Anda di halaman 1dari 9

2.

2 Risiko Tinggi Penyakit


2.2.1 Hipertensi
Menurut Oktaviarini (2019), kelompok risiko tinggi hipertensi adalah sebagai berikut.
a) Usia
Menurut Syahrini Dkk. (2012) dalam sebuah penelitian epidemiologis
dan risiko tinggi Hipertensi di Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang
didapatkan hasil tabel di bawah ini. Tabel d bawah ini diambil dari 80 orang
yang dibagi secara spesifik ke dalam kelompok umur di bawah ini.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan


kejadian hipertensi di setiap kelompok umur. Dalam penelitian tersebut
ditemukan puncak kejadian hipertensi adalah pada kelompok usia lebih dari 65
tahun dengan 100 % responden kelompok usia 65 tahun semuanya menderita
hipertensi atau 36 persen dari 80 responden.
b) Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko hipertensi 1,4 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena kondisi fisiologis
pria yang memiliki aktivitas plasma renin lebih tinggi daripada perempuan.
Kondisi ini berpengaruh pada produksi Angiotensin II pada Renin Angiotensin
System (RAS). Tingginya aktivitas renin disebabkan oleh hormone testosteron
yang dapat secara langsung merangsang reabsorpsi natrium melalui tubulus
ginjal (Reckelhoff, 2005).
c) Obesitas
Menurut Syahrini Dkk. (2012), terdapat hubungan antara obesitas dengan
hipertensi. Dimana kelompok indeks masa tubuh (IMT) lebh dari 27 memiliki
rasio menderita hipertensi : tidak menderita hipertensi sebesar 4 :1. Keadaan
obesitas dapat meningkatkan risiko hipertensi kemungkinan disebabkan oleh
massa lemak dalam tubuh yang sangat tinggi. Dimana masa lemak ini
kemungkinan menghambat lumen pembuluh darah dalam mengangkut darah ke
seluruh tubuh sehingga jantung harus memompa lebih kuat lagi agar darah
dapat tersampaikan ke seluruh tubuh.
d) Gaya hidup
Gaya hidup Sedentary atau perilaku dimana seseorang banyak
menghabiskan waktu dengan posisi duduk atau berbaring. Ketika seseorang
jarang melakukan aktivitas fisik, maka akan terjandi pengenduran otot dimana
ketika terjadi hal tersebut kerja jantung untuk memberikan nutrisi paa otot akan
semakin tinggi (Kristiani, 2002).
Selain sedentary lifestyle, kebiasaan merokok juga dapat membawa pada
kondisi risiko tinggi hipertensi. Hal ini terjadi lantaran kandungan nikotin pada
rokok dapat mengganggu sistem saraf simpatis yang bekerja dalam proses
peregangan (vasodilator) sehingga system regulasi tekanan darah menjadi
terganggu.
2.2.2 Obesitas
Menurut Kurdanti Dkk. (2015) disebutkan beberapa faktor risiko obesitas yang mana
adalah sebagai berikut.
a) Asupan Protein
Dalam Kurdanti Dkk, (2015) disebutkan bahwa peningkatan konsumsi
protein sebanding dengan peningkatan kejadian obesitas. Hal ini dapat terjadi
karena ketika protein berlebih akan mengalami deaminasi dimana nitrogen akan
diekskresikan oleh tubuh sedangkan sisa-sisa karbon akan diikat oleh lemak
dan disimpan oleh tubuh. Jadi dapat disimpulkan bahwa protein tidak dapat
secara langsung mengakibatkan obesitas akan tetapi memerlukan lemak sebagai
pengikat karbon hasil deaminasi proten berlebih.
b) Asupan Lemak
Asupan lemak berlebih berbanding lurus dengan kejadian obesitas.
Lantaran semakin banyak pemasukan lemak dan dibarengi dengan gaya hidup
sedentary dan asupan tak terkontrol membawa pada kondisi peningkatan
penyimpanan lemak di tubuh (Kurdanti Dkk. 2015).
Dalam penelitian epidemiologis tahun 2015 di Amerika Serikat,
didapatkan hasil bahwa anak berusia 4-19 tahun dengan konsumsi lemak setiap
hari dapat meningkatkan berat badan sebesar 3 kilogram setiap tahun nya.
Kondisi ini terjadi dengan control aktivitas fisik normal.
c) Asupan Karbohidrat
Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi manusia. Karbohidrat
sendiri akan dipecah menjadi glukosa agar dapat dicerna secara mudah oleh
tubuh. Ketika terjadi kelebihan jumlah input karbohidrat yang tidak dibarengi
dengan output seimbang, maka glukosa dengan bantuan insulin akan dikonversi
menjadi lemak sebagai cadangan energi. Hal itulah gambaran bagaimana
asupan karbohidrat sebanding dengan peningkatan kejadian obesitas (Kurdanti
Dkk. 2015).
d) Aktivitas Fisik
Menurut Kurdanti Dkk. (2015), penderita obesitas memiliki faktor
penyebab kurangnya aktivitas fisik lebih tinggi dibandingkan dengan non
penderita obesitas. Orang-orang yang kurang aktif membutuhkan kalori dalam
jumlah sedikit dibandingkan orang dengan aktivitas tinggi. Seseorang yang
hidupnya kurang aktif (sedentary life) atau tidak melakukan aktivitas fisik yang
seimbang dan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak, akan cenderung
mengalami obesitas. Gaya hidup yang kurang aktivitas fisik akan berpengaruh
terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik diperlukan untuk membakar
energi dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi
dengan aktivitas fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang menjadi
gemuk
e) Faktor Genetik
Menurut Kurdanti Dkk (2015) seseorang yang memiliki ayah dan ibu
dengan status obesitas berisiko lebih besar menjadi obesitas dibandingkan
dengan remaja yang memiliki ayah dan ibu yang tidak obesitas. Faktor genetik
dapat menyebabkan secara langsung maupun tidak langsung pada kejadian
obesitas. Secara tidak langsung, gaya hidup dan pola makan orang tua obesitas
dapat meningkatkan risiko obesitas pada keturunannya 70-80 %. Secara
langsung, studi genetik terbaru telah mengidentifikasi adanya mutasi gen yang
mendasari obesitas. Terdapat sejumlah besar gen pada manusia yang diyakini
mempengaruhi berat badan dan adipositas.
2.2.3 Diabetes Mellitus
Menurut Perkeni (2011), ada beberapa faktor risiko kejadian Diabetes Melitus yang
mana adalah sebagai berikut.
a) Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi (unmodifiable risk factor)
Faktor risiko unmodifiedable yang sudah ada dan melekat pada seseorang
sepanjang kehidupannya. Sehingga faktor risiko tersebut tidak dapat
dikendalikan oleh dirinya. Faktor risiko DM yang tidak dapat dimodifikasi
antara lain.
1) Ras dan etnik
Ras atau etnik yang dimaksud contohnya seperti suku ataukebudayaan
setempat dimana suku atau budaya dapat menjadisalah satu faktor risiko DM
yang berasal dari lingkungan sekitar (Masriadi,2012).
2) Riwayat keluarga dengan DM
Seorang anak yang merupakan keturunan pertama dari orang tua
dengan DM (Ayah, ibu, laki-laki, saudara perempuan) beresiko menderita
DM. Bila salah satu dari kedua orang tuanya menderita DM maka risiko
seorang anak mendapat DM tipe 2 adalah 15% dan bila kedua orang tuanya
menderita DM maka kemungkinananak terkena DM tipe 2 adalah 75%. Pada
umunya apabila seseorang menderita DM maka saudara kandungnya
mempunyai resiko DM sebanyak 10% (Kemenkes, 2008).
Ibu yang terkena DM mempunyai resiko lebih besar 10-30% daripada
ayah dengan DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam
kandungan lebih besar dari seorang ibu (Trisnawati & Soedijono, 2013).
3) Usia
Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pada usia lebih dari 45 tahun sebaiknya harus dilakukan
pemeriksaan DM. Diabetes seringkali ditemukan pada masyarakat dengan
usia yang sudah tua karena pada usia tersebut, fungsi tubuh secara fisiologis
makin menurun dan terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin
sehingga kemampuan fungsi tubuh untuk mengendalikan gluskosa darah
yang tinggi kurang optimal (Gusti & Ema, 2014).
4) Riwayat kelahiran
Melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi yaitu lebih dari 4000
gram atau riwayat pernah menderita diabetes mellitus gestasional (DMG)
berpotensi untuk menderita DM tipe 2 maupun gestasional. Wanita yang
pernah melahirkan anak dengan berat lebih dari 4 kg biasanya dianggap
sebagai pra diabetes (Kemenkes, 2008).
5) Riwayat kelahiran
Melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih
tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal. Seseorang
yang lahir dengan BBLR dimungkinkan memiliki kerusakan pankreas
sehingga kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin akan terganggu.
Hal tersebut menjadi dasar mengapa riwayat BBLR seseorang dapat berisiko
terhadap kejadian BBLR (Kemenkes, 2008).
b) Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
1) Berat badan berlebih (IMT > 23 kg/m2)
Obesitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan
kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringansubkutan tirai
usus, organ vital jantung, paru-paru, dan hati). Obesitas juga didefinisikan
sebagai kelebihan berat badan. Indeks masa tubuh orang dewasa normalnya
ialah antara 18,5-25 kg/m2. Jika lebih dari 25 kg/m2 maka dapat dikatakan
seseorang tersebut mengalami obesitas (Gusti & Erna, 2014).
2) Obesitas abdominal
Kelebihan lemak di sekitar otot perut berkaitan dengan gangguan
metabolik, sehingga mengukur lingkar perut merupakan salah satu cara
untuk mengukur lemak perut (Balkau, 2014). Seorang yang mengalami
obesitas abdominal (Lingkar perut pria >90 cm sedangkan pada wanita >80
cm) maka berisiko 5,19 kali menderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa obesitas sentral khususnya di perut yang
digambarkan oleh lingkar pinggang dapat memprediksi gangguan akibat
resistensi insulin pada DM tipe 2 (Trisnawati dkk, 2013).
Pada orang yang menderita obesitas, dalam tubuhnya terjadi
peningkatan pelepasan asam lemak bebas (Free Fatty Acid/FFA) dari lemak
visceral yaitu lemak pada rongga perut yang lebih resisten terhadap efek
metabolik insulin dan juga lebih sensitif terhadap hormon lipolitik.
Peningkatan FFA menyebabkan hambatan kerja insulin sehingga terjadi
kegagalan uptake glukosa ke dalam sel yang memicu peningkatan produksi
glukosa hepatic melalui proses glukoneosis (Kemenkes, 2008).
Peningkatan jumlah lemak abdominal mempunyai korelasi positif
dengan hiperinsulin dan berkorelasi negatif dengan sensitivitas insulin
(Kemenkes, 2008). Itulah sebabnya mengapa obesitas pada abdominal
menjadi berisiko terhadap kejadian Diabetes Mellitus tipe 2.
3) Kurangnya aktivitas fisik.
Kurang aktivitas fisik dan berat badan berlebih merupakan faktor yang
paling utama dalam peningkatan kejadian Diebets Mellitustipe 2 di seluruh
dunia. Menurut WHO yang dimaksud dengan aktifitas fisik adalah kegiatan
paling sedikit 10 menit tanpa berhenti dengan melakukan kegiatan fisik
ringan, sedang maupun berat. Kegiatan fisik dan olahraga teratur sangatlah
penting selain untuk menghidari obesitas, juga untuk mencegah terjadinya
diabetes mellitus tipe 2. Pada waktu melakukan aktivitas dan bergerak, otot-
otot memakai lebih banyak glukosa daripada pada waktu tidak bergerak.
Dengan demikian kosentrasi glukosa darah akan menurun. Melalui
olahraga/kegiatan jasmani, insulin akan bekerja lebih baik, sehingga glukosa
dapat masuk ke dalam sel-sel otot untuk digunakan (Soegondo, 2008).
4) Hipertensi (> 140/90 mmHg)
Disfungsi endotel merupakan salah satu patofisiologi umum yang
menjelaskan hubungan yang kuat antara tekanan darah dan kejadian
Diabetes Mellitus tipe 2. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
penanda disfungsi endotel berhubungan dengan durasi lamanya menderita
Diabetes dan disfungsi endotel berkaitan erat dengan hipertensi (Conen dkk,
2007).
Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin.
Pengaruh hipertensi terhadap kejadian Diabetes mellitus disebabkan oleh
penebalan pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh
darah menjadi menyempit. Hal ini yang akan menyebabkan proses
pengangkutan glukosa dari dalam darah ke sel menjadi terganggu. Seorang
yang hipertensi berisiko 2,3 kali untuk terkena Diabetes Mellitus tipe 2
(Wiardani, 2010).
5) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama dari aterosklerosis
dan penyakit jantung koroner. Arteosklerosis dapat menyebabkan aliran
darah terganggu. Dislipidemia adalah salah satu komponen dalam trias
sindrom metabolik selain Diabetes dan hipertensi.
6) Diet tak sehat (unhealthy diet)
Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko
menderita prediabetes dan akhirnya menderita diabetes mellitus tipe 2.
2.2.4 Dislipidemia
Menurut Perkeni (2015), dalam melakukan penapisan kelompok risiko tinggi
dislipidemia ada beberapa individu yang dimasukkan ke dalam kelompok risiko tinggi
dislipidemia.
a) Perokok aktif
b) Diabetes
c) Hipertensi
d) Riwayat keluarga dengan PJK dini
e) Riwayat keluarga dengan hiperlipidemia
f) Penyakit ginjal kronik
g) Penyakit inflamasi kronik
h) Lingkar pinggang >90 cm untuk laki-laki dan >80 cm untuk perempuan
i) Disfungsi ereksi
j) Adanya ateroskelrosis atau abdominal aneurisma
k) Manifestasi klinis dari hiperlipidemia
l) Obesitas (IMT>27 kg/m2)
m) Laki-laki usia 40 tahun atau lebih atau wanita usia 50 tahun atau lebih atau
sudah menopause.
Daftar Pustaka
Oktaviarini, Eka, Hadisaputro, Suharyo, Chasani, Shofa, Dkk., 2019, Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, ’Faktor yang Berisiko terhadap Hipertensi pada Pegawai di
Wilayah Perimeter Pelabuhan (Studi di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II di
Semarang), vol. 4, no. 1, pp. 36-44.
Syahrini, Erlyna Nur, 2012, Faktor-faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas Tlogosari
Kulon Kota Semarang, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro,
Semarang.
Reckelhoff, JF, 2005, Hypertension, ‘Sex Steroids, Cardiovascular Disease, and Hypertension
Unanswered Questions and Some Speculations’, .vol. 1, no. 45, pp.170-174.
Kristanti CM, 2002, Artikel. Media Litbang Kesehatan, ‘Kondisi Fisik Kurang Gerak dan
Instrumen Pengukuran’, vol. 12, no. 1, pp. 1-5
Kurdanti, Weni, Suryani, Isti, Syamsiatun, Nurul Huda, Dkk., 2015, Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Obesitas pada Remaja’, vol.
11, no. 4, pp. 179-190.
Soelistijo Soebagijo Edi, Dkk., 2011, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia, PB Perkeni, Jakarta.
Arsana, Putu Moda, Dkk., 2015, Panduan Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia, PB
Perkeni, Jakarta.
Masriadi, 2012, Epidemiologi, Penerbit Ombak, Yogyakarta.
______, 2008, Profil Kesehatan Indonesia 2007, Kemenkes Republik Indonesia, Jakarta.
Trisnawati, KS, Soedijono, Setyorogo, 2013, Jurnal Ilmiah Kesehatan,’Faktor Risiko
Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat
Tahun 2012’, vol. 5, no. 1, pp. 6-11.
Gusti, Erna, 2014, Media Bina Ilmiah, ‘Hubungan Faktor Risiko Usia, Jenis Kelamin,
Kegemukan, dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja
Puskesmas Mataram, vol. 8, no. 1, pp. 39-44.
Soegondo, S., 2011, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai