Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH BANDING

“ PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP GEOGRAFI PERMUKIMAN”

Disusun Oleh :
Kelompok 6

Anggota Kelompok
Ihda Annisa Luthfia
Melva Maretha Sihite
Meido Brillianina Surbakti

Dosen Pengampu : Drs. Mbina Pinem, M.Si


Mata Kuliah : Geografi Tranportasi Dan Pemukiman

PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok ini dengan baik dan
tepat waktu. Serta memberikan hidayah dan karunia-Nya untuk berpikir kritis dan juga
berkomunikasi dengan baik antar sesama anggota kelompok dimasa pandemi covid-19 ini
dengan jarak jauh melalui jejaring media sosial yang ada.
Makalah ini disusun berdasarkan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu sesuai
rencana pembelajaran semester yang ada, yakni memuat tentang pembahasan “ Pengertian dan
Ruang Lingkup Geografi Permukiman”.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan diterima dengan baik oleh pembaca meski
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca sangat kami harapkan agar lebih baik kedepannya. Terimakasih

Medan, Oktober 2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................................................3
B Rumusan Masalah...............................................................................................................3
C. Tujuan................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Gepgrafi Permukiman.....................................................................................4
B. Ruang Lingkup Geografi Permukiman..............................................................................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................12
B. Saran................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permukiman atau ’settlement’ pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah/ tempat
dimana penduduk/ pemukim tinggal, bekerja dan beraktivitas, serta berinteraksi atau
berhubungan dengan sesama pemukim lainnya dalam suatu asyarakat (Martha, 2007).
Permukiman merupakan objek material geografi dan dapat pula dipandang sebagai objek formal
geografi. Objek material geografi meliputi gejala-gejala yang terdapat dan terjadi di permukaan
bumi, sedangkan objek formal geografi adalah cara memandang dan cara berfikir mengenai
permukiman melalui pendekatan keruangan. Studi mengenai permukiman merupakan bagian dari
ilmu studi geografi karena permukiman merupakan bagian geosfer yang dalam lingkup
keruangan.

kriteria permukiman yang baik adalah adanya pemenuhan aspek fisik dan nonfisik (sosial,
budaya, ekologis, fungisonal) yang saling mempengaruhi dengan tujuannya adalah peningkatan
kualitas hidup (Widyastomo, 2011). Pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana
permukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan
layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah,
sehingga daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun
dan pada akhirnya akan memberikan kontribusi terjadinya permukiman kumuh. Terbentuknya
pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area sering dipandang potensial
menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai
perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya..

B. Rumusan Masalah
1) Apa yang diimaksud dengan Geografi Permukiman?
2) Apa yang dimaksud dengan ruang lingkup geografi permukiman?

C. Tujuan
1) Untuk mengetahui defenisi dari ruang lingkup Geografi permukiman.

3
2) Untuk mengetahui apa-apa yang bisa dipelajari dari geografi permukiman.
.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Geografi Permukiman


Permukiman merupakan objek material geografi dan dapat pula dipandang sebagai objek
formal geografi. Objek material geografi meliputi gejala-gejala yang terdapat dan terjadi di
permukaan bumi, sedangkan objek formal geografi adalah cara memandang dan cara berfikir
mengenai permukiman melalui pendekatan keruangan. Studi mengenai permukiman merupakan
bagian dari ilmu studi geografi karena permukiman merupakan bagian geosfer yang dalam
lingkup keruangan. Permukiman menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang
Perumahan dan Permukiman adalah, bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik
dalam lingkup perkotaan maupun pedesaan, dan juga memiliki fungsi sebagai lingkungan
tempat hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Agenda 21 Indonesia (Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan (1997:24)


dalam Widyastomo (2011) aspek sosial, ekologis, dan fungsional merupakan elemen-elemen
yang saling terpadu, menunjang antara satu dengan lainnya untuk menjamin peningkatan kualitas
hidup secara berkelanjutan. Menurut Johan Silas (1985) suatu permukiman hendaknya mengikuti
kriteria bagi permukiman yang baik, dengan memenuhi aspek fisik dan aspek nonfisik. Proses
bermukim menjadi faktor pengikat antara masa dulu, kini dan masa akan datang dengan tujuan
peningkatan kualitas hidup. Aspek fisik dan nonfisik saling mempengaruhi satu dengan yang lain
sebagai wujud dari aspek-aspek yang tidak saling terpisahkan antara satu dengan lainnya
(Widyatsomo, 2011).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 5 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, yang dimaksud dengan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang
terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa kawasan permukiman
adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Setiawan (2017 :36)
mendefenisikan permukiman sebagai kawasan yang berfungsi tempat tinggal dan tempat
melakukan kegiatan untuk mendukung kegiatan penghuninya, serta merupakan tempat hidup
bersama dalam proses bermukim.

Permukiman berkaitan erat dengan manusia beserta segala pemikiran dan perilakunya,
bertidak sebagai subjek yang memanfaatkan ruang yang ada dalam hubungannya dengan
kepentingan kehidupannya. Pernyataan di atas memberikan pengertian bahwa geografi
permukiman merupakan kajian yang sangat penting karena berkaitan dengan lingkungan yang
merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya tentang bagaimana bentuk
permukiman tersebut tetapi bagaimana proses permukiman tersebut ada dan berlangsung hingga
sekarang serta bagaimana keberlanjutan permukiman di masa akan datang.

1. Teori Permukiman

Permukiman secara fungsional mendasarkan pada perluasan dampak ekonomi suatu


permukiman terhadap permukiman di sekitarnya berdasarkan fungsi pelayanan suatu
permukiman (Wesnawa, 2015:29). Permukiman atas dasar fungsi pelayanan terdapat teori yang
menghubungkan fungsi dan lokasi permukiman beserta pola keteraturannya. Teori tempat pusat
(Central Place theory) dikemukakkan Christaller 1933 dalam Daldjoeni (1997:101) bahwa suatu
wilayah (region) sebagai suatu daratan yang homogen secara geografis dengan penduduk yang
merata persebarannya, penduduk tersebut membutuhkan barang dan jasa. Kebutuhan tersebut
oleh Cristaller dikekumkakan dalam dua konsep:

1) Range, yaitu jarak yang perlu ditempuh orang untuk mendapatkan barang
kebutuhannya
2) Threshold, jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan
kesinambungan suplai barang.

5
Asumsi Christaller menyatakan, bahwa orang akan memilih menempuh jarak yang paling
dekat dengan tempat tinggalnya untuk untuk mendapatkan barang kebutuhan. Teori Christaller
menjelaskan bahwa penduduk akan memilih tinggal dekat dengan pusat kota agar memperkecil
biaya yang akan dikeluarkan untuk mendapatkan barang kebutuhannya.

6
2. Klasifikasi Permukiman

Wesnawa (2015: 33) mengklasifikasikan permukiman berdasarkan:

1) Scope bahasan (skala), dibedakan menjadi permukiman skala mikro, meso dan makro.
Skala mikro dalam wujud rumah secara individu yang ada dalam suatu lingkungan rumah
meliputi bangunan rumah, fasilitas, kesehatan, lingkungan, dan keindahan arsitektural. Skala
meso berada dalam kelompok yang berbeda dalam lingkungan perumahan, perbedaan
karakteristiknya disebabkan oleh struktur mata pencarian pemukimnya. Skala makro, wilayah
elemennya meliputi fisik, sosial budaya, ekonomi, politik dan teknologi.

2) Tapak, meliputi:

 permukiman pantai, berlokasi di pesisir dengan karakteristik pemukim adalah


nelayan,

 permukiman dataran rendah, ditempati oleh mereka yang bekerja sebagai petani,
mereka yang bekerja disektor jasa/pelayanan, pemerintahan, perdagangan,
perindustrian, pariwisata dan sektor perekonomian lainnya. dan

 permukiman dataran tinggi, karakteristiknya hampir mirip dengan permukiman


pesisir, umumnya aktivitas disektor agraris atau pertanian lahan kering.

2. Kualitas

 Kualitas permukiman tinggi berada pada kawasan permukiman elit dengan


penghuni masyarakat berpenghasilan tinggi;

 Kualitas permukiman rendah umumnya dimiliki oleh mereka yang berpenghasilan


rendah.

3. Tipe Permukiman

Wesnawa (2015: 32) membagi tipe permukiman berdasarkan waktu hunian, yaitu adanya
permukiman sementara yang dihuni beberapa hari hingga beberapa tahun dan tipe permukiman
berdasarkan karateristik fisikdan nonfisik, yaitu perubahan suatu permukiman yang berarti
adanya pertumbuhan diwilayah tersebut, perubahan tersebut dapat dilihat dari sifat, ukuran, gaya
bangunan dan fungsi wilayah.

7
B. Ruang Lingkup Geografi Permukiman

1.    Konsep Permukiman

Permukiman merupakan objek material geografi dan dapat pula dipandang sebagai objek
formal geografi. Objek material geografi meliputi gejala-gejala yang terdapat dan terjadi di
permukaan bumi, sedangkan objek formal geografi adalah cara memandang dan cara berfikir
mengenai permukiman melalui pendekatan keruangan. Studi mengenai permukiman merupakan
bagian dari ilmu studi geografi karena permukiman merupakan bagian geosfer yang dalam
lingkup keruangan. Permukiman menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang
Perumahan dan Permukiman adalah, bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik
dalam lingkup perkotaan maupun pedesaan, dan juga memiliki  fungsi sebagai lingkungan
tempat hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Agenda 21 Indonesia (Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan (1997:24)


dalam Widyastomo (2011) aspek sosial, ekologis, dan fungsional merupakan elemen-elemen
yang saling terpadu, menunjang antara satu dengan lainnya untuk menjamin peningkatan kualitas
hidup secara berkelanjutan. Menurut Johan Silas (1985) suatu permukiman hendaknya mengikuti
kriteria bagi permukiman yang baik, dengan memenuhi aspek fisik dan aspek nonfisik. Proses
bermukim menjadi faktor  pengikat antara masa dulu, kini dan masa akan datang dengan tujuan
peningkatan kualitas hidup. Aspek fisik dan nonfisik saling mempengaruhi satu dengan yang lain
sebagai wujud dari aspek-aspek yang tidak saling terpisahkan antara satu dengan lainnya
(Widyatsomo, 2011).

a.   Permukiman Kumuh

Permukiman kumuh menjadi salah satu cara mayarakat miskin mengatasi persoalan
perumahan yang terjangkau (Maharani dan Umilia, 2013). Permukiman kumuh menurut UU
No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan  permukiman, adalah permukiman yang tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan
serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat(Advianty dan Hendayeni, 2013). Untuk
permukiman dengan tingkat kekumuhan tinggi dibutuhkan adanya optimalisasi partisipasi
masyarakat pada tangga ketiga dan permukiman dengan tingkat kekumuhan sedang, optimalisasi
partisipasi yang dapat dilakukan dengan memberikan forum penjaringan aspirasi masyarakat

8
yang komunikatif dan merekrut fasilitator yang kompeten dan lebih peka dengan kondisi
masyarakat.

Penybab kawasan kumuh menurut Maharani dan Umilia (dalam RP4D, 2008) yaitu
dipicu oleh tingginya angka  urbanisasi yang masuk. Banyak warga dari luar kota berbondong-
bondong datang dengan tujuan untuk bekerja atau keperluan lain. Peningkatan jumlah penduduk,
pembangunan dan penambahan pusat-pusat aktivitas baru pemacu pertumbuhan wilayah secara
langsung meningkatkan kebutuhan perumahan dan lahan dengan keterbatasan ketersediaan lahan
di suatu wilayah. Hal itu mengakibatkan pemanfaatan lahan secara intensif dengan kepadatan
bangunan dan penduduk yang tinggi. Implikasinya penyediaan lahan semakin menipis sehingga
harga lahan menjadi mahal.

Pertumbuhan permukiman kumuh ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut


Clinard Marshall B. (1966), disebutkan bahwa pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu :

 Growth of density (pertambahan penduduk)

Adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan


jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru, secara manusiawi mereka ingin menempati
rumah milik mereka sendiri. Semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan
permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman.

 Urbanization (Urbanisasi)

Adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun
dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat
yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar
pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan
pusat kota.

b.  Permukiman miskin

9
Konteks kemiskinan tidak hanya diukur dari penghasilan (income poverty), tetapi juga
kondisi rumah yang buruk dan kumuh, serta kekurangan bahan kebutuhan pokok, sehingga
terkadang kemiskinan ‘memiliki banyak dimensi’ (Purwandari dan Arymurty, 2010).

Permukiman miskin menurut Purwandari dan Arymurthy (dalam UN-HABITAT, 2008) 


Pemukiman miskin adalah pemukiman padat dengan karakteristik penduduk mengalami
kekurangan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan rumah . Motivasi munculnya pemukiman
miskin adalah ketersediaan lapangan pekerjaan, kemudahan lokasi pasar dan pusat perbelanjaan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup, kedekatan dengan wilayah industri dan komersial, akses
layanan publik, akses jaringan transportasi umum dan ketersediaan air.

Karakteristik lokasi-lokasi berkembangnya pemukiman miskin pada data spasial adalah


sebagai berikut:

 Pola tata ruang.

Rencana pola tata ruang wilayah pembangunan lahan dan alokasi  pemukiman yang kurang
baik, tidak ada ruang terbuka dan jalan yang menimbulkan kecenderungan bentuk dan ukuran
yang tidak teratur. Sebaliknya alokasi perumahan yang teratur memiliki ruang terbuka yang lebih
menonjol.

 Struktur rumah.

Perumahan padat cenderung memiliki struktur ukuran yang lebih kecil dan
bersebelahan/berhimpitan.

 Batas rumah

Pemukiman rumah yang spontan tanpa perencanaan memiliki bentuk batasan poligon yang
tidak teratur.

 Cluster dan penyebaran pemukiman

10
Tanpa perencanaan yang jelas menyebabkan ketidakseimbangan, tidak meratanya cluster
populasi padat di satu sisi dan populasi yang jarang di sisi lainnya, tidak ada wilayah vegetasi
dan ruang wilayah publik yang cukup.

 Bentuk reflektance atau radiasi

Umumnya wilayah pemukiman informal memiliki bentuk radiasi yang berbeda karena
degradasi alam, ukuran bangunan dan sifat material bangunan yang mudah rusak sehingga
terlihat lebih gelap.

 Atribut lokasi

Biasanya pemukiman padat terletak di perkotaan, dekat wilayah komersial dan industri
sebagai daya tarik utama urbanisasi serta mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat
kerja. Selain itu, pemukiman ini sering ditemukan pada zona berbahaya seperti sekitar aliran
sungai, sepanjang rel kereta api, di bawah jembatan layang, dan dekat tempat pembuangan
sampah.

2. Pola Permukiman

Pola permukiman menurut Widyatsomo (dalam Yoduhusodo, 1991) terdapat 3 pola


permukiman yaitu:

1.      perumahan yang direncanakan dengan baik dan dibangun dengan baik dan teratur rapi serta
memiliki prasarana, utilitas dan fasilitas yang cukup baik

2.      perumahan yang berkembang tanpa direncanakan terlebih dahulu. Polanya tidak teratur,
prasarana, utilitas dan fasilitasnya tidak memenuhi syarat kuantitas maupun kualitas. Dibedakan
antar dua tipe utama, yaitu tipe kampung dan tipe perumahan liar

3.      perumahan yang tidak sepenuhnya direncanakan dengan baik. Jalan utama dan di kiri
kanan jalandibangun rumah yang baik dan teratur. Namun, ditengah dan belakang tumbuh
rumah-rumah tipe kedua yaitu rumah-rumah yang tidak teratur.

11
3.   Perubahan Permukiman

Perubahan pada permukiman menurut Widyatsomo (dalam Rapoport, 1969) perubahan


bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor fisik atau faktor tunggal lainnya, tetapi
merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam pengertian yang
luas. Pembentukan lingkungan permukiman, Rapoport dibagi menjadi dua kelompok elemen
dasar, yakni elemen fisik, seperti, kondisi iklim, metode konstruksi, material yang tersedia dan
teknologi, dan elemen socio-cultural. selalu berubah sehingga makna bangunan maupun
permukiman juga dapat berubah. Hanya saja perubahan tersebut tidaklah selalu terjadi secara
serentak dan pada seluruh elemen ataupun tatanannya, akan tetapi selalu dijumpai adanya unsur
yang berubah dan yang tetap atau constancy and change.

Hal ini dipertegas oleh Silas (1999) mengatakan bahwa rumah adalah bagian utuh dari
suatu permukiman dan bukan semata-mata hasil fisik yang sekali jadi, tapi merupakan proses
yang berkembang berlanjut dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya, dengan
tujuan untuk merangsang kesejahteraan individu dan masyarakat sekitarnya. Kekhasan fisik
permukiman merupakan salah satu bagian dari potensi yang perlu ditemukan dan dikembangkan
kembali agar kawasan memiliki identitas atau ciri khas yang menjadi daya tarik.  kekhasan fisik
kawasan dapat dilihat dari pola dan tatanan bangunan serta bentuk rumah masih asli (rumah
adat).

12
BAB III

PENUTUP

A Kesimpulan

Permukiman menurut UU no. 4 tahun 1992 adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan
dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana
lingkungan yang terstruktur. Dalam mempelajari permukiman ada dua hal yang harus
diperhatikan yaitu kondisi bangunan rumah itu sendiri dan juga lingkungan permukiman.
Penilaian secara terestrial yaitu dilakukan dengan melakukan survei langsung dilapangan
untuk memperoleh informasi sedangkan teknik penginderaan jauh yaitu dengan memanfaatkan
citra satelit ataupun foto udara. Teknik penginderaan jauh banyak dimanfaatkan dewasa ini
karena perolehan data yang relatif cepat dan dapat menghemat waktu serta biaya dibandingkan
bila dilakukan secara terestrial.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini semoga bisa menjadi referensi dan bisa dijadikan sumber
yang relevan bagi pembaca. Tentu banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi penulis agar menjadi acuan
untuk penulisan makalah ke depan yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTKA

Barbara P.B, Umilia Emi. 2014. Clustering Permukiman kumuh Di Kawasan Pusat Kota
Surabaya. Jurnl Teknik Pomits Volume 3 No 2 2014 Issn:2337-3539. (online)
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=177512&val=4186&title=Clustering
%20Permukiman%20Kumuh%20di%20Kawasan%20Pusat%20Kota%20Surabaya. Jurusan
perencanaan wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi 10
November.

Maharani L.A., Umilia Emi. 2013. Tipologi Permukiman Kumuh Di Pinggiran Selatan Kota
Surabaya. Jurnal Teknik Pomits Volume 2 No 2 2013 Issn:2337-

13
3539.http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-37229-3610100049-paper.pdf. Jurusan perencanaan
wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi 10 November.

Advianty Sekar A, Handayani K.D.M.E. 2013. Tingkat partisipasi Masyarakat pada Permukiman
Kumuh Kelurahan Ploso. Jurnal Teknit Pomits Volume 2 No 2 2013 Issn:2337-3539. (online)
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0ahUKEwjK_vLA7tHPAhXFLo8KHZyJCH
IQFggqMAE&url=http%3A%2F%2Fejurnal.its.ac.id%2Findex.php%2Fteknik%2Farticle
%2Fdownload%2F3924%2F1235&usg=AFQjCNGj4-
qIGdLwRaxWLAEohLC0p4808A&cad=rja. Jurusan perencanaan wilayah dan Kota, Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi 10 November.

Widyastomo Deassy. 2011. Perubahan pola permukiman Tradisional Suku Sentani di Pesisir
Danau Sentani. Jurnal Permukiman Volume 6 No 2 Agustus 2011 Issn: 1907-4352 .(online)
http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20131119125451.pdf. Fakultas Teknik
Universitas Cenderawasih.

Suganda Emirhadi, Dkk. 2009. Menelaah ruang bertinggal manusia pada permukiman di sekitar
pasar: permasalahan perancangan kota pada skala makro dan mikro. Makara, Sosial Humaniora,
Volume. 13 No. 1 Juli 2009.

14

Anda mungkin juga menyukai