Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan Segi Kualitas dan Kuantitas

Problematika Pendidikan di Indonesia

Data mengenai Kualitas, Kuantitas, dan Dampak Pendidikan di indonesia


Saat ini data kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-109 dunia dari 174

negara, Di Asia Indonesia berada pada urutan ke 17 dari 17 dibawah Vietnam. (Survei Political

and Economic Risk Consultant (PERC)). Sedangkan data kuantitas pelajar di Indonesia saat ini

mencapai 58 juta jiwa, dan akan menyamai jumlah penduduk Inggris Raya (sumber: Antara

news. Pekanbaru, Riau). Dengan rincian 8 juta siswa SMA, sisanya (50 juta jiwa) siswa SD dan

SMP.

Dampak dari interelasi antara kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia di jaman

persaingan global ini, antara lain terdapatnya interval yang dominan antara kedua interelasi

(kualitas dan kuantitas) tersebut. Implikasinya adalah ketidakmerataannya dan

ketidakkondusifannya antara banyaknya (kuantitas) yang melebihi kuota/mutu (kualitas).

Bandingan yang nyata bahwa, bila kurva kuantitas dengan kualitas berbanding berbelok naik ke

atas menjauhi antara point 1 (kuantitas) menuju point 2 (kualitas) (ket: jumlah yang dominan

pada kuantitas, menjadikan keseimbangan kualitas berkurang dan tidak sinergis). Maka implikasi

yang dihasilkan adalah munculnya berbagai problematika, seperti rasio (nilai/jumlah) yang

dihasilkan dengan harapan satuan pendidikan untuk menuju jenjang ketenagakerjaan tidak

terpenuhi, sekaligus menjadikan ketidaksigapan dan ketidakmatangan dalam lingkup pekerjaan,

adanya biaya pendidikan mahal, dikarenakan mutu yang perlu dikembangkan, dilihat dari segala

aspek penunjang. Sistem yang berubah-rubah serta waktu pengajaran pun turut melengkapi

dampak disharmonisnya interelasi (kuantitas dan kualitas), karena disaat mutu pendidikan sudah

dirasa layak adanya, dengan segera diubah menjadi mutu awal yang lowquality, yang tidak
sejalan untuk meng-upgrade interelasi (kuantitas dan kualitas) yang tergap (kualitas lebih rendah

dibanding kuantitas) (sumber: slideshare.net).

Memang pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin. Dan kata-kata “semaksimal”

ini yang telah mengantarkan kerancuan dan kelemahan, yang berimplikasi pada pemutarbalikan

makna tersebut. Telusuri saja anggaran APBD Negara yang terbilang besar untuk satu bidang

tertentu, ditanggung dan diberikan sepenuhnya sebesar 20% dari total anggaran tersebut untuk

membiayai/danai pendidikan di Negara kita ini. Tetapi pada fakta lapangan yang ada masih

banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik itu dilakukan oleh oknum diluar

pemerintah (rakyat), asing (investor), bahkan pemerintah pun sering menggelapkan (KKN)

dana/biaya pendidikan tersebut, sehingga terjadi divergensi kontraksi dana sebesar 20% yang

kemudian nominalnya tidak mencapi nilai tersebut.

Dalam beberapa sumber mengatakan bahwa total anggaran tahun ini akan ditingkatkan, menjadi

44 triliun rupiah untuk pembiayaan pendidikan. Dan selayaknya wajib adanya, namun

dikarenakan banyaknya kasus KKN dalam anggaran pembiayaan pendidikan di Negara kita,

menjadikan dana tersebut terus mengalami kontraksi, lihatlah, kedua pembiayaan mengenai

pendidikan yang saya paparkan (anggaran APBD Negara dan peningkatan anggaran dana),

keduanya tidak mengalami sebuah kemajuan dibidang nominal, dan nilai kenyataan, ya memang

diakui bahwa keduanya telah digembor-gemborkan, bahwa dana-dana tersebut telah diberikan

tanpa pengurangan dari pemerintah dengan lantang, di berbagai kesempatan saat ditanyai

mengenai biaya-biaya dan anggaran-anggaran tersebut.

Begitulah keadaan saat ini, pemerintah merasa tidak bersalah, dan bertanggung jawab

bila ditanya mengenai kemanakah anggaran 20% serta peningkatan anggaran menjadi 44 triliun

tersebut? Benarkah tersalurkan kepada tangan rakyat? Mungkin hanya Tuhan dan mereka

(pemerintah) yang mengetahuinya.


Miris memang, saat prasarana dan sarana dibanyak sekolah, di jaman globalisasi ini

masih terdapat kerusakan (kurang layak), ketidaklayakan pakai/huni, serta jarak (transportasi,

serta efisiensi waktu) yang telah kurang memadai, bahkan jauh dari kata rata-rata. Sebagai

contoh nyata, tentang masalah infrastruktur, ada pada kasus (sumber: kontenremaja.blogspot)

yang dialami pelajar Romang Tangaya Makassar yang rela mengarungi sungai luas setiap hari,

situasi, jarak (prasarana) dari tempat tinggal dengan sekolah mereka yang terlampau jauh dari

daratan, mengharuskan rela mau tidak mau mereka jalani. Ironis, karena desa Romang Tangoya

yang letaknya dekat dengan kota Makassar Sulawesi selatan. Selain situasi, jarak (prasarana),

permasalahan mereka adalah masalah kelayakan bangunan, serta fasilitas (sarana) sekolah. Dari

contoh kasus tersebut, harapannya pemerintah memperhatikan, membuka mata hati dan hati

nurani mereka, jangan memanipulasi fakta lapangan yang ada dengan gemerlapnya kota

metropolitan (Jakarta), lihatlah dengan nyata, buka tabir kegelapan dunia pendidikan, jangan

sembunyi dengan topeng wewenang dan kekuasaan.

Indeks Pembanguna Pendidikan Indonesia


Berbicara mengenai Rendahnya indeks pembangunan pendidikan di Indonesia adalah

Interelasi Kualitas dengan Kuantitas Pendidikan di Indonesia antara


Masyarakat (pelajar) dengan Peran Pemerintah.
            Masyarakat (pelajar) khususnya usia dini/ anak-anak (1-12) dan remaja (12-20), harus

lebih diperhatikan secara menyeluruh, dengan berbagai pendekatan aspek yang ada. Terdapat

banyak survei dan polling lapangan mengatakan, sinergisasi antara kapasitas kemampuan

siswa/pelajar, sebagai penghasil kompetensi (persaingan) dengan prestasi siswa/pelajar kurang

mencapai mutu, dan harapan yang menjadi patokan yang ada. Terlihat dari hasil laporan, dari

survey langsung, mengatakan hanya 30% siswa/pelajar yang mampu memahami materi dari

bacaan, dan sulit menjawab soal-soal berbentuk uraian dengan penalaran. Karena mereka
(siswa/pelajar ) cenderung terbiasa dengan menghapal dan menjawab soal berbentuk pilihan

ganda.

            Kualitas (mutu pendidikan) dari segi kapasitas kemampuan dan daya saing (kompetensi)

dengan kuantitas (jumlah siswa/pelajar) yang terlampau melebihi kuota kualitas, telah

mengantarkan bangsa ini kurang memiliki persaingan yang bisa disandingkan dengan Negara

lain apalagi diperkuat dengan berbagai sumber yang mengatakan mutu pendidikan secara

keseluruhan kita, terlampau jauh di bawah negara-negara asia.

Dilihat (sumber: positivego.blogspot) secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di

Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga

saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 selebihnya belum

berpendidikan S-1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar

70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 ( 29,5%) guru lainnya belum

memenuhi syarat sertifikasi. Dari segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata. Kekurangan

guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil masing-masing adalah 21%, 37%,

dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%, sementara

di banyak daerah terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000

guru di semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti

untuk menjamin kelancaran proses belajar.

Masalah infrastruktur, berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional (menyeluruh) saat

ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi

rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun

ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas

rusak terbanyak di Jawa Barat 23.415, Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, Nusa Tenggara

Timur (NTT) sebanyak 7.652, Banten 4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Sulawesi Tenggara 2.776,

Sulawesi Tengah 1.186, Lampung 911, Sulawesi Barat 898, dan Papua Barat 576.
Solusi dari Problematika Pendidikan di Indonesia karena Kualitas dan
Kuantitasnnya          
            Beberapa problem solving/solusi dari permasalahan kualitas dan kuantitas pendidikan di

Indonesia adalah dengan memeratakan 2 aspek inti, yaitu equality (persamaan)

dan equity (keadilan).  Mengapa saya katakan 2 aspek itu inti solusi dari problematika

pendidikan dewasa ini, karena bila kualitas dengan kuantitas kompatibel dengan

pemerataan equality (persamaan) dan equity (keadilan), menghasilkan sinergisasi yang memadai

dan harmonis.

            Bandingkan, bila harmonisasi, interelasi antara kualitas dan kuantitas dirancang, maka

problematika pendidikan di Negara kita tidak akan menjadi wacana lagi. Tentu saja, karena bila

infrastruktur (mengenai prasarana dan sarana), mutu (kualitas) pendidikan (mencakup

guru/pengajar, kurikulum/sistem), jumlah (kuantitas) siswa/pelajar, dana/anggaran (yang rendah

tapi kompatibel mencangkup seluruh aspek), rasio kesempatan pendidikan dengan jumlah

penduduk (siswa/pelajar) tertampung, dan daya saing siswa/pelajar yang kompeten.

diberdayakan secara kontinu dengan merata, koheren, kompatibel, maka keajegan harmonisai

pun tercipta, serta problematika yanga ada akan terminimalisir secara bertahap.

Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan

1. Partisipasi Masyarakat

                        Kata “partisipasi masyarakat” dalam pembangunan menunjukkan pengertian pada
keikutsertaan mereka dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program
pembangunan (United Nation, 1975). Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan
Indonesia, perlu ditumbuhkan adanya kemauan dan kemampuan warga atau kelompok masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan . Sebaliknya pihak pemerintah atau Negara juga
memberikan ruang atau kesempatan kepada warga atau kelompok masyarakat untuk berpartispasi
seluas mungkin sehingga kita bisa mencetuskan sebuah ide yang kreatif dan imajinatif dalam
pengembangan pendidikan, seperti pepatah orang jawa ‘’ Rawe-rawe rantas , malang-malang putung’’
atau dalam Bahasa indonesianya ‘’Bercerai kita runtuh, Bersatu kita teguh’’. Partisipasi masyarakat
dalam pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk :
1. Partisipasi finansial

                        Berupa dukungan dana sesuai dengan kekuatan dan kemampuan masyarakat. Termasuk
juga orangtua secara kolektif dapat mendukung dana yang diperlukan sekolah, yang benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan untuk keberhasilan pendidikan. Selain itu, lembaga bisnis dan industri
diharapkan dapat menyisihkan anggaran untuk pemberian beasiswa pendidikan.

2. Partisipasi material

                        Diwujudkan dengan sumbangan bahan-bahan yang berkenaan dengan material bangunan,
untuk penyempurnaan bangunan ruang dan tempat untuk kegiatan belajar agar kegiatan belajar
mengajar dapat berjalan dengan baik. Demikian juga masyarakat mendukung terciptanya lingkungan
fisik yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar.

3. Partisipasi akademik

                        Kepedulian masyarakat terhadap penyelenggaraan kegiatan akademik yang lebih


berkualitas. Dukungan dapat diwujudkan dengan dukungan orangtua dan masyarakat untuk mengawasi
dan membimbing belajar anak di rumah. Selain itu banyak lembaga-lembaga pemerintahan maupun non
pemerintahan yang dapat memberikan kesempatan untuk praktek atau magang. Hal ini dilakukan untuk
memberikan wawasan secara nyata kepada peserta didik.

4. Partisipasi kultural

Perhatian masyarakat terhadap terpeliharanya nilai kultural dan moral yang terdapat di lingkungan
sekitar sekolah sehingga sekolah mampu menyesuaikan diri dengan budaya setempat.

5. Partisipasi evaluatif

                        Keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengendalian dan kontrol terhadap


penyelenggaraan pendidikan, sehingga masyarakat dapat memberikan umpan balik  dan penilaian
terhadap kinerja lembaga pendidikan. Selain itu, masyarakat juga dapat berperan dalam penyusunan
atau pemberi masukan dalam penyusunan kurikulum bagi sekolah. Agar kurikulum itu sesuai dengan
kebutuhan siswa.

Pengelolaan Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sekolah atau lembaga pendidikan agar partisipasi masyarakat
dalam dunia pendidikan semakin baik, antara lain :

1. Menjalin Komunikasi yang Efektif dengan Orang Tua dan Masyarakat.

                        Partisipasi orang tua dan masyarakat akan tumbuh jika orang tua dan masyarakat juga
merasakan manfaat dari keikutsertaanya dalam program sekolah. Manfaat dapat diartikan luas,
termasuk rasa diperhatikan dan rasa puas karena dapat menyumbangkan kemampuannya bagi
kepentingan sekolah. Jadi prinsip menumbuhkan hubungan dengan masyarakat adalah  saling
memberikan kepuasan. Salah satu jalan penting untuk membina hubungan dengan masyarakat adalah
menetapkan komunikasi yang efektif.

2. Melibatkan Masyarakat dan Orang Tua dalam Program Sekolah

                        Disini sekolah harus memperkenalkan program dan kegiatan sekolah kepada masyarakat.
Agar masyarakat lebih mengenal dan dapat membantu program tersebut. Selain itu, hal ini dilakukan
agar hubungan masyarakat dan sekolah menjadi erat. Diharapkan juga masyarakat dan sekolah
mengadakan kerjasama dalam hari-hari besar agama. Selain itu juga, sekolah perlu memberi tahu
masyarakat tentang program unggulan sekolah agar menarik minat masyarakat.

3. Mengundang masyarakat dalam rapat tahunan sekolah.

                        Masyarakat perlu terus melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
pendidikan. Dalam hal ini tentu sekolah harus transparan dalam hal kurikulum pembelajaran sekolah
dan juga tentang biaya penyelenggaraan sekolah. Hal ini dimaksudkan agar orang tua tidak hanya
menerima informasi dari sekolah. Tetapi masyarakat juga bisa memberikan informasi yang berkaitan
dengan peserta didik agar pendidikan daptat berjalan dengan lancar. Selain itu, sekolah juga dapat
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan kebutuhan operasional
maupun non operasional sekolah. Di forum ini masyarakat dan sekolah saling bertukar fikiran,
mengeluarkan ide atau gagasan dan juga menyampaikan permasalahan yang dihadapi baik oleh orang
tua murid ataupun sekolah.Jadi sekolah dan masyarakat dapat saling bahu membahu dalam
mengembangkan pendidikan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1992 BAB III pasal 4 peran serta / partisipasi maysarakat
dapat berbentuk:

1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur
pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada
semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah;

2. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu
melaksanakan pengajaran, pembimbingan dan/atau pelatihan peserta didik;

3. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar-
mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan;

4. Pengadaan dan/atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan dan/atau


diselenggarakan oleh Pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional;

5. Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan,
pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis;
6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan
Pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar;

7. Pemberian kesempatan untuk magang dan/atau latihan kerja;

8. Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan


pendidikan nasional;

9. Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau


penyelenggaraan pengembangan pendidikan;

10. Pemberian bantuan dan kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan; dan

11. Keikutsertaan dalam program pendidikan dan/atau penelitian yang diselenggarakan oleh
Pemerintah di dalam dan/atau di luar negeri.

 Bentuk-bentuk Peran Masyarakat dalam Pendidikan.

Desentralisasi pendidikan memerlukan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini tujuan partisipasi sebagai
upaya peningkatan mutu pada satuan pendidikan cukup variatif. Bentuk partisipatif yaitu dalam
Manajemen Berbasis Sekolah, partisipasi orang tua dalam program mutu, komite sekolah, pembiayaan
sekolah, mengatasi problem anak, partisipasi dalam disiplin sekolah, partisipasi edukatif dalam
perspektif siswa dan partisipasi guru dalam resiliensi sekolah. Bentuk-bentuk partisipasi yang terjadi
pada satuan pendidikan dan masalah yang dihadapi oleh sekolah yang secara umum dideskripsikan
sebagai berikut:

Bentuk Aktivitas Masalah

·         Pihak masyarakat    


bermusyawarah dengan sekolah.

·         Pemerintah menyediakan Berdasarkan tangga


sarana-prasarana sekolah. partisipasi belum semua
Partisipasi dalam
sekolah mampu
Manajemen ·         Komite sekolah berpartisipasi
menggerakkan partisipasi
Berbasis Sekolah aktif.
masyarakat pada tangga
·         Pemanfaatan potensi yang ada yang tertinggi

·         Masyarakat memiliki gotong


royong
·         Kesiapan SDM secara
profesional.

·         Stakeholder  mendukung
program sekolah. Belum semua masyarakat,
khususnya orang tua pada
Partisipasi ·         Menghadiri pertemuan
sekolah menyadari bahwa
masyarakat dalam sekolah untuk mengetahui
untuk terlibat secara aktif
pendidikan perkembangan siswa.
dalam pembangunan
·         Membantu murid belajar pendidikan.

·          Mencari sumber-sumber


lain/pendukung untuk memecahkan
masalah pendidikan

 Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan

                             Masyarakat pada dasarnya cenderung berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan,


tetapi disisi lain tidak mudah untuk mengajak masyarakat berpartisipasi. Hambatan yang dialami oleh
sekolah untuk mengajak partisipasi masyarakat dalam perbaikan mutu pendidikan membuktikan, belum
sepenuhnya disadari sebagai tanggung jawab bersama. Realitas tersebut menguatkan asumsi
sepenuhnya bahwa partisipasi tidak mudah diwujudkan, karena ada hambatan yang bersumber dari
pemerintah dan masyarakat.

     Dari pihak pemerintah, faktor yang menghambat partisipasi masyarakat dalam pendidikan  dapat
berupa:

1. Lemahnya komitmen politik para pengambil keputusan didaerah untuk secara sungguh-sungguh
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan public.

2. Lemahnya dukungan SDM yang dapat diandalkan untuk mengimplementasikan strategi


peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik.

3. Rendahnya kemampuan lembaga legislative dalam mengaktualisasikan kepentingan masyarakat.

4. Lemahnya dukunngan angggaran, karena kegiatan partisipasi public sering kali hanya dilihat
sebagai proyek, maka pemerintah tidak menjalankan dana secara berkelanjutan

Sedangkan dari pihak masyarakat, faktor penghambat partisipasi dalam pendidikan muncul karena
beberapa hal, antara lain:

1. Budaya paternalism yang dianut oleh masyarakat menyulitkan untuk melakukan diskusi secara
terbuka.
2. Apatisme karena selama ini masyarakat jarang dilibatkan dalam pembuatan keputusan oleh
pemerintah daerah.

3. Tidak adanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

4. Hambatan kultural, yaitu masih adanya sebagian masyarakat yang menganggap bahwa
pendidikan formal bertentangan dengan adat mereka, misalnya saja pada masyarakat Samin
yang menganggap bahwa orang yang pintar hanya akan membuat orang membodohi orang lain.

5. Hambata georafis, misalya jauhnya lokasi sekolah yang diikuti oleh tidak adanya fasilitas
transportasi dan akses jalan yang mendukung untuk mencapai sekolah.

6. Mahalnya biaya pendidikan, terutama pada pendidikan tingkat atas dan perguruan tinggi.

Masalah Pendidikan di Indonesia : Mahalnya Biaya


Pendidikan
1. Latar belakang
Pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia memandang adanya perbedaan kelas dalam
hal biaya pendidikan. Lembaga pendidikannya pun dibeda-bedakan sesuai dengan kualitas yang
berpengaruh kepada biaya pendidikannya dalam semua jenjang pendidikan. Masalah yang
menyangkut biaya pendidikan di Indonesia dalam berbagai jenjang adalah pendidikan yang
berkualitas berarti mahal biaya pendidikannya. Masalah ini menyebabkan masyarakat yang
dirasa tidak mampu tidak dapat mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan yang berkualitas
sehingga masyarakat kurang mampu hanya dapat mengenyam pendidikan yang kurang
berkualitas di lembaga pendidikan biasa. Seharusnya pendidikan yang berkualitas di Indonesia
itu berlaku untuk seluruh warga negara tanpa terkecuali bukan hanya golongan-golongan atas
saja. Padahal Pendidikan di Indonesia merupakan Hak asasi yang harus dipenuhi dari lembaga
atau institusi yang menyelenggarakan pendidikan yang diberikan secara merata. Mengingat
pentingnya pendidikan untuk semua warga, sehingga posisinya sebagai salahsatu bidang yang
mendapat perhatian serius dalam konstitusi Negara kita, dan menjadi salah satu tujuan
didirikannya Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu Negara dalam hal ini pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan secara murah dan bahkan gratis untuk masyarakatnya. Banyak
faktor penyebab mahalnya biaya pendidikan akibat kebijakan lembaga pendidikan ataupun
pemerintah yang harus ditangani agar terjadinya pemerataan pendidikan di Indonesia.
Dampaknyapun sangat serius bagi kualitas SDM di Indonesia sehingga harus adanya kebijakan
atau tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah biaya pendidikan yang tidak merata ini.
2. Faktor yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan
Pertama, penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada yaitu
upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan
yang merupakan organ MBS ditandai dengan adanya unsur pengusaha. Dalam hal ini pengusaha
memiliki modal yang lebih luas dan besar. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk,
pengusaha mengontrol sekolah dengan melakukan segala pungutan uang selalu berkedok, atsa
nama sesuai keputusan Komite Sekolah. Namun, pada implementasinya ia tidak transparan
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat
dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan
Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kedua, Munculnya sekolah unggulan, sekolah plus, Sekolah Standar Nasional (SSN) dan
Sekolah Berstandar Internasional (SBI), sekolah dapat leluasa meminta sumbangan ke wali
murid berkedok untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun SBI akhirnya dihapus berkat
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada pensatusan sekolah ini terjadi diskriminasi antar
sekolah dimana murid yang berasal dari sekolah inilah yang mudah diterima di perguruan tinggi
negeri dan sekolah-sekolah yang standar sangatlah susah menembus perguruan tinggi negri.
Wajar saja karena sekolah yang mempunyai status unggulan mengenakan biaya pendidikan yang
setimpal dengan kualitasnya dan banyak dihuni oleh orang yang punya uang saja. Di sisi lain
orang yang tidak mampu tersisihkan dalam hal pendidikan di lembaga berkualitas, padahal
banyak dari mereka mungkin memeiliki potensi yang besar dalam pendidikan.

Ketiga, adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan
politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan
tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak
jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

3. Institusi yang bertanggung jawab


Lembaga atau Institusi yang bertanggung jawab pada masalah biaya pendidikan adalah
pemerintah, masyarakat atau pihak yang menyelenggarakan pendidikan itu sendiri. Dalam UUD
1945 pasal 36 jelas disebutkan tentang masalah tersebut. Pada ayat 1 disebutkan biaya
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
menjadi tanggungjawab pemerintah. pada ayat 2 disebutkan biaya penyelenggaraan kegiatan
pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi
tanggungjawab badan/perorangan yang meyelenggarakan satuan pendidikan. Kemudian pada
ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam uraian diatas
bukan berarti biaya pendidikan dibebaskan dan di tanggung semuanya oleh pemerintah, tetapi
untuk yang ingin mengenyam pendidikan tetapi juga harus disertai dengan tanggung jawab dari
pihak masyarakat dalam hal ini khususnya keluarga yang berkewajiban membayar biaya
pendidikan. Namun, karena adanya wajib belajar di Indonesia sampai sekolah menengan
Pertama (SMP) maka pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh dalam menangani biaya
pendidikan sampai beres wajib belajar itu dengan biaya gratis. Wajib belajara diselenggarakan
sesuai dengan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 bahwa ketentuan wajib belajar di
negara kita sampai pada sekolah menengah tingkat pertama.

4. Dampak biaya pendidikan yang mahal bagi bangsa


Sebenarnya yang faktor dapat menjamin masa depan adalah pendidikan yang berkualitas.
Seharusnya pendidikan berkualitas di negara indonesia diselenggarakan di semua lembaga
pendidikan tanpa terkecuali dan berlaku untuk seluruh warga negara. Sejatinya seluruh warga
negara mempunyai hak atas pendidikan yang berkualitas, tetapi kenyataannya hanya golongan
tertentu sajalah yang dapat menikmati pendidikan berkualitas tersebut sehingga banyak orang
yang kurang mampu hanya bisa menikmati pendidikan yang biasa saja. Hal tersebut tentunya
sangat berdampak terhadap kualitas SDM di Indonesia, sekarang saja SDM Indonesia tidak
merata atau tidak adanya keseimbangan antara yang memiliki kualitas skill tinggi dan yang
sebaliknya. Dengan hal tersebut output dari dunia pendidikan untuk bangsa Indonesia masih
sedikit untuk yang benar-benar berkualitas. Seharusnya jika semua warga negara yang masih
dalam tahap mengenyam pendidikan diberikan pendidikan berkualitas juga. Lama kelamaan
bangsa Indonesia akan terpuruk jika hal ini terus terjadi jika dibandingkan dengan negara
tetangga saja Indonesia masih kalah dalam hal output pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut
jelas di sebabkan karena adanya kualitas pendidikan yang belum memadai karena biaya
pendidikan yang mahal juga.
Problematika Sarana dan Prasarana Pendidikan
1. Fasilitas Yang Minim dan Tidak Merata
Volume sarana dan prasarana yang minim masih mejadi permasalahan utama disetiap
sekolah di Indonesia. Terutama di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Kasus seperti ini
dapat menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. Banyak peserta didik yang berada di desa
tidak bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan fasilitas seperti peserta didik di Kota. Oleh
karena itu, kualitas pendidikan di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas pendidikan di
kota. Selain itu masih banyak fasilitas yang belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal.
Hal seperti ini membuktikan bahwa lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat
siswa dalam mengembangkan diri. Akibat ketidak tersedianya fasilitas tersebut, para pelajar
mengalokasiakan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang negatif.

2. Alokasi dana yang terhambat


Banyaknya kasus penyalahgunaan dana adminitrasi sekolah, membuat sarana dan prasarana
sekolah tidak terwujud sesuai dengan harapan, adanya permainan uang dalam adminitrasi
membuat pendidikan semakin tidak cepat mencapai titik kebehasilan.

3. Perawatan yang Buruk


Ketidak pedulian dari sekolah terhadap perawatan fasilitas yang ada menjadikan buruknya
sarana dan prasarana. Sikap acuh tak acuh dan tidak adanya pengawasan dari pemerintah,
membuat banyak fasilitas sekolah yang terbengkalai. Ketidaknyamanan menggunakan fasilitas
yang ada, akibat kondisi yang banyak rusak, membuat para pelajar enggan menggunakannya.
Kasus seperti ini biasanya terjadi karena tidak adanya kesadaran dari setiap guru, siswa, dan
pengurus sekolah.

Dari ketiga point di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana
pendidikan di Indonesia masih perlu dibenahi. Banyaknya permasalahan sarana dan prasana akan
menghambat proses pembelajaran, yang akibatnya berpengaruh pada ketercapaian dari tujuan
pendidikan.

E. Alternatif Solusi untuk Problematika Sarana dan Prasarana Pendidikan


Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki sarana dan prasarana
pendidikan ini antara lain:
1. Terorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan
hingga daerah terpencil sekalipun sehingga tidak terputusnya komunikasi antara pemerintah
pusat dengan daerah.

2. Dengan adanya koordinasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka selanjutnya
kita dapat meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan. Adapun sarana dan prasarana
pendidikan yang digunakan dalam rangka meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus
menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan sarana dan
prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.

Sarana fisik
Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembangunan gedung sekolahan,
laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana olah raga, alat-alat kesenian dan fasilitas pendukung
lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab yang besar dalam
pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal.
Jika sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Sarana non fisik


Sarana non fisik ini diibaratkan software dalam komputer, jika software ini dapat
mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga
dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat pembangunan
nasional.

3. Adanya manajemen sarana dan prasarana. Manajemen yang dimaksud meliputi:


(1) Perencanaan. Perencanaan saran dan prasarana dapat diartikan sebagai keseluruhan
proses perkiraan secara matang rancangan pembelian, pengadaan, rehabilitasi, distribusi sewa
atau pembuatan peralatan dan perlengkapan yang sesuai dengan kebutuhan.diperhatikan dalam
perencanaan fasilitas sekolah, antara lain: Fasilitas yang ada disekolah harus disesuaikan dengan
kebutuhan anak yang beraneka ragam sifat dan kebutuhannya, baik secara individual maupun
kelompok. Serta fasilitas yang ada harus disesuaikan dengan kurikulum/program pendidikan
yang akan dilaksanakan sekolah.
Ada dua hal terpenting yang perlu

(2) Pengadaan. Pengadaan adalah segala kegiatan untuk menyediakan semua keperluan
barang bagi keperluan pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam pengadaan
barang sebenarnya tidak terlepas dari perencanaan pengadaan yang telah dibuat sebelumnya baik
mengenai jumlah maupun jenisnya.

(3) Inventarisasi. Inventarisasi adalah kegiatan melaksanakan pengurusan penyelenggaraan,


pengaturan, dan pencatatan barang-barang, menyusun daftar barang yang menjadi milik sekolah
yang bersangkutan ke dalam suatu daftar inventaris barang secara teratur dan menurut ketentuan
yang berlaku.

(4) Penyimpanan. Penyimpanan sarana dan prasarana pendidikan adalah kegiatan


menyimpan suatu barang baik berupa perabot, alat tulis kantor, surat-surat maupun barang
elektronik dalam keadaan baru ataupun sudah rusak yang dapat dilakukan oleh seorang beberapa
orang yang ditunjuk atau ditugaskan pada lembaga pendidikan. Aspek yang perlu diperhatikan
dalam penyimpanan adalah aspek fisik dan aspek administratif.

(5) Penataan. Penataan sarana dan prasarana pendidikan dapat dibagi menjadi:
a. Penataan barang bergerak
Yang dimaksud dengan barang bergerak adalah barang yang dapat dipindahkan dari
penempatan sebelumnya, misalnya kursi, meja, dan lain-lain.

b. Penataan barang tidak bergerak


Barang tidak bergerak adalah barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti tanah, gedung,
halaman, lapangan, dan lain-lain. Dalam hal ini sebelum dibangun, terlebih dahulu dilakukan
perencanaan yang matang agar tidak terjadi perbaikan yang menimbulkan pemborosan.

c. Penataan barang habis pakai


Barang habis pakai adalah barang yang tidak tahan lama, cepat susut, dan habis setelah
digunakan atau dipakai, contoh kertas, karbon, kapur, spidol, dan lain-lain.

d. Penataan barang barang tidak habis pakai


Yaitu dengan cara mengatur barang yang ada dengan memberikan nomor dan kode pada
barang tersebut sesuai dengan sandi yang berlaku. Hal ini dilakukan agar petugas dan pemakai
lebih mudah memakai dan mengawasi pemakaiannya.

(6) Penggunaan. pengaturan bagi penggunaan sarana dan prasarana tersebut yaitu dengan
cara:
a. Alat pelajaran diangkut ke kelas yang membutuhkan dan saat dikembalikan jumlah harus
sama.
b. Alat pelajaran disimpan di suatu tempat, bila siswa ingin menggunakan, siswa mengajak
guru yang mengajar untuk membawa barang tersebut
Penggunaan atau pemakaian fasilitas pendidikan di sekolah merupakan tanggung jawab
kepala sekolah pada tiap jenjang pendidikan. Untuk kelancaran kegiatan tersebut, bagi kepala
sekolah yang mempunyai wakil bidang sarana dan prasarana atau petugas yang berhubungan
dengan penanganan fasilitas sekolah diberi tanggun jawab untuk menyusun jadwal tersebut.
Dalam penggunaan fasilitas, semua pengguna baik peserta didik, guru, dan komponen sekolah
lainnya harus dapat mempertanggungjawabkan penggunaan fasilitas yang telah digunakan.
Dalam artian bahwa dalam menggunakan fasilitas harus dengan baik dan tidak merusak fasilitas
yang telah ada.

(7) Pemeliharaan. Pemeliharaan berarti sarana dan prasarana yang digunakan harus
dipelihara agar tidak rusak.

(8) Penghapusan. Penghapusan ialah kegiatan meniadakan barang-barang dari daftar


inventaris karena barang itu dianggap sudah tidak mempunyai nilai guna atau sudah tidak
berfungsi sebagaimanan yang diharapkan, atau biayampemeliharaannyamsudahmterlalummahal.

4.Adanya Pengawasan Fasilitas.


Peranan pengawasan sangat penting dalam menunjang keberlangsungan dan segala aspek
kehidupan berorganisasi umumnya untuk lembaga pendidikan khususnya tidak dapat diragukan
lagi. Sebagaimana seperti yang dikemukakan oleh S. P. Siagian (1990: 107) bahwa:
“Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk
menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan
atau kebijaksanaan yang telah ditentukan. Pengawasan bukan hanya mencari kesalahan saja,
tetapi juga mencari hal-hal yang sudah baik untuk dikembangkan lebih lanjut.

1. Tujuan pengawasan
Agar hasil pekerjaan diperoleh secara berdaya guna yaitu hasil yang sesuai dan tepat dengan
pengeluaran yang seminimal mungkin dan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.

2. Prosedur pengawasan
a. Observasi
Digunakan untuk mengadakan penilaian atau evaluasi baik terhadap pimpinan atau
bawahannya. Digunakan untuk audit dan review terhadap apa yang telah dilakukan.
b. Pemberian contoh
Apa yang dikerjakan oleh pimpinan seharusnya juga dikerjakan pula oleh bawahannya dan
sebaliknya pimpinan akan segan menindak terhadap bawahannya kalau ia sendiri tidak dapat
mengerjakannya.
c. Pencatatan pelaporan
Suatu alat pembuktian, dapat berupa catatan atau laporan.
d. Pembatasan wewenang
Untuk menjaga agar seseorang tidak melakukan hal yang melebihi wewenangnya serta untuk
menghindari penyimpangan.
e. Menentukan peraturan perintah prosedur
1) Peraturan pada umumnya melarang bentuk tingkah laku yang khusus atau jika diizinkan
akan dapat mengganggu usaha-usaha serta membahayakan organisasi.
2) Prosedur mengatur kegiatan yang harus dilakukan yang merupakan suatu rangkaian
kegiatan melalui anggota-anggota suatu organisasi untuk melayani dan menerima dalam suatu
situasi tertentu.
f. Sensor
Tindakan pengamanan agar kesalahan-kesalahan yang akan timbul segera dapat dicegah atau
diperbaiki dan tindakan pembetulan sebelum terlambat.
g. Anggaran
Alat dari pimpinan agar dilaksanakan. Suatu petunjuk untuk mengembangkan dan
memajukan organisasi, penilai suksesnya suatu rencana.

Anda mungkin juga menyukai