilan khusus yang kewenanganya secara absolut di berikan kepada
peradilan tersebut (seperti peradilan anak).
(2) Tidak Berwenang secara “Relatif”
Disebut kewenangan relatif mengadili perkara (relative competence) didasarkan pada faktor
“daerah hukum” atau “wilayah hukum” suatu pengadilan.
Setiap Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi,terbatas daerah atau wilayah hukumnya.
Patokan menentukan batas daerah atau wilayah hukum pada dasarnya di sesuaikan dengan
sistem Pemerintahan tingkat 1 (Provinsi) dan Tingkat II (Kabupaten atau Kotamadya).
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negri atas sesuatu
tindak pidana yang terjadi,merujuk pada ketentuan:
i. Pasal 84 ayat (1) KUHAP: Locus delicti;
ii. Pasal 84 ayat (2) KUHP: “Tempat tingal terdakwa” apabila kebanyakan saksi yang hendak
di dengar lebih dekat ke Pengadilan Negeri tempat ti9ngal terdakwa;
- Pasal 85 KUHAP: Kewenagan atas “penunjukan “ Menteri Kehakiman;
- Pasal 86 KUHAP: Kewenagan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undang undang
atas tindak pidana yang di lakukan di luar negeri.

Perlu diingat eksepsi kewenagan relatif pada prinsipnya di ajukan pada peradilan tingkat
pertama atau Pengadilan Negeri. Namun tidak mengurangi hak terdakwa atau penasehat hukum
mengajukan kepada pengadilan Tinggi dalam tingkat banding dengan jalan memasukan memori
banding.

Malahan ,oleh karena kewenagan mengadilimerupakan ketentuan yang bersifat “aturan


publik’’ (public order), Pengadilan Tinggi secara expecio berwenang memeriksa dan menilai
apakah Pengadilan Negeri melangar prinsif kopetensi relatif dalam mengadili perkara yang
bersangkutan,meskipun hal itu tidak di ajukan sebagai eksepsi dalam peradilan tingkat
pertama.Penerapan yang demikian tidak semata mata berdasar alasan public order , tapi juga
berdasar kehendak yang terkandung dalam pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex
officio bagi hakim memeriksa dan memutus mengenai kopetensi meskipun hal itu tidak di
ajukan sebagai keberatan (eksepsi).
b. Eksepsi Kewenagan Menuntut,Gugur

Eksepsi lain yang tidak di sebut dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP,tetapi di temukan dalam
perundang undangan lain,antara lain dalam KUHP, adalah eksepsi yang menyatakan
“kewenagan” penuntut umum untuk menuntut “hapus” atau “gugur”. Hapus atau gugurnya
kewenagan penuntutan di sebabkan faktor tertentu ytang di sebut dalam ketentuan pasal yang
di bersangkutan.

Mengenai jenis eksepsi ini,yang terpenting di antaranya:

(1) Exceptio judicate atau nebis in idem (Pasal 76 KUHP).


Faktor yang menghapus kewenagan penuntutan dalam eksepsi ini: tindak pidana yang di
dawakan kepada terdakwa,telah pernah di dawakan diperiksa,diadili serta putusanya:
- telah mempunyai kekuatan hukum tetap,dan
- putusanya bersifat “positif,yakni di pidana” atau “dibebaskan” maupun di lepaskan dari
segala “tuntutan hukum”.
(2) Exceptio in tempores (pasal 78 KUHP).
Penuntutan tindak pidana yang di ajukan kepada terdakwa melampaui tenggang batas
waktu yang di tentukan undang undang (That time priscribed by law for bringing such action
or offence has expired).
Seperti di ketahui,Bab VIII KUHP,mulai dari pasal 78 -82,telah mengatur sistem penerapan
kedaluarsa penuntutan pidana.
(3) Terdakwa meninggal dunia
Sesui dengan ketentuan pasal 77 KUHP,kewenagan menuntut pidana “hapus” atas alasan
terdakwa “meninggal dunia”

Putusan bersifat final

Terhadap eksepsi ini, bentuk putusan yang di jatuhkan Pengadilan Negeri adalah “putusan
akir bukan bukan “putusan sela” (interim meascure). Terbuka upaya banding dan kasasi. Apabila putusan
telah berkekuatan tetap , langsung “final”dan “mengikat”,tidak bias di ajukan lagi untuk keduan kalinya.

Perlu di ingat , tanpa ada eksepsi pun apabila persidangan menemukan faktor nebis in idem
ataui kadaluarsa (tempores) dalam perkara yang di periksa. Hakim harus menjadikanya sebagai dasar
putusan dengan amar: menyatakan kewenagan menuntut hapus atau gugur.

c. Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima

patokan untuk mengajukan eksepsi atau untuk menjatuhkan putusan dengan amar:
menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat di terima,apabila tatacara pemeriksaan tidak
memenuhi syarat yang di tentukan atau yang di minta ketentuan undang undang. Ke dalam kelompok
ini antara lain dapat di kemukakan:

(1) Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP.
Pasal 56 ayat (1) mengariskan Miranda rule yang menegaskan, setiap penuntutan atau
persidangan,tersangka atau terdakwa di dampingi penasihat hukum, ketentuan ini merupakan
“syarat yang di minta” undang-undang apabila tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan,di ancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih. Atau bagi yang tidak
mampu atau diancam dengan pidana 5 tahun lebih tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri,pejabat bersangkutan “wajib” menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Apabila
kletentuan pasal 56 ayat (1) tidak di penuhi,dengan pemeriksaan tidak memenuhi syarat yang di
minta undang-undang, yang berakibat “tuntutan penuntut umum tidak dapat di terima” (MA
No.1565 K/Pid/1991, 16 september 1993).
(2) Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi sayarat klacht delict.
Tindak pidana yang didawakan “delik aduan” (klacht delict), tetapi penuntutnya kepada
terdakwa “tanpa pengaduan” dari “korban”atau dari orang yang disebut dalam pasal delik yang
bersangkutan atau tenggang waktu pengaduan yang di gariskan Bab VII (Pasal 72-75) KUHP,tidak
di penuhi,oleh karena itu syarat yang di minta atau ditentukan undang-undang tidak dipenuhi
oleh penyidik dan penuntut umum (tidak ada pengaduan). Berarti tututan penuntut umum
terhadap terdakwa,tidak memenuhi syarat undang-undang,sehingga tuntutan untuk meminta
petanggungjawaban pidana kepada terdakwa “tidak dapat diterima”.
Bentuk dan sifat putusan tidak final
Apabila ada eksepsi ,tetapi ternyata tindak pidana yang di dawakan mengandung pemeriksaan
yang tidak memenuhi syarat yang di minta atau ditentukan undang-undang penyelesain yang harus di
lakukan hakim (Pengadilan Negeri).
- Menjatuhkan “putusan akhir”,
Hakim langsung menjatuhkan putusan akhir,bukan “putusan sela”.
- Terhadap putusan dapat diajukan “upaya hukum” binding dan kasasi.
Akan tetapi perlu diingat, sifat putusan “tidak final” . apabila putusan telah
berkekuatan tetap ,tidak melekat unsur nebis in idem,karena dalam putusan yang
menyatakan tuntutan tidak dapat diterima ,samasekali tidak didasarkan pada materi pokok
dakwaan atau belum menyentuh materi pokok dakwaan pidana yang di dawakan.
Sehubungan dengan itu,perkara pidana tersebut masih bisa ‘’diajukan kembali”
kepada terdakwa apabila melakukan pemeriksaan ulang yang memenuhi persyaratan yang
di minta ketentuan undang-undang. Misalnya, pada kasus klacht delict. Apabila dilakukan
kembali pemeriksaan yang di dasarkan atas pengaduan orang yang berhak untuk itu ,
perkaranya dapat lagi diajukan untuk kali yang kedua.
d. Eksepsi Lepas dari Tuntutan Hukum
eksepsi ini dikontruksi dari ketentuan pasal 67 KUHAP,yang memperkenalkan bentuk putusan
Pengadilan Negeri “lepas dari segala tuntutan hukum” atau onslag van rechtsvervolging.
Selanjutnya apa yang di sebut dalam pasal 67 tentang eksepsi ini,di pertegas lagi dalam pasal
191 ayat (2) KUHAP, yang memberi patokan tentang arti putusan “lepas dari segala tuntutan hukum”,
yakni: “jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,tetapi perbuatan tidak merupakan
sesuatu tindak pidana”.
Dalam praktek, pada umumnya yang sering menjadi dasar untuk menjatuhkan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum, apabila tindak pidana yang didakwakan mengundang sengketa “perdata”
sehingga apa yang didakwakan pada dasarnya termasuk sengketa “perdata” sehingga apa yang
didakwakan pada dasarnya termasuk “sengketa perdata” yang harus di selesaikan melalui proses
peradilan perdata .
Bentuk dan sifat putusan
Bentuk putusan dalam kasus yang seperti ini adalah “putusan akhir”,bukan “putusan sela”. Ada
atau tidak ada eksepsi diajukan,bentuk putusan yang mesti dijatuhkan Pengadilan Negeri , “langsung”
putusan akhir. Terhadap putusan ,tidak dapat di ajukan banding atau “perlawanan” ke Pengadilan
Tinggi. Banding terhadap tuntutan lepas dari tuntukan hukum tidak dibolehkan dari pasal 67 KUHAP.
Sedang perlawanan terhadapnya tidak dibenarkan pasal 156 KUHAP. Upaya hukum yang di benarkan
adalah langsung mengajukan ”kasai” berdasar pasal 243 KUHAP.
Sifat putusan adalah “final”. Apabila putusan telah memperoleh hukum tetap,langsung final.
Tidak dapat di ajukan kembali untuk kedua kalinya kepada terdakwa.
e. Eksepsi Dawaan Tidak Dapat Diterima
salah satu jenis eksepsi yang disebut dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP adalah “dakwaan tidak
dapat diterima “. Akan tetapi ,undang-undang tidak menjelaskan pengertian apa yang dimaksud
dakwaan tidak dapat diterima.
Pengertian yang umum di berikan terhadap eksepsi dakwaan tidak dapat di terima: apabila
dakwaan yang diajukan mengandung “cacat formal” atau mengandung “kekeliuran beracara” (eror in
procedure). Bisa cacat mengenai orang yang didakwa,keliru,susunan atau bentuk surat dakwaan yang
diajukan penuntut umum salah atau keliru. Sehubungan dengan pengertian yang dikemukakan diatas,
jenis eksepsi dakwaan tidak dapat diterima,meliputi:
(1) “eksepsi subjudice”, tindak pidana yang didakwakan sedang tergantung pemeriksanya .
Misalkan,apa yang didakwakan kepada terdakwa, persis sama dengan perkara pidana yang
sedang berjalan pemeriksaaanya di Pengadilan Negeri lain atau pada tingkat banding atau kasasi. Dalam
kasus yang seperti ini,dapat di ajukan eksepsi yang di sebut exceptio letis pedentis atau exception
subjudice .bebarengan dengan i

Anda mungkin juga menyukai