Anda di halaman 1dari 34

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/341832783

Pengaturan CSR dalam UU hingga Permen

Article · June 2020

CITATIONS READS

0 9,200

1 author:

Syamsuddin Radjab
Universitas Islam Negeri Alauddin
24 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Syamsuddin Radjab on 02 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengaturan CSR dalam Undang-Undang hingga Peraturan Menteri
: Suatu Kumpulan Ringkas Norma Hukum

Oleh Syamsuddin Radjab


Alumnus Program Pascasarjana MM-CSR Universitas Trisakti, Jakarta

Selain pengaturan CSR ada dalam Pasal 74 UUPT beberapa peraturan


perundang-undangan juga mengatur CSR dalam Undang-Undang sektoral
tertentu dengan bahasa dan istilah yang berbeda. Undang-Undang tersebut
diantaranya:

1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan


Usaha Milik Negara

Undang-Undang ini mengatur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang


merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian
nasional berdasarkan demokrasi ekonomi untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Sebagai BUMN, merupakan badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. Dalam pengelolaan kekayaan Negara dalam badan usaha
diperlukan profesionalitas yang tinggi dan integritas mumpuni para
pengelolanya.

Dalam ketentuan UU BUMN ini, sangat terasa penerapan konsep Good


Corporate Governance (GCG) yang juga sebagai core subject CSR terkait
tata kelola organisasi pada semua badan usaha yang dimiliki oleh Negara di
pelbagai sektor industri, apalagi menuju konsep Holding BUMN dalam
rangka mempersiapkan perusahaan berkelas dunia. Dalam Pasal 5 ayat (3)
Jo. Pasal 6 ayat (3) UU BUMN secara tegas dinyatakan:

“Direksi, komisaris dan dewan pengawas dalam melaksanakan tugasnya


harus melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi,

1
transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban serta
kewajaran”.

Selain itu dalam kaitan dengan CSR, UU BUMN mengatur beberapa


ketentuan dengan beberapa isu, seperti:

1) Perilaku etis organisasi (fair operating procedures)

Pasal 8 ayat (1):

Anggota Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas tidak berwenang


mewakili BUMN, apabila:

a. terjadi perkara di depan pengadilan antara BUMN dan anggota


Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang bersangkutan;
atau
b. anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang
bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan
kepentingan BUMN.

Pasal 25
:

Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:

a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan


usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan
benturan kepentingan;
b. jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga
pemerintah pusat dan daerah; dan/atau
c. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 33:


Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:

2
a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan
usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan
benturan kepentingan; dan/atau
b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 89:

Anggota Komisaris, Dewan Pengawas, Direksi, karyawan BUMN dilarang


untuk memberikan atau menawarkan atau menerima, baik langsung
maupun tidak langsung, sesuatu yang berharga kepada atau dari pelanggan
atau seorang pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai
imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Praktik Ketenagakerjaan (labour practices)

Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3); Jo. Pasal 45 ayat (2) dan (3):

1) Anggota Direksi diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian,


integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik,
serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan
Persero.
2) Pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui mekanisme uji
kelayakan dan kepatutan.
3) Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan
kepatutan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum
ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota Direksi.

Pasal 87 ayat (1):

“Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan,


pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan
berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan

3
peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan”.

Pasal 87 ayat (2):

“Karyawan BUMN dapat membentuk serikat pekerja sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan”.

3) Pelibatan dan Pengembangan Masyarakat (community involvement


and development)

Pasal 88 ayat (1):

“BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan


pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar
BUMN”.

Terkait Pasal ini, kebijakan menyisihkan sebagian laba BUMN kemudian


dijabarkan menjadi program CSR atau PKBL melalui Peraturan Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007
Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan yang diubah menjadi Peraturan No.
PER-08/MBU/2013.

Pasal 90
:

“BUMN dalam batas kepatutan hanya dapat memberikan donasi untuk


amal atau tujuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.

2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang


Penanaman Modal

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk


memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut, antara lain, telah
dijabarkan dalam Pasal 33 UUDN RI 1945 dan merupakan amanat

4
konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-
undangan di bidang perekonomian.

Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus


berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya
kedaulatan ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi
dengan pelaku ekonomi kerakyatan dimantapkan lagi dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi sebagai sumber hukum materiil. Dengan demikian,
pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi menjadi bagian dari kebijakan dasar penanaman modal.

Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian


dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai
upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan,
meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong
pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Asas-
asas dalam Undang-undang ini sebagimana dijelaskan dalam Pasal 3
diantaranya menganut asas keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.

Berikut beberapa pasal dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Penanaman


Modal yang terkait dengan CSR sebagai berikut:

1) Praktik ketenagakerjaan

Pasal 10: 


1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga


kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. 

2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli

5
warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi
tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja
asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih
teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 11 


1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan


untuk diselesaikan secara musyawarah antara perusahaan
penanaman modal dan tenaga kerja. 

2) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencapai hasil, penyelesaiannya dilakukan melalui upaya
mekanisme tripartit. 

3) Jika penyelesaian sebagaimana, dimaksud pada ayat (2) tidak
mencapai hasil, perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan
hubungan industrial.

2) Tata kelola dan Tanggungjawab sosial

Pasal 15:

Setiap penanam modal berkewajiban:

a) menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; 



b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; 

c) membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan

6
menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; 

d) menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan
usaha penanaman modal; dan 

e) mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. 


Pasal 34 ayat 1:

Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15
dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a) peringatan tertulis; 


b) pembatasan kegiatan usaha; 


c) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal;


atau 


d) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. 


3) Hak Asasi Manusia dan lingkungan

Pasal 16:

Setiap penanam modal bertanggung jawab:

a) menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak


bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 


b) menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika


penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau
menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; 


c) menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik

7
monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; 


d) menjaga kelestarian lingkungan hidup; 


e) menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan


kesejahteraan pekerja; dan 


f) mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. 


Pasal 17:

Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak


terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan
lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang
pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya


alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam
suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu
dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara. Indonesia juga
berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya
ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit
manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau- pulau kecil, dan
punahnya keanekaragaman hayati.

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak


merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya
alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung

8
risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat
mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan
hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.

Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola
dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan,
dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat
memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan
berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi,
serta pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat lokal dan
kelestarian lingkungan.

Perwujudan untuk pemenuhan hak atas lingkungan hidup yaitu dengan


munculnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang telah diubah dengan UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan kemudian diubah
lagi menjadi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH). Apabila UUPPLH ini dikaitkan dengan
CSR, maka subyek aspek lingkungan harus dipenuhi oleh semua
perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan pasal-
pasal yang menyangkut CSR dalam UUPPLH, yaitu:

1) Tujuan UUPPLH

Pasal 3:

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:

a) melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari


pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b) menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c) menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;

9
d) menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan
hidup;
f) menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi
masa depan;
g) menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i) mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j) mengantisipasi isu lingkungan global.

2) Pengendalian Lingkungan Hidup

Pasal 13:

1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup


dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan

3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-
masing.

3) Kewajiban memiliki Amdal

Pasal 22:

10
1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:

a) besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana


usaha dan/atau kegiatan;
b) luas wilayah penyebaran dampak;
c) intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d) banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e) sifat kumulatif dampak;
f) berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g) kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

4) Sebagai Syarat Izin Usaha

Pasal 40:

1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha


dan/atau kegiatan.
2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan.
3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

5) Pembentukan Peraturan Berbasis Lingkungan Hidup

Pasal 44:

Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional


dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup

11
dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

6) Audit Lingkungan Hidup Bagi Dunia Usaha

Pasal 48:

Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk


melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja
lingkungan hidup.

7) Penanggulan dan Pemulihan Lingkungan Hidup

Pasal 53:

1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan


lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan


lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal 54:

1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan


lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan
hidup.

12
2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tahapan: (a). penghentian sumber
pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; (b).
remediasi; (c). rehabilitasi; (d). restorasi; dan/atau (e). cara lain yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 55:

1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36


ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan
fungsi lingkungan hidup.
2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan
pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana
penjaminan.

8) Kewajiban Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya

Pasal 59:

1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan


pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah
kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan
limbah B3.
3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri
pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain.
4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

13
5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan
persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

9) Keterbukaan Informasi dan Kewajiban Lingkungan Hidup

Pasal 62:

1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem


informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan
pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan
terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi
mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup,
dan informasi lingkungan hidup lain.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup
diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 68:

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

1. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan
tepat waktu;
2. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
3. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

14
10) Peran Masyarakat Dalam Lingkungan Hidup

Pasal 70:

1. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-


luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
2. Peran masyarakat dapat berupa:

a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.

3. Peran masyarakat dilakukan untuk:

a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

11) Penyelesaian Sengketa Lingkungan

Pasal 84:

1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui


pengadilan atau di luar pengadilan.
2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara
suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

15
3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

4) Undang-Undang 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas


Bumi

Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis


takterbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang
memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri,
pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara
yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin
agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka memenuhi ketentuan UUDN RI 1945 tersebut, sebelumnya


telah diatur dalam UU No. 44/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi dan UU No. 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara, dalam pelaksanaannya ditemukan berbagai kendala
karena substansi materi kedua Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan sekarang maupun kebutuhan masa depan.

Dalam menghadapi kebutuhan dan tantangan global pada masa yang akan
datang, kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dituntut untuk lebih mampu
mendukung kesinambungan pembangunan nasional dalam rangka
peningkatan kemakmuran, lingkungan yang sehat, jaminan hak masyarakat
adat dan kesejahteraan rakyat.

Beberapa Pasal dalam UU Migas ini yang terkait dengan CSR, diantaranya:

1) HAM, Lingkungan, Pengembangan Masyarakat dan Tenaga Kerja

Pasal 11 ayat 3 huruf j, k, p dan q:

(3) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib

16
memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu:..j.
keselamatan dan kesehatan kerja; 
k. pengelolaan lingkungan hidup;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak
masyarakat adat; dan q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja
Indonesia. 


2) Tanggungjawab Badan Usaha-Pengembangan Lingkungan

Pasal 40 Ayat 5:

(5) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut
bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan
masyarakat setempat. 


5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Gas Bumi

1) Keberlanjutan dan Lingkungan

Pasal 3:


Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang


berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha


pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya
saing; 

b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; 

c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku
dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; 

d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar

17
lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan
internasional; 

e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara,
serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat; dan 

f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara. 


Pasal 10:

Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan:

a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; 



b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi
pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan
lingkungan; dan 

c. dengan memperhatikan aspirasi daerah. 


2) Pengembangan Masyarakat, HAM dan Praktik Ketenagakerjaan

Pasal 79:

IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1)


huruf b sekurang- kurangnya wajib memuat: ...(i) lingkungan hidup,
termasuk reklamasi dan pascatambang; (n) pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; (r)
keselamatan dan kesehatan kerja; (v) pengembangan tenaga kerja
Indonesia; 


3) Kewajiban IUP dan IUPK


Pasal 95

Pemegang IUP dan IUPK wajib:

18
a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; 

b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; 

c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau
batubara; 

d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat; dan 

e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan. 


4) Perlindungan HAM
Pasal 145

(1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dan kegiatan usaha
pertambangan berhak:

a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam


pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 

b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat
pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. 


(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan. 


6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang


Penanganan Fakir Miskin

Tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUDN RI


1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk memajukan

19
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkewajiban mensejahterakan
seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran dan kemiskinan.

Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi tersebut dilakukan


melalui upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas
kebutuhan dasar. Upaya tersebut harus dilakukan oleh negara sebagai
prioritas utama dalam pembangunan nasional termasuk untuk
mensejahterakan fakir miskin. Beberapa Pasal dalam UU ini yang
berhubungan dengan pemberdayaan dan penanganan fakir miskin, yaitu:

1) Pemberdayaan Masyarakat berupa donasi

Pasal 36 Ayat 1:

(1) Sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin, meliputi:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;


b. anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan;
d. dana hibah baik dari dalam maupun luar negeri; dan
e. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.

(2) Dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan sebesar-besarnya untuk
penanganan fakir miskin.

2) Tanggung Jawab Sosial

Pasal 41:

(1) Masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan dan pengawasan


penanganan fakir miskin.

20
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

a. badan usaha;
b. organisasi kemasyarakatan;
c. perseorangan;
d. keluarga;
e. kelompok;
f. organisasi sosial;
g. yayasan;
h. lembaga swadaya masyarakat;
i. organisasi profesi; dan/atau
j. pelaku usaha.

(3) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j berperan
serta dalam menyediakan dana pengembangan masyarakat sebagai
pewujudan dari tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir
miskin.

(4) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas


Bumi

Panas Bumi merupakan energi ramah lingkungan karena dalam


pemanfaatannya hanya sedikit menghasilkan unsur-unsur yang berdampak
terhadap lingkungan atau masih berada dalam batas ketentuan yang
berlaku. Dengan demikian, pemanfaatan Panas Bumi dapat turut
membantu program Pemerintah untuk pemanfaatan energi bersih yang
sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.

21
Panas Bumi saat ini belum dimanfaatkan secara optimal karena sebagian
besar berada pada daerah terpencil dan kawasan hutan yang belum
memiliki prasarana penunjang serta infrastruktur yang memadai.
Keberadaan panas bumi di kawasan hutan konservasi sama sekali belum
dapat dimanfaatkan sehingga pemanfaatan panas bumi perlu ditingkatkan
secara terencana dan terintegrasi guna mengurangi ketergantungan energi
fosil. Selain itu, pemanfaatan panas bumi diharapkan dapat menumbuhkan
pusat pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan perekonomian
masyarakat.

Kebutuhan Indonesia akan energi (energy demand) terus meningkat


seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya
jumlah penduduk, tetapi kebutuhan energi ini tidak diimbangi oleh
penyediaan energinya (energy supply). Sementara itu, sumber energi fosil
semakin berkurang ketersediaannya dan tidak dapat diperbaharui serta
dapat menimbulkan masalah lingkungan sehingga pemanfaatan energi
terbarukan khususnya panas bumi terutama yang digunakan untuk
pembangkitan tenaga listrik perlu ditingkatkan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pengusahaan panas bumi untuk


pemanfaatan tidak langsung atau untuk pembangkitan tenaga listrik
bersifat sangat strategis dalam menunjang ketahanan energi nasional
karena listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik Panas Bumi
dapat dimanfaatkan lintas batas administratif. Dalam jangka panjang harga
listrik yang dihasilkan dari Panas Bumi lebih kompetitif dan lebih andal jika
dibandingkan dengan pembangkit listrik dari fosil sehingga Pemerintah
memandang perlu meletakkan kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi
ke Pemerintah.

Pemerintah fokus melakukan penyelenggaraan Panas Bumi untuk


Pemanfaatan Tidak Langsung yang digunakan sebagai pembangkitan
tenaga listrik. Adapun penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan

22
Langsung dibagi kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Dalam rangka mempercepat pengembangan Panas Bumi
untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, Pemerintah selain diberi
kewenangan melakukan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi juga diberi
kewenangan untuk melakukan Eksploitasi, Pemanfaatan dan
pengembangan masayarakat serta kelestarian lingkungan sekitar.

Beberapa Pasal yang terkait dengan CSR dan UU ini dapat disebutkan
sebagai berikut:

1) HAM, Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 52 Ayat 1:

(1) Pemegang Izin Panas Bumi wajib:

a. memahami dan menaati peraturan perundang-undangan di bidang


keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku;
b. melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup;
c. melaksanakan Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan sesuai
dengan kaidah teknis yang baik dan benar;
d. mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan
bersaing;
e. memberikan dukungan terhadap kegiatan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi;
f. memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan,
pengembangan kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia
di bidang Panas Bumi;

23
g. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat setempat;
h. menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi, Eksploitasi, dan
pemanfaatan kepada Menteri yang mencakup rencana kegiatan dan
rencana anggaran serta menyampaikan besarnya cadangan;
i. menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya; dan
j. menyampaikan laporan tertulis pengusahaan Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Tidak Langsung kepada Menteri secara berkala atas:
(1) rencana kerja dan rencana anggaran; dan (2) realisasi
pelaksanaan rencana kerja dan rencana anggaran.

Pasal 63:

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 paling


sedikit meliputi:

a. Eksplorasi;
b. Studi Kelayakan;
c. Eksploitasi dan pemanfaatan;
d. keuangan;
e. pengolahan data Panas Bumi;
f. keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lindungan lingkungan dan reklamasi;
h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan
rancang bangun dalam negeri;
i. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
j. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
k. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Panas Bumi;
l. penerapan kaidah keteknikan yang baik dan benar; dan

24
m. kegiatan lain di bidang pengusahaan Panas Bumi sepanjang
menyangkut kepentingan umum.

2) Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 65 Ayat 2:

(2) Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Panas Bumi masyarakat berhak


untuk:

a. memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengusahaan Panas


Bumi melalui Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya;
b. memperoleh manfaat atas kegiatan pengusahaan Panas Bumi
melalui kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab
sosial perusahaan dan/atau pengembangan masyarakat sekitar;
c. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam kegiatan
pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
d. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat
kegiatan pengusahaan Panas Bumi yang menyalahi ketentuan.

b) Peraturan Pemerintah (PP)

1) PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan


Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Pemerintah (PP) ini merupakan turunan dari UU No. 4 Tahun


2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP ini beberapa
Pasal yang terkait dengan CSR adalah sebagai berikut:

Pasal 106

25
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK.

(2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan


dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
dan masyarakat setempat.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan


usulan program kegiatan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat kepada bupati/walikota setempat untuk diteruskan kepada
pemegang IUP atau IUPK.

(4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP dan
WIUPK yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan.

(5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan


masyarakat yang berada dekat kegiatan operasional penambangan
dengan tidak melihat batas administrasi wilayah
kecamatan/kabupaten.

(6) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari alokasi biaya program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada anggaran dan
biaya pemegang IUP atau IUPK setiap tahun.

(7) Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat


sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP atau
IUPK.

Pasal 107

Pemegang IUP dan IUPK setiap tahun wajib menyampaikan rencana dan
biaya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat

26
sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran biaya tahunan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
untuk mendapat persetujuan.

Pasal 108

Setiap pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib
menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 109

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pemberdayaan


masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.

2) PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan


Lingkungan Perseroan Terbatas

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab


Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas merupakan peraturan
pelakasana dari Pasal 74 Undang Undang No 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.

Dalam pasal 2 disebutkan:

“Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab


sosial dan lingkungan”.

Hal ini berarti bahwa setiap perseroan yang telah berbadan hukum yang sah
oleh undang undang mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Namun dalam hal ini bukan merupakan kewajiban dari perseroan kecuali
yang diatur dalam pasal 3.

27
Pasal 3 menyatakan:

“Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
berdasarkan Undang-Undang”.

Dari kedua pasal diatas tampak adanya perbedaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan, dimana dibedakan tanggung jawab sosial yang bersifat
filantropi dan tanggung jawab yang bersifat mandatory. Selanjutnya juga
diatur mengenai penganggaran biaya tanggung jawab sosial dan lingkungan
yang dilakukan Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan
setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan
anggaran dasar Perseroan yang memuat rencana kegiatan dan anggaran
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(Pasal 4 ayat 1). Dalam pasal 4 ayat 2 terlihat bahwa tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang dilakukan dapat ditujukan ke Internal stakeholders
perusahaan maupun eksternal stakeholder perusahaan.

Secara keseluruhan peraturan pemerintah ini belum secara rinci


menjelaskan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan oleh
perseroan, berapa batas kewajaran dan bentuk dari pelaksanaannya,
sehingga benar, bahwa ISO 26000 dapat dijadikan pedoman atau panduan
teknis bagi perusahaan yang melakukan kegiatan CSR.

c) Peraturan Menteri (Permen)

1) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.


PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina
Lingkungan yang diubah menjadi Peraturan Menteri
BUMN No. PER-08/MBU/2013.

28
Permen BUMN diatas merupakan tindaklanjut dari dua Undang-Undang;
yaitu UU No. 19/2003 Tentang BUMN dan Pasal 74 UU No. 40/2007
Tentang Perseroan Terbatas. Permen BUMN No. PER-08/MBU/2013
merupakan penyempurnaan permen 2007 yang mengatur tentang Program
Kemitraan BUMN dan Program Bina Lingkungan sehingga Pasal-Pasalnya
ada yang ditambahkan, dihapus dan/atau direvisi untuk memuat
perkembangan dan dinamika sosial masyarakat khususnya dalam pola
kemitraan dan bina lingkungan yang telah dikerjakan oleh perusahaan
BUMN.

Program kemitraan bertujuan BUMN merupakan program unutk


meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri
melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, sedangkan Program
Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat
oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, sehingga
mencakup aspek ekonomi dan lingkungan dalam program CSR (Pasal 1 ayat
6 dan ayat 7).

Dalam Pasal 2 Permen 05/2007 dinyatakan bahwa Perum dan Persero


wajib melaksanakan program kemitraan dan program Bina Lingkungan
(BL) dengan memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sedangkan Persero
Terbuka dapat mealksanakan program kemitraan dan program BL dengan
berpedoman pada peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan
rapat umum pemegang saham (RUPS).

Dana Program Kemitraan bersumber dari: (a) Anggaran perusahaan yang

diperhitungkan sebagai biaya, maksimal 2% dari laba bersih 
tahun


sebelumnya, dan bagi BUMN yang tidak memperoleh laba, besarannya
ditetapkan 
tanpa memperhatikan prosentase tertentu dari laba bersih; (b)
Saldo dana Program Kemitraan yang berasal dari penyisihan sebagian laba
BUMN yang 
teralokasi sampai dengan akhir tahun 2012; (c) Jasa

29
administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa
giro dari dana 
Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional;

dan (d) Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada. 


Sedangkan Dana Program BL bersumber dari:
(a) Anggaran perusahaan


yang diperhitungkan sebagai biaya, maksimal 2% dari laba bersih tahun
sebelumnya, dan bagi BUMN yang tidak memperoleh laba, besarannya
ditetapkan tanpa memperhatikan prosentase tertentu dari laba bersih; (b)
Saldo dana Program BL yang berasal dari penyisihan sebagian laba BUMN
yang teralokasi sampai dengan akhir tahun 2012; dan (c) Hasil bunga
deposito dan/atau jasa giro dari dana Program BL yang masih tersisa dari
dana Program BL tahun sebelumnya, apabila ada (Pasal 9 ayat 2 dan ayat 2
Permen 08/2013). 


2) Peraturan Menteri Sosial No. 6 Tahun 2016 Tentang


Tanggung Jawab Sosial Badan Usaha dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

Permensos ini merujuk pada UU No. 19/2003 Jo. UU No. 25/2007 Jo. UU
No. 40/2007 Jo. UU No. 11/2009 Jo. UU No. 13/2011 dan UU No. 23/2014.
Dalam Permensos ini diatur terkait dengan Tanggung Jawab Sosial Badan
Usaha (TJSBU) dalam upaya kesejahteraan sosial masyarakat agar
terpenuhi kebutuhan materil, spiritual dan sosial agar dapat hidup layak
dan mampu mengembangkan diri dalam fungsi sosialnya.

Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa TJSBU sebagai upaya badan usaha untuk
melaksanakan investasi sosial dalam jangka panjang dengan tujuan: a).
penanganan masalah sosial; b). pengentasan penyandang masalah
kesejahteraan sosial; c). peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat; dan
d). terpeliharanya kelangsungan hidup badan usaha.

30
TJSBU dilaksanakan baik dalam lingkungan internal badan usaha maupun
diluar badan usaha dengan komitmen untuk memberikan kesempatan
kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial tanpa membedakan
suku, agama, warna kulit dan golongan; memperlakukan karyawan dan
keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial berdasarkan kesetaraan
tanpa diskriminasi; meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat
dilingkungan badan usaha; melaksanakan sistem perlindungan dan
jaminan sosial bagi karyawan dan menyediakan pelayanan sosial dasar bagi
karyawan dan keluarganya (Pasal 6).

Badan Usaha juga diharap memiliki komitmen untuk memprioritaskan


rekrutmen karyawan disekitar perusahaan terutama penyandang masalah
kesejahteraan sosial dan membangun sosial secara berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.

Permensos juga mengatur forum TJSBU yang dibentuk oleh menteri sosial
baik ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten. forum ini diharapkan
membantu dan memfasilitasi pelaku usaha dalam melaksanakan tanggung
jawab sosial serta mengsinergikan dengan pelaku usaha lain dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial (Pasal 10). Forum TJSBU terdiri dari
unsur pemerintah, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, perguruan
tinggi dan masyarakat dengan masa bakti secara periodic selama 5 (lima)
tahun (Pasal 15).

Bagi badan usaha yang berprestasi dalam upaya kesejahteraan sosial,


pemerintah memberi penghargaan berupa Padmamitra Award yang
diberikan oleh presiden, menteri, Gubernur, Bupati/Walikota. Permensos
ini merupakan pengganti dari Permensos No. 13 tahun 2012 yang dicabut
sejak keluarnya Pemensos baru ini di era Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa yang ditanda tangani sejak 22 April 2016.

31
Dalam UU sebagaimana diatur diatas mengatur pelaksanaan TJSL/CSR
dengan pendekatan dan konteks yang berbeda-beda termasuk soal isu Hak
Asasi Manusia. Bahkan, UU pengaturan tentang Panas Bumi, UU
Penanaman Modal, UU Pertambangan Mineral dan Gas Bumi,
menyebutkan secara tegas penghormatan dan perlindungan HAM
disamping soal isu ketenagakerjaan, pengembangan masyarakat,
lingkungan dan pemulihan lingkungan dampak operasi. Walaupun tersebar
ke pelbagai perundang-undangan menunjukkan kesadaran pemerintah dan
perusahaan menjalankan kegiatan CSR sebagai tanggungjawab etis atau
tanggungjawab hukum. Yang menjadi soal adalah perusahaan plat merah
milik pemerintah karena ada dua program yang bisa double program baik
dalam penganggaran atau pelaporan yaitu program PKBL dan CSR
sehingga bisa tumpeng tindih dan saling klaim. Disini saya melihat memang
program CSR perlu disinkronisasi dan diselaraskan antar UU guna
membangun persepsi yang sama terkait Pasal dan klausul sepanjang
pengaturan CSR.

Pengaturan PP diharapkan menjadi artikulasi konkrit dari UU agar


memperjelas maksud dan penjabaran peraturan diatasnya. Pengaturan
CSR dan program bina lingkungan terutama dalam PP No. 47/2012 sebagai
turunan UU No. 40 Tahun 2007 belum diatur secara jelas pembedaan
keduanya. Selain itu juga adanya pelimpahan dana program kemitraan ke
perusahaan BUMN lainnya serta PP dimaksud seolah hanya mengatur
perusahaan milik pemerintah sementara perusahaan swasta terkesan
diabaikan dan tidak diatur didalamnya

Secara teknis pengaturan dana CSR menurut UUPT merupakan anggaran


yang bersumber dari biaya operasi perusahaan dan bukan diperhitungkan
dari laba perusahaan sebagaimana Permen BUMN No. PER-05/MBU/2007
yang bertentangan dengan UUPT. Pengaturan PKBL jelas diatur dalam
Permen BUMN, namun soal CSR tidak ditemukan pengaturannya namun

32
dalam praktiknya tetap dilaksanakan. Ini yang saya maksudkan double
program dan pengganggaran kemungkin bisa terjadi dan dapat
disalahgunakan.

Note:
see in the book, CSR and Human Rights: Concepts, Relationships and
Practices in Indonesia. By Syamsuddin Radjab

33

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai