Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ABSTRAK
Ketentuan dalam Bagian Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur tentang Ketentuan-ketentuan
Konversi, termasuk hak eigendom. Dari pernyataan di dalam Pasal 1 Ketentuan-
ketentuan Konversi dapat diartikan bahwa hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai
berlakunya UU a quo sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai
tanah tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21 UUPA yaitu bukan
warga negara Indonesia. Dalam kenyataannya masih banyak orang yang belum
melakukan konversi hak atas tanah sebagaimana ditentukan oleh UUPA. Sebagai
akibatnya muncul sengketa seperti yang ditemukan dalam kasus yang melibatkan ahli
waris AM dan PT. PJ, di mana kedua pihak mengklaim sebagai pemilik tanah dengan alas
hak eigendom. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat permasalahan terkait
pengakuan hak Eigendom menurut ketentuan hukum di Indonesia. Selain itu juga
mekanisme penyelesaian sengketa tanah dengan alas hak Eigendom dalam kasus yang
diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan memakai
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil analisis yang diperoleh
dalam penelitian ini adalah meskipun hak Eigendom sudah tidak diakui, namun untuk
tanah yang masih dilekati dengan hak Eigendom dapat diajukan permohonan hak milik
ke BPN dengan menggunakan surat pernyataan penguasaan fisik yang disaksikan oleh 2
(dua) orang saksi. Adapun penyelesaian sengketa kepemilikan tanah ditempuh
melalui BPN, untuk mengeluarkan keputusan penegasan pihak yang berhak atas tanah,
Pengadilan Negeri setempat untuk pengajuan gugatan, dan atau Kepolisian guna
membuat laporan terjadinya tindak pidana.
1. PENDAHULUAN
Tanah merupakan karunia Tuhan bagi bangsa Indonesia yang oleh negara dikuasai
untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, baik yang dimiliki oleh seorang, kelompok
orang, dan atau badan hukum. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan
dengan cara mendayagunakan tanah. Mereka akan hidup senang dan berkecukupan
apabila dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya, sehingga manusia akan
dapat hidup tenteram dan damai apabila menggunakan hak dan kewajibannya atas tanah
sesuai dengan batas-batas tertentu yang berlaku dalam kehidupan bersama di masyarakat.
Indonesia yang terdiri dari beribu pulau memiliki sumber daya alam yang sangat
berharga di mana keseluruhan itu semestinya digunakan untuk mewujudkan
kesejahteraan bangsa dan negara. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang secara konstitusional memberikan landasan hukum tentang penggunaan bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.1 Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) menegaskan amanat dari konstitusi tersebut, yang
menyatakan bahwa: “Seluruh bumi, air dan luar angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, dalam wilayah republik Indonesia adalah sebagai karunia tuhan
yang maha esa.”2 Dari ketentuan ini dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan bumi, air, dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ditujukan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Pernyataan Pasal 1 ayat (2) UUPA tersebut merupakan pengaturan dari hak
bangsa yang merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah bersama dan menjadi
induk bagi hak-hak penguasaan lain atas tanah. Dari pengertian dalam Pasal 1 ayat (2)
UUPA tersebut dapat dikemukakan bahwa sumber daya alam tanah merupakan bagian
hak berbangsa yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, sehingga hak atas tanah
merupakan hak berbangsa bagi manusia yang secara hukum berisikan penguasaan dan
pemilikan atas tanah tersebut.3
Pengertian tanah dapat dipakai dalam berbagai arti, sehingga penggunaannya
perlu diberi batasan agar dapat diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, tanah diartikan sebagai permukaan
bumi.4 Bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang. Dengan demikian, definisi tanah secara yuridis adalah permukaan
bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi 2 (dua) dengan ukuran panjang dan lebar.”5
Oleh karena itu tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan tersebut
bukanlah kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Mereka hanya
diperbolehkan menggunakannya dengan pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa “sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut
undang-undang ini dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.”
Menurut UUPA, penggunaan tanah untuk mengambil manfaatnya tidak hanya
terbatas pada permukaan bumi saja, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air
serta ruang angkasa yang ada di atasnya. Sedalam apa tubuh bumi itu boleh digunakan
dan seberapa tinggi ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan
penggunaanya dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh
1
Bachtiar Effendie, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 2.
2
Indonesia, Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun
1960, LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043, Ps. 1 ayat (2).
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah
(Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 26.
4
Indonesia, Undang-undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1960,
LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043, Ps. 4 ayat (1).
5
Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, (Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya) Jilid 2, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 18.
6
Ibid.
7
Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, hlm. 26.
8
Elza Syarief, Pensetifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, (Jakarta: Kepustakaan Populer
gramedia, 2014), hlm. 27.
9
Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, hlm. 185.
10
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
hlm. 229.
nama (S. 1834-27) yang dimuat di dalam Engelbrecht 1954.11 Tanah-tanah barat ini
tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum tanah barat. Misalnya mengenai cara
memperolehnya, mengalihannya, menghapus hak tersebut, dan membebankannya dengan
hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban yang mempunyai hak.12
Hak barat yang diatur dalam buku II KUHPerdata berakhir pengakuannya
sebagaimana yang diatur dalam UUPA karena menganut prinsip nasionalitas. Ketentuan
yang mengatur ini dapat dilihat pada Pasal 21 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 36 ayat
(2), Pasal 27 ayat (4), dan Pasal 41 hingga Pasal 45 UUPA dan Peraturan Pemerintah No.
38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak
Milik atas Tanah. Aturan-aturan tersebut mengatur untuk melarang kepemilikan tanah di
Indonesia oleh warga negara asing (WNA).13 Selain itu, juga terdapat hak kepemilikan
asal tanah adat seperti tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah
bengkok, tanah agrarisch eigendom, dan lain-lain.14
Tanah-tanah Indonesia, yaitu tanah dengan hak-hak Indonesia, hampir semuanya
belum terdaftar kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom (S. 1873-38), tanah-tanah milik
di dalam kota-kota karesidenan surakarta (Rijksblad Surakarta 1938 No. 14), tanah-tanah
grant di Sumatra bagian timur.15 Tidak semua tanah-tanah Indonesia menyandang status
tanah hak asli adat, tetapi ada juga yang berstatus buatan atau ciptaan pemerintah Hindia
Belanda, misalnya, tanah agrarisch eigendom yang didasarkan pada ketentuan Pasal 51
ayat 6 IS. Tanah-tanah Indonesia tunduk pada hukum agraria adat, sepanjang tidak
diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu, misalnya untuk hak agrarisch
eigendom berlaku ketentuan yang dimuat di dalam S. 1872-117.16
Sebelum berlakunya UUPA, terdapat beberapa jenis hak atas tanah yaitu bekas
hak milik barat yang disebut Eigendom Verponding dan bekas hak milik adat atau yang
disebut Verponding Indonesia (girik). Untuk tanah-tanah bekas hak milik barat atau
Eigendom Verponding setelah tahun 1960, diberikan kesempatan untuk dikonversi oleh
warga masyarakat yang telah menempati dan menguasai tanah tersebut. Konversi tanah
dilakukan dengan 2 (dua) cara sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, khususnya tentang
aturan konversi, yang meliputi konversi wajib dan konversi atas permohonan pemilik.17
Konversi wajib terhadap tanah-tanah hak barat yang tidak memenuhi syarat kepemilikan,
berlaku hanya selama 1 tahun.18 Adapun konversi atas permohonan dilakukan selama 20
11
Soetojo M, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pelaksanaan Landreform, (Jakarta:: Staf
Penguasa Perguruan Tertinggi, 1961), hlm. 62.
12
Ibid., hlm. 62.
13
Parlindungan A.P., Berakhirnya Hak-hak atas Tanah menurut Sistem UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria) (Bandung: CV Mandar Maju, 2001), hlm. 7.
14
Soetojo M, Undang-Undang Pokok Agraria , hlm. 59.
15
Ibid.
16
Soebekti. R, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1975), hlm. 54.
17
Indonesia, Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5
Tahun 1960, LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043, ketentuan bagian kedua.
18
Andrian Sutedi, Pengakuan Hak Milik Atas Tanah Menurut Undang-undang Pokok Agraria,
(Jakarta: BP Cipta Jaya, 2006), hlm. 158.
tahun dan berakhir pada tahun 1980.19 Pengertian mengenai konversi merupakan
perubahan lama hak atas tanah menjadi hak baru, pengertian dari “hak lama” adalah hak-
hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA sedangkan “hak baru” adalah hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA.20
Pengaturan mengenai hak Eigendom itu sendiri terdapat di Pasal 570 Buku II
KUHPerdata dan telah dinyatakan dicabut setelah berlakunya UUPA. Kemudian, Pasal I
ayat (1) sampai Pasal XI Bagian Kedua UUPA mengatur tentang ketentuan-ketentuan
konversi hak atas tanah termasuk di dalamnya hak Eigendom menjadi hak milik. UUPA
tidak mengatur mengenai definisi konversi hak atas tanah. Namun, pengertian konversi
hak atas tanah itu sendiri adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak tanah yang ada
sebelum berlakunya UUPA (dalam hal ini, hak Eigendom) untuk masuk dalam sistem
dari UUPA, yakni kegiatan menyesuaikan hak-hak atas tanah lama menjadi hak-hak atas
tanah baru yang dikenal dalam UUPA.21
Akan tetapi pengaturan mengenai lamanya batas waktu dilakukannya konversi
adalah selama 20 tahun (dua puluh) sejak diundangkannya UUPA yaitu sampai dengan
tanggal 24 September Tahun 1980. Apabila atas objek tanah tersebut tidak dilakukan
konversi maka hak Eigendom tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.22
Pentingnya untuk memenuhi persyaratan konversi tanah hak Eigendom salah satunya
untuk dijadikan sebagai objek jaminan, yang mana pada saat ini tanah tidak hanya
dianggap sebagai tempat bermukim, namun juga dipakai sebagai jaminan untuk
mendapatkan pinjaman di bank, untuk keperluan jual beli, sewa menyewa. Begitu
pentingnya, kegunaan tanah bagi kepentingan umum bagi orang atau badan hukum
sehingga sangat diperlukan adanya jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut.23
Berdasarkan ketentuan konversi dalam UUPA yang dipertegas dengan
diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang
Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-Hak Barat (selanjutnya disebut Keppres No 32 Tahun 1979), bahwa setelah
dilakukan konversi dari Keppres No 32 Tahun 1979 dimaksudkan untuk menghilangkan
bekas kepemilikan barat, yang mana apabila bagi tanah-tanah yang tidak diselesaikan
haknya, maka akan kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.24 Aturan tersebut
diterbitkan guna menyelesaikan masalah yang timbul akibat berakhirnya jangka waktu
konversi hak barat selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. Dalam Pasal 2
Keppres No 32 Tahun 1979 dijelaskan bahwa kepada pemegang hak bekas Eigendom
akan diberikan hak baru apabila memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggunakan
sendiri tanahnya tersebut.25 Apabila masyarakat dapat memenuhi persyaratan untuk
19
Ibid., hlm. 158.
20
Ibid.
21
Parlindungan, A.P, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Bandung: Mandar Maju, 2007),
hlm. 1.
22
Perlindungan, Berakhirnya Hak-Hak atas tanah menurut sistem UUPA, hlm. 7.
23
Florianus, S.P Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, (Jakarta: Visi Media, 2008),
hlm. 1.
24
Ibid., hlm. 17.
mengajukan permohonan hak, maka tentu saja kepastian hukum dapat diperoleh.
Kepastian hukum dengan terpenuhinya syarat tersebut adalah melalui diterbitkannya
data-data tanah yang sudah diketahui sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi tanah
yang dimohonkan pensertipikatannya.26
Sengketa kepemilikan tanah bermunculan terkait konversi hak Eigendom,
terutama tanah yang sempat ditinggalkan atau ditelantarkan pemiliknya. Banyak orang
berusaha mendapat atau merebut pengakuan atas tanah bekas hak Eigendom entah yang
telah kembali dikuasai negara atau secara de facto digarap lewat keterangan garap atas
tanah atau populer dengan istilah hak atas, yang berkebalikan dengan pemegang titel
eigendom yang memegang hak bawah.27
Dalam kenyataannya, konversi hak atas tanah bekas Eigendom merupakan
persoalan yang sulit. Hal ini di antaranya disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai
ketentuan hukum yang berlaku seperti yang dialami oleh pemegang hak Eigendom atas
suatu tanah. Banyak pemilik tanah yang beralaskan hak Eigendom tidak atau belum
mengetahui ketentuan hukum pertanahan sehingga pada akhirnya beberapa dari mereka
ditipu dan diperdaya oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan atas tanah-tanah
yang dimilikinya. Ketiadaan atau kurangnya pengetahuan ini pada akhirnya berdampak
pada ketidakpatuhan pemilik tanah dengan hak Eigendom tersebut karena mereka tidak
melakukan konversi. Sebagai akibatnya, tanah yang dikuasainya dianggap sebagai tanah
yang tidak diketahui pemiliknya. Sehingga tanah tersebut tidak bisa diperjualbelikan dan
tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Sedangkan apabila seseorang selama
waktu yang lama membiarkan tanah yang ia miliki tidak dikerjakan dan tanah itu ternyata
dikerjakan orang lain, maka berdasarkan rechtsverwerking atau kaidah sita, maka
hilanglah hak yang mula-mula ia miliki tersebut dan ia pun tidak berhak menuntut haknya
kembali.28 Persoalan semacam ini menyulitkan pemerintah dalam melaksanakan tertib
administrasi terkait konversi tanah-tanah hak Eigendom menjadi tanah dengan hak-hak
penguasaan yang diatur dalam hukum tanah nasional.
Masih banyak hak atas tanah barat seperti hak Eigendom yang belum dikonversi,
akan tetapi tanah tersebut bahkan dikuasai oleh pihak lain.29 Sebagai salah satu contoh,
kasus yag diangkat tentang kepemilikan tanah hak Eigendom dengan nomor 57XX AM
yang tanahnya dikuasai oleh pihak lain dengan menggunakan Eigendom dengan nomor
52XX yaitu PT. PJ. permasalahan kasus ini menarik untuk diteliti karena berkaitan
dengan implementasi konversi hak Eigendom di Indonesia yang hingga saat ini dapat
dinyatakan sebagai belum efektif karena secara empiris masih banyak tanah yang
penguasaannya didasarkan pada hak barat. Selain itu permasalahan ini dapat memberikan
25
Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam
Rangka Pemerian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Keppres No. 32 Tahun 1980, Ps.
2.
26
Syarief, Pensertipikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, hlm. 71.
27
Syarief, Pensertipikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, hlm. 5.
28
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya:
Arkola, 2002), hlm. 90-91.
29
Eko Wahyudi, “BPN Terima 9.000 Kasus, Setengahnya Terkait Mafia Tanah” diakses pada
website: www.bisnis.tempo.co/kasus-mafia-tanah, pada 05 Maret 2021.
kepedulian terkait perlindungan hukum bagi pemegang hak Eigendom yang tanahnya
dikuasai oleh pihak lain dengan hak yang sama.
Dalam penelitian ini, meskipun juga menstudi tentang hak Eigendom, namun
perbedaannya dengan kedua riset sebelumnya adalah pada permasalahan pokok yang
diangkat untuk diteliti. Dalam penelitian ini, permasalahan utamanya adalah klaim atas
tanah yang disengketakan di mana kedua pihak sama-sama menggunakan dasar hak
Eigendom. Sedangkan dalam kedua riset sebelumnya adalah berkaitan dengan kalim atas
tanah yang disengketakan yang mana salah satu pihak menggunakan hak Eigendom dan
pihak lainnya menggunakan Erfpacht. Sengketa kepemilikan tanah yang dipilih untuk
diteliti adalah sengketa yang melibatkan ahli waris AM dengan PT. PJ. ahli waris AM
adalah pemegang hak Eigendom 57XX yang terletak di jalan Perintis Kemerdekaan, yang
pada tahun 2004 melakukan penguasan fisik terhadap tanahnya sendiri. Namun perbuatan
ahli waris AM tersebut dilaporkan oleh PT. PJ atas dasar penyerobotan tanah, dengan
menggunakan ketentuan dalam Pasal 167 KUHP. Akan tetapi berdasarkan surat
penetapan penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh polres Jakarta Timur,
ahli waris AM tidak terbukti melakukan apa yang dituduhkan oleh PT. PJ atas dasar SP3
tersebut polres Jakarta Timur memohonkan pengembalian batas kepada Badan
Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Jakarta dan hasilnya adalah menyatakan bahwa
bukti kepemilikan PT. PJ dengan dasar HGB Nomor 2X yang berasal dari hak Eigendom
52XX berada di bagian selatan hak Eigendom 57XX. Selanjutnya tanah tersebut
dieksekusi oleh PT. PJ dan dilakukan pemagaran di sekeliling area yang bersangkutan.
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengakuan hak Eigendom dalam ketentuan hukum di Indonesia
Hak Eigendom merupakan hak atas tanah individu tertinggi dalam KUHPerdata.
Oleh karena hak Eigendom masih bersumber dari KUHPerdata, maka diperlukan
konversi atas hak tanah tersebut. Konversi hak-hak atas tanah adalah penyesuaian hak
lama atas tanah menjadi hak baru menurut UUPA30, yang mana konversi bertujuan untuk
agar terbentuknya unifikasi hukum pertanahan nasional dan menghapus konsep individu
dalam hukum pertanahan nasional. Dalam Bab ini dijabarkan analisis tentang sengketa
kepemilikan tanah dengan hak Eigendom dalam kasus yang diangkat untuk diteliti, dalam
hal ini adalah kasus yang melibatkan ahli waris AM dengan PT. PJ yang bermula dari
penguasaan fisik yang dilakukan oleh ahli waris AM dengan menggunakan dasar hak
Eigendom 57XX yang mana atas perbuatan tersebut PT. PJ melaporkan pihak ahli waris
AM atas dasar memasuki pekarangan tanpa izin. Dimana selanjutnya ahli waris AM tidak
terbukti dalam penyidikan akan tetapi selanjutnya PT. PJ malah melakukan penguasaan
fisik tanah tersebut.
2.2 Konversi Hak Atas Tanah dalam Kasus Hak Eigendom Nomor 57XX
Konversi hak-hak atas tanah adalah penyesuaian hak lama atas tanah menjadi hak
baru menurut UUPA.31 Sedangkan menurut A.P Parlindungan, konversi hak-hak atas
30
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Raya, 2004), hlm. 80.
31
Chomzah, Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia, hlm. 80.
tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya
UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA.32 Dalam UU a quo terdapat 3 (tiga) jenis
konversi, seperti yang dituliskan dalam ketentuan UUPA di bagian kedua tentang
konversi:33
a. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak barat;
b. Konversi hak atas tanah, berasal dari hak Indonesia;
c. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja.
Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, hak-hak atas tanah yang
diatur oleh hukum perdata Eropa yang dimuat dalam KUHPerdata tentang benda
dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak-hak atas tanah yang diatur dalam buku kedua
KUHPerdata itu diantaranya adalah hak Eigendom, hak Erfpacht, dan hak Opstal,
dialihkan atau diubah masing-masing kedalam salah satu hak atas tanah yang tercantum
dalam Pasal 16 UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
dan hak sewa.34
Konversi harus dilakukan sebagai akibat dari adanya penggantian atas hukum
agraria yang tunduk kepada hukum barat, diubah menjadi hukum agraria yang harus
masuk ke dalam sistem UUPA. Pasal 1 ayat (1) ketentuan-ketentuan konversi UUPA
menetapkan: “Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang
ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi
syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21”. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa
si pemilik tanah harus WNI sesuai dengan ketentuan yang dituliskan di dalam Pasal 21
UUPA.
Dengan demikian setiap hak atas tanah bekas hak Eigendom dapat dikonversi
menjadi hak milik apabila pada saat itu pemiliknya adalah WNI. Seperti yang ditegaskan
melalui ketentuan Pasal 9 UUPA yang menyebutkan bahwa hanya WNI saja yang boleh
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.35 Begitu
pula pernyataan di dalam Pasal 54 UUPA bahwa konversi dari hak Eigendom bergantung
kepada kewarganegaraan Indonesianya pada tanggal 24 September 1960.36 Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut
PMA No 2 Thn 1960). Di dalam Pasal 2 PMA No 2 Thn 1960 dinyatakan bahwa hak
32
Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, hlm. 21.
33
Periksa ketentuan di dalam UU No. 5 Tahun 1960, Bagian Kedua Ketentuan Konversi.
34
Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun
1960, LN No. 10 Tahun 1960, TLN No 2043, Ps. 16.
35
Periksa ketentuan Pasal 9 UUPA yang menyatakan bahwa: “(1) Hanya warganegara Indonesia
dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2. (2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat
manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
36
Periksa ketentuan Pasal 54 UUPA yang menyatakan bahwa “Berhubung dengan ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok telah menyatakan menolak kewarganegaraan
Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia
dianggap hanya berkewarganegaraan Indonesia saja menurut Pasal 21 ayat (1).”
37
Parlindungan, A.P, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung; Mandar Maju,
1998), hlm. 247.
38
Wawancara dengan Bapak AP, Kepala Subbagian Hukum pada Sekretariat Direktorat Jenderal
Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN RI, tanggal 13 April 2021.
tentang pengakuan hak lama, agar tidak ada tumpang tindih ketentuan konversi terhadap
hak Eigendom.
Setelah berlakunya UUPA, terhadap tanah-tanah bekas hak Eigendom yang belum
sempat didaftarkan konversi dan ditelantarkan ataupun sempat ditinggalkan oleh pemilik-
pemiliknya tersebut, banyak menimbulkan masalah karena dikuasai oleh pihak lain dan
menimbulkan sengketa kepemilikan atas tanah tersebut. Walaupun dalam kasus AM
sudah kehilangan haknya karena sudah kembali dikuasai oleh negara, akan tetapi mereka
tetap mempunyai data fisik dan data yuridis. Adapun data fisik terdapat dalam Pasal 1
angka 6 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan bahwa:
”data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan
rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan di atasnya.”39 Begitu pula hak Eigendom 57XX yang di dalamnya terdapat
keterangan luas, batas-batas tanah tersebut, dan letak tanah tersebut.
Terkait data yuridis, ketentuan dalam Pasal 1 angka 7 PP 24 Tahun 1997
menjelaskan definisinya yaitu sebagai keterangan mengenai status hukum bidang tanah
dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-
beban lain yang membebaninya.”40 Demikian halnya bukti peralihan hak Eigendom
57XX yang mana AM membeli tanah tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku, dan
juga bukti pembayaran pajak tanah yang menunjukkan bahwa AM telah menjalankan
kewajibannya untuk membayar pajak.
Selanjutnya peraturan terakhir yang mengatur terkait pengakuan hak Eigendom saat
ini adalam terdapat dalam Pasal 95 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran tanah
(selanjutnya disebut PP No 18 Tahun 2021) yang menyatakan bahwa alat bukti tertulis
tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara.
Adapun dalam Pasal 95 ayat (2) mengatur terkait cara pendaftaran tanah bekas hak
barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mendasarkan pada surat pernyataan
penguasaan fisik yang diketahui 2 (dua) orang saksi dan bertanggung jawab secara
perdata dan pidana, yang menguraikan:
a. “Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang
lain dan statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara bukan
tanah bekas milik adat;
b. tanah secara fisik dikuasai;
c. penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka
oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; dan
d. penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.”41
39
Periksa ketentuan Pasal 1 angka 6 PP No 24 Thn 1997 yang menyatakan bahwa: “Data fisik adalah
keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.”
40
Periksa ketentuan Pasal 1 angka 7 PP No 24 Thn 1997 yang menyatakan bahwa: “Data yuridis
adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang
haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.”
41
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah
Susun, dan Pendaftaran Tanah, PP No 18 Tahun 2021, Ps. 95 ayat (2).
Pengakuan hak Eigendom dalam hukum indonesia pada saat ini ialah sudah
dinyatakan tidak berlaku dan hak tersebut statusnya langsung dikuasai oleh negara.
Adapun terkait pendaftaran tanah dari hak Eigendom tersebut dalam PP 18 Tahun 2021
tersebut masih sejalan dengan Pasal 24 PP No 24 Tahun 1997 yang mendasarkan
melaluisurat pernyataanpenguasaan fisik yang diketahui oleh 2 orang saksi yang mana
ketertangan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
2.3 Penyelesaian sengketa tanah yang beralaskan hak Eigendom sebagai dasar
kepemilikan oleh para pihak
Permasalahan konversi hak Eigendom yang dikuasai oleh pihak yang tidak berhak
seharusnya dapat diselesaikan melalui beberapa cara. Cara-cara tersebut diantaranya
adalah Pertama melalui mekanisme ajudikasi (administrative tribunal oleh BPN), Kedua
melalui mekanisme litigasi (peradilan oleh pengadilan), dan Ketiga melalui mekanisme
pidana. Berikut akan penulis paparkan dalam sub-sub bab dibawah ini
42
Wawancara dengan Bapak KQ, Pengadministrasi Umum pada Sekretariat Direktorat Jenderal
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN RI, tanggal 13 April 2021.
43
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 24.
tersebut. Untuk itu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, dibentuk
badan pertanahan nasional (BPN) yang disusun dengan memperhatikan sisi dan aspek
aspirasi dan peran serta masyarakat guna dapat menunjang kesejahteraan umum.
Sehingga BPN berperan dalam membantu dan melayani masyarakat dalam mendapatkan
haknya dibidang pertanahan, serta dalam membantu masyarakat untuk dapat menemukan
jalan penyelesaian bila mana terdapat sengketa antar masyarakat mengenai haknya
dibidang pertanahan.44
Ketentuan yang mengatur tentang BPN telah mengalami beberapa perubahan yang
mana peraturan tersebut pada awalnya muncul dengan Keputusan Presiden Nomor 26
tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional yang mengamanatkan BPN yang
sebelumya berstatus direktorat jendral agraria ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah
non departemen dengan nama badan pertanahan nasional. Dengan lahirnya Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tersebut, badan pertanahan nasional bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Selanjutnya dari tahun 1990 hingga sebelum masa
kepemimpinan Presiden Joko Widodo tidak ada perubahan secara signifikan dari pada
kelembagaan BPN itu sendiri. Hingga saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo
sejak 27 Oktober 2014 dibuat kementerian baru bernama kementerian agraria dan tata
ruang Indonesia, sehingga badan pertahanan nasional berada di bawah naungan menteri
agraria dan tata ruang. Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2015 tentang Badan Pertanahan Nasional.45
Salah satu dari kewenangan BPN adalah menerima pengaduan dari masyarakat
terkait penerimaan pengaduan, mekanisme pemrosesan pengaduan dari masyarakat
tersebut terbagi menjadi dua. Pertama adalah dalam hal ternyata terdapat dugaan kuat,
bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka lebih lanjut lagi diselesaikan melalui
tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan dilakukannya peralihan atas tanah
tersebut dengan menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa. Kedua, dalam hal
pengaduan tersebut tidak menrgandung alasan-alasan yang kuat atau masalahnya terlalu
prinsipil dan harus menempuh proses lembaga atau instansi lain. Maka kepada yang
bersangkutan diberitahukan hal-hal tersebut dan ternyata dinyatakan bahwa pengaduan
tidak atau belum dapat dipertimbangkan.
Terhadap pengaduan yang diproses lebih lanjut, menteri agraria dan tata ruang/
kepala badan pertanahan nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan
dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (selanjunya disebut Permen ATR/BPN No 21 Tahun
2020). Di dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (1) disebutkan bahwa penanganan sengketa dan
konflik dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:46
44
Rendra Onny Fernando Chandra, “Penyelesaian Sengketa Sertipikat Ganda Hak Atas Tanah
Menurut Pp No.24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah”, Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol 26, No
3, (Februari 2020), Hlm. 358 – 371.
45
Kementrian ATR/BPN, “Sekilas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan
Nasional,” https://www.atrbpn.go.id/?menu=sekilas, diakses pada 20 April 2021.
46
Indonesia, Menteri ATR/BPN, Peraturan Mentri Agraria/ Kepala BPN tentang Penanganan dan
Penyelesaian Kasus Pertanahan, Permen Nomor 21 Tahun 2020, Ps. 6 Ayat (1).
a. Pengkajian Kasus;
b. Gelar awal;
c. Penelitian;
d. Ekspos hasil Penelitian;
e. Rapat Koordinasi;
f. Gelar akhir; dan
g. Penyelesaian Kasus.
Dalam kasus yang diangkat melalui penelitian ini, setelah ahli waris AM melalui
kuasanya melakukan pelaporan kepada BPN, selanjutnya BPN memproses pengaduan
tersebut sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Pasal 6 Ayat (1) Permen
ATR/BPN No 21 Tahun 2020. Kuasa hukum ahli waris AM selanjutnya harus membawa
legalitas daripada kepemilikan tanah yang akan menguatkan dasar kepemilikannya dalam
proses ini, yang mana bukti legalitas tersebut diantaranya hak Eigendom 57XX, Surat
pembayaran PBB atas nama AM beserta nomor objek pajak, surat perintah penghentian
penyidikan (SP3) dari Polres Jakarta Timur yang menyatakan bahwa ahli waris AM
dalam hal ini tidak terbukti melakukan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin
yang dilaporkan oleh pihak PT. PJ, dan surat pengembalian batas yang dikeluarkan oleh
BPN kantor wilayah Jakarta atas permintaan Polres Jakarta Timur setelah mengeluarkan
SP3.
Adapun isi surat pengembalian batas yang dikeluarkan oleh BPN kanwil Jakarta
menyebutkan bahwa dasar yang digunakan oleh PT. PJ dalam hal menguasai tanah ahli
waris AM yaitu hak Eigendom 52XX yang telah dikonversi menjadi HGB Nomor 2X
terletak disebelah Selatan dari pada hak Eigendom 57XX. Dengan menggunakan bukti-
bukti legalitas yang telah penulis sebutkan sebelumnya, sudah cukup untuk membuktikan
bahwa pemilik tanah yang disengketakan adalah ahli waris AM dan ditanah tersebut tidak
termasuk kedalam permasalahan tumpang tindih (overlapping), maka tidak diperlukan
upaya hukum untuk membatalkan bukti kepemilikan dari pada PT. PJ yaitu HGB Nomor
2X.
Setelah masuk ke dalam proses terakhir yaitu penyelesaian kasus, BPN
mengeluarkan hasil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Permen ATR/BPN No 21
Tahun 2020 bahwa,47 penanganan kasus dinyatakan dengan kriteria:
Oleh karena kasus sengketa kepemilikan tanah antara ahli waris AM dengan PT. PJ
bukan termasuk tumpang tindih atau overlapping, sehingga kriteria satu dalam Pasal 17
huruf a tidak relevan mengingat keadaannya. Adapun hasil yang sesuai dengan ketentuan
tersebut adalah dengan dikeluarkannya Surat Penetapan Pihak yang berhak akan tetapi
belum dapat ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya.
48
Ibid.
49
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [burgerlijk wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan
R. Tjitrosudibio, Cet 37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Ps. 1365.
50
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 3.
51
Ibid.
kurang hati-hatinya.”52 Apabila mencermati dari beberapa asas yang melingkupi dari
hukum pertanahan nasional terhadap para pemegang hak atas tanah, seperti yang
ditegaskan oleh Boedi Harsono, yaitu:53
1. Pengusaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan
apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah
nasional;
2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal),
tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU Nomor 51 Prp
1960);
3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan
oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari
pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat, maupun oleh pihak
penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya;
4. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak
manapun kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah
kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya,
termasuk juga penggunaan lembaga penwaran pembayaran yang diikuti
dengan konsinyasi pada pengadilan negeri (Pasal 1404 KUHPerdata).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun
1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Bersangkutan Atau Kuasanya,
dalam Pasal 1 ayat (3) pemakaian tanah tanpa izin meliputi upaya menduduki,
mengerjakan dan/atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau
bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan
sendiri atau kuasanya.54 Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa dilarang memakai
tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.55
Adapun dalam kasus Tuan AM, setelah mendapatkan hasil yang sesuai dengan surat
penetapan pihak yang berhak, maka ahli waris AM melalui kuasa hukumnya dapat
menempuh upaya hukum. Hal tersebut adalah untuk menindaklanjuti keputusan
penyelesaian sengketa tanah melalui mekanisme mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri dengan melakukan somasi terlebih dahulu terhadap PT. PJ karena telah menguasai
tanah keluarga ahli waris AM berdasarkan keadaan yang terdapat di lapangan seperti
membuat pagar beton di sekeliling tanah dan memasang papan kepemilikan atas nama
PT. PJ.
Tindakan tersebut menyebabkan kerugian terhadap keluarga ahli waris AM karena
tidak dapat memperoleh haknya dari tanah tersebut yakni untuk menjual atau
mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain. Perbuatan yang telah dilakukan oleh PT.
PJ dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dalam Pasal
52
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [burgerlijk wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan
R. Tjitrosudibio, Cet 37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Ps. 1366.
53
Boedi Harsono, Tinjuan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang, Dan Masaakan Datang,
(Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 16.
54
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak
atau Kuasanya, PP No. 51 Tahun 1960, Ps. 1 ayat (3).
55
Ibid., Ps. 2.
1365 KUHPerdata karena unsur kelalaiannya karena melakukan penguasaan tanah yang
bukan haknya sehingga menimbulkan kerugian terhadap keluarga ahli waris AM.56
57
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht], diterjemahkan oleh Tim
Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), Ps. 167.
58
P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm.
80.
Dari kedua terjemahan yang telah disampaikan, delik (tindak pidana) pokok diatur
dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP. Pasal 167 ayat (2) berisi tafsiran yang diperluas terhadap
unsur “memaksa masuk” dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP. Selanjutnya Pasal 167 ayat (3)
dan (4) merupakan alasan-alasan untuk memberatkan pidana.
Unsur-unsur dari tindak pidana Pasal 167 ayat (1) KUHP, yaitu:59
1. Barangsiapa; adalah subjek tindak pidana, di mana dalam sistem KUHP yang
berlaku pada saat ini, yang dapat menjadi subjek tindak pidana hanyalah
manusia sebagai individu saja, sedangkan korporasi tidak dapat menjadi subjek
tindak pidana. Berbeda halnya dengan tindak pidana yang terdapat dalam
undang-undang di luar KUHPidana, di mana ada yang sudah mengakui
korporasi sebagai subjek tindak pidana, misalnya dalam kaitannya dengan
tindak pidana korupsi;
2. Memaksa masuk; mengenai pengertian dari kata-kata “memaksa masuk”
diberikan uraian penjelasan oleh S.R. Sianturi bahwa: “yang dimaksud dengan
memaksa masuk ialah memasuki (suatu rumah dan sebagainya) bertentangan
dengan kehendak dari orang lain sipemakai yang sekaligus merupakan sipehak
(yang berhak);
3. Ke dalam rumah; ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain
dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum. Dari
unsur ini terlihat bahwa ada dua macam tujuan dari memaksa masuk, yaitu (a)
ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai oranglain
dengan melawan hukum; atau (b) berada di situ dengan melawan hukum.
4. Atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera.
Berkenaan dengan unsur ini diberikan keterangan oleh S.R. Sianturi bahwa:
“yang dimaksud dengan atas permintaan dari sipehak atau atas namanya ialah
suatu perintah, suruhan, himbauan, saran ataupun gerakan maupun dengan
tulisan (jika sipehak tidak bisa bicara) yang dapat dimengerti sipetindak dan
pada pokoknya menghendaki sipetindak itu segera pergi.” Dalam hal ini yang
penting ialah sipetindak mengerti permintaan itu dan tidak harus diulang-ulang
baru dipandang sempurna terjadi delik ini.
Dalam kaitannya dengan sifat abstrak dari korporasi yang tidak memungkinkan
bahwa korporasi tidak dapat melakukan suatu tindak pidana, sehingga yang hanya dapat
melakukan suatu tindak pidana adalah manusia. Namun dalam hal ini korporasi
merupakan badan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Menurut Ernst Utrecht
mendefinisikan badan hukum sebagai badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang)
menjadi pendukung hak, atau badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak
berjiwa atau kebih tepat bukan manusia.60
Jika unsur-unsur yang telah dijelaskan tersebut dikaitkan dengan perbuatan PT. PJ,
maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pertama dalam hal unsur barang siapa di sini memang menurut KUHPidana tidak
dapat memidanakan subjek hukum yang bukan manusia dalam hal ini PT. PJ
sebagai korporasi, yang mana korporasi termasuk kedalam subjek hukum,
59
Haezer M. M. Tumilaar, “Tindak Pidana Memasuki Rumah, Ruangan, Pekarangan Berdasarkan
Pasal 167 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” Lex Crimen Vol. 8 No. 1 (Januari 2018), hlm.
7.
60
Ridwan Khairandy, Hukum Perseroan Terbatas, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hlm. 16.
61
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht] Ps. 551.
62
P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, hlm. 225.
tidak mesti ada rumah di atas sebidang tanah tersebut dan juga tidak mesti harus
merupakan suatu pekarangan yang tertutup”.63
Perbedaan yang terpenting adalah pada Pasal 551 KUHP terdapat unsur bahwa atas
tanah itu “secara nyata dinyatakan sebagai terlarang untuk dimasuki”. Sehubungan
dengan ini oleh Sianturi dikatakan bahwa, yang dimaksud dengan: untuk memasukinya
dilarang secara jelas, ialah bahwa yang berhak itu telah melalukan sesuatu, sehingga siapa
saja yang akan memasukinya jelas memahamibahwa tidak boleh memasuki tanah
tersebut. Bagi yang melek huruf adalah lebih ringkas jika pada suatu papan ditulisi
“DILARANG MASUK TANAH INI”.64
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 551 KUHP ini ditujukan untuk
tanah-tanah yang di atasnya belum didirikan suatu rumah ataupun apabila telah ada rumah
maka rumah itu biasanya tidak didiami. Untuk tanah-tanah seperti ini, merupakan sesuatu
yang biasa jika pemiliknya menempatkan suatu tulisan untuk dilarang masuk.
Selanjutnya PT. PJ dalam hal ini juga dapat dijerat menggunakan Pasal 551
KUHP, karena telah terbukti tidak memiliki hak dan pembongkaran atas bangunan
terhadap tanah yang sudah didirikan plang kepemilikan tanah tersebut oleh ahli waris AM
dengan hak Eigendom 57XX. Dalam hal ini ahli waris AM telah secara nyata menyatakan
bahwa dilarang masuk kepada yang tidak berhak, sehingga perbuatan tersebut dapat
dijerat juga dengan Pasal 551 KUHP.
63
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983),
hlm. 692.
64
Ibid, hlm. 691.
65
Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 80.
“Capitastrum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk
pajak tanah romawi (Capotatis Terrens).66 Jadi pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan,
mengolah, dan menyimpan dan menyajikan data tertentu dengan tujuan tertentu,
sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah
dalam rangka menjamin kepastian hukum. Pasal 19 ayat (2) UUPA yang menyatakan
bahwa kegiatan pendaftaran tanah meliputi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Pengukuran, perpetaan, danpembukuan tanah
2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
Berkaitan dengan pendaftaran tanah sebagai tindak lanjut atas perintah pendaftaran
tanah (Pasal 19 UUPA), maka diterbitkan PP 10 Tanah 1961 dan kemudian diperbarui
dengan PP 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak merubah prinsip
yang telah dikembangkan oleh Pasal 19 UUPA. PP 24 Tahun 1997 yang memperbarui PP
10 Tahun 1961 tetap mempertahankan tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah,
yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum
di bidang pertanahan (suatu Recht Kadaster atau Legal Cadaster). Recht Kadaster, yaitu
dalam arti suatu pendaftaran yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum jika
merupakan alat pembuktian yang kuat dan kepada para pemegang hak atas tanah
diberikan surat tanda bukti hak.
Serifikat merupakan suatu tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data
fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah yang bersangkutan (Pasal 32 PP 24 tahun 1997).
Seripikat tanah yang diberikan akan memberikan arti dan peran penting bagi
pemegang hak yang bersangkutan, yang dapat berfungsi bagi pemiliknya, antara lain:
1. serifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat,
seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak
atas suatu bidang tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam seripikat atas tanah,
apabila terjadi persengketaan terhadap tanah yang bersangkutan.
2. Serifikat atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditur
untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya yang berfungsi sebagai jaminan
pelunasan jaminan suatu hutang.
3. Bagi pemerintah, adanya seripikat hak atas tanah juga sangat
menguntungkan, data pertanahan sangat penting untuk perencanaan kegiatan
pembangunan, adanya seripikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang
bersangkutan telah terdaftar pada kantor Agraria.
Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara
pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi
dengan:
a. bukti-bukti tertulis
b. keterangan saksi dan/atas pernyataan yang bersangkutan yang dibuktikan
kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup untuk
mendaftarkan hak.
66
Parlindungan A.P., Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 11.
Berdasarkan PMNA/Ka.BPN Nomor 9 tahun 1999, bagi para pemegang hak atas
tanah bekas hak Eigendom yang kini status tanahnya menjadi tanah negara dapat
mengajukan permohonan hak. Suatu permohonan hak atas tanah dapat dinilai menurut
hukum layak (feasible) untuk diproses apabila subjek pemohon dapat membuktikan
secara hukum bahwa ia/mereka adalah pihak satu-satunya yang berhak atas tanah yang
dimohonnya. Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah
yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik, tetapi jika pemohon tidak
menguasai secara fisik maka dapat dibuktikan dengan data-data yuridis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 4 ayat (1) PMNA/Ka.BPN
No 9 Tahun 1999.
Menurut Pasal 12 PMNA/Ka.BPN No 9 Tahun 1999 Berkas permohonan yang
telah diterima, maka Kepala Kantor Pertanahan:
1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. mencatat dalam formulir isian.
3. memberikan tanda terima berkas permohonan.
4. memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang
diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut.
Setelah Kepala Kantor pertanahan meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik
lalu memeriksa kelayakan pemohon tersebut, dan apabila permohonan tersebut
dikabulkan, maka pemberian hak dilakukan dengan suatu penetapan pemberian hak
menurut Pasal 6 PMNA/Ka.BPN No 9 Tahun 1999.
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh ahli waris AM adalah dengan
melakukan pendaftaran tanah sesuai dengan Pasal 24 PP No 24 tahun 1997, lalu petugas
pendaftaran tanah secara aktif melakukan penelitian kebenaran data tersebut sehingga
dapat diterbitkan seripikat tanah bagi pemohon atas tanah tersebut. Pasal 24 ayat (1) PP
Nomor 24 Tahun 1997 pembuktian hak-hak lama data yuridisnya dibuktikan dengan alat-
alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau
pernyataan dari bersangkutan yang kadar kebenaranya oleh panitia ajudikasi kepala
kantor pertanahan dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak
pihak lain yang membebaninya, alat-alat bukti tersebut adalah buktki-bukti kepemilikan.
Adapun apabila setelah ahli waris AM telah menempuh upaya-upaya hukum yang
telah di jelaskan sebelumnya, maka dalam bukti-bukti yang dimiliki oleh ahli waris AM
ialah hak Eigendom 57XX, kuitansi pembayaran lunas oleh Tuan AM yang diwakili oleh
Tuan RS dihadapan Notaris S di Bogor, bukti pembayaran pajak hingga tahun 1997, surat
pernyataan dari BPN terkait ditolaknya keringanan membayar PBB untuk subjek Tuan
AM itu sendiri, surat penetapan pihak yang berhak dari BPN. Melihat bukti-bukti tersebut
sudah sepatutnya upaya hukum terakhir demi mendapatkan kepastian hukum untuk ahli
waris AM adalah dengan melakukan pendaftaran tanah pertama kali.
3 PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik simpulan sebagai
berikut:
2. Saran
Berdasarkan uraian-uraian dari bab-bab sebelumnya, maka saran yang dapat
penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Bagi tanah-tanah bekas hak barat yang telah berakhir masa konversinya dan belum
sempat didaftarkan di kantor pertanahan setelah berlakunya UUPA, untuk
selanjutnya perlu dilakukan inventarisasi peta-peta bidang tanah bekas hak Eigendom
dengan melakukan pendaftaran tanah secara sporadik oleh Panitia Ajudikasi guna
mempercepat proses pendaftaran tanah desa demi desa, sehingga dapat diketahui
seberapa banyak tanah-tanah berkas hak barat maupun tanah-tanah hak adat yang
belum didaftarkan;
2. Terkait penyelesaian sengketa tanah pemerintah cq BPN semestinya hadir , untuk
melakukan mediasi. Sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan
dan mendapatkan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak (win-win solution).
Namun apabila belum tercapai juga solusi semacam itu, maka jalur hukum yang
sesuai untuk memperoleh kepastian hukum harus ditempuh, yaitu melalui gugatan ke
pengadilan umum agar pemilik yang berhak secara mutlak atas tanah yang
disengketakan dapat diputuskan.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5
Tahun 1960. LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043.
_______. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris.
UU No. 2 Tahun 2014. LNRI No. 3 Tahun 2014, TLNRI No. 5491.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia tentang Tata Cara Penjatuhan Sanksi Administratif Terhadap Notaris.
Permenkumham Nomor 61 Tahun 2016. BN No. 2128 Tahun 2016
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet 37. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
BUKU
A.P, Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung; Mandar
Maju, 1998.
_______________. Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Bandung: Mandar Maju,
2007.
_______________. Berakhirnya Hak-hak atas Tanah menurut Sistem UUPA (Undang-
Undang Pokok Agraria). Bandung: CV Mandar Maju, 2001.
_______________. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1999.
Chomzah, Ali Achmad. Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia Jilid 1. Jakarta: Prestasi
Pustaka Raya, 2004.
Effendie, Bachtiar. Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni, 1993.
Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum
Tanah. Jakarta: Djambatan, 2009.
______________. Tinjauan Hukum Pertanahan Di Waktu Lampau, Sekarang, Dan Masa
Akan Datang. Yogyakarta: Liberty, 2002.
______________. Undang-Undang Pokok Agraria, (Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya) Jilid 2. Jakarta: Djambatan, 2008.
Khairandy, Ridwan. Hukum Perseroan Terbatas. Yogyakarta: UII Press, 2014.
Lamintang, P.A.F. dan C.D. Samosir. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru,
1983.
M, Soetojo. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pelaksanaan Landreform. Jakarta:
Staf Penguasa Perguruan Tertinggi, 1961.
Murad, Rusmadi. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Bandung: Alumni, 1999.
R, Soebekti. Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1975.
S.P Sangsun, Florianus. Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah. Jakarta: Visi Media,
2008.
JURNAL
Chandra, Rendra Onny Fernando. “Penyelesaian Sengketa Sertipikat Ganda Hak Atas
Tanah Menurut Pp No.24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah.” Dinamika, Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum Vol 26 No 3 (Februari 2020). Hlm. 358 – 371.
M, Haezer M. Tumilaar. “Tindak Pidana Memasuki Rumah, Ruangan, Pekarangan
Berdasarkan Pasal 167 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” Lex
Crimen Vol. 8 No. 1 (Januari 2018). Hlm. 7.
Safitri, Fina Ayu, Lita Tyesta ALW, dan Anggita Doramia Lumbanraja. “Akibat Hukum
Penggunaan Sistem Publikasi Negatif Berunsur Positif dalam Pendaftaran Tanah
Di Kota Semarang.” NOTARIUS Vol 13 No 2 (2020). Hlm. 790.
INTERNET