Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

ULKUS KORNEA BAKTERIAL

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Mata RS Bethesda
pada Program Pendidikan Dokter Tahap Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun oleh:
Joshua Hariara Siahaan 42200414
Cynthia Kumala Sari 42200415
Gusti Agung Sinta Shakuntala 42200416
Vanessa Veronica 42200417
Debora Desi Setiasari 42200418
Raven Chrissando Pratista Maubanu 42200419

Pembimbing:
dr. Edy Wibowo, Sp.M., M.P.H.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA


RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................3

I. DEFINISI ........................................................................................................3

II. EPIDEMIOLOGI ............................................................................................3

III. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI ...............................................4

IV. FAKTOR RISIKO ..........................................................................................7

V. KLASIFIKASI ................................................................................................8

VI. ETIOPATOGENESIS ..................................................................................15

VII. DIAGNOSIS .................................................................................................18

VIII. DIAGNOSIS BANDING .............................................................................21

IX. TATALAKSANA ........................................................................................25

X. EDUKASI .....................................................................................................33

XI. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI .............................................................34

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................35

ii
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Ulkus (tukak) kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan
kornea akibat kematian jaringan (Ilyas, 2014). Ulkus kornea biasanya
merupakan ulkus infeksi akibat kerusakan pada epitel (Khaw P T, 2004;
Biswell R, 2017). Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin ditemukan
oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel
radang. Ulkus terbagi kepada dua bentuk yaitu ulkus kornea sentral dan
ulkus kornea marginal atau perifer.
Ulkus kornea dapat disebabkan oleh infeksi dari bakteri, viral atau
fungi (Ilyas, 2014; Khaw P T, 2004). Ulkus kornea yang luas memerlukan
penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah perluasan ulkus dan
timbulnya komplikasi seperti desmetokel, perforasi, endoftalmitis, bahkan
kebutaan. Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama
kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Kebanyakan
gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila diagnosis
penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai (Ilyas,
2014; Biswell R,2017).

II. EPIDEMIOLOGI
Insiden ulkus kornea sekitar 25.000 orang per tahun yang pada
umumnya diawali dengan keratitis. Angka kejadian ulkus kornea pada
penderita yang menggunakan lensa kontak sekitar 4 kejadian per 10.000
pengguna lensa kontak. Ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma,
pemakaian lensa kontak, infeksi dan kadang-kadang tidak diketahui
penyebabnya. Berbagai mikroorganisme dapat menimbulkan penyakit ini,
diantaranya adalah bakteri, jamur, virus (Liesegang TJ, 2012; Khaw PT,
2004).

3
Penelitian di United Kingdom melaporkan beberapa faktor yang
berkaitan dengan meningkatnya resiko terjadinya invasi pada kornea,
penggunaan lensa kontak yang lama, laki-laki, merokok dan akhir musim
semi (Maret-Juli). Dari penelitian juga didapatkan insiden terjadinya ulkus
kornea meningkat sampai delapan kali lipat pada mereka yang tidur sambil
memakai lensa kontak dibanding dengan mereka yang memakai lensa
kontak hanya ketika waktu bekerja (Jesse Borke, 2019).
Ulkus kornea dapat mengenai semua umur. Kelompok dengan
prevalensi penyakit yang lebih tinggi adalah mereka dengan faktor resiko.
Kelompok pertama yang berusia di bawah 30 tahun adalah mereka yang
memakai lensa kontak dan atau dengan trauma okuler, dan kelompok kedua
yang berusia di atas 50 tahun adalah mereka yang mungkin menjalani
operasi (Jesse Borke, 2019).

III. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI


Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di
limbus, lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus
skleraris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,52 mm di tengah,
sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 12,5 mm dari anterior ke
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel
(yang bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman,
stroma, membran Descement, dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan
kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung dengan
kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Kalau kornea oedema karena suatu
sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan
sinar sehingga penderita akan melihat halo (Ilyas, 2014).
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar ke dalam:
1. Lapisan epitel

4
a. Tebalnya 40 µm , terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal
dan sel gepeng.
b. Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi
rekuren.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju
kedepan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal disampingnya dan sel polygonal didepannya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
c. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
a. Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari
lapisan fibril kolagen yang tersusun secara random.
b. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro meter. Bila terjadi luka
yang mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan jaringan
parut karena tidak memiliki daya regenerasi.
3. Jaringan Stroma
a. Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak
diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk
bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I, III
dan VI.

5
b. Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga
kandungan air di stroma sebesar 78%.
4. Membran Descement
a. Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane
basalnya.
b. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 µm.
5. Endotel
a. Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidosom dan zonula okluden.
b. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang
menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terut
menjaga kejernihan kornea.

Gambar 3.1. Histologi Kornea Potongan Melintang


Sumber: https://entokey.com/cornea-13/?hcb=1

6
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalan
supra koroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepaskan selubung Schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di
daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah
pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquous, dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir.
Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam,
avaskularitasnya dan deturgensinya (Ilyas, 2014).
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesens. Deturgesens, atau
keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa”
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.
Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan
cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada
epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan
hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila
sel-sel epitel itu telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata
prakornea berakibat film air mata menjadi hipertonik; proses itu dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma
kornea superficial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi (Biswell,
2017).

IV. FAKTOR RISIKO


Faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang mengalami ulkus
kornea bakteri dapat dibagi menjadi 2 kategori, yakni: (Lin, et al., 2018)

7
1. Faktor intrinsik. Penggunaan lensa kontak merupakan faktor risiko
terbesar terjadinya ulkus kornea apabila disertai dengan:
- Pemakaian lensa terus menerus tanpa dilepas
- Higienitas yang buruk
- Lensa kontak yang terkontaminasi
- Trauma, termasuk trauma kimia, suhu, benda asing, dan iritasi lokal
- Penggunaan lensa secara bersama-sama
- Berenang dan mandi dengan penggunaan lensa kontak
- Pekerjaan, seperti daerah agrikultural (petani, tukang kebun)
2. Penyakit penyerta pada mata, meliputi:
- Abnormalitas kelopak mata
- Bulu mata yang tidak teratur
- Infeksi virus, seperti herpes simpleks dan varicella zoster, infeksi
bakteri, jamur, parasit
- Edema pada kornea

V. KLASIFIKASI
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu:
(Biswell R,2017; Kanski,2019)
a. Ulkus Kornea Sentral
i. Ulkus Kornea Bakterialis
1. Ulkus Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke
arah tengah kornea (serpiginous). Ulkus bewarna
kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi
ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke
dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena
eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok
pneumonia.
2. Ulkus Stafilokokus

8
Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna
putih kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas
tepat dibawah defek epitel. Apabila tidak diobati
secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang
disertai edema stroma dan infiltrasi sel leukosit.
Walaupun terdapat hipopion ulkus seringkali indolen
yaitu reaksi radangnya minimal.

Gambar 5.1. Ulkus Kornea Bakterial


Sumber: Biswell R (2017)

3. Ulkus Pseudomonas
Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah
sentral kornea. ulkus sentral ini dapat menyebar ke
samping dan ke dalam kornea. Penyebaran ke dalam
dapat mengakibatkan perforasi kornea dalam waktu
48 jam. gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-
abu dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna
kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti
cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat
hipopion yang banyak.

9
Gambar 5.2. Ulkus Kornea Pseudomonas
Sumber: Biswell R (2017)

4. Ulkus Pneumokokus
Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral
yang dalam. Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke
arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran
karakteristik yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus
terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan
berwarna kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus
sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang
menggaung dan di daerah ini terdapat banyak kuman.
Ulkus ini selalu di temukan hipopion yang tidak
selamanya sebanding dengan beratnya ulkus yang
terlihat. Diagnosa lebih pasti bila ditemukan
dakriosistitis.

Gambar 5.3. Ulkus Kornea Bakterial dengan Hipopion


Sumber: Biswell R (2017)

10
ii. Ulkus Kornea Fungi
Mata dapat tidak memberikan gejala selama
beberapa hari sampai beberapa minggu sesudah trauma yang
dapat menimbulkan infeksi jamur ini. Pada permukaan lesi
terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak
kering. Tepi lesi berbatas tegas irregular dan terlihat
penyebaran seperti bulu pada bagian epitel yang baik.
Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di bagian
sentral sehingga terdapat satelit-satelit disekitarnya. Tukak
kadang-kadang dalam, seperti tukak yang disebabkan
bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan
permukaan naik. Dapat terjadi neovaskularisasi akibat
rangsangan radang. Terdapat injeksi siliar disertai hipopion.

Gambar 5.4. Ulkus Kornea Fungi


Sumber: Biswell R (2017)

iii. Ulkus Kornea Virus


1. Ulkus Kornea Herpes Zoster
Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan
perasaan lesu. Gejala ini timbul satu 1-3 hari sebelum
timbulnya gejala kulit. Pada mata ditemukan vesikel
kulit dan edem palpebra, konjungtiva hiperemis,
kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel
dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang
bentuknya berbeda dengan dendrit herpes simpleks.

11
Dendrit herpes zoster berwarna abu-abu kotor
dengan fluoresin yang lemah. Kornea hipestesi tetapi
dengan rasa sakit keadaan yang berat pada kornea
biasanya disertai dengan infeksi sekunder.
2. Ulkus Kornea Herpes Simpleks
Infeksi primer yang diberikan oleh virus
herpes simpleks dapat terjadi tanpa gejala klinik.
Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi
siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel
di permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk
dendrit atau bintang infiltrasi. terdapat hipertesi pada
kornea secara lokal kemudian menyeluruh. Terdapat
pembesaran kelenjar preaurikel. Bentuk dendrit
herpes simpleks kecil, ulseratif, jelas diwarnai
dengan fluoresin dengan benjolan diujungnya.

Gambar 5.5. Ulkus Kornea Gambar 5.6. Ulkus Kornea


Dendritik Herpetik
Sumber: Biswell R (2017) Sumber: Biswell R (2017)

iv. Ulkus Kornea Acanthamoeba


Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan
temuan kliniknya, kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik
khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat
perineural.

12
Gambar 5.7. Ulkus Kornea Acanthamoeba
Sumber: Biswell R (2017)

b. Ulkus Kornea Perifer


i. Ulkus Marginal
Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin.
Bentuk simpel berbentuk ulkus superfisial yang berwarna
abu-abu dan terdapat pada infeksi stafilococcus, toksik atau
alergi dan gangguan sistemik pada influenza disentri basilar
gonokok arteritis nodosa, dan lain-lain. Yang berbentuk
cincin atau multiple dan biasanya lateral. Ditemukan pada
penderita leukemia akut, sistemik lupus eritromatosis dan
lain-lain.

Gambar 5.8. Ulkus Marginal


Sumber: Kanski (2019)

ii. Ulkus Mooren


Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer
kornea kearah sentral. ulkus mooren terutama terdapat pada
usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui.
Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori
hipersensitivitas tuberculosis, virus, alergi dan autoimun.

13
Biasanya menyerang satu mata. Perasaan sakit sekali. Sering
menyerang seluruh permukaan kornea dan kadang
meninggalkan satu pulau yang sehat pada bagian yang
sentral.

C
A
Gambar 5.9. Mooren's Ulcer (A: Gambaran awal ulkus
Mooren, B: Gambaran lanjut Ulkus Mooren, C: Ulkus
Mooren dengan penyebaran lesi ke tengah)
Sumber: Kanski (2019)

iii. Ulkus Cincin (Ring Ulcer)


Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus. Di kornea
terdapat ulkus yang berbentuk melingkar dipinggir kornea,
di dalam limbus, bisa dangkal atau dalam, kadang-kadang
timbul perforasi. Ulkus marginal yang banyak kadang-

14
kadang dapat menjadi satu menyerupai ring ulcer. Perjalanan
penyakitnya menahun.

Gambar 5.10. Ulcer Ring


Sumber: Kanski (2019)

VI. ETIOPATOGENESIS
Ulkus kornea merupakan kelainan berupa defek pada lapisan kornea
yang ditandai dengan infiltrat supuratif dan diskontinuitas jaringan kornea
yang dapat terjadi mulai dari epitel sampai dengan stroma dan berpotensi
mengancam penglihatan. Saat terjadi peradangan, pelepasan antiinflamasi
tidak akan secepat jaringan yang kaya akan vaskularisasi, karena kornea
merupakan jaringan avaskular. Membran Bowman juga memiliki sifat tidak
dapat beregenerasi sehingga dapat menyebabkan kerusakan ireversibel pada
epitel kornea. Penyebab ulkus kornea pun bervariasi, antara lain:
1. Infeksi
a. Infeksi Bakteri
Bakteri menjadi penyebab paling umum dari sebagian
kasus ulkus kornea. Pada awalnya, ulkus kornea terbentuk
sebagai keratitis yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
kornea akibat adanya robekan/trauma, abrasi kornea sehingga
memungkinkan bakteri untuk masuk, dan penggunaan lensa
kontak yang berkepanjangan. Penggunaan lensa kontak dalam
waktu yang cukup lama tersebut dapat menyebabkan infeksi
bakteri, terutama bakteri gram negatif. Lensa kontak dapat
menyebabkan aliran oksigen pada mata menurun, meningkatkan

15
suhu pada kornea, dan menurunkan aliran air mata pada
permukaan kornea sehingga berpotensi meningkatkan risiko
tumbuhnya bakteri (Byrd dan Martin, 2020).
Delapan puluh persen ulkus korena bakteri disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan
spesies Pseudomonas. Pseudomonas aeruginosa merupakan
bakteri yang paling sering dan paling patogen yang dapat
menyebabkan perforasi kornea hanya dalam 72 jam. Bakteri
tersebut memanfaatkan glikokaliks untuk menempel pada epitel
dan kemudian menyerang stroma dan masuk melalui celah pada
epitel. Sel-sel inflamasi kemudian melepaskan sitokin dan
interleukin sehingga dapat meningkatkan ukuran ulkus (Kenia,
Kenia dan Pirdankar, 2020). Selama infeksi bakteri tersebut,
terjadi aktivasi plasminogen menjadi plasmin yang aktif secara
proteolitik. Protease, chymase, dan trytase kemudian
menyebabkan mikrolesi epitel dan menyebabkan fase
penyembuhan tertunda karena adanya degradasi glikoprotein
oleh enzim proteolitik. Hal tersebut semakin meningkatkan
peluang bakteri untuk bertahan hidup lebih lama dan menjadi
lebih patogen dengan menghasilkan lendir kimia yang dapat
tahan terhadap fagositosis serta bakteri dapat menurunkan
kebutuhan metabolisme mereka. Protease dan enzim litik
tertentu dapat membantu organisme seperti Neisseria gonore,
Corynebacterium diptheriae, Shigella untuk menghasilkan
keratitis bahkan melalui epitel yang utuh. Selain itu, terdapat
beberapa toksin dan enzim bakteri yang dapat menyebabkan
degradasi matriks kornea, baik endotoksin maupun eksotoksin.
Eksotoksin dapat menyebabkan kerusakan pada host dengan
menghancurkan sel-sel atau mengganggu metabolisme sel
normal. Endotoksin merupakan lipopolisakarida dalam dinding
sel bakteri gram negatif yang menghasilkan infiltrat cincin pada

16
kornea yang merupakan sel inti polimorf dalam stroma yang
terikat oleh C-Pathway dan kemotoksin yang diaktifkan oleh
properdin sehingga menyebabkan degradasi dari matriks kornea
(Al-Mujaini et al., 2009).
b. Infeksi Virus
Ulkus kornea juga dapat disebabkan oleh virus herpes
simpleks. Virus dapat mencapai kornea dan secara aktif
bereplikasi di epitel kornea sehingga dapat terbentuk lesi dan
membentuk defek epitel besar yang dapat menyebabkan ulserasi
pada stroma (Kenia, Kenia dan Pirdankar, 2020).
c. Infeksi parasit Acanthamoeba
Parasit Acanthamoeba sering dikaitkan dengan
penggunaan lensa kontak lunak. Saat melekat pada lensa kontak,
parasit akan bertahan pada ruang antara lensa kontak dan
permukaan mata, kemudian melekat pada glikoprotein pada vili
kornea. Adanya mikrotrauma pada permukaan epitel kornea
juga berperan mendorong masuknya parasit ke dalam epitel,
menginvasi lapisan Bowman dan masuk ke stroma yang
kemudian menyebabkan inflamasi dan radial keratoneuritis
(Farahani, Patel, dan Dwarakanathan, 2017).
d. Infeksi Jamur
Jamur diklasifikasikan sebagai ragi, berserabut, bersepta,
berpigmen ataupun tidak, dan berserabut tanpa septa. Pada
daerah tropis, jamur yang paling umum adalah jamur berserabut
seperti Aspergillus dan Fusarium. Patogen jamur masuk melalui
kornea mengikuti trauma atau benda asing yang masuk dan
menginvasi inang (Al-Mujaini et al., 2009).
2. Non Infeksi
a. Bahan Kimia

17
Bahan kimia yang mengandung asam atau basa berlebih
dapat menyebabkan pengendapan protein dan menyebabkan
kerusakan supersifisial.
b. Radiasi
Paparan radiasi seperti terpajan sinar matahari secara
langsung dapat merusak epitel kornea dalam jangka waktu yang
panjang.
c. Sindrom Sjorgen
Pada Sindrom Sjorgen, biasanya ditandai dengan
keratokonjungtivitis sicca yang merupakan suatu keadaan mata
kering yang dapat disebabkan oleh defisiensi unsur film air mata,
kelainan palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan
bintik-bintik kering pada kornea dan dalam jangka waktu yang
panjang dapat menyebabkan defek dan ulkus pada kornea.
(Lin et al., 2018)

VII. DIAGNOSIS
Ulkus kornea merupakan bentuk dari keratitis yang parah sehingga
menyebabkan terjadinya ulserasi pada kornea. Penyakit ini memiliki
manifestasi klinis utama berupa nyeri dan infiltrate pada kornea yang
berukuran > 0,5 mm, selain itu tanda gejala berupa konjunctiva hiperemis,
photophobia, secret mukopurulen atau purulen disertai turunnya daya
penglihatan (Salmon, 2020).
Beberapa gejala tambahan lain yang dapat timbul adalah edema
stroma, hipopion, chemosis, kelopak mata yang bengkak. Pada kasus yang
sangat parah dan khususnya infeksi Pseudomonas penyakit dapat
menimbulkan perforasi dan membentuk desmetocoele. Desmetocoele
adalah herniasi anterior dari membrane Descemet yang utuh melalui defek
lapisan stroma di atasnya (Salmon, 2020).

18
Gambar 7.1. Manifestasi klinis dari ulkus kornea, dapat dilihat progesivitas
penyakit yang ditandai infiltrate yang melebar (gambar a, b dan c). gambar
1. D menunjukan adanya perofrasi kornea, kejadian ini paling sering terjadi
pada infeksi Pseudomonas
Sumber: Salmon (2020)

Dari anamnesis, pasien paling sering mengeluhkan adanya gejala


berupa sensasi benda asing pada mata dan kesulitan untuk membuka mata.
Terdapat secret mukopurulen atau purulent pada mata baik yang masih
berupa cairan ataupun mengering. Pasien juga dapat memiliki riwayat
penggunaan kontak lens yang terlalu lama dan riwayat keratitis sebelumnya.
Kemampuan penglihatan pasien berkurang dengan deskripsi pandangan
kabur dan turunnya ketajaman penglihatan (Salmon, 2020).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan utamanya dengan inspeksi
langsung dan menggunakan penlight, hasil temuan berupa konjungtiva
hiperemis, secret mata mukopurulen atau purulen dan terdapatnya bercak
putih pada kornea dengan ukuran > 0,5 mm. Tidak terdapat gejala sistemik.
Ketika cahaya dari penlight pasien merasakan nyeri atau rasa tidak nyaman.

19
Pada pemeriksaan visus didapatkan visus pasien menurun pada mata yang
terkena (Salmon, 2020).

Gambar 7.2. Infiltrat pada kornea


Sumber: Stack (2020)

Pada layanan kesehatan primer pemeriksaan penunjang tidak


dilakukan dan cukup menggunakan hasil temuan dari pemeriksaan fisik.
Pada layanan kesehatan yang memiliki alat slit lamp maka pemeriksaan
dengan fluoresin dapat memberikan gambaran yang jelas adanya infiltrate
pada kornea. Pemeriksaan fluorescein dilakukan dengan menggunakan
fluorescein tetes atau strip yang diaplikasikan pada mata untuk kemudian
dilihat menggunakan slit lamp menggunakan blue light. Pada pemeriksaan
ini akan didapatkan infiltrate tercat dan akan tampak bersinar dibandingkan
dengan struktur di sekitarnya (Salmon, 2020).

Gambar 7.3. Infiltrat pada kornea setelah diwarnai menggunakan


fluorescein
Sumber: Stack (2020)

20
Pemeriksaan lain yang jarang dilakukan adalah dengan
menggunakan metode mikroskopis berupa corneal scrapping, pasien
sebelumnya diberikan anti nyeri berupa proxymetacaine 0,5% kemudian
infiltrat pada mata dijadikan sampel untuk diperiksa menggunakan skapel
no. 11. Sampel infiltrate kemudian diletakan pada media dan dilakukan
kultur untuk selanjutnya dilihat menggunakan pewarnaan tertentu untuk
melihat jenis dari organisme yang menginfeksi (Salmon, 2020).

Gambar 7.4. Pemeriksaan bakteriologi menggunakan teknik corneal


scrapping
Sumber: Salmon (2020)

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. Keratitis
Keratitis merupakan peradangan yang terjadi pada kornea sehingga
menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan akibat adanya
kekeruhan pada kornea, dapat disebabkan oleh faktor infeksi maupun
non-infeksi (Puig et al, 2020).

21
Gambar 8.1. Keratitis fungal dengan injeksi, kemosis dan
hipopion
Sumber:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493192/figure/article-
23857.image.f1/

2. Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan peradangan purulen akibat infeksi yang terjadi
pada rongga intraokular (segmen anterior, posterior dan sklera di
sekitarnya) dapat menyebabkan penurunan visus secara signifikan
(Jonis & Himayani, 2021).

Gambar 8.2. Endoftalmitis yang diinduksi penggunaan lensa


kontak
Sumber: Nursalim dan Poluan (2018)

3. Sikatrik Kornea
Sikatrik kornea merupakan suatu jaringan parut pada kornea yang terjadi
akibat interaksi kumpulan faktor termasuk trauma fisik eksternal atau

22
kimia dalam respon internal pelepasan sitokin pro-fibrotik (Chawla &
Ghosh, 2017).

Gambar 8.3. Macular corneal scar dengan infiltrasi lemak


Sumber: https://eyerounds.org/atlas/pages/cornea-macular-
corneal-scar-inactive-keratitis.html

Perbedaan Ulkus Kornea Keratitis Endoftalmitis Sikatrik


Kornea
Etiologi Infeksi: Infeksi: Endogen: terjadi Infeksi dan non
1. Bakteri (P. 1. Bakteri akibat penyebaran infeksi (trauma,
aeraginosa, (Coagulase- hematogen dari iritasi lensa
Streptococcus negative bakteri kontak,
pneumonia, Staphylococcus, (Staphylococcus pemakaian tetes
spesies Staphylococcus aures, mata steroid
Moraxella) aureus, P. Streptococcus sp, pada mata
2. Jamur aeraginosa, Bacillus sp, merah yang
(Candida, Streptococcus Neisseria tidak
Fusarium, pneumonia, spesies meningitidis, terkontrol).
Aspergilus, Moraxella) Haemophilus
Cephalosporium, 2. Virus (Herpes influenza,
mikosis simplex) Neisseria
Fungoides) 3. Jamur gonorrhoe, E.
3. Virus (Herpes (Fusarium, coli, Klebsiella)
simplex) Acremonium, dan jamur
4. Parasit Aspergilus, (Candida,
Acanthamoeba Candida albicans, Aspergilus)
(sering pada Cryptococcus, Eksogen:
pemakai lensa Blastomices) disebabkan oleh
kontak) 4. Parasit patogen akibat
Non Infeksi: (Acanthamoeba) mekanisme
Bahan kimia, Non Infeksi: kejadian tertentu
radiasi, Sindrom Paparan sinar (misalnya trauma
Sjorgen, defisiensi ultraviolet, sumber terbuka, operasi
vitamin A, cahaya yang kuat

23
neurotropik, (seperti pengelasan mata, injeksi
exposure, trauma, busur), iritasi lensa intravitreal).
obat-obatan kontak, reaksi obat-
(kortikosteroid, obatan, mata
anestesi topical, kering.
imunosupresif).
Sistem Imun
(reaksi
hipersensitivitas).
Faktor Risiko Pekerjaan, Pekerjaan, Penggunaan obat Pekerjaan,
pemakaian lensa pemakaian lensa intravena, trauma,
kontak secara kontak secara antibiotik pemakaian
berlebihan, berlebihan, intravena, lensa kontak
kelainan bulu kelainan bulu mata diabetes mellitus, secara
mata (trikiasis), (trikiasis), keganasan, berlebihan,
kelainan sistemik, penurunan daya immunocompromi benda asing
sindrom defisiensi tahan tubuh, sed, operasi mata. dalam kornea.
imun. penggunaan tetes
mata steroid.
Gejala Mata merah, Mata merah, terasa Gangguan Penurunan
Subjektif nyeri, sensasi gatal, nyeri, penglihatan, mata tajam
benda asing pada fotofobia, gangguan merah, mata penglihatan
mata, silau, penglihatan, mata terasa bengkak, mata, mata
penglihatan berair, sensasi nyeri, fotofobia, merah, nyeri,
terganggu, mata benda asing dan mata sensasi benda
berair, sekret panas atau perih mengeluarkan asing pada
mukopurulen. pada mata. nanah, kelopak mata.
mata bengkak,
merah dan kadang
sulit dibuka.
Gejala Injeksi siliar, Injeksi kornea, Edema palpebra, Kekeruhan pada
Objektif sebagian jaringan infiltrat abu-putih injeksi kornea (kategori
kornea (kekeruhan pada konjungtiva, ringan / nebula,
menghilang kornea), kering discharge sedang /
disertai jaringan dengan tepi purulen, edema makula, berat /
nekrotik, defek irregular, kornea, vitritis, lekoma),
bercak (ulkus) sensibilitas kornea hipopion. irregularitas
pada kornea, menurun, hipopion. permukaan
edema kornea, kornea.
terdapat hipopion
dan infiltrat.
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan visus, Pemeriksaan Pemeriksaan
Fisik dan visus, pemeriksaan luar, visus, visus,
Penunjang pemeriksaan luar, slitlamp, tes pemeriksaan luar, pemeriksaan
slitlamp, sensibilitas kornea, slitlamp, luar, slitlamp,
pewarnaan kornea pemeriksaan funduskopi, tes sensibilitas

24
dengan zat mikrobiologi pemeriksaan kornea,
fluoresensi, kerokan kornea dan mikrobiologi. pemeriksaan
scrapping untuk kultur sensitivitas. mikrobiologi.
analisa atau kultur
(pulasan gram,
giemsa, KOH),
pemeriksaan
mikrobiologi.
Gambar 8.1. Diagnosis Banding Ulkus Kornea

IX. TATALAKSANA
Tujuan dari tatalaksana ulkus kornea adalah:
1. Menginisiasi reepitelisasi
2. Mencegah atau menyingkirkan infeksi
3. Mengurangi inflamasi

a. Antibiotik
Lini pertama tatalaksana ulkus kornea bakterial adalah
antibiotik topikal tetes mata berspektrum luas golongan
fluorokuinolon, seperti ciprofloxacin 0,3%, ofloxacin 0,3%, dan
levofloxacin 1,5%. Dikarenakan meningkatnya resistensi antibiotik,
kultur korneal dan tes sensitivitas direkomendasikan pada semua
kasus ulkus kornea, terutama ulkus kornea besar, terletak sentral,
dan melibatkan stroma (Gunawan dan Setiabudy, 2011).
1. Ciprofloxacin 0,3%
a. Mekanisme aksi: Ciprofloxacin memiliki aktivitas
antibakteri sangat baik terhadap bakteri gram negatif, namun
aktivitasnya terhadap bakteri gram positif kurang baik.
Ciprofloxacin menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat topoisomerase II (DNA gyrase) dan
topoisomerase IV sehingga mencegah supercoiling DNA
saat replikasi atau transkripsi, dengan demikian menghambat
pembelahan sel

25
b. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap ciprofloxacin atau
antibiotik quinolone lainnya
c. Efek samping: Rasa terbakar pada mata, gatal, edema
kelopak mata, mata berair
d. Dosis:
• Hari pertama: 2 tetes tiap 15 menit selama 6 jam
pertama, kemudian 2 tetes tiap 30 menit untuk jam
berikutnya
• Hari kedua: 2 tetes tiap jam
• Hari ketiga: 2 tetes tiap 4 jam sampai hari ke-14. Jika
setelah 14 hari re-epitelisasi tidak terjadi, pegobatan
dilanjutkan
e. Merk dagang: Baquinor, Interflox, Isotic Retanor

2. Ofloxacin 0,3%
a. Mekanisme aksi: Ofloxacin aktif terhadap bakteri gram
positif, bakteri gram negatif, aerob, dan anaerob antara lain
S. aureus, S. epidermidis, S. pneumoniae, Propionibacterium
acnes, H. influenzae, P. mirabilis, P. aeruginosa. Ofloxacin
bekerja pada DNA gyrase dan topoisomerase IV sehingga
mencegah supercoiling DNA saat replikasi atau transkripsi,
dengan demikian menghambat pembelahan sel
b. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap ofloxacin dan
quinolone lainnya
c. Efek samping: Rasa menyengat, kemerahan, gatal,
konjungtivitis, keratitis, udem okular/ periokular/ wajah,
sensasai benda asing, fotofobia, pandangan tidak jelas, mata
berair, mata kering, nyeri pada mata
d. Dosis:
• Hari 1 dan 2: 1-2 tetes tiap 30 menit (dan 1-2 tetes
tiap 4-6 jam sesudah bangun tidur)

26
• Hari 3-9: 1-2 tetes tiap jam atau pada hari 7-9:
teteskan 1-2 tetes 4 kali sehari
e. Merk dagang: Tarivid Opthamic Solution, Cendo Floxa

3. Levofloxacin 0,5%
a. Mekanisme aksi: Levofloxacin memiliki daya antibakteri
yang baik terhadap bakteri gram positif, bakteri gram
negatif, serta bakteri atipikal lainnya (Mycoplasma,
Chlamydia). Levofloxacin bekerja pada DNA gyrase dan
topoisomerase IV sehingga mencegah supercoiling DNA
saat replikasi atau transkripsi, dengan demikian menghambat
pembelahan sel
b. Kontrindikasi: Hipersensitif terhadap levofloxacin atau
antibiotik quinolone lainnya
c. Efek samping: Menurunnya daya penglihatan sementara,
sensasi benda asing pada mata, demam, sakit kepala, rasa
terbakar pada mata, fotofobia, edema kelopak mata, gatal
pada mata
d. Dosis:
• Hari 1 dan 2: 1-2 tetes tiap 30 menit (dan 1-2 tetes
tiap 4-6 jam sesudah bangun tidur)
• Hari 3-9: 1-2 tetes tiap jam atau pada hari 7-9:
teteskan 1-2 tetes 4 kali sehari
e. Merk dagang: Levocin, Cendo Lfx, Cravit Opth Soln
Rawat inap dan pemberian antibiotik sistemik ceftriaxone disertai
pemberian antibiotik topikal tetes mata diperlukan pada ulkus kornea
bakterial yang disebabkan oleh gonococcus. Rawat inap dan pemberian
antibiotik sistemik juga dapat dipertimbangkan pada ulkus kornea bakterial
non gonococcus yang berat (Austin et al, 2017)

4. Ceftriaxone

27
a. Mekanisme aksi: Menghambat sintesis mukopeptida pada
dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan defek dinding sel
dan berujung pada kematian sel
b. Kontraindikasi: Hipersensitivitas
c. Peringatan: Hipersensitif terhadap penicillin (dapat terjadi
reaksi silang), wanita hamil dan menyusui, riwayat syok
anafilaktik, neonatus
d. Efek samping: Gangguan saluran cerna, reaksi kulit, sakit
kepala, pusing, demam, pengendapan garam kalsium
ceftriacone pada kandung empedu, peningkatan enzim hati,
oligouria, reaksi flebitis
e. Dosis: Dapat diberikan secara injeksi IV dan IM dengan
dosis 1-2 gram/hari. Pada infeksi berat dapat hingga 4
gram/hari
f. Kategori kehamilan: B
g. Contoh merk dagang: Betrix, Biotriax, Cefaxon, Cefriex,
Cefsix, Cefxon

b. Sikloplegik
Sikloplegik dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
sinekia dan mengurangi nyeri. Sikloplegik yang paling sering
digunakan adalah Cyclopentolate Hydrochloride (Byrd dan Martin,
2020).
a. Sediaan: Tetes mata 1%
b. Mekanisme aksi: Menyebabkan midriasis pupil dan mencegah mata
berakomodasi untuk penglihatan jarak dekat (sikloplegi) dengan
cara memblok reseptor muskarinik
c. Peringatan: Hati-hati pada pasien dengan bakat glaukoma sudut
sempit, pasien diingatkan untuk tidak mengemudi selama 1-2 jam
setelah pemberian tetes mata

28
d. Efek samping: Rasa pedih sementara, peningkatan tekanan
intraokular. Pada pemberian jangka panjang dapat terjadi iritasi
lokal, udem, konjungtivitis
e. Catatan: Efek kerja maksimum setelah 20-45 menit dengan lama
kerja 4-7 hari
f. Kategori kehamilan: C
g. Merk dagang: Cendo Cyclone 1%

c. Terapi Lainnya
Pemberian vitamin C pada kasus ulkus kornea, secara
ekperimen, telah menunjukkan bahwa vitamin C memiliki peran
dalam proses sintesis fibril matriks ekstraselular pada jaringan kultur
keratosit manusia yang berperan dalam proses penyembuhan luka
kornea. Pemberian suplementasi vitamin C dengan dosis per oral 3
gr/hari atau intravena 20 gram/hari akan mengurangi ukuran
opasitas kornea pada pasien ulkus kornea (Cho et al, 2013).

d. Operasi
Ulkus kornea yang tidak dapat diatasi dengan
medikamentosa atau menyebabkan penipisan kornea yang
signifikan sehingga berisiko terjadi perforasi korena memerlukan
tindakan operasi. Tindakan operasi untuk ulkus kornea meliputi
(Stamate et al, 2019):
1. Corneal gluing
Corneal gluing efektif untuk perforasi kornea kecil dengan
diameter maksimal 3 mm. Terdapat 2 tipe adhesif jaringan: sintetis
(derivat cyanoacrylate) dan biologis (fibrin glue). Corneal gluing
dapat menjadi terapi definitif pada perforasi perifer atau pilihan
sementara pada perforasi sentral sembari menunggu transplantasi
kornea (Sharma et al, 2003).

29
Gambar 9.1. Corneal gluing menggunakan derivat
cyanoacrylate
Sumber: Vote dan Elder (2008)

2. Collagen cross-linking with photo-activated riboflavin (PACK-


CXL)
PACK-CXL memiliki 2 mekanisme aksi: (1) meningkatkan
resistensi stroma terhadap proteolisis oleh enzim yang terlibat dalam
reaksi antiinflamasi, (2) efek apoptosis pada keratosit dan patogen
(Said et al, 2014).

3. Amniotic membrane transplantation


Amniotic membrane transplantation dapat melibatkan
membran amniotik single atau multilayered. Membran amniotik
single layer digunakan pada defek epitel persisten, dimana membran
amniotik digunakan sebagai patch untuk menginisiasi epitelisasi
kornea dan mengurangi inflamasi. Membran amniotik multi layer
digunakan pada kasus dengan penipisan kornea, dimana membran
amniotik berperan sebagai filling untuk menggantikan defek stromal
dan sebagai graft (Hanada et al, 2001).

30
Gambar 9.2. Amniotic membrane transplantation pada ulkus
neurotropik rekuren. A. Sebelum operasi, B. Single layer
membran amniotik dijahit dengan 10-0 nylon interrupted
sutures, C. Setelah operasi
Sumber: Stamate et al. (2019)

4. Conjunctival flap transplantation


Conjunctival flap transplantation digunakan untuk
tatalaksana ulkus kornea refrakter. Pembuluh darah dan aliran
limfatik dari flap terlibat dalam proses penyembuhan melalui
pengangkutan nutrisi, resistensi terhadap infeksi, dan menurunkan
mendiator proindlamasi lokal serta protease (Sharma et al, 2014).

31
Gambar 9.3. Ulkus kornea perifer setelah seksisi pterygium. A.
Aspek intraoperatif, B. conjuctival flap in situ
Sumber: Stamate et al. (2019)

5. Corneal transplantation (keratoplasty)


Keratoplasty dibutuhkan pada perforasi kornea yang besar
(diameter > 3mm). Peran utama transplantasi kornea adalah peran
tektonik, yaitu menjaga integritas kornea dan bersifat terapetik pada
perforasi kornea terinfeksi. Karena terbatasnya ketersediaan
jaringan kornea, berbagai graft kornea telah digunakan meliptui
cryopreserved, glycerol-preserved, atau gamma-irradiated corneal
grafts (Visal et al, 2011). Terdapat 2 jenis keratoplasty:
a. Keratoplasti penetrans, berarti penggantian kornea
seutuhnya. Karena sel endotel sangat cepat mati, mata
hendaknya diambil segera setelah donor meninggal dan
segera dibekukan. Mata donor harus dimanfaatkan <48 jam.
Tudung kornea dan sklera yang disimpan dalam media
nutrien boleh dipakai sampai 6 hari setelah donor meninggal
dan pengawetan dalam media biakan jaringan dapat tahan
sampai 6 minggu (Yum et al, 2013).

32
b. Keratoplasti lamelar, berarti penggantian sebagian dari
kornea. Untuk keratoplasti lamelar, kornea dapat dibekukan,
didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es selama beberapa
minggu (Yum et al, 2013).

Gambar 9.4. Perforasi korena sentral. A. Sebelum keratoplasty. B.


Setelah keratoplasty
Sumber: Stamate et al. (2019)

X. EDUKASI
Berikut adalah edukasi yang harus disampaikan pada pasien dengan
ulkus kornea (Kunwar et al, 2013; Wipperman dan Dorsch, 2013):
• Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani
oleh spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada
kornea
• Jika memakai lensa kontak, hentikan pemakaian lensa kontak
• Jangan pernah berenang atau mandi menggunakan lensa kontak
• Jangan melakukan manipulasi agresif seperti menggosok atau
menggaruk mata untuk mencegah infeksi

33
• Mencuci tangan sebelum memegang mata
• Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat
memperpanjang proses penyembuhan luka
• Kortikosteroid jangan pernah digunakan pada kasus ulkus kornea
karena akan meningkatkan risiko infeksi sekunder
• Penggunaan black fabric patches (yang biasanya dijual di apotek)
tidak bermanfaat. Patch ini didesain untuk menutupi mata yang
tidak sedap dipandang atau sensitif terhadap cahaya pada mata yang
tidak dapat melihat. Selain itu, patch tipe ini tidak dapat membuat
kelopak mata tertutup sebaik pressure patch dan dapat memperparah
ulkus kornea

XI. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Sebagian besar ulkus kornea kecil (< 1/4 area permukaan kornea)
akan sembuh dalam 24-48 jam. Tidak perlu dilakukan follow-up pada
pasien dengan ulkus kornea kecil, kecuali terjadi penurunan penglihatan
atau gejala menetap >48 jam. Ulkus kornea yang lebih besar akan membaik
dalam 2-3 minggu. Ulkus kornea yang tidak diobati atau diobati secara
inadekuat dapat berkembang menjadi corneal scarring, perforasi kornea,
glaukoma, astigmatisme iregular, katarak, endoftalmitis, dan kehilangan
penglihatan (Wipperman dan Dorsch, 2013).

34
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mujaini, A. et al. 2009. ‘Bacterial Keratitis: Perspective on Epidemiology,


Clinico-Pathogenesis, Diagnosis and Treatment’, Sultan Qaboos University
Medical Journal. Sultan Qaboos University, 9(2), p. 184. Available at:
/pmc/articles/PMC3074777/ (Accessed: 14 July 2021).

Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. 2017. Update on the Management of


Infectious Keratitis. Ophthalmology. 2017 Nov; 124(11): 1678-1689.

Biswell R. 2017. Ulserasi Kornea. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors.


Vaughan & Asbury Oftamologi Umum. Edisi 19. Jakarta: EGC; 126-138.

Byrd LB & Martin N. 2020. Corneal Ulcer. StatPearls Publishing [Internet].


Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539689/ [Diakses
pada 14 Juli 2021].

Chawla S. & Ghosh S. 2017. Establishment of In Vitro Model of Corneal Scar


Pathophysiology. J Cell Physiol. 2017:1-14.

Cho YW, Yoo WS, Kim SJ, Chung IY, Seo SW, Yoo JM. 2014. Efficacy of
systemic vitamin C supplementation in reducing corneal opacity resulting
from infectious keratitis. Medicine ;93(23): e125.

Gunawan SG & Setiabudy R (ed). 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.

Hanada K, Shimazaki J, Shimmura S, Tsubota K. Multilayered amniotic membrane


transplantation for severe ulceration of the cornea and sclera. Am J
Ophthalmol;131(3):324-31.

Ignatavicius, D. D., & Workman, m. L. 2010. Medical - Surgical Nursing: Clients


– Centered Collaborative Care. Sixth Edition, 1 & 2 . Missouri: Saunders
Elsevier.

Ilyas S. 2010. Tukak (Ulkus) Kornea. Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. 159-167

Jesse Borke. 2019. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis in


Emergency Medicine. Dalam:
https://emedicine.medscape.com/article/798100-overview

35
Jonis R.F. & Himayani R. 2021. Endoftalmitis et causa Ulkus Kornea Perforasi
Okuli Sinistra. Medula, Volume 10, Nomor 4, Januari 2021, hlm 594-598.

Kanski JJ. 2019. Disorder of Cornea and Sclera. In: Clinical Opthalmology A
Systematic Approach. Edisi 9: page.100-149.

Kenia, V. P., Kenia, R. V and Pirdankar, O. H. 2020. ‘Diagnosis and Management


Protocol of Acute Corneal Ulcer’, International Journal of Health Sciences
and Research (www.ijhsr.org), 10, p. 69. Available at: www.ijhsr.org
(Accessed: 14 July 2021).

Khaw P T, Shah P, Elkington. 2004. Red eye. ABC of Eyes. 4th ed.
London. BMJ books. Pg.10-11

Kunwar M, Adhikari RK., Karki DB. 2013. Microbial flora of corneal ulcers and
their drug sensitivity. MSJBH;12(2):14-16.

Liesegang TJ, Skuta GL, Cantor LB. Microbial and Parasitic Infection of
Cornea and Sclera. In : Basic and Clinical Science Cource. External
Disease and Cornea. Section 8. USA : AAO; 2011-2012 : Pg.158-71.

Lin, A. et al. 2018 ‘Bacterial Keratitis Preferred Practice Pattern®’. doi:


10.1016/j.ophtha.2018.10.018.

Mescher Anthony L. 2010. Junqueira’s Basic Histology. 12 thed. United States :


McGraw-Hill

Nursalim A.J. & Poluan H. 2018. Endoftalmitis yang Diinduksi Penggunaan Lensa
Kontak. Jurnal Biomedik, Volume 10, Nomor 2, Juli 2018, hlm. 138-142.

Puig M. et al. 2020. Etiology and Risk Factors for Infectious Keratitis in South
Texas. Journal of Ophthalmic and Vision Research 2020; 15(2):128-137.

Salmon, John F. 2020. Kanski’s Clinical Ophthalmology A Systematic Approach


Ninth Edition. “Chapter 7. Cornea”. New York: Elseiver.

Said DG, Elalfy MS, Gatzioufas Z, et al. 2014. Collagen cross-linking with photo-
activated riboflavin (PACK-CXL) for the treatment of advanced infectious
keratitis with corneal melting. Ophthalmology; 121: 1377–1382.

Sharma A, Mohan K, Sharma R, Nirankari VS. Repositioning of pedicle


conjunctival flap performed for refractory corneal ulcer. Middle East Afr J
Ophthalmol; 21(1): 89–91.

36
Stack, Lawrence B. 2020. Corneal Infiltrates or Ulcers & Corneal Infiltrates or
ulcers with fluorescin dalam Jacobs, Deborah S., Gardiner, Matthew F.,
Bachur, Richard G. 2021. Corneal Abrasions and Corneal Foreign Bodies:
Clinical Manifestations and Diagnosis. UpToDate.com [Internet]. Tersedia
pada: https://www.uptodate.com/contents/corneal-abrasions-and-corneal-
foreign-bodies-clinical-manifestations-and-diagnosis [Diakses pada 16 Juli
2021]

Stamate A, Tataru CP, Zemba M. 2019. Update on surgical management of corneal


ulceration and perforation. Rom J Opthalmol; 63(2): 166-173.

Visal J, Young AL, Mehta JS, Sharma N, Agarwal T, Vajpayee RB. 2011.
Management of corneal perforation. Surv Ophtahlmol; 56(6): 522-538.

Vote BJ & Elder MJ. 2008. Cyanoacrylate glue for corneal perforations: a
description of a surgical technique and a review of the literature. Clinical &
Experimental Ophthalmology. https://doi.org/10.1046/j.1442-
9071.2000.00351.x

Wipperman JL & Dorsch JN. 2013. Evaluation and management of corneal


abrasions. Am Fam Physician; 87(2): 114.

Yum HR, Kim MS, Kim EC. 2013. Retrocorneal membrane after Descemet
endothelial keratoplasty. Cornea; 32(9):1288-1290.

37

Anda mungkin juga menyukai